Share

Renjana
Renjana
Author: Priscilla

Bab I:“Kesombongan Yang Merengkuhku”

“Kau masih ingat tempat ini?” Kata seorang lelaki saat duduk berdua dengan seorang wanita, di malam dengan udara dingin nan sepi disebuah taman bermain.

“Dari semua show yang kau tontonkan, pertunjukan yang kau tunjukkan disini bisa dibilang the best, waktu itu kau memakai mantel bulu yang sekalipun di kutub utara, kau juga tidak akan mati kedinginan,” lanjut lelaki itu.

       Perempuan cantik berambut pendek yang duduk disampingnya menatap bingung dan beberapa kali mencoba untuk mengingat, tapi dia tak ingat.

“Aku takut udara dingin,” kata perempuan bertubuh tinggi dan putih itu asal-asalan karena tak mengingatnya, yah, bagaimana dia ingat karena waktu kejadian itu dia digantikan posisinya oleh perempuan lain yang wajahnya mirip dengan dia yang berpura-pura menjadi tunangan laki-laki yang kini duduk di sebelahnya.

       Dari awal memang dia tak pernah setuju dengan perjodohan itu, dan untuk mengakalinya dia menyewa seseorang yang mirip dengan dia untuk menggantikan posisinya sebagai tunangan laki-laki kaya itu, dan entah bagaimana perempuan yang ditemukannya memiliki muka yang sangat mirip, padahal dia bukan saudara bahkan mereka tidak ada hubungan darah.

“Ditambah kau memakai sesuatu yang aneh di kepalamu,” kata lelaki itu lagi yang membayangkan seorang wanita yang memakai rambut panjang palsu di atas kepalanya yang sebenarnya berambut pendek.

“Topi itu? Itu hadiah kelulusan dari ibuku, aku suka sekali,” timpal wanita itu dengan senyum hambar karena semakin bingung dengan kejadian yang sebenarnya.

        Laki-laki yang duduk disebelahnya menatap bingung, sudah dari lama ia curiga kenapa selain wajah, segalanya tampak berbeda, sikap tunangannya sangat berbeda, bahkan dia mengarang kejadian itu, kejadian yang sebenarnya adalah tunangannya memakai baju tipis saat salju turun dan udara malam mulai menusuk tulang, tapi kenapa wanita yang seharusnya paling ingat kejadian itu malah membenarkan kalau dia memakai baju tebal.

Bukankah sangat berbanding terbalik? Ataukah dia sudah lupa? Ini aneh, pikir lelaki itu. Dia terus saja melempar pertanyaan yang sebenarnya terbalik dengan kejadian yang sebenarnya, dan wanita itu terus saja membenarkan apa yang seharusnya salah.

Dan ini pertanyaan yang paling ditunggu.

“Neo, nugunya (siapa kamu)?” Kata itu akhinya terlontar dari mulut lelaki itu setelah melihat ekspresi wanita disampingnya saat hendak dicium, ekpresi itu sangat berbeda dengan ekspresi wanita yang bersamanya sebelumnya.

Bersambung.

Arrgh, padahal aku penasaran banget gimana rekasi si Yi Kyung asli yang jahat itu.

“Jana, cepetan turun makan,” teriak tante Anna dari bawah.

“Iiya, Tante,” aku langsung mematikan laptop dan mengubur sejenak rasa penasaranku dari drama korea yang baru setengah kutonton, Bride Of The Century, waktunya makan.

“Besok kamu diantar om ke sekolah, kabarnya sekolahnya pindah di jalan Gajah Mada soalnya yang di jalan Elang itu khusus buat SMA,” tutur tanteku setelah kami, aku, tante dan sepupuku menyantap makan siang kami diruang makan.

“Oh, gitu ya Tante, kira-kira jauh gak sekolahnya,” tanyaku yang baru beberapa hari tinggal di kota Semarang.

“Yah jadi lumayan jauh, karena kamu belum tahu jalan, jadi untuk beberapa hari kedepan biar Om Adi yang mengantar jemput kamu,” tambah tante Anna.

