Sepanjang dua puluh lima tahun perjalanan hidupnya, Nauna tidak pernah berharap akan memiliki musuh—tidak satu orang pun. Dia terbiasa hidup dengan tenang. Menjadi perempuan baik-baik dan tidak pernah bermasalah dengan siapapun.
Ketika masih duduk di bangku sekolah, dia memiliki banyak sekali teman. Saat naik ke jenjang kuliah, dia dikelilingi banyak orang yang menyukai kepribadiannya. Bahkan, ketika masuk lingkungan kerja, dia mendapat sambutan hangat dari semua orang. Singkatnya, dia memiliki reputasi yang baik. Namun, semuanya menjadi berbeda setelah dia menikah. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasa tidak disukai. Sejak hari dimana dia dan Dean resmi menjadi pasangan suami istri, dia sudah mendapat tatapan berbeda dari beberapa orang yang datang hari itu—Rudy, Yoga, Daniel dan para istri mereka yang manipulatif. Meskipun saat itu mereka tidak menunjukkan rasa tak suka secara terang-terangan, tapi Nauna dapat merasakan dari cara mereka menatapnya. Sekali pun mereka tersenyum lebar, seolah-olah ikut bahagia dengan pernikahan adik bungsu mereka, tapi tatapan mereka menyiratkan sebaliknya. Bukan hanya pada Nauna, tapi juga pada orang tua dan keluarganya yang terlihat sederhana hari itu. Dulu, Nauna tidak ingin berpikiran buruk tentang para iparnya. Dia mencoba membersihkan hati dan menjernihkan pikiran, mungkin saja saat itu mereka hanya belum saling mengenal. Namun, setelah tinggal bersama, dia menyadari, bahwa kehadirannya memang tidak disenangi. Mereka terlihat baik di depan Dean, tapi tidak di belakangnya. Sebenarnya, Nauna masih ingin bersikap baik dan menghormati para iparnya, jika saja dia tidak mengetahui apa yang sedang mereka rencanakan. Orang-orang itu bukan hanya memanfaatkan dirinya dan suaminya untuk memenuhi segala kebutuhan dapur dan membayar tagihan, tapi mereka juga berencana menjual rumah yang mereka tempati bersama-sama tanpa seizin pemiliknya. Semua yang dia dengar hari ini, membuat Nauna pusing. Dia melewatkan makan siang dan berdiam diri di kamar hingga malam tiba. Dengan rasa tak sabar, dia menghitung waktu dan menunggu Dean pulang untuk menceritakan semuanya. Pada saat itu, suara adzan berkumandang dari Masjid yang berdiri kokoh di seberang komplek. Nauna bergegas ke kamar mandi. Tepat setelah selesai berwudhu dan memakai mukena, dia mendengar deru mobil memasuki garasi. Dia bergegas keluar dari kamar dan berlarian menuruni tangga. Disambutnya Dean yang baru selesai menutup pintu garasi dan berjalan mendekat ke arahnya. “Assalamu’alaikum.” Dean memberi salam. Wajah lelahnya menyungging senyum, membuat Nauna membalasnya dengan senyum serupa. “Wa'alaikumsalam.” Nauna melapisi tangannya dengan ujung mukena sebelum meraih tangan Dean agar wudhunya tidak batal. Saat bertatapan dengan sepasang mata Dean, tiba-tiba saja, Nauna merasa sedih mengingat para iparnya yang sedang merencanakan hal buruk untuk laki-laki ini. Padahal, Dean selalu bersikap baik pada mereka. Sebagai adik bungsu, dia selalu patuh dan menurut pada kakak-kakaknya. Lantas, apa yang membuat mereka begitu tega padanya? Pada saat ini, Nauna menyadari bahwa harta bisa menggelapkan mata dan merusak hubungan persaudaraan. “Sudah sholat?” Dean bertanya walaupun dia tahu, Nauna akan selalu menunggunya pulang untuk menunaikan sholat berjama’ah. “Belum. Aku menunggumu.” Nauna menjawab dengan senyum lembut di bibirnya. Dean balas tersenyum. Kemudian, dia merangkul istrinya dan menuntunnya masuk. “Aku nggak ikut masak hari ini, bagaimana kalau kita delivery?” Nauna bertanya diantara langkah mereka menaiki anak tangga, menuju kamar. Dari tempatnya, Nauna bisa mendengar suara-suara berisik dari ruang makan. Para iparnya dan keluarga mereka pasti sedang menikmati makan malam bersama. Nauna sama sekali tidak ingin bergabung dengan mereka. Tidak hanya untuk malam ini, tapi juga seterusnya. “Kenapa nggak ikut masak?“ Dean balik bertanya begitu langkah mereka mencapai ujung tangga. “Sedang nggak ingin.” Nauna menyembunyikan raut jengkel yang sempat muncul di wajahnya, ketika mengingat perdebatan dengan para iparnya yang perempuan, siang tadi. “Kalau begitu, kita ikut makan dengan yang lain saja. Mereka nggak akan keberatan.” Dean mengusulkan. Dia sama sekali tidak berpikir bahwa hubungan Nauna dan para iparnya sedang tidak baik-baik saja. Nauna menggeleng cepat. Alih-alih ikut makan bersama mereka, sekedar berpapasan saja, dia sudah enggan. Bisa-bisa dia mendengar kata-kata tak menyenangkan lagi karena ikut makan, padahal tidak ikut memasak. Dean mungkin tidak tahu, betapa pedas mulut mereka ketika menyerangnya dengan kata-kata. “Kita delivery saja, Mas. Aku sedang ingin makan ayam bakar dengan sambal ekstra pedas.” Nauna berkata dan tersenyum meyakinkan. “Ya sudah, kalau begitu, aku yang pesan, ya?” Dean segera meraih