Jazz tidak merasa memesan makanan atau apapun, seharusnya tidak akan ada kurir yang datang mengantarkan paket. Begitu pintu dibuka, betapa terkejutnya ia saat melihat ada sosok familiar berdiri di hadapannya.
"Baron?" tanyanya terbata, masih tidak yakin kalau laki-laki berkaos abu itu dia. "Loh, Zara?" Tentu dia sama terkejutnya dengan Jazz, dia tak menyangka kalau orang yang membuat kegaduhan di sebelah apartemennya adalah klien rental pacar kemarin. "Sedang apa kamu disini?" "Aku yang seharusnya tanya, kamu sedang apa sampai begitu berisik?" "Ini apartemenku," "Oh ya? Itu juga apartemenku, aku tinggal disini," ucap Baron menunjuk ke pintu tepat di belakang ia berdiri. Keduanya tertawa. Jazz membuka pintu lebih lebar membiarkan laki-laki itu masuk, menyambut tetangga barunya. Sudah tiga bulan room depan apartemennya kosong setelah pemilik sebelumnya pindah. Kemarin memang terdengar suara gesekan barang seperti layaknya pindahan. Dia tak mengira kalau tetangga barunya kini adalah Baron. Baron tercengang melihat isi apartemen yang berantakan. "Kenapa? Ada gempa?" "Lebih dari itu, baru saja terjadi badai." Laki-laki itu tergelak, dia mengamati puing-puing pecahan barang hasil amukan seseorang, lalu mengangkat sebuah foto robek. "Someone hurt you?" Jazz mendengus. Ia merebut apa yang laki-laki itu pegang, kemudian merobeknya menjadi kepingan lebih kecil. "I'm upset. Rasanya ingin makan orang!" "Then, eat me now," ucap Baron menggoda perempuan yang sedang di berada di puncak kekesalan. Ia mengangkat sebelah alisnya, melihat laki-laki yang sedang memandangnya dengan tatapan menantang. "You dare?" Satu hal buruk yang dimiliki Jazz, dia suka menggigit saat sedang tantrum. Pengendalian emosi yang buruk plus luapan amarah akan mengejutkan orang yang berada di dekatnya. Bagai anjing, dia akan menyerang dengan menggigit. Diluar dugaan, Jazz mengambil lengan kiri Baron lalu menggigiti bagai anjing menemukan sepotong tulang iga. Laki-laki itu terkejut tapi memilih diam, merasakan sensasi basah dan sedikit sakit yang dibuat perempuan itu. Denyut-denyut menggelikan tapi menyenangkan. "Gigit aku sesukamu." Jazz heran, ada yang aneh dari laki-laki ini. Seharusnya marah lalu merasa jijik, mengapa dia justru membuka diri dan menikmati? Ia menghentikan aksinya, menatap Baron heran dengan sedikit menganga. Baron merapatkan bibir Jazz lalu mengelap liur yang menempel berantakan di wajah perempuan itu, menggunakan sapuan telunjuknya. "Jadi begini caramu meluapkan emosi?" "Kamu tidak mengelak?" "Aku menyukainya, gemas." "Jadi, aku boleh menggigitmu lagi?" Baron menangkap puppy eye di hadapannya. Mata yang membesar lembut dalam wajah yang lugu. "Aku suka saat kamu menggigitku. Aku suka rasanya sakit dan manis bersamaan." Jazz tersenyum, matanya berbinar penuh hasrat. Dia merapatkan diri, duduk di pangkuan Baron. "Aku juga suka merasakan gigitan yang tenggelam di dalam kulitmu. Boleh aku menggigitmu di leher?" "Bite me. Make me feel the pain and pleasure at the same time..." Tanpa keraguan, Jazz membuka kemeja Baron lalu melucuti kancingnya. Ia siap untuk kembali menyerang. Membuat kecupan, menyesap lembut, kemudian giginya menggigit kulit leher lelaki dihadapannya dengan buas. "Argh..." Baron mengerang, tubuhnya sedikit melengkung ke belakang saat merasakan kesenangan yang intens. Lima belas menit berlalu, hasrat dan nafsu memburu saling membaur dalam desah dan nafas. Jazz menghentikan gigitannya, dia harus berhenti sebelum menjadi tak terkendali. "It's done," kata perempuan itu dengan nafas terengah. "Bahaya kalau lanjut." Baron kaget sekaligus tertawa, perempuan itu menghentikan aksinya secara mendadak saat ia sedang