★★★★★★★★★★★★★★★★★★★

         Hari pertama sekolahku di salah satu SMK swasta di Semarang awalnya cukup membosankan, karena aku tidak punya teman, hanya aku yang lanjut sekolah disini sedangkan kebanyakan temanku lanjut di kota lain. Paling parahnya waktu MOS (Masa  Orientasi Siswa katanya, tapi isinya hanya senioritas belaka) aku paling banyak buat gara-gara, hampir semua yang terlibat MOS, termasuk satpam, kenal aku, si Renjana yang selalu telat, salah bawa perlengkapan, yang selalu berada dibarisan paling depan bersama beberapa anak yang tidak kalah bandelnya, berdiri sebagai contoh yang tidak baik dan dihukum, mulai dari lari keliling lapangan, menyanyi, menari dengan gaya aneh, dan yang paling menyebalkan adalah sekarang generasi di bawahku tidak lagi merasakan penderitaan yang sama karena dikeluarkannya peraturan pemerintah yang melarang kekerasan atau kontak fisik sewaktu MOS atau OSPEK, ini tidak adilll.

         Lima hari telah berlalu, pekan orientasi siswa hampir selesai. 3 hari lagi seluruh siswa benar-benar akan menyelesaikan pekan orientasi ini. Jumat siang, semua siswa berkumpul dilapangan sekolah membawa perlengkapan yang telah ditentukan sebelumnya. 3 hari terlahir akan kami habiskan dengan camp di pegunungan.

        Semua siswa berbaris sesuai kelompok masing-masing dan naik ke truk tentara, 2 jam perjalanan jauhnya lokasi camp dengan sekolah kami. Sesampainya disana, kami langsung berkumpul ditengah lapangan untuk mendengarkan arahan. Kemudian, seluruh siswa dibagi menjadi 3 kelompok besar, 2 kelompok putri dan 1 kelompok putra. Tidak seperti camp pada umumya, kami tidak tidur di tenda, melainkan di barak.

       Satu barak dapat memuat 50-75 siswa, barak pertama dan kedua akan dihuni oleh putri, sedangkan barak ketiga adalah barak untuk putra. Kami langsung menuju barak yang telah ditentukan, aku masuk dibarak pertama, aku mengambil tempat diujung barak, mengeluarkan semua perlengkapan. Ternyata kardus dan koran yang kami siapkan sebelumnya akan digunakan sebagai alas tidur. 

“Halo, tempat ini kosong ya?” tanya seorang gadis berambut lurus menunjuk tempat kosong disampingku.

“Sepertinya begitu,” jawabku, masih sambil menata kardus dan koran sebagai alas tidurku.

“Perkenalkan, namaku Irine, kamu?” tanya gadis itu lagi, kini tangannya telah terulur dihadapanku.

“Hai, namaku Renjana, salam kenal,” jawabku hangat dengan senyuman diwajahku saat menjabat tangannya.

 “Banyak banget barangmu Rin,” kataku membuka obrolan dengan teman pertamaku.

“Iya, mamaku yang suruh, katanya air disini gak bersih, jadi aku bawa air mineral sendiri, kalau kamu mau, kamu boleh ambil, asal jangan kamu kasih tahu ke teman-teman yang lain ya,” jelasnya, mataku lagsung tertuju pada tas yang berisi penuh air mineral 500ml dengan wajah terkagum-kagum, bisa ya, kepikiran bawa air minum sebanyak itu.

“Hallo guys, aku ambil tempat ini ya, kosong kan?” tiba-tiba nongol satu gadis lagi berbadan gemuk dan bertubuh pendek, hendak mengambil satu tempat kosong disebelah Irine.

        Suasana siang menjelang sore ini sangat ramai, dalam satu ruangan besar yang berisi 75 perempuan, ada yang mulai bercanda sana-sini, ada yang sok kenal sok akrab, bahkan sudah ada yang mulai curhat, dasar cewek. Baru-baru aku tahu nama gadis bertubuh pendek dan gempal itu, Ida namanya. Tidak butuh waktu yang lama, kami menjadi dekat dan akrab satu sama lain.

“Eh, kalian bosan gak sih? Jalan-jalan keluar yuk!” ajak Ida setelah kami selesai merapikan barang.

“Bosan! Yuk, jalan, sekalian lihat pemandangan diluar dan menghirup udara segar, bisa stres aku kalau dengar semua kekacauan diruangan ini,” teriakku, karena suasana dalam barak sudah diluar kendali, rame sekalii.

“Rin, mau gabung gak?” tanya Ida.

“Boleh,” jawab Irine dengan suara halusnya, sehalus sutra.

Kami berkeliling, sambil cerita asal-usul kami, sesekali bercanda. Lokasi camp ini indah sekali, dikelilingi oleh perkebunan strawberry dan berbagai sayur, bunga mawar tumbuh liar disini, meskipun sepertinya jauh dari pemukiman penduduk.

