Share

Bab 8

Dean merasa bingung dan terdiam. Alih-alih menjawab pertanyaan Nauna, dia malah berpikir atas dasar apa pertanyaan ini dilontarkan. Seingatnya, dia sudah pernah mengatakan hal ini pada istrinya satu tahun lalu—saat mereka pertama kali tinggal bersama di rumah ini.

Seharusnya, Nauna tidak perlu bertanya lagi sekarang. Lagi pula, sudah terlalu lama sejak terakhir kali mereka membahasnya.

“Nau, kamu sudah tahu, rumah ini milik ayah dan ibu.” Dean berkata. “Aku sudah pernah kasih tahu kamu dulu.”

Nauna menggelengkan kepala. Dia masih ingat apa yang Dean katakan satu tahun lalu, tapi bukan itu jawaban yang ingin dia dengar sekarang.

“Maksudku, atas nama siapa?” Nauna memperjelas pertanyaannya agar Dean paham maksudnya.

“Tentu saja atas nama ayah dan ibu.” Jawaban Dean terdengar yakin. Dia tidak ragu sama sekali karena memang seperti itu yang dia tahu.

Nauna menyorot lebih tajam untuk mencari kejujuran di mata kelam suaminya. Sepertinya, Dean tidak berbohong. Apa yang dia katakan adalah apa yang dia ketahui selama ini. Apa itu artinya, Dean tidak tahu bahwa rumah ini adalah miliknya?

“Kalau begitu dimana sertifikat rumah ini?” Nauna bertanya lagi. Dia pikir, dia bisa menemukan jawaban atas pertanyaan sebelumnya dengan melihat sertifikat rumah ini.

Dean bertambah bingung. Dia tidak mengerti mengapa Nauna tiba-tiba saja menanyakan sertifikat rumah ini, sesuatu yang bahkan belum pernah dia lihat sendiri.

“Nau, kenapa kamu harus menanyakan itu?”

“Jawab dulu, Mas. Dimana sertifikat rumah ini?” Nauna mengulang pertanyaannya dengan sedikit memaksa.

Dean menghela napas pasrah yang hampir tidak terdengar. Kemudian, dengan tenang dia berkata, “Seritifkat rumah ini disimpan oleh Mas Rudy.”

Nauna terbelalak. Pada saat ini, jantungnya berdebar dengan keras. Dia menatap Dean, seolah tak percaya dengan jawaban yang dia dengar.

Dia mengerutkan kening dan bertanya dengan suara pelan, “Kenapa dia yang simpan?”

“Karena dia kakak tertua di rumah ini.” Dean menjawab seolah tidak ada yang aneh dengan itu.

Seharusnya, Nauna tidak perlu merasa kaget, tapi dia sudah mendengar obrolan rahasia para iparnya. Ketika mengetahui bahwa sertifikat rumah ini disimpan oleh Rudy, dia merasa itu bukanlah hal yang benar. Seharusnya, sertifikat itu berada di tangan pemiliknya.

“Nauna, kamu bersikap aneh. Ada apa sebenarnya?” Dean bertanya dengan ekspresi keheranan. Dia sama sekali tidak mengerti, ada apa dengan istrinya malam ini?

Alih-alih menjawab keheranannya, Nauna justru kembali bertanya, “Apa kamu pernah melihat sertifikat itu?”

Pertanyaan ini membuat Dean semakin tidak mengerti. Dia pikir, istrinya sedang mencari tahu tentang sesuatu dan dia tidak tahu apa itu. Tapi, dia tidak mencoba menutupi apapun dan memilih memberikan jawaban sesuai dengan apa yang dia ketahui.

“Aku nggak pernah lihat sertifikat rumah ini, tapi Mas Rudy dan yang lainnya bilang, itu atas nama ayah dan ibu. Mereka juga bilang bahwa ibu nggak membagikan rumah ini sebagai warisan agar kami nggak menjualnya dan bisa tinggal bersama-sama disini, seperti wasiat terakhir Ibu.” Dean menuturkan.

“Mas, bukankah wasiat seperti itu dilarang dalam agama?” Nauna bertanya dengan hati-hati. “Setiap orang yang meninggal, maka harta warisannya harus dibagikan kepada ahli waris. Mana boleh berwasiat agar hartanya jangan dijual.”

Dean menghela napas dan berkata, “Aku tahu, tapi aku nggak bisa apa-apa karena itu memang keinginan terakhir Ibu.”

Nauna tak habis pikir, dia kembali bertanya, “Mas, apa kamu mendengar sendiri saat ibu mengatakan keinginan terakhirnya? Atau kamu hanya mendengar dari kakak-kakakmu? Kamu pernah bilang, kalau kamu nggak ada di sisi Ibu saat terakhir kali beliau dalam keadaan sadar.” Ekspresi curiga tiba-tiba saja tercetak di wajah Nauna.

Dean menggeleng perlahan dan berkata, “Aku nggak mendengarnya secara langsung dari Ibu, tapi Mas Rudy dan yang lainnya nggak mungkin berbohong.” Dia berkata dengan yakin.

Pada saat ini, Nauna justru menyimpulkan bahwa Dean pasti telah dibodohi oleh saudara-saudaranya sendiri, sebab laki-laki itu tidak mendengar secara langsung tentang keinginan terakhir ibunya.

“Mas, menurutku mereka sudah membohongimu!” Nauna sangat yakin dengan kata-katanya.

