Dean merasa bingung dan terdiam. Alih-alih menjawab pertanyaan Nauna, dia malah berpikir atas dasar apa pertanyaan ini dilontarkan. Seingatnya, dia sudah pernah mengatakan hal ini pada istrinya satu tahun lalu—saat mereka pertama kali tinggal bersama di rumah ini.
Seharusnya, Nauna tidak perlu bertanya lagi sekarang. Lagi pula, sudah terlalu lama sejak terakhir kali mereka membahasnya.“Nau, kamu sudah tahu, rumah ini milik ayah dan ibu.” Dean berkata. “Aku sudah pernah kasih tahu kamu dulu.”Nauna menggelengkan kepala. Dia masih ingat apa yang Dean katakan satu tahun lalu, tapi bukan itu jawaban yang ingin dia dengar sekarang.“Maksudku, atas nama siapa?” Nauna memperjelas pertanyaannya agar Dean paham maksudnya.“Tentu saja atas nama ayah dan ibu.” Jawaban Dean terdengar yakin. Dia tidak ragu sama sekali karena memang seperti itu yang dia tahu.Nauna menyorot lebih tajam untuk mencari kejujuran di mata kelam suaminya. Sepertinya, Dean tidak berbohong. Apa yang dia katakan adalah apa yang dia ketahui selama ini. Apa itu artinya, Dean tidak tahu bahwa rumah ini adalah miliknya?“Kalau begitu dimana sertifikat rumah ini?” Nauna bertanya lagi. Dia pikir, dia bisa menemukan jawaban atas pertanyaan sebelumnya dengan melihat sertifikat rumah ini.Dean bertambah bingung. Dia tidak mengerti mengapa Nauna tiba-tiba saja menanyakan sertifikat rumah ini, sesuatu yang bahkan belum pernah dia lihat sendiri.“Nau, kenapa kamu harus menanyakan itu?”“Jawab dulu, Mas. Dimana sertifikat rumah ini?” Nauna mengulang pertanyaannya dengan sedikit memaksa.Dean menghela napas pasrah yang hampir tidak terdengar. Kemudian, dengan tenang dia berkata, “Seritifkat rumah ini disimpan oleh Mas Rudy.”Nauna terbelalak. Pada saat ini, jantungnya berdebar dengan keras. Dia menatap Dean, seolah tak percaya dengan jawaban yang dia dengar.Dia mengerutkan kening dan bertanya dengan suara pelan, “Kenapa dia yang simpan?”“Karena dia kakak tertua di rumah ini.” Dean menjawab seolah tidak ada yang aneh dengan itu.Seharusnya, Nauna tidak perlu merasa kaget, tapi dia sudah mendengar obrolan rahasia para iparnya. Ketika mengetahui bahwa sertifikat rumah ini disimpan oleh Rudy, dia merasa itu bukanlah hal yang benar. Seharusnya, sertifikat itu berada di tangan pemiliknya.“Nauna, kamu bersikap aneh. Ada apa sebenarnya?” Dean bertanya dengan ekspresi keheranan. Dia sama sekali tidak mengerti, ada apa dengan istrinya malam ini?Alih-alih menjawab keheranannya, Nauna justru kembali bertanya, “Apa kamu pernah melihat sertifikat itu?”Pertanyaan ini membuat Dean semakin tidak mengerti. Dia pikir, istrinya sedang mencari tahu tentang sesuatu dan dia tidak tahu apa itu. Tapi, dia tidak mencoba menutupi apapun dan memilih memberikan jawaban sesuai dengan apa yang dia ketahui.“Aku nggak pernah lihat sertifikat rumah ini, tapi Mas Rudy dan yang lainnya bilang, itu atas nama ayah dan ibu. Mereka juga bilang bahwa ibu nggak membagikan rumah ini sebagai warisan agar kami nggak menjualnya dan bisa tinggal bersama-sama disini, seperti wasiat terakhir Ibu.” Dean menuturkan.