         Tempat ini dibangun di lereng gunung, jadi kami berjalan menurun, seperti kompleks kecil, bangunan paling atas  berjajar kamar-kamar yang menjadi tempat tinggal guru dan pembimbing selama pekan orientasi ini. Kemudian ditengahnya ada lapangan, tempat biasa kami berkumpul, disusul oleh barak-barak tempat kami beristirahat, lalu aula, setelah itu ada kamar mandi, dengan 65 kubikel khusus perempuan, dan ternyata dibagian bawah ada beberapa penjual yang menjajakan berbagai makanan, mirip kantin umum, walaupun tepat diatasnya ada gedung yang digunakan sebagai dapur.

“Laper nih, antar aku jajan dulu ya,” pinta Ida, yang bahkan belum kami jawab pun dia sudah meluncur. Sekejap saja, dia sudah membawa bungkusan siomay ditangan kanannya dan satu cup kopi ditangan kirinya.

“Kenapa kalian gak mau beli?” tanya Ida dengan mulut penuh siomay.

“Males,” jawabku asal-asalan.

“Gak lapar.” Jawab Irine jujur.

Kantin itu sudah ramai, terutama dengan siswa cowok, mereka bahkan sudah nongkrong dengan kelompok mereka. Aku, Irine dan Ida berjalan menuju pintu keluar, tak lama langkah Ida berhenti, entah kenapa.

“Kenapa kamu, Da?” tanyaku heran melihat Ida terbengong seketika, dengan mulut menganga. Tak mendapat jawaban darinya, akupun mengikuti arah pandangannya yang tertuju pada gerombolan siswa disamping pintu keluar.

“Dia emang udah populer sejak SMP, banyak cewek naksir sama dia tapi dia orangnya pilih-pilih,” jelas Irine pada Ida.

“Kok kamu tahu?” tanyaku dan Ida bersamaan.

“Iyalah, aku kan satu SMP sama dia, namanya Ardito,” tambah Irine memperjelas informasi.

“Bisa gak, kamu kenalin aku sama dia?” pinta Ida dengan muka berharap.

“Maaf, gak bisa,” kata Irine lalu beranjak pergi meninggalkanku dan Ida.

Ida pun langsung ngikut, sesaat ku lihat Ida melempar senyum ke arah Dito, tapi Dito tidak menyadarinya, karena asyik ngobrol sama teman-temannya.

★★★★★★★★★★★★★★★★★★★

 “Udah sore nih, mandi yuk,” ajak Ida.

 Ketika mendengar kata mandi, aku teringat bahwa kamar mandi yang tersedia adalah kamar mandi bekas kandang kuda dengan bentuk yang menyerupai tempat makan kuda, jadi ada sekitar 65 kubikel dengan 1 bak yang saling terhubung dan ketika lalai mungkin ada teman yang mengintip. Deskripsi panjang tentang kamar mandi kuda itu berputar di kepalaku, dan membuatku malas buat mandi apalagi cuaca dingin yang semakin membuatku malas mandi.

“Ih, malas ah, kalo ada kamar mandi lain baru aku mau,” jawabku ogah-ogahan.

“Ada kok kamar mandi lain, tuh dipojok, pinggir sungai bawah pohon bambu, ada dua kamar mandi disana, daripada kita antri, kita ke sana saja?” tunjuk Ida kearah bangunan tua dibawah rimbunan bambu nun jauh disana.

“Okelah, tapi yang di depan kamu ya Da, kamu kan paling berani,” kata Irine agak ngeri liat bangunan tua itu.

“Monkey, eh maksudku kemon,” kata Ida berjalan dengan semangat 45.

Agak jauh juga tempatnya, padahal tadi waktu dilihat kayaknya dekat setelah jalan jauh juga.

“Eh, gak jadi deh, mending kita gak usah mandi,” seru Irine sambil lari terbirit-birit balik kearah barak.

“Kenapa kamu Rin?” tanyaku yang dari tadi jalan di depan dia, tapi anak itu keburu kabur.

Kamipun gak jadi mandi di situ, karena kata Irine yang konon bisa liat “hantu”, di bawah bambu itu ada penunggunya. Kami pun bergidik ngeri dan ikut lari.