“Apa?” Dean mengernyit dan menatapnya dengan bingung, “Nau, bagaimana kamu bisa menuduh mereka seperti ini?”

“Aku mendengar Mas Rudy dan yang lainnya sedang merencanakan sesuatu.” Nauna mulai menceritakan apa yang didengarnya siang tadi. “Mereka berencana menjual rumah ini dan aku juga mendengar bahwa mereka membutuhkan tanda tangan kamu, karena rumah ini sudah diwariskan padamu.”

Dean mengedipkan matanya berkali-kali, dia tampak begitu terkejut. Butuh beberapa saat baginya untuk mencerna dan memahami apa yang baru saja Nauna katakan.

“Nau, kamu bicara apa?” Dean bertanya dengan lirih.

“Mas, kamu mungkin nggak akan percaya, tapi aku mendengarnya sendiri. Mereka bahkan sudah dapat calon pembeli yang menawar rumah ini seharga empat milyar!” Nauna begitu berapi-api, dia berharap Dean dapat bertindak setelah tahu apa yang sedang direncanakan oleh para kakak dan iparnya.

“Mereka nggak mungkin akan menjual rumah peninggalan ayah dan ibu.” Dean menyangkal dengan suara pelan, “Dan rumah ini nggak mungkin sudah diwariskan padaku.” Dia sama sekali tidak bisa mempercayai ini.

Dean memutar kembali ingatannya pada sepuluh tahun lalu. Saat itu dia baru saja pulang dari mengikuti ujian nasional dan melihat rumahnya sudah dipenuhi banyak orang. Dia berlari masuk, menerobos orang-orang yang menghalangi jalannya dan melihat tubuh ayahnya sudah terbujur kaku di tengah ruangan.

Dengan tangis berderai, ibu berkata bahwa ayah terkena serangan jantung dan meninggalkan mereka tanpa firasat apa-apa. Rasanya seperti mimpi buruk yang menghancurkan setengah dari hidupnya.

Sejak kepergian ayah, ibu menunjuk Rudy, Yoga dan Daniel untuk mengurus perusahaan. Sementara Dean yang masih terlalu muda harus melanjutkan pendidikannya terlebih dahulu.

Sayangnya, perusahaan yang sudah susah payah dibangun oleh ayah, justru hancur di tangan anak-anaknya. Mereka tertipu investor luar negeri dan perusahaan jatuh bangkrut.

Dean tidak ikut campur, saat mendengar kakak-kakaknya memohon pada ibu untuk menjual apa saja yang ditinggalkan ayah untuk menyelamatkan perusahaan.

Ibu yang saat itu mulai sakit-sakitan tidak bisa melakukan apa-apa saat anak-anaknya menjual semua tanah, perhiasan dan kendaraan yang mereka punya, tapi ternyata perusahaan itu tetap bangkrut—tidak dapat diselamatkan.

“Semua yang sudah kalian jual adalah harta warisan ayah yang ditinggalkan untuk kalian. Sekarang, hanya tersisa rumah ini. Kalian nggak bisa menjualnya karena ini bukan milik kalian.”

Saat itu, Dean mendengar ibunya bicara pada tiga kakaknya, tapi dia tidak sempat mendengar lebih jauh karena dia harus segera pergi untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi.

Ketika kembali ke rumah, dia seketika dihadapkan pada kenyataan pahit. Ibunya masuk rumah sakit dan dalam keadaan kritis. Beberapa hari kemudian, beliau berpulang tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Itu adalah saat-saat paling sakit dalam hidupnya.

“Mas!”

Suara Nauna membawanya kembali ke masa sekarang, dimana dia masih duduk berhadapan dengan istrinya. Perempuan itu menatapnya khawatir, sebab dia terlihat begitu kosong.

“Mas, kamu baik-baik saja?” Nauna menyentuh lengannya dengan lembut.

Dean mengangguk, dengan suara bergetar dia berkata, “Nauna, yang kamu katakan tadi, nggak benar, kan?”

Selama ini, dia mempercayai kakak-kakaknya dengan sepenuh hati. Dia tidak percaya mereka menyembunyikan sesuatu darinya, bahkan ingin menusuknya dari belakang.

“Mas, apa yang aku bilang itu benar. Aku nggak mungkin mengarang cerita dan berbohong sama kamu.” Nauna berkata dengan yakin.

Dean juga tidak bisa meragukannya. Selama mereka saling mengenal, Nauna tidak pernah satu kali pun berbohong padanya. Tapi, dia juga tidak bisa begitu saja kehilangan kepercayaan pada saudara-saudaranya. Dia sudah mempercayai mereka untuk waktu yang lama.

Nauna menghela napas pasrah. Dia paham, sulit bagi Dean untuk percaya bahwa orang-orang terdekatnya telah berkhianat hanya karena harta.

“Mas, kalau kamu nggak percaya padaku, sekarang kamu ikut aku!”

Nauna meraih tangan Dean dan mengajaknya berdiri. Laki-laki itu mengerutkan kening, dia masih berusaha memahami semuanya, tapi Nauna sudah membawanya beranjak keluar dari kamar.

“Nauna, kita mau kemana?” Dean menahan langkah mereka di ujung tangga. Nauna menoleh dan menatapnya dengan sorot meyakinkan.

“Aku mau buktikan sama kamu kalau aku nggak bohong. Kita temui Mas Rudy sekarang!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Gladys Ranto
seru sekali min
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status