"Aku sangat puas dengan kamu, bagaimana kalau extend satu minggu lagi?" ucap seorang lelaki sambil memegang tangan perempuan di hadapannya.
"Makasih, tapi seminggu ke depan jadwal aku full. Kamu bisa tanya agency ya kapan free time nya aku..." "Pasti, aku pasti akan menghubungi kamu lagi!" "Iya, kutunggu. Terima kasih Reno sudah pakai jasa sewa pacar di Faux Love. Nanti kasih aku bintang lima ya di aplikasi. See you..." Perempuan itu mengecup pipi laki-laki yang duduk di depannya. Mereka baru selesai makan siang bersama, tapi harus berpisah karena jam rental sudah habis. Kisah kasih antara talent dan klien yang disatukan oleh Faux Love Agency sedang menjadi topik hot di sosial media. Muda-mudi kesepian yang ingin merasakan sensasi berpacaran bisa menyewa pacar di agensi tersebut. Tidak hanya pacar, tapi ada juga sewa teman curhat online. Hanya menginstal sebuah aplikasi, masalah sepi hati mudah teratasi. Adalah Jazz, salah satu pilihan talent terbaik yang sering dipilih sebagai pacar sewaan. Penilaian ratingnya sempurna bintang lima, bahkan sudah memiliki daftar waiting list klien sampai akhir tahun. "Dia baik, senyumnya manis dan suaranya bagus." "Mirip personil girlband korea!" "Suaranya manja, bikin kangen. Dia juga baik membantu mengerjakan skripsi aku." "Sudah empat kali repeat sewa, aku rasa aku memang jatuh cinta dengannya..." Begitulah beberapa testimoni klien untuk talent Jazz yang sekarang berada pada level superstar. Semua ramai memperbincangkannya, berebut ingin menjadikannya sebagai pacar walau hanya sewa. Ada beberapa pilihan paket kencan yang bisa dipilih. Standar, premium, dan VIP. Untuk paket standar mulai dari dua ratus ribu sampai satu juta rupiah per delapan jam. Premium berkisar dua sampai lima juta per dua belas jam. Paket VIP mulai sepuluh sampai dua puluh juta per dua puluh empat jam. Beda level paket, beda juga kualitas talent nya. Jazz menjadi talent untuk paket standard dan premium, dia menolak masuk VIP karena klien level itu kebanyakan om-om binal haus belaian. Dia lebih suka bicara dan bergaul dengan klien sebaya atau beberapa tahun lebih tua saja. Paket kencan standar, biaya sewa lima ratus ribu per hari. Boleh juga, lebih hemat setengah harga dari biaya sewa dirinya. Talent dengan range harga segitu biasanya kategori rising star, masih baru bergabung alias minim pengalaman tapi punya potensi jadi superstar lebih cepat. Tahukah, alasan Jazz bersedia menjadi talent karena dia bosan dalam hubungan resmi. Dia tidak suka rutinitas pacaran yang monoton. Semakin lama waktu pacaran pun cenderung menurunkan indeks kepuasan dan kualitas hubungan. Skala getaran dag-dig-dug hilang, lama-lama jadi mati rasa. Itu kesimpulan yang ditarik berdasarkan pengalaman empat kali pacaran. Ada kalanya ia merasa kebutuhan hati perlu terpenuhi. Hampir tiap hari jalan dengan berbeda laki-laki, tapi klien tetaplah klien, profesional kerja dilarang melibatkan perasaan. Laki-laki tampan dan kaya itu sudah biasa, tapi sudah satu tahun bekerja masih belum ada talent yang mencubit hatinya. "Gue nggak tahu apa yang bahkan gue mau," ujar Jazz dengan kepala tertunduk di meja. Dia bilang kepalanya berat karena semalaman harus menemani curhat online klien yang susah move on dari mantan. "Kenapa lo nggak sewa pacar aja di Faux Love?" sahut Sena, teman kampusnya yang tidak tahu kalau perempuan dihadapannya itu seorang talent rental pacar. "Sewa pacar ya? Hmm..." Jazz itu hanya nick saat ia menjadi talent, nama aslinya Zara. Dia memesan pacar sewa di Faux Love menggunakan nama Zara. Dibalik popularitas nama Jazz, seorang Zara hanyalah perempuan biasa berusia dua puluh satu tahun, yang sedang kuliah semester akhir ilmu komunikasi. Bukan sparkling and