“Tapi nanti malam ada acara di aula, kasihan dong, teman yang duduk disebelah Jana,” celetuk Ida, setelah kami berlari cukup jauh dari kamar mandi bawah pohon bambu.

“Emang kenapa?” timpalku penasaran.

“Pingsan gara-gara kamu bau! Hahaha,” katanya sambil ketawa lebar-lebar.

“Kampret kamu ya Da, mendingan absen mandi sekali daripada mandi di kandang kuda?” umpatku.

“Kita mandi di kamar mandi cowok aja yuk, kan cowoknya dikit pasti mereka sudah selesai mandi,” saran Irine tiba-tiba.

“Hah? Gila kamu! Kamu mau mandi bareng buaya-buaya itu?” tanyaku heran dengan pemikiran Irine, meskipun tampangnya polos tapi ternyata, ckckckck.

“Lebih baik mandi sama buaya daripada sama hantu!” bela Irine yang bergidik ngeri membayangkan mandi dikamar mandi pojok, bawah pohon bambu.

“Ide cemerlang!” kata Ida mengangkat jari telunjuknya di samping kepala, mirip orang yang sudah memecahkan soal matematika yang paling rumit sambil tersenyum picik.

“Cemerlang apanya? Kalau ketahuan guru atau pembimbing bisa gawat urusannya,” cegahku, berharap dua sohib yang baru ku temui semasa MOS ini berubah pikiran. Telat, mereka udah jalan duluan, mau gak mau ya aku ikut.

 Kami bertiga berjalan menuju kamar mandi cowok, membawa alat tempur, eh, maksudku alat mandi yang sedari tadi kami tenteng kemana-mana, kami berjalan celingak-celinguk berharap tidak ada guru atau pengawas yang memergoki kami. 

Tiba-tiba…

“Woy kalian mau kemana?” kata Imelda mengagetkan kami.

“Setan alas,” teriakku kaget, “aku kira guru, hmmmm kami mau ke…” kataku bingung mau jawab bagaimana.

“Kami mau mandi ke kamar mandi cowok, mau gabung?” kata Ida seolah-olah itu adalah hal yang patut dibanggakan.

“Kebetulan, ikut! Aku ogah mandi di kamar mandi cewek, mandinya lama, tadinya aku mau ke kamar mandi yang ada di ujung sana,” kata Imelda menceritakan kisah tragisnya yang gak kebagian kamar mandi.

Melanjutkan misi, kami berjalan mengendap-endap dan celingak-celinguk ke kamar mandi cowok, layaknya maling ayam.

 “Aaaaaaa,” teriak Irine, sontak kami berhenti celingak-celinguk dan mata kami menatap sesosok manusia tanpa baju.

“Wow!” celetuk Ida tanpa sadar, tanganku refleks menutup mulut Ida sebelum dia mengatakan sesuatu yang akan disesalinya di masa depan.

Ardito Candhra Wijaya, berdiri di depan kami, tanpa baju. Dia hanya mengenakan boxer hitam sepaha, handuk tersampir di bahunya dan menenteng peralatan mandi. 

“Kalian mau kemana?” tanya Dito dengan santai berdiri didepan kami, kami bisa dengan leluasa meilhat dadanya yang bidang dan badannya yang tinggi tegap itu.

“Mau numpang mandi,” jawab Imelda santai.

“Dimana?” kata Dito lagi tanpa perasaan bersalah telah membuat mata kami terkontaminasi.

“Ya di kamar mandi cowok lah!” kataku jengkel, langsung mendorong Ida menjauh dari Dito sebelum kewarasannya hilang, diikuti oleh Irine dan Imelda.

       Sesampainya di kamar mandi cowok, kami lebih waspada, membuka semua pintu kamar mandi, mengecek apakah masih ada makhluk serupa Dito di dalamnya, aman, sudah kosong. Setidaknya kamar mandi cowok lebih baik daripada kamar mandi cewek. Tempatnya tertutup, dan jauh dari bangunan lain, meskipun hanya ada 5 kamar mandi didalamnya, namun kami tidak melihat antrian seperti milik cewek.

“Enak ya jadi cowok, gak perlu mandi lama-lama, gak perlu antri, satu jam sudah pada selesai, patut jadi contoh,” pidato Imelda panjang lebar. Kami pun masuk bergantian, karena ada yang harus berjaga. Aku dan Ida masuk duluan, sedangkan Irine dan Imelda berjaga diluar.

