Share

Bab 7

Sepanjang dua puluh lima tahun perjalanan hidupnya, Nauna tidak pernah berharap akan memiliki musuh—tidak satu orang pun. Dia terbiasa hidup dengan tenang. Menjadi perempuan baik-baik dan tidak pernah bermasalah dengan siapapun.

Ketika masih duduk di bangku sekolah, dia memiliki banyak sekali teman. Saat naik ke jenjang kuliah, dia dikelilingi banyak orang yang menyukai kepribadiannya. Bahkan, ketika masuk lingkungan kerja, dia mendapat sambutan hangat dari semua orang. Singkatnya, dia memiliki reputasi yang baik.

Namun, semuanya menjadi berbeda setelah dia menikah. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasa tidak disukai. Sejak hari dimana dia dan Dean resmi menjadi pasangan suami istri, dia sudah mendapat tatapan berbeda dari beberapa orang yang datang hari itu—Rudy, Yoga, Daniel dan para istri mereka yang manipulatif.

Meskipun saat itu mereka tidak menunjukkan rasa tak suka secara terang-terangan, tapi Nauna dapat merasakan dari cara mereka menatapnya. Sekali pun mereka tersenyum lebar, seolah-olah ikut bahagia dengan pernikahan adik bungsu mereka, tapi tatapan mereka menyiratkan sebaliknya. Bukan hanya pada Nauna, tapi juga pada orang tua dan keluarganya yang terlihat sederhana hari itu.

Dulu, Nauna tidak ingin berpikiran buruk tentang para iparnya. Dia mencoba membersihkan hati dan menjernihkan pikiran, mungkin saja saat itu mereka hanya belum saling mengenal. Namun, setelah tinggal bersama, dia menyadari, bahwa kehadirannya memang tidak disenangi. Mereka terlihat baik di depan Dean, tapi tidak di belakangnya.

Sebenarnya, Nauna masih ingin bersikap baik dan menghormati para iparnya, jika saja dia tidak mengetahui apa yang sedang mereka rencanakan. Orang-orang itu bukan hanya memanfaatkan dirinya dan suaminya untuk memenuhi segala kebutuhan dapur dan membayar tagihan, tapi mereka juga berencana menjual rumah yang mereka tempati bersama-sama tanpa seizin pemiliknya.

Semua yang dia dengar hari ini, membuat Nauna pusing. Dia melewatkan makan siang dan berdiam diri di kamar hingga malam tiba. Dengan rasa tak sabar, dia menghitung waktu dan menunggu Dean pulang untuk menceritakan semuanya.

Pada saat itu, suara adzan berkumandang dari Masjid yang berdiri kokoh di seberang komplek. Nauna bergegas ke kamar mandi. Tepat setelah selesai berwudhu dan memakai mukena, dia mendengar deru mobil memasuki garasi.

Dia bergegas keluar dari kamar dan berlarian menuruni tangga. Disambutnya Dean yang baru selesai menutup pintu garasi dan berjalan mendekat ke arahnya.

“Assalamu’alaikum.” Dean memberi salam. Wajah lelahnya menyungging senyum, membuat Nauna membalasnya dengan senyum serupa.

“Wa'alaikumsalam.” Nauna meraih tangan Dean dan menciumnya dengan lembut. Tiba-tiba saja, Nauna merasa sedih mengingat para iparnya yang sedang merencanakan hal buruk untuk laki-laki ini.

Padahal, Dean selalu bersikap baik pada mereka. Sebagai adik bungsu, dia selalu patuh dan menurut pada kakak-kakaknya. Lantas, apa yang membuat mereka begitu tega padanya?

Pada saat ini, Nauna menyadari bahwa harta bisa menggelapkan mata dan merusak hubungan persaudaraan.

Tiba-tiba saja, Nauna memberi suaminya sebuah pelukan hangat. Dean menerima pelukan itu dengan senang hati. Rasa lelah setelah seharian bekerja di kantor seketika menguar pergi.

“Sudah sholat?” Dean bertanya walaupun dia tahu, Nauna akan selalu menunggunya pulang untuk menunaikan sholat berjama’ah.