“Mas, bukankah wasiat seperti itu dilarang dalam agama?” Nauna bertanya dengan hati-hati. “Setiap orang yang meninggal, maka harta warisannya harus dibagikan kepada ahli waris. Mana boleh berwasiat agar hartanya jangan dijual.”Dean menghela napas dan berkata, “Aku tahu, tapi aku nggak bisa apa-apa karena itu memang keinginan terakhir Ibu.”Nauna tak habis pikir, dia kembali bertanya, “Mas, apa kamu mendengar sendiri saat ibu mengatakan keinginan terakhirnya? Atau kamu hanya mendengar dari kakak-kakakmu? Kamu pernah bilang, kalau kamu nggak ada di sisi Ibu saat terakhir kali beliau dalam keadaan sadar.” Ekspresi curiga tiba-tiba saja tercetak di wajah Nauna.Dean menggeleng perlahan dan berkata, “Aku nggak mendengarnya secara langsung dari Ibu, tapi Mas Rudy dan yang lainnya nggak mungkin berbohong.” Dia berkata dengan yakin.Pada saat ini, Nauna justru menyimpulkan bahwa Dean pasti telah dibodohi oleh saudara-saudaranya sendiri, sebab laki-laki itu tidak mendengar secara langsung tentang keinginan terakhir ibunya.“Mas, menurutku mereka sudah membohongimu!” Nauna sangat yakin dengan kata-katanya.“Apa?” Dean mengernyit dan menatapnya dengan bingung, “Nau, bagaimana kamu bisa menuduh mereka seperti ini?”“Aku mendengar Mas Rudy dan yang lainnya sedang merencanakan sesuatu.” Nauna mulai menceritakan apa yang didengarnya siang tadi. “Mereka berencana menjual rumah ini dan aku juga mendengar bahwa mereka membutuhkan tanda tangan kamu, karena rumah ini sudah diwariskan padamu.”Dean mengedipkan matanya berkali-kali, dia tampak begitu terkejut. Butuh beberapa saat baginya untuk mencerna dan memahami apa yang baru saja Nauna katakan.“Nau, kamu bicara apa?” Dean bertanya dengan lirih.“Mas, kamu mungkin nggak akan percaya, tapi aku mendengarnya sendiri. Mereka bahkan sudah dapat calon pembeli yang menawar rumah ini seharga empat milyar!” Nauna begitu berapi-api, dia berharap Dean dapat bertindak setelah tahu apa yang sedang direncanakan oleh para kakak dan iparnya.“Mereka nggak mungkin akan menjual rumah peninggalan ayah dan ibu.” Dean menyangkal dengan suara pelan, “Dan rumah ini nggak mungkin sudah diwariskan padaku.” Dia sama sekali tidak bisa mempercayai ini.Dean memutar kembali ingatannya pada sepuluh tahun lalu. Saat itu dia baru saja pulang dari mengikuti ujian nasional dan melihat rumahnya sudah dipenuhi banyak orang. Dia berlari masuk, menerobos orang-orang yang menghalangi jalannya dan melihat tubuh ayahnya sudah terbujur kaku di tengah ruangan.Dengan tangis berderai, ibu berkata bahwa ayah terkena serangan jantung dan meninggalkan mereka tanpa firasat apa-apa. Rasanya seperti mimpi buruk yang menghancurkan setengah dari hidupnya.Sejak kepergian ayah, ibu menunjuk Rudy, Yoga dan Daniel untuk mengurus perusahaan. Sementara Dean yang masih terlalu muda harus melanjutkan pendidikannya terlebih dahulu.Sayangnya, perusahaan yang sudah susah payah dibangun oleh ayah, justru hancur di tangan anak-anaknya. Mereka tertipu investor luar negeri dan perusahaan jatuh bangkrut.Dean tidak ikut campur, saat mendengar kakak-kakaknya memohon pada ibu untuk menjual apa saja yang ditinggalkan ayah untuk menyelamatkan perusahaan.Ibu yang saat itu mulai sakit-sakitan tidak bisa melakukan apa-apa saat anak-anaknya menjual semua tanah, perhiasan dan kendaraan yang mereka punya, tapi ternyata perusahaan itu tetap bangkrut—tidak dapat diselamatkan.