★★★★★★★★★★★★★★★★★★★

         Malam pertama kami camp, kami diminta untuk berkumpul di aula, Dito duduk dibelakang kami agak jauh, biasa lah gula, ia dikeroyok semut-semut alias para cewek. Diam-diam ku perhatikan dia, anak ini ganteng juga, pikirku, mirip-mirip Lee Minho artis korea itu.

         Secara tak sadar aku melihatnya sambil senyum-senyum sendiri. Aula tempat kami berkumpul tak jauh berbeda dengan barak yang menjadi tempat kami tidur. Bangunan tua, berlantai semen halus, beratapkan seng yang membuat udara sedikit panas, dengan panggung didepan, tempat MC mengarahkan acara, dan semua siswa duduk lesehan didepannya menghadap panggung. Suasana malam yang biasanya sepi ditempat ini, menjadi riuh ramai karena acara dari sekolah kami. Bayangkan saja, dari 350 siswa, sekolah ini di dominasi oleh perempuan, terbayang betapa ramainya, pasar kliwon.

“Mbah, mbak kalau aku ada salah, aku minta maaf ya,” kata Irine menghancurkan impian indahku.

“Apaan sih Rin, kamu gak salah kenapa harus minta maaf? Terus kamu panggil aku apa? Mbah?” tanyaku heran dengan kata-kata Irine yang mendadak memanggilku mbah, bukankah kita seumuran?

“please, jangan rasukin Jana, kasian dia mbah tanpa dirasukin aja dia sudah gila, jangan mbah tambah lagi,” kata Irine dengan nada memohon.

“Iya mbah rasukin yang lain aja, yang lebih waras,” tambah Ida cekikikan.

“Kalian apaan sih, rasukin apanya? Kalian pikir aku kerasukan roh nenek moyang apa?” suaraku mulai meninggi, beberapa orang yang duduk di dekatku mulai menoleh dengan muka tersinggung. Situ saja rame, rame gosip, aku tidak peduli dengan tatapan tajam mereka.

“Habisnya kamu dari tadi senyam-senyum gak jelas, ya siapa tahu kan, kamu kerasukan kunti,” tandas Ida masih dengan cekikikan khasnya, yang lebih mirip tikus tercekik daripada suara manusia, tidak beradab.

“Sembarangan! Aku masih waras kok! Gak seratus persen sih, hahahaha,” aku menertawai diri sendiri yang kadang-kadang agak gilaa juga, sambil mendorong kepala Ida, yang punya kepala malah nyengir.

         Ini nih, kerjaan kami kalau bosan mengikuti sesi, Ida masih mending, karena setidaknya dia masih memiliki sedikit hiburan, dia nggak bosan-bosan lihat si Ardito yang kayak pangeran buatnya itu, Irine sih kadang bikin aku ngeri, gimana enggak, wong waktu kami baru enak-enak jalan sambil ngemil tiba-tiba dia bilang,

“Sshhtt pelan-pelan, jalannya agak nunduk,” sambil nunduk-nunduk hormat.

“Emang kenapa Rin?” tanya Ida, di awal kami bersahabat dengan Irine dan belum tahu penyakit Irine yang satu itu.

“Jalan persis di samping kamu ada penunggunya,” kata Irine setengah berbisik dan matanya menunjuk ke arah jalan ketapak di samping Ida.

Bukannya nunduk aku sama Ida langsung lari ninggalin Irine yang berjalan hormat sambil nunduk-nunduk nggak jelas. Bukan waktu jalan saja, kadang waktu di aula saat sesi sedang berlangsung, tiba-tiba Irine bilang kalau di sebelah narator itu ada pocong atau nonik belanda, yah, aku kan sama Ida jadi agak parno dekat sama dia, apalagi kalau Irine bilang hantunya ada didekat kami, kami langsung lari kayak pacuan kuda. Padahal aku sama Ida sama sekali gak bisa lihat apa-apa, tapi takut juga kalau tiap hari dengar hal seperti itu, lebih baik gak usah dikasih tahu.