“Belum. Aku menunggumu.” Nauna menjawab dengan senyum lembut di bibirnya. Dean balas tersenyum. Kemudian, dia merangkul istrinya dan menuntunnya masuk.

“Aku nggak ikut masak hari ini, bagaimana kalau kita delivery?” Nauna bertanya diantara langkah mereka menaiki anak tangga, menuju kamar.

Dari tempatnya, Nauna bisa mendengar suara-suara berisik dari ruang makan. Para iparnya dan keluarga mereka pasti sedang menikmati makan malam bersama. Nauna sama sekali tidak ingin bergabung dengan mereka. Tidak hanya untuk malam ini, tapi juga seterusnya.

“Kenapa nggak ikut masak?“ Dean balik bertanya begitu langkah mereka mencapai ujung tangga.

“Sedang nggak ingin.” Nauna menyembunyikan raut jengkel yang sempat muncul di wajahnya, ketika mengingat perdebatan dengan para iparnya yang perempuan, siang tadi.

“Kalau begitu, kita ikut makan dengan yang lain saja. Mereka nggak akan keberatan.” Dean mengusulkan. Dia sama sekali tidak berpikir bahwa hubungan Nauna dan para iparnya sedang tidak baik-baik saja.

Nauna menggeleng cepat. Alih-alih ikut makan bersama mereka, sekedar berpapasan saja, dia sudah enggan. Bisa-bisa dia mendengar kata-kata tak menyenangkan lagi karena ikut makan, padahal tidak ikut memasak. Dean mungkin tidak tahu, betapa pedas mulut mereka ketika menyerangnya dengan kata-kata.

“Kita delivery saja, Mas. Aku sedang ingin makan ayam bakar dengan sambal ekstra pedas.” Nauna berkata dan tersenyum meyakinkan.

“Ya sudah, kalau begitu, aku yang pesan, ya?” Dean segera meraih ponsel dari saku celana dan mulai memesan menu yang Nauna mau lewat aplikasi online.

Pada saat ini, mereka sudah tiba di dalam kamar. Dean beranjak ke kamar mandi terlebih dahulu untuk membersihkan diri. Sementara Nauna membentangkan sajadah sembari menunggunya selesai mandi.

Beberapa saat kemudian, Dean keluar dan bergegas berganti pakaian. Setelah itu, mereka mengambil posisi masing-masing dan mulai mengerjakan sholat empat rakaat.

Pasangan halal itu selesai melaksanakan kewajiban beberapa menit kemudian. Setelah duduk sebentar untuk memanjatkan doa dan berdzikir, Nauna berpindah posisi. Dia duduk berhadapan dengan Dean dan menatapnya dengan ekspresi serius.

“Mas, aku mau bertanya.” Nauna membuka suara. Dia bersiap menceritakan semua yang dia dengar hari ini, tapi sebelum itu, dia ingin menanyakan satu hal terlebih dahulu.

Alis Dean terangkat naik, garis-garis bingung tampak jelas di wajahnya. Raut serius dan tatapan tegas Nauna membuatnya bertanya-tanya. Mereka bukan tidak pernah bicara serius, tapi kali ini terlalu tiba-tiba.

“Ada apa, Nauna? Kamu kelihatan serius sekali.” Dean tertawa kecil untuk mencairkan suasana, tapi ekspresi Nauna tidak berubah sama sekali.

“Mas, kamu harus jawab pertanyaanku dengan jujur.”

Tiba-tiba saja, jantung Dean berdebar dengan kencang. Dia mencoba mengingat, kesalahan apa yang sudah dia perbuat sampai harus berhadapan dengan wajah serius Nauna. Bahkan, perempuan itu mengharuskannya menjawab pertanyaan dengan jujur.

“Nau, ada apa? Apa yang ingin kamu tanyakan?”

Nauna tidak langsung menjawab. Dia masih menatap Dean dengan serius, sampai akhirnya dia melontarkan pertanyaan yang membuat garis-garis bingung bertambah banyak di wajah suaminya.

“Mas, rumah ini milik siapa?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status