“Semua yang sudah kalian jual adalah harta warisan ayah yang ditinggalkan untuk kalian. Sekarang, hanya tersisa rumah ini. Kalian nggak bisa menjualnya karena ini bukan milik kalian.”Saat itu, Dean mendengar ibunya bicara pada tiga kakaknya, tapi dia tidak sempat mendengar lebih jauh karena dia harus segera pergi untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi.Ketika kembali ke rumah, dia seketika dihadapkan pada kenyataan pahit. Ibunya masuk rumah sakit dan dalam keadaan kritis. Beberapa hari kemudian, beliau berpulang tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Itu adalah saat-saat paling sakit dalam hidupnya.“Mas!”Suara Nauna membawanya kembali ke masa sekarang, dimana dia masih duduk berhadapan dengan istrinya. Perempuan itu menatapnya khawatir, sebab dia terlihat begitu kosong.“Mas, kamu baik-baik saja?” Nauna menyentuh lengannya dengan lembut.Dean mengangguk, dengan suara bergetar dia berkata, “Nauna, yang kamu katakan tadi, nggak benar, kan?”Selama ini, dia mempercayai kakak-kakaknya dengan sepenuh hati. Dia tidak percaya mereka menyembunyikan sesuatu darinya, bahkan ingin menusuknya dari belakang.“Mas, apa yang aku bilang itu benar. Aku nggak mungkin mengarang cerita dan berbohong sama kamu.” Nauna berkata dengan yakin.Dean juga tidak bisa meragukannya. Selama mereka saling mengenal, Nauna tidak pernah satu kali pun berbohong padanya. Tapi, dia juga tidak bisa begitu saja kehilangan kepercayaan pada saudara-saudaranya. Dia sudah mempercayai mereka untuk waktu yang lama.Nauna menghela napas pasrah. Dia paham, sulit bagi Dean untuk percaya bahwa orang-orang terdekatnya telah berkhianat hanya karena harta.“Mas, kalau kamu nggak percaya padaku, sekarang kamu ikut aku!”Nauna meraih tangan Dean dan mengajaknya berdiri. Laki-laki itu mengerutkan kening, dia masih berusaha memahami semuanya, tapi Nauna sudah membawanya beranjak keluar dari kamar.“Nauna, kita mau kemana?” Dean menahan langkah mereka di ujung tangga. Nauna menoleh dan menatapnya dengan sorot meyakinkan.“Aku mau buktikan sama kamu kalau aku nggak bohong. Kita temui Mas Rudy sekarang!”Makan malam telah usai bagi semua penghuni rumah—kecuali Nauna dan Dean yang memilih tidak ikut bergabung di meja makan. Anak-anak sudah masuk ke kamar masing-masing, sementara orang dewasa berkumpul di ruang tengah—sebenarnya hanya pasangan Rudy-Lusi dan Yoga-Tari, sedangkan pasangan Daniel-Tika sudah masuk ke kamar bersama putri kecil mereka. Televisi dinyalakan, tapi tidak ada yang fokus menonton. Volume dikecilkan dan empat orang di ruang tengah mulai membuka obrolan. Lusi adalah yang pertama kali berbicara, setelah memastikan pintu kamar Nauna dan Dean masih tertutup rapat di atas sana. “Hari ini, Nauna agak berbeda,” ucap Lusi dengan suara pelan dan hati-hati. “Berbeda bagaimana?” Yoga bertanya dengan kening berkerut samar. Selama satu tahun tinggal bersama, dia tidak banyak berinteraksi dengan adik iparnya itu. Selain karena tidak ada yang penting, dia juga tidak menyukai keberadaan Nauna di rumah ini. Tari mewakili Lusi untuk menceritakan kejadian di dapur siang tadi. Saat