         Awalnya aku sama Ida gak percaya sama yang begituan, waktu kami mau ambil piring di barak Irine bilang kalau ada yang memperhatikan aku dari atas, terus kubilang

“Ah, Rin kayak gituan tuh gak usah dipercaya,” kataku tak percaya,  “kita sudah hidup dijaman apa, kamu masih saja percaya sama tahayul, itu mah, cerita biar anak-anak pada takut,” selesai aku bebicara seperti itu, barak yang sudah sepi karena semua berkumpul di lapangan, pagi yang mendung membuat barak terasa lembab dan remang-remang, suasana makin seram, tiba-tiba semua barang yang ada disitu jatuh, entah itu tas, tempat makan yang ditumpuk, bahkan botol-botol bergelindingan. Sontak kami bertiga lari dari barak, sampe si Ida larinya jatuh bangun, kami kumpul di lapangan dengan terengah-engah yang menarik perhatian beberapa orang yang baris didekat kami.

“Ada apa?” tanya Nina yang kebetulan berdiri disampingku.

“Ada hantu dibarak! Semua barang jatuh,” jawabku sambil mengatur nafas.

Eh Nina malah tertawa, tapi emang ajaib tuh setan, setelah kami balik semua barang rapi, layaknya tidak terjadi apa-apa, padahal sebelumnya seperti kapal pecah, sejak kejadian itu aku dan Ida tidak pernah meragukan Irine, si anak Indigo.

★★★★★★★★★★★★★★★★★★★

“Duuh panasnya, ngapain sih panas-panas gini kita di kumpulin ditengah lapangan,” keluh Ida.

“Buat jemur kamu, Da, kamu kan putih jadi biar agak item dikit, biar eksotis gitu, sawo matang,” jawabku bercanda.

“Ih, kalau sepanas ini bukan sawo matang lagi jadinya, tapi sawo busuk,” timpalnya dan kami pun tertawa tertahan, Irine mah anaknya manut-manut aja, disuruh A ya ngelakuin A, manis benar anak itu, tidak se-bar-bar diriku apalagi Ida.

“Yakk, para siswa mohon tenang, tujuan kita berkumpul di tengah lapangan pada jam yang seharusnya kalian enak-enakan tidur siang kali ini adalah games yang akan menambah hal-hal positif untuk kepribadian kalian, saya akan memimpin semua games dan akan memberikan arahan, mengerti?” suara keras pak Hadi lantang melalui pengeras suara, dia berdiri di tepi lapangan yang masih terlindungi oleh rindangnya pohon, sedangkan kami semua terjemur bak ikan asin di teriknya matahari.

“Permainan apa yang memberi nilai positif, bukankah semua permainan sama saja?” tukas Ida.

“Udah ikutin saja, sehari lagi selesai kok,” kata Irine menenangkan kegelisahan Ida.

         Permainan pertama mengharuskan kami mencari orang sejumlah yang di sebutkan oleh pembimbing, yang membuat semua orang berhamburan lari ke sana-kemari mencari pasangan, entah 2 orang, 3 orang bahkan sampai 10 orang.

         Lapangan yang menjadi tempat pijakan kami bukan terbuat dari semen yang kokoh melainkan masih alami, yakni debu tanah, tengah hari, matahari tepat di atas kepala, musim kemarau, ditambah debu yang beterbangan ke segala arah, sempurna. Ada 4 jenis permainan kelompok yang telah kami mainkan, dan permainan terakhir mengharuskan kami mengenal pribadi, dimana kami harus menulis nama dan hobi siswa lain yang berbeda jurusan.

“Wahh, kesempatan nih,” ucap Ida menghapiriku dan Irine setelah sempat terpisah karena permainan jahanam itu. 

“Kamu, masih hidup saja itu kesempatan banget ya,” jawabku sambil beberapa kali bersin-bersin.

“Kalian mau menemani aku menjalankan misi terakhir dari pak Hadi gak?” katanya secerah matahari, padahal tadi ngeluh.

“Maksud kamu?” tukasku lagi.

“Mencari Dito, dan ngajak dia kencan, eh, kenalan maksudku,” kata Ida dengan percaya dirinya.

Serempak aku dan Irine menjawab “Ogah!”

        Kami pun berpencar karena memiliki visi dan misi yang berbeda. Ida mencari pangeran kodoknya, Irine yang udah ngacir entah kemana, akupun lari sana sini cari kenalan, di SMK kami kebanyakan muridnya cewek, cowoknya langka bahkan hampir punah. Sehingga cowok model teri pun masih laku disini.

 Aku berjalan mendekati kerumunan yang paling ramai, dengan jalan yang tidak mudah tentunya, terjal, senggol sana sini, jatuh, berdiri lagi, bagaikan berdiri di tengah badai yang bergelora. Akhirnya setelah perjalanan dari ujung ke ujung aku mampu menembus kerumunan itu.