shining girl yang dikagumi banyak orang, benar-benar sederhana dan anti sosial. Sekarang dia sedang berpikir, mempertimbangkan untuk menyewa pacar dari agensi yang sama tempat ia bekerja. Ada beberapa agensi rental pacar yang sudah beroperasi, tapi Faux Love lah pioneer yang sejauh ini kredibilitasnya terbaik. Kualitas talent nya sudah tersertifikasi dari fisik, otak, dan attitude. Sudah teruji layak untuk menjadi pasangan. "Faux love, tolong carikan saya talent yang punya senyum manis dan ramah..." ucap Jazz pada personal assistant Ai di aplikasi Faux Love. Tidak perlu memakai keyword ganteng atau tampan, itu sudah jadi standar mutlak agensi. Kurang dari satu menit, mesin pencari pun memunculkan database talent-talent sesuai kriteria calon klien. Perempuan itu memakai kacamata minusnya, memperbesar foto mereka, lalu mengangguk-angguk. Dia sudah menemukan talent yang siap disewa sebagai pacar. "Alright, i pick you, Baron!" Jazz ingin segera bertemu dengan pacar sewanya. Hari ini jam sebelas di salah satu restaurant pizza mereka membuat janji bertemu. Entah mengapa rasanya sangat gugup, lebih dag-dig-dug daripada pertama kali bertemu klien. Apa mungkin semua kliennya merasakan kegugupan ini juga ya? "Hai," sapa seseorang yang berdiri di samping meja tempat aku sedang menikmati lasagna sendirian. Perempuan itu mengamatinya. Laki-laki, tinggi seratus delapan puluh sentimeter, kulit kuning langsat, dan ada piercing di telinganya. "Baron?" "Iya, aku Baron. Kamu Zara kan?" "Panggil aja Zaza, silakan duduk." Kegugupannya semakin menjadi. Baron rupanya melebihi ekspektasi, laki-laki ini terlalu tampan untuk kencan delapan jam dengan tarif lima ratus ribu. Auranya bagai idol, jari tangan Jazz pun bergetar tanpa sadar karena terlalu gugup. "Kamu kenapa, sayang? Dingin ya?" tanpa diduga Baron memegang cepat tangan Jazz, menyelimuti tangan perempuan itu dengan kedua tangannya. "Kamu duduk sebelah sini aja, disini lebih hangat nggak terlalu kena AC... " Hah, sayang? That 'sayang' word sounded weird for her, tapi manis juga jika diucap oleh Baron. Wajahnya jadi bersemu merah.Jazz masih terbayang senyum misterius Oliver. Senyum yang menyimpan rahasia gelap, senyum yang membuatnya merasa tertarik dan takut. Dia memeluk boneka anak perempuan yang diberikan Oliver, tanpa ada perasaan aneh atau curiga. Mata boneka itu bercahaya, memancarkan sinar merah seperti lampu. Jazz terkejut, menjatuhkan boneka itu ke bawah, tepat di ujung sepatunya. Boneka itu bergetar, mengeluarkan suara mendesis.Tiba-tiba sebuah tangan meraih boneka itu, lalu melemparkannya ke taman. Dalam hitungan detik, ledakan dahsyat mengguncang rumah Oliver, api dan asap hitam membubung tinggi.Jazz terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Apa... apa itu?" tanyanya, suaranya bergetar."Bom," jawab Baron singkat, matanya menatap rumah Oliver dengan penuh kebencian. "Oliver... dia kakak Hans."Tubuh Jazz seketika bergetar. Ia tak menyangka kalau kedua pria itu memiliki relasi satu sama lain. Hans, pria psikopat itu... bekerjasama dengan Oliver untuk menjebaknya. Sepertinya
Flamboyan Residence, nomor tiga puluh sembilan. Jazz menatap alamat yang tertera di handphone nya, jantungnya berdebar kencang. Rumah mewah bergaya american klasik itu berdiri kokoh di hadapannya, dikelilingi taman yang luas dan terawat rapi. Beberapa mobil mewah terparkir di halaman, Porsche, Bentley, dan Range Rover.Dia tak mengira kalau Karina memberikan pekerjaan level VIP. Perempuan itu melakukannya tanpa izin, padahal Jazz selalu menolak menerima pekerjaan klien level tersebut. Ini kali pertamanya, dan Jazz merasa gugup. "Oliver," gumamnya, mencoba mengingat nama kliennya. "34 tahun, pengusaha sukses, dan... pelukis?"Karina telah memberinya arahan singkat: satu hari penuh kencan, paket VIP senilai 15 juta rupiah. Jazz menelan ludah, membayangkan apa yang akan terjadi di dalam sana. Klien VIP bersedia membayar mahal bahkan tak pelit memberi bonus, tapi keinginan mereka pasti mendapatkan layanan kontak fisik plus plus. Dengan langkah ragu, Jazz menekan bel pintu. Pintu terbuk