ponsel dari saku celana dan mulai memesan menu yang Nauna mau lewat aplikasi online. Pada saat ini, mereka sudah tiba di dalam kamar. Dean beranjak ke kamar mandi terlebih dahulu untuk membersihkan diri. Sementara Nauna membentangkan sajadah sembari menunggunya selesai mandi. Beberapa saat kemudian, Dean keluar dan bergegas berganti pakaian. Setelah itu, mereka mengambil posisi masing-masing dan mulai mengerjakan sholat empat rakaat. Pasangan halal itu selesai melaksanakan kewajiban beberapa menit kemudian. Setelah duduk sebentar untuk memanjatkan doa dan berdzikir, Nauna berpindah posisi. Dia duduk berhadapan dengan Dean dan menatapnya dengan ekspresi serius. “Mas, aku mau bertanya.” Nauna membuka suara. Dia bersiap menceritakan semua yang dia dengar hari ini, tapi sebelum itu, dia ingin menanyakan satu hal terlebih dahulu. Alis Dean terangkat naik, garis-garis bingung tampak jelas di wajahnya. Raut serius dan tatapan tegas Nauna membuatnya bertanya-tanya. Mereka bukan tidak pernah bicara serius, tapi kali ini terlalu tiba-tiba. “Ada apa, Nauna? Kamu kelihatan serius sekali.” Dean tertawa kecil untuk mencairkan suasana, tapi ekspresi Nauna tidak berubah sama sekali. “Mas, kamu harus jawab pertanyaanku dengan jujur.” Tiba-tiba saja, jantung Dean berdebar dengan kencang. Dia mencoba mengingat, kesalahan apa yang sudah dia perbuat sampai harus berhadapan dengan wajah serius Nauna. Bahkan, perempuan itu mengharuskannya menjawab pertanyaan dengan jujur. “Nau, ada apa? Apa yang ingin kamu tanyakan?” Nauna tidak langsung menjawab. Dia masih menatap Dean dengan serius, sampai akhirnya dia melontarkan pertanyaan yang membuat garis-garis bingung bertambah banyak di wajah suaminya. “Mas, rumah ini milik siapa?”Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap
"Nau, cepat ganti baju, kita ke kantor polisi sekarang!"Nauna baru saja keluar dari kamar mandi, ketika Dean tiba-tiba berkata dengan nada terburu-buru. "Ada apa, Mas?" Menanyakan itu, Nauna sambil beranjak menuju lemari, kemudian mengambil sehelai baju ganti dari dalamnya. "Mas Rudy dan Mbak Lusi sudah tiba di kantor pusat. Citra juga ada di sana, kita jemput dia sekarang," sahut Dean sebagaimana adanya. Mendengar ucapannya, sepasang mata Nauna terbuka lebar-lebar. Dia sudah menunggu kabar ini sejak tiga hari yang lalu, tepatnya sejak dia dan Dean pertama kali mendapatkan kabar tentang Rudy dan Lusi yang sudah ditangkap oleh polisi. Tanpa bertanya apa-apa lagi, Nauna bergegas berganti pakaian, kemudian mengambil kerudung dan mengenakannya dengan cepat. "Ayo, Mas!" ajak Nauna sembari menyambar tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Dean mengangguk. Setelah meraih kunci mobil di atas nakas, dia dan Nauna segera keluar dari kamar dengan langkah tergesa-gesa. "Sudah sejak kapan me
"Ibu, tenanglah!" Viola berkata sembari menyentuh bahu sang ibu sebagai upaya menenangkannya. Meski Viola juga terkejut dengan semua yang dikatakan Dinara, dia masih bisa berpikir dengan jernih. Alih-alih mengusir mantan iparnya itu seperti apa yang dilakukan Jihan, dia justru ingin mendengar penjelasannya lebih banyak lagi. Akan tetapi, Jihan yang begitu emosional, tampaknya tidak mau mendengar apapun lagi. Sepasang matanya menyorot Dinara dengan tajam, kemudian berkata, "Pergilah, Dinara! Jangan katakan omong kosong apapun lagi tentang Jeremy!"Dinara tahu Jihan sedang kalut, karena itu dia sama sekali tidak ambil hati atas sikap dan ucapan wanita itu. Alih-alih angkat kaki seperti apa yang diminta, dia justru tetap duduk di tempatnya. "Bu," katanya dengan nada rendah dan terukur. "Ini nggak ada hubungannya dengan urusan pribadiku dan Mas Jeremy. Semua yang aku katakan ini, semata-mata untuk memberitahu Ibu yang sebenarnya, tentang apa yang sudah dilakukan Mas Jeremy demi mendapat
Setelah meninggalkan kediaman Jihan, Dinara segera mengajak Dean dan Nauna bertemu. Kebetulan, pasangan suami istri itu sedang berada di luar rumah, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe, sekalian makan siang bersama. Dinara tiba lebih dulu, sementara Dean dan Nauna datang sekitar sepuluh menit kemudian. Setelah memesan makanan dan minuman masing-masing, mereka tidak berbasa-basi lagi. Dinara segera menceritakan secara detail semua yang dia dengar dari Jihan, tentang persaingan bisnis antara orang tua Dean dan orang tua Jeremy. Mendengar apa yang diceritakan oleh Dinara, Dean dan Nauna tampak terkejut. "Aku sama sekali nggak tahu tentang ini." Dean berkomentar setelah Dinara benar-benar menyelesaikan ceritanya. "Aku nggak pernah mendengar kalau perusahaan Ayah sampai menyebabkan kebangkrutan untuk perusahaan lain. Mungkin karena saat itu aku masih terlalu muda untuk mengetahuinya."Dinara menghela napas. "Sudah kuduga," ucapnya dengan nada rendah nyaris tenggelam. "Ka