Share

Bab 4

Bagaimanapun caranya? Nauna mengulang dalam hati. Bukankah kalimat itu terdengar seperti ancaman untuk Dean? Dia tidak tahu apa yang direncanakan Lusi dan Rudy, tapi jika itu menyangkut suaminya, maka dia akan mencari tahu.

Pada saat ini, Nauna tidak mendengar pasangan itu bicara lagi. Alih-alih, suara kursi yang bergeser. Dia bergegas melarikan diri ke lantai atas agar tak tertangkap basah telah mencuri dengar.

Dari lantai atas, dia bisa melihat Lusi dan Rudy berjalan ke luar rumah. Nauna beranjak masuk ke kamarnya. Dia menjadi tidak tenang sepanjang hari karena memikirkan hal ini.

Ponsel di tangannya digenggam dengan erat. Nauna ingin menghubungi Dean dan berbicara tentang apa yang dia dengar. Tapi, suaminya mungkin masih di perjalanan atau baru saja tiba di kantor. Bukan saat yang tepat untuk bicara hal serius.

Nauna menyimpan rasa penasaran dan kekhawatirannya sendiri untuk sementara. Tapi, ini benar-benar membuatnya tidak bisa duduk dengan tenang sepanjang waktu.

Pukul sebelas siang, pintu kamarnya diketuk dengan keras. Suara Tari terdengar memanggil-manggil dengan kencang. Menyusul kemudian, suara Tika yang tak kalah kencang.

Pada saat ini, Nauna menyadari bahwa dia telah terlalu lama duduk di kamar sampai melewatkan tanggung jawab yang dilemparkan padanya.

“Nauna! Kamu di dalam, kan? Cepat keluar!” Suara Tari terdengar tidak sabar. Dia mengetuk pintu dengan lebih keras.

Nauna akhirnya beranjak dari tempat tidur yang didudukinya sejak tadi. Dia membuka pintu dan menemukan dua wajah tak bersahabat merengut kepadanya.

“Sudah jam segini dan kamu masih bersantai di kamar? Kamu benar-benar nggak mau belanja?” Tari memelototinya seolah Nauna adalah orang paling bersalah di muka bumi.

“Kamu nggak dengar apa kata Dean di dapur tadi? Dia setuju kalian yang belanja minggu ini!” Tika menimpali dengan sengit.

“Kamu jangan pura-pura lupa, Nauna! Jam segini kamu belum belanja dan nggak ada yang bisa kami masak sekarang. Mau makan apa suami dan anak-anak kami nanti?” sambung Tari lagi.

Suasana hati Nauna sedang tidak baik. Jika menuruti emosi, dia mungkin sudah berdebat dengan dua iparnya ini. Tapi, dia melihat Bella yang lugu dalam gendongan Tika. Dia tidak mau gadis kecil itu melihat pertengkaran orang dewasa, itu tidak baik untuk psikologisnya.

“Mbak Tika, aku rasa kamu harus lebih memperhatikan psikologis anakmu. Kasihan dia kalau terus mendengar ibunya berteriak dan marah-marah sepanjang waktu.” Nauna berkata dengan tenang.

Tika mendelik. “Kamu nggak perlu mengajariku. Tahu apa kamu tentang psikologis anak? Kamu bahkan nggak punya anak!”

Pada saat ini, Lusi datang—bergabung dengan rekan-rekannya sesama penindas. Wajahnya sama merengutnya dengan Tari dan Lusi. Tatapan tak bersahabat menyorot Nauna yang berdiri di ambang pintu.

“Bukannya pergi belanja malah berdebat dengan kakak-kakakmu disini. Kamu mulai menunjukkan sifat aslimu yang ternyata nggak peduli dengan kesulitan saudara-saudaramu!?” Lusi menudingnya tepat di depan wajah. "Kasihan Dean, punya istri seperti kamu!"