berada di puncak nyaman. Wajahnya sudah sangat merah. Tiba-tiba lehernya terasa perih, Baron tak sadar kalau Jazz membuat banyak bite mark di leher sampai ke dada atas. "Kamu nakal. How should i punish you?" ucapnya sambil melihat bekas-bekas gigitan berwarna merah dan ungu di cermin. Jazz tersenyum puas, memandangi bekas gigitannya di tubuh laki-laki itu. "Kamu tidak boleh menyalahkanku, kamu menikmatinya kan?" "Hmm... sepertinya aku punya odaxelagnia." "Odaxelagnia?" Jazz mengerutkan dahi. "Apa itu?" "Fetish terhadap gigitan, tertarik secara seksual saat digigit atau menggigit." "Dasar orang aneh," "Orang aneh?" Baron memicingkan mata, lalu mendengus. "Bukankah kamu juga fetish menggigit? "Eh, itu... bukan. Agresi impulsif, aku melakukannya secara spontan jika kesal atau marah saja. Sama seperti orang yang membanting barang jika emosi, akan puas jika sudah dilampiaskan." "Cih, tempramen yang buruk. I get it now, that's why you're still single," ucap Baron menoyor dahi Jazz. Cukup masuk akal juga, laki-laki normalnya pasti akan takut menghadapi kebiasaan menggigit. Dulu Sam sering marah bahkan menamparnya atas perilaku agresi impulsif itu. Maka untuk melampiaskannya Jazz akan menggigit es batu atau menggigit bantal. Jazz suka menggigit, Baron suka digigit. Combo unik yang membuat kisah keduanya jadi sangat menarik. ***Jazz masih terbayang senyum misterius Oliver. Senyum yang menyimpan rahasia gelap, senyum yang membuatnya merasa tertarik dan takut. Dia memeluk boneka anak perempuan yang diberikan Oliver, tanpa ada perasaan aneh atau curiga. Mata boneka itu bercahaya, memancarkan sinar merah seperti lampu. Jazz terkejut, menjatuhkan boneka itu ke bawah, tepat di ujung sepatunya. Boneka itu bergetar, mengeluarkan suara mendesis.Tiba-tiba sebuah tangan meraih boneka itu, lalu melemparkannya ke taman. Dalam hitungan detik, ledakan dahsyat mengguncang rumah Oliver, api dan asap hitam membubung tinggi.Jazz terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Apa... apa itu?" tanyanya, suaranya bergetar."Bom," jawab Baron singkat, matanya menatap rumah Oliver dengan penuh kebencian. "Oliver... dia kakak Hans."Tubuh Jazz seketika bergetar. Ia tak menyangka kalau kedua pria itu memiliki relasi satu sama lain. Hans, pria psikopat itu... bekerjasama dengan Oliver untuk menjebaknya. Sepertinya
Flamboyan Residence, nomor tiga puluh sembilan. Jazz menatap alamat yang tertera di handphone nya, jantungnya berdebar kencang. Rumah mewah bergaya american klasik itu berdiri kokoh di hadapannya, dikelilingi taman yang luas dan terawat rapi. Beberapa mobil mewah terparkir di halaman, Porsche, Bentley, dan Range Rover.Dia tak mengira kalau Karina memberikan pekerjaan level VIP. Perempuan itu melakukannya tanpa izin, padahal Jazz selalu menolak menerima pekerjaan klien level tersebut. Ini kali pertamanya, dan Jazz merasa gugup. "Oliver," gumamnya, mencoba mengingat nama kliennya. "34 tahun, pengusaha sukses, dan... pelukis?"Karina telah memberinya arahan singkat: satu hari penuh kencan, paket VIP senilai 15 juta rupiah. Jazz menelan ludah, membayangkan apa yang akan terjadi di dalam sana. Klien VIP bersedia membayar mahal bahkan tak pelit memberi bonus, tapi keinginan mereka pasti mendapatkan layanan kontak fisik plus plus. Dengan langkah ragu, Jazz menekan bel pintu. Pintu terbuk