“Oh, Dito” gumamku melihat cowok yang berdiri di ujung lapangan dan dikerumuni oleh semut-semut seabrek, sampai aku harus jatuh bangun, hanya demi melihat dia, Dito! “Tidak ada yang menarik,” kataku pelan dan beranjak untuk pergi dari tempat yang gerah itu.

“Kamu, heh, kamu !!!” panggil seseorang di belakangku.

Akupun menoleh dengan wajah yang masih kusut.

“Emmm, iya,” Kataku menoleh ke belakang dan melihat semua orang menatapku, aku bingung, siapa tadi yang memanggilku, kok semua orang melihat ke arahku dengan tatapan sinis begitu, apa salah dan dosa-dosaku, sehingga pantas diperlakukan begini.

“Kamu yang waktu MOS sering telat, kamu yang pake name tag berbentuk suntikan besar itu kan?” ucap seseorang dibalik name tag “Dito”, tapi anehnya kok dia mengingat waktu MOS sih, aku saja sudah lupa entah pelanggaran apa yang aku buat selama MOS, cuma satu yang kuingat yaitu masalah suntikan gedhe itu, duuh malunya.

“Iya kenapa?” tanyaku ragu, karena semut-semut itu memandangku dengan tatapan membunuh.

“Namaku Dito, kamu?” Katanya sambil mengulurkan tangan dan senyum tipis terukir diwajahnya yang tampan itu.

“Hah, oh, eh, Jana, Renjana,” kataku sambil ber-ah-oh ria mirip sapi oon, sampai-sampai nama sendiri aja lupa.

“Jana,” ulangnya seakan nama itu asing bagi telinga seorang Dito, “apa hobimu?” tanyanya lebih lanjut.

“Emang disuruh tulis hobi ya?” Kataku tiba-tiba linglung dengan setiap misi mulia dari pak Hadi.

“Iyalah kamu gak dengar kata pembimbing tadi, kita disuruh tanya nama dan hobi,” jawab salah satu semut, menyebalkan!

“Oh, begitu ya, hobiku menulis dan menggambar, kalau kamu?” Kataku menjawab pertanyaan Dito dan bertanya kembali, mampus kalian para semut-semuuuttt.

“Kamu suka gambar apa?” tanyanya lagi tanpa menghiraukan semut-semut yang kepanasan itu.

“Kartun, anime,” jawabku bangga, dapat mengalahkan puluhan bahkan ratusan semut yang dari tadi antri.

“Waah, keren bisa jadi animator dong kamu, kalau aku sih suka nge-trip, salam kenal ya, kapan-kapan boleh dong jalan bareng,” katanya sambil bersalaman denganku dan dia tersenyum yang membuat matanya yang sipit itu semakin sipit, aku mendapat julukan baru buatnya si “mata sipit segaris”. Mampus kalian semut-semut pasti kalian lebih memilih ke neraka daripada melihat kejadian ini, mereka tampak sangat gerah.

“Jan, kamu darimana saja sih dari tadi aku cari-cari?” teriak Ida mengagetkanku, dia muncul dari tengah lapangan.

“Kurang satu nih,” jawabku mulai lelah, setelah berkenalan dengan Dito, rasanya aku sudah malas berjalan mencari yang lain, aku hanya diam disalah satu sudut lapangan menatap kosong keramaian, sedangkan Dito lanjut menjawab pertanyaan dari semut-semut lain.

“Ayo, aku kenalkan sama teman,” ujar Irine yang juga tiba-tiba nongol entah dari mana sambil menarik tanganku ke hadapan dua orang cowok.

“Tuh, pilih salah satu,” katanya lagi.

“Pilih? Gaya kamu Rin, kayak emak-emak jualan kacang dipasar,” candaku.

Yang satu hitam, pendek, yang satunya lagi putih, tinggi. Ya, jelas aku memilih yang putih dan tingggi lah, begini-begini, aku jagonya memilih.

Aku mengulurkan tanganku, tersenyum sambil bertanya” Hai, aku Renjana, kamu?”

     Dengan angkuh dan sombongnya cowok itu menunjuk name tag yang terpasang di bajunya, “sombong sekali” pikirku, lalu kutulis namanya dengan menekan kuat-kuat pena yang ku pegang.

“Baru satu minggu hidup disini sudah banyak bertemu orang dengan kesombongan tingkat dewa,” gumamku kesal.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status