Nauna tidak menanggapi ucapan pedas Lusi. Dia tidak ingin si kecil Bella mendengar lebih banyak kata-kata yang tidak layak diucapkan. Dia berbalik, kembali masuk ke dalam kamar dan hendak menutup pintu. Tapi, Tari dengan sigap menahannya.

“Kamu mau sembunyi lagi di kamar?” Dia bertanya dengan nada kesal. “Jangan lari dari tanggung jawab!”

Rasanya, Nauna ingin menyemburkan tawa. Siapa yang sebenarnya suka lari dari tanggung jawab? Dia menatap Tari dengan dingin dan berkata, “Aku nggak seperti kalian. Aku mau ganti baju dan pergi belanja seperti apa yang kalian inginkan.”

Setelah itu, Nauna mendorong pintu hingga tertutup dengan rapat. Jika bukan karena mendengarkan suaminya dan mengasihi keponakan-keponakannya—yang mungkin akan benar-benar kelaparan bila dia tidak belanja hari ini, dia tidak akan mau menuruti ipar-iparnya.

Melihat bagaimana Lusi, Tika dan Tari bersikap seperti diktator yang gemar menindas, dia ingin sekali melawan. Tapi, dia masih menghargai mereka sebagai ipar. Walaupun mereka sendiri tidak memperlakukannya dengan baik.

Setelah berganti pakaian dan memakai hijabnya dengan rapi, Nauna mengambil dompet, ponsel dan kunci mobil di atas nakas. Dia tidak lagi menemukan Lusi, Tari dan Tika di depan kamarnya saat membuka pintu. Setidaknya, itu membuatnya sedikit lega.

Nauna mengemudikan mobilnya menuju hypermart langganan. Pikirannya masih melayang pada pembicaraan Rudy dan Lusi pagi tadi. Apa yang ingin mereka jual seharga empat milyar sehingga membutuhkan tanda tangan Dean? Dia penasaran, tapi tidak bisa menemukan jawabannya sekarang.

Beberapa menit berlalu, Nauna tiba di tempat tujuan. Dia memarkir mobilnya dan masuk ke hypermart dengan pikiran berkelana. Untungnya, dia tidak mendapat masalah sepanjang berbelanja dan berhasil menyelesaikan transaksi tanpa hambatan.

Ketika Nauna keluar untuk kembali ke mobilnya. Dia menangkap sosok yang dia kenal di seberang jalan. Tepatnya di salah satu kursi kafe outdoor yang berhadapan langsung dengan hypermart tempat dia berbelanja.

Rudy dengan setelan kerjanya terlihat mengobrol bersama seorang laki-laki berperawakan tinggi besar. Nauna seharusnya tidak peduli, jika saja dia tidak mendengar pembicaraan para iparnya tadi pagi. Mungkin, dengan memata-matai Rudy, dia bisa mendapat petunjuk mengenai obrolan rahasia mereka waktu itu.

Tanpa berpikir lebih lama, Nauna segera memasukkan barang belanjaan ke dalam mobil. Dia mengambil masker dari dashboard untuk menutupi wajahnya. Kemudian, dia meninggalkan mobilnya begitu saja di parkiran hypermart dan bergegas menyeberangi jalan.

Nauna berharap Rudy tidak mengenalinya atau bahkan tidak melihatnya sama sekali. Dia melipir di antara kerumunan beberapa gadis muda yang baru memasuki area kafe. Setelah bersusah payah, dia akhirnya bisa duduk saling memunggungi dengan Rudy.

“Empat milyar itu kurang. Aku rasa, aku bisa dapat harga yang lebih tinggi.”

Itu adalah kalimat pertama yang Nauna dengar dari pembicaraan Rudy dan temannya saat ini. Dia merasa sedikit beruntung, sebab apa yang mereka bahas adalah apa yang menganggu pikirannya sedari tadi. Dia menajamkan telinga, berharap dapat mendengar lebih banyak lagi.

“Kamu memang nggak pernah puas. Padahal, menurutku, harga segitu sudah sangat tinggi. Kamu harusnya langsung deal.” Terdengar suara baritone menyahut ucapan Rudy.