Nauna mengulum senyum melihat reaksi terkejut para iparnya. Mereka mungkin tidak menyangka bahwa dia sudah mengetahui rencana mereka. Dan sebentar lagi, Dean juga akan segera mengetahuinya. Pada saat ini, Daniel dan Tika bergabung di ruang tengah. Pasangan itu tampak terheran-heran dengan suasana tegang yang ada di sana. Tari memberi mereka kode untuk duduk dan mendengarkan apa yang selanjutnya dikatakan Nauna. “Seharusnya, sertifikat itu ada di tangan pemiliknya, kan? Tapi, untuk sekedar melihatnya pun nggak boleh.” Nauna bersedekap, matanya menyorot seraut panik di sekitarnya satu per satu—termasuk Daniel dan Tika yang mulai menangkap apa yang sedang terjadi saat ini. “Apa maksud kamu, Nauna? Bicara apa kamu?” Tika yang pertama kali bersuara, setelah sempat hening selama beberapa saat. Nauna menatap Tika dan berkata dengan tenang, “Mbak Tika dan Mas Daniel yang baru bergabung disini, kalian pasti tahu apa maksudku.” “Nauna, kamu mulai ngawur!” Lusi tidak tahan lagi untuk berpur
Pada saat ini, Nauna merasa agak aneh. Lusi terlihat sangat percaya diri. Begitu berbeda dengan beberapa saat lalu—ketika mereka semua berkumpul di ruang tengah. Seraut gusar yang tercetak di wajah perempuan ini sewaktu tadi, sekarang berganti dengan senyuman tipis penuh arti. Tangan Lusi terulur, ingin berjabatan dengan Nauna sebagai tanda sepakat atas tantangan yang baru saja mereka buat. Kepercayaan dirinya semakin membuat Nauna merasa ragu dan curiga. “Kenapa?” Lusi bertanya dengan sorot meremehkan ketika uluran tangannya tak kunjung bersambut. “Takut kalah?” Nauna mengerjap waspada. Dia merasa ada yang tidak beres. Bagaimana kalau Lusi dan para iparnya punya rencana lain yang belum dia ketahui? “Sudah kuduga, kamu nggak akan berani menerima tantanganku. Kamu tahu kalau kamu pasti akan kalah. Iya, kan?“ Lusi tertawa pelan, terdengar sangat pongah dan menyebalkan di telinga. Saat itu juga, Nauna meraih uluran tangan yang hampir diturunkan. Lusi sedikit terkesiap. Dalam hitungan
Seseorang di ambang pintu menekan saklar lampu yang berada di dinding sebelah kiri. Dalam satu kedipan mata, lampu ruangan menyala terang, memperlihatkan segala apapun yang ada di dalamnya—termasuk seorang perempuan yang sedang berjongkok di depan lemari kaca. Nauna merasa seperti jantungnya jatuh ke kaki. Dia melihat orang yang memergokinya masih berdiri di ambang pintu. Sepasang mata itu terbelalak, menatapnya dengan ekspresi tak percaya. Pada saat ini, Nauna menyadari bahwa dirinya telah tertangkap basah.“Nauna?”Namanya dipanggil dengan sangat lirih. Nauna memejamkan mata selama beberapa detik, berusaha mengumpulkan tenaga untuk berdiri setelah disergap rasa kaget yang luar biasa. “Mas—”“Sedang apa kamu disini?” Dean segera menyela begitu Nauna mendapatkan kekuatan untuk bersuara. Perempuan itu terlihat sedikit gemetar. Dia mematikan cahaya senter dari ponselnya, lalu meraih amplop yang tadi dilihatnya. Setelah itu dia berdiri dan berjalan ke arah suaminya dengan langkah terse
Jika tadi adalah Dean, maka sekarang adalah Rey. Anak sulung pasangan Rudy dan Lusi itu berdiri di depan pintu kamarnya—menyorot wajah Nauna dengan tatapan datar. Entah apa yang dipikirkan Rey saat melihat perempuan—yang berstatus tantenya—keluar dari ruang kerja ayahnya sekitar pukul dua dini hari. Nauna hanya bisa berharap, anak itu tidak berpikiran macam-macam dan tidak akan mengatakan apapun pada orang tuanya. “R-Rey, mau ke-kemana jam se-gini?” Nauna gelagapan. Dia bertanya sembari merapikan jilbabnya dengan canggung. Rey yang terbiasa dengan ekspresi datar, kini berwajah curiga. Nauna merasa jantungnya berdebar tak karuan saat remaja tujuh belas tahun itu berjalan perlahan mendekatinya. Sorot tajam yang tak terlepas dari wajahnya, membuat perempuan itu kalang kabut. “Aku yang lebih dulu bertanya.” Rey berkata saat jaraknya dengan Nauna hanya tinggal satu meter. Langkahnya berhenti di sana, “Sedang apa di sini?”Nauna bukan seseorang yang berani berbohong untuk menutupi sesuat
Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi ketika Nauna keluar dari kamar dan berpapasan dengan Rey di dekat tangga. Langkah keduanya tertahan di sana, sama-sama terpaku untuk beberapa saat. Nauna seketika teringat kejadian semalam—saat Rey memergokinya keluar dari ruang kerja Rudy pukul dua dini hari—hal yang masih dia khawatirkan sampai saat ini. Meski Dean mengatakan bahwa anak itu tidak suka ikut campur urusan orang lain, tapi rasa was-was tidak bisa hilang dari benaknya. “Hai, Rey!” Nauna berusaha beramah tamah untuk menghilangkan rasa canggung di antara mereka. Dia menyapa dengan seulas senyum, tapi Rey malah berlalu begitu saja. Tanpa sepatah kata pun, laki-laki itu menuruni tangga dengan langkah cepat, setengah berlari. Sementara Nauna tercengang di tempat—tidak menyangka sikap ramahnya berbalas abai.“Apa-apaan anak itu?” Nauna bersungut-sungut, sedikit tidak terima dirinya diabaikan. “Nau, kenapa?” Dean tiba-tiba saja sudah ada di dekatnya. Nauna hampir tidak sadar, jika laki-lak
Tepat saat kalimat itu meluncur dari mulut Rey, Nauna merasa hawa panas mulai memenuhi satu ruangan. Dia melihat Lusi dan Rudy menaruh perhatian sepenuhnya pada putera pertama mereka. Rasa ingin tahu sepertinya menjalar ke semua orang di meja makan. Mereka semua menatap Rey, penasaran dengan apa yang ingin dia katakan. Nauna dan Dean saling bertukar pandang dalam diam. Isi pikiran mereka mungkin sama. Hanya saja, Dean terlihat lebih tenang, sementara Nauna tampak cemas. “Apa yang ingin kamu katakan, Rey?” Rudy bertanya, mewakili rasa penasaran semua orang di sana. Rey menatap wajah orang tuanya satu per satu. Lalu, tatapannya berhenti pada Nauna. Dia menarik napas agak panjang sebelum berkata, “Aku...” Tangan Nauna serta merta mencengkeram lengan Dean, ketika Rey dengan sengaja menggantung kalimatnya. Dia sudah bersiap mendengar pengaduan Rey pada semua orang, tentang dirinya yang diam-diam masuk ke ruang kerja Rudy dini hari tadi. Sayangnya, dia belum menyiapkan alasan untuk mem
Apa yang dikatakan Rey padanya telah sampai ke telinga Dean. Nauna menyampaikan semuanya ketika mereka duduk berhadapan di kursi taman belakang. Reaksi Dean sudah bisa ditebak, dia menanggapi dengan santai, “Rey memang nggak suka ikut campur urusan orang lain, jadi kamu nggak perlu khawatir lagi.”Nauna menghela napas. Sejak mengetahui rencana jahat para iparnya, dia menjadi paranoid dan mencurigai banyak orang—termasuk Rey. Setelah mendengar perkataan anak itu tadi, seharusnya dia bisa bernapas lega. “Sudah, jangan dipikirkan lagi.” Dean berkata setelah menyesap sedikit kopi. Nauna mengiyakan. Seharusnya, dia memang tidak perlu berlebihan memikirkan tentang Rey, sebab ada hal yang lebih penting untuk dia pikirkan sekarang. Dia masih harus mencari cara untuk menggagalkan rencana para iparnya dan membuat Dean percaya padanya. Dalam diam, Nauna berpikir keras, apa yang harus dia lakukan sekarang? “Nauna...” Dean memanggil dengan lirih ketika menyadari perempuan itu sedang memikirkan