Baron menatap kepergian Jazz dengan perasaan bersalah. Dia menoleh ke arah Karina, wajahnya berubah serius. "Apa yang kamu lakukan padanya?" Karina mengangkat bahunya. "Aku hanya memberikan surat peringatan. Dia tidak profesional. Dia tidak menjalankan tugasnya." "Kamu tidak seharusnya bersikap seperti itu. Kamu seharusnya lebih peduli dengan keamanannya, bukan hanya keuntungan agensi." "Keamanan? Dia hanya trauma, Baron. Itu bukan alasan untuk tidak bekerja." "Trauma itu bukan hal yang sepele, Karina. Kamu tidak mengerti. Dia membutuhkan waktu untuk pulih." "Pulih? Dia sudah punya waktu dua minggu, Baron. Itu lebih dari cukup," balas Karina, suaranya meninggi. "Kita bukan panti rehabilitasi, kita agensi profesional. Kita punya klien yang harus dilayani." "Tapi, kita juga punya tanggung jawab terhadap talent. Kita tidak bisa memperlakukan mereka seperti robot. Mereka punya perasaan, mereka punya batasan." "Batasan? Jazz yang membuat batasannya sendiri, Baron. Dia yang me
Kotak masuk email Jazz berkedip, menampilkan pesan baru dari Karina. Jantungnya berdebar kencang, firasatnya berubah buruk. Surat peringatan. Dua minggu absen tanpa kabar. Dua minggu menolak setiap tawaran pekerjaan pacar rental. Karina tidak main-main. "Jazz, kau melanggar kontrak, kau tidak profesional. Kau mengecewakan agensi. Segera datang ke kantor, atau aku akan mengambil tindakan lebih lanjut." Jazz menghela nafas panjang, menatap layar laptopnya dengan nanar. Dia tahu, ini tidak bisa dihindari. Dia harus menghadapi Karina. Dia harus menjelaskan semuanya. Tapi bagaimana dia bisa menjelaskan ketakutannya? Bagaimana dia bisa menjelaskan trauma yang masih menghantuinya? Langkah Jazz terasa berat saat menyusuri lorong kantor Faux Love. Dinding-dinding putih yang biasanya tampak cerah, kini terasa dingin dan mengintimidasi. Setiap pasang mata yang menatapnya seolah menuduh, menghakimi. Jazz merasa seperti terdakwa yang akan segera dijatuhi hukuman. Padahal, dia sama sekali tida
"Gue menginap disini ya, Jazz!" Malam semakin larut, dan Sena memutuskan untuk menginap di apartemen Jazz. Mereka berbaring di tempat tidur, bersiap untuk tidur. Namun, Sena masih belum berhenti menceritakan perasaannya pada Joshua. Ia terus mengoceh tentang betapa sempurnanya Joshua, betapa romantisnya Joshua, dan betapa bahagianya ia saat bersama Joshua. Jazz mendengarkan dengan sabar, sesekali memberikan komentar singkat. Namun, ia mulai merasa lelah dan ingin segera tidur. Akhirnya, ia menutup telinganya dengan bantal, berpura-pura sedang mendengarkan musik. Sena, yang tidak menyadari keengganan Jazz, terus bercerita dengan semangat. Ia mengeluarkan handphone miliknya dan membuka akun media sosial Joshua. "Lihat ini, Jazz!" serunya, menunjukkan layar ponselnya. "Dia keren kan?" Jazz hanya bergumam pelan, masih berpura-pura tidak mendengar. Sena melanjutkan, "Dan lihat ini, Jazz! Dadanya bidang, lekukan ototnya padat, bayangkan jika bisa memeluknya setiap hari. Kyaaaa.... "
Silau yang mengintip dari jendela kamar, membuat Jazz terbangun. Bingung, ia mengerjapkan matanya untuk menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang masuk. Ia terkejut mendapati dirinya tidur di antara Baron dan Simon. Ia tidur di lengan Simon, namun tangan Baron juga melingkar posesif di pinggangnya. Ia lupa sejenak bahwa semalam mereka bertiga tidur bersama. Saat ingatannya kembali, Jazz merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia merasa aneh dan malu, namun ada sensasi geli yang tak bisa ia pungkiri. Ia menggerakkan tubuhnya perlahan, mencoba melepaskan diri dari pelukan mereka tanpa membangunkan keduanya. Namun, pergerakannya membangunkan Baron. Pria itu membuka matanya, menatap Jazz dengan senyum hangat. "Selamat pagi, sayang," bisiknya, lalu mencium bibir Jazz sekilas. Jazz tersentak, terkejut dengan ciuman tiba-tiba itu. Ia menatap Baron dengan bingung, lalu melirik ke arah Simon yang menggeliat, baru bangun tidur. Jazz tampak canggung dan salah tingkah. Baron, yang menyadari p