“Nggak, aku yakin, akan ada yang menawar dengan harga lebih tinggi.” Rudy begitu percaya diri.

“Rud, kalau menurutku, kamu ambil saja harga empat milyar. Kalau kamu lepaskan demi mencari harga yang lebih tinggi, yang ada kamu akan dapat harga yang lebih rendah.”

Nauna menyimak dengan kening berkerut samar. Nominal yang sedari tadi disebutkan bukan angka kecil dan Rudy masih ingin mendapatkan harga yang lebih tinggi. Sebenarnya, orang-orang ini ingin menjual apa? Nauna benar-benar ingin segera mengetahuinya.

“Itu nggak akan terjadi. Aku yakin, masih ada yang sanggup membeli dengan harga di atas empat milyar.”

“Untuk rumah seperti itu, empat milyar sudah harga paling tinggi.”

Rumah? Jadi, sedari tadi, mereka sedang membicarakan harga jual rumah? Nauna semakin bertanya-tanya tentang rumah milik siapa yang sedang ingin mereka jual.

“Kamu belum lihat rumahnya secara detail. Kamu baru lihat lewat foto. Itu juga bagian luarnya saja. Jadi, kamu nggak bisa menentukan harga aslinya. Nanti, kalau ada yang mau membeli dengan harga yang lebih tinggi, aku akan bawa mereka untuk melihat rumahnya secara langsung.” Rudy bersikeras.

“Ya, ya, baiklah. Kita lihat nanti, apakah kamu bisa dapat harga di atas empat milyar atau justru di bawah itu.”

“Permisi, Mbak?”

Nauna tersentak kaget ketika seorang pelayan kafe menghampirinya. Dia sedang fokus mencuri dengar sampai lupa dimana dia berada saat ini. Buru-buru diraihnya buku menu yang diulurkan pelayan itu. Dia menunjuk salah satu menu yang tertulis tanpa melihatnya sama sekali.

“Ini saja?“

Nauna mengangguk sebagai jawaban. Dia tidak ingin bersuara atau Rudy akan mengenalinya. Pelayan itu pergi setelah mencatat pesanannya yang entah apa. Dia sendiri bahkan tidak tahu apa yang telah dipesannya.

“Aku jadi penasaran ingin melihat rumah itu secara langsung. Aku juga ingin lihat bagaimana isi di dalamnya.” Teman Rudy bicara lagi. “Apa aku boleh kesana?”

“Ya, aku akan bawa kamu kesana untuk melihat-lihat.” Rudy menanggapi.

“Kapan?”

“Saat istrinya Dean nggak ada di rumah.”

Jantung Nauna berdebar dengan kencang begitu namanya dan nama suaminya masuk dalam obrolan dua laki-laki itu. Dia meremas tangannya yang mulai berkeringat. Perasaannya menjadi tak karuan. Dia hanya berharap, apa yang dia pikirkan tidak benar.

“Jadi, kamu belum dapat persetujuan mereka?”

“Mereka? Maksud kamu, Dean dan istrinya?” Rudy tertawa sumbang. “Aku nggak butuh persetujuan istrinya karena dia nggak punya hak apa-apa. Yang aku butuhkan cuma persetujuan dan tanda tangan Dean.”

“Dan kamu belum dapat itu semua?”

“Belum.”

“Kalau begitu, kamu nggak akan bisa jual rumah itu. Sekali pun kamu mendapatkan pembeli yang menawar dengan harga sepuluh milyar, kamu nggak akan bisa menjualnya.” Teman Rudy seperti sedang memperingatkannya.

Nauna merasa hatinya semakin panas. Dia menahan diri untuk tetap duduk dan mendengarkan kata-kata selanjutnya.

“Karena rumah yang sekarang kalian tempati itu sudah diwariskan pada Dean. Dengan kata lain, rumah itu sepenuhnya milik Dean!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status