Baron menatap kepergian Jazz dengan perasaan bersalah. Dia menoleh ke arah Karina, wajahnya berubah serius. "Apa yang kamu lakukan padanya?" Karina mengangkat bahunya. "Aku hanya memberikan surat peringatan. Dia tidak profesional. Dia tidak menjalankan tugasnya." "Kamu tidak seharusnya bersikap seperti itu. Kamu seharusnya lebih peduli dengan keamanannya, bukan hanya keuntungan agensi." "Keamanan? Dia hanya trauma, Baron. Itu bukan alasan untuk tidak bekerja." "Trauma itu bukan hal yang sepele, Karina. Kamu tidak mengerti. Dia membutuhkan waktu untuk pulih." "Pulih? Dia sudah punya waktu dua minggu, Baron. Itu lebih dari cukup," balas Karina, suaranya meninggi. "Kita bukan panti rehabilitasi, kita agensi profesional. Kita punya klien yang harus dilayani." "Tapi, kita juga punya tanggung jawab terhadap talent. Kita tidak bisa memperlakukan mereka seperti robot. Mereka punya perasaan, mereka punya batasan." "Batasan? Jazz yang membuat batasannya sendiri, Baron. Dia yang me
Kotak masuk email Jazz berkedip, menampilkan pesan baru dari Karina. Jantungnya berdebar kencang, firasatnya berubah buruk. Surat peringatan. Dua minggu absen tanpa kabar. Dua minggu menolak setiap tawaran pekerjaan pacar rental. Karina tidak main-main. "Jazz, kau melanggar kontrak, kau tidak profesional. Kau mengecewakan agensi. Segera datang ke kantor, atau aku akan mengambil tindakan lebih lanjut." Jazz menghela nafas panjang, menatap layar laptopnya dengan nanar. Dia tahu, ini tidak bisa dihindari. Dia harus menghadapi Karina. Dia harus menjelaskan semuanya. Tapi bagaimana dia bisa menjelaskan ketakutannya? Bagaimana dia bisa menjelaskan trauma yang masih menghantuinya? Langkah Jazz terasa berat saat menyusuri lorong kantor Faux Love. Dinding-dinding putih yang biasanya tampak cerah, kini terasa dingin dan mengintimidasi. Setiap pasang mata yang menatapnya seolah menuduh, menghakimi. Jazz merasa seperti terdakwa yang akan segera dijatuhi hukuman. Padahal, dia sama sekali tida
"Gue menginap disini ya, Jazz!" Malam semakin larut, dan Sena memutuskan untuk menginap di apartemen Jazz. Mereka berbaring di tempat tidur, bersiap untuk tidur. Namun, Sena masih belum berhenti menceritakan perasaannya pada Joshua. Ia terus mengoceh tentang betapa sempurnanya Joshua, betapa romantisnya Joshua, dan betapa bahagianya ia saat bersama Joshua. Jazz mendengarkan dengan sabar, sesekali memberikan komentar singkat. Namun, ia mulai merasa lelah dan ingin segera tidur. Akhirnya, ia menutup telinganya dengan bantal, berpura-pura sedang mendengarkan musik. Sena, yang tidak menyadari keengganan Jazz, terus bercerita dengan semangat. Ia mengeluarkan handphone miliknya dan membuka akun media sosial Joshua. "Lihat ini, Jazz!" serunya, menunjukkan layar ponselnya. "Dia keren kan?" Jazz hanya bergumam pelan, masih berpura-pura tidak mendengar. Sena melanjutkan, "Dan lihat ini, Jazz! Dadanya bidang, lekukan ototnya padat, bayangkan jika bisa memeluknya setiap hari. Kyaaaa.... "
Silau yang mengintip dari jendela kamar, membuat Jazz terbangun. Bingung, ia mengerjapkan matanya untuk menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang masuk. Ia terkejut mendapati dirinya tidur di antara Baron dan Simon. Ia tidur di lengan Simon, namun tangan Baron juga melingkar posesif di pinggangnya. Ia lupa sejenak bahwa semalam mereka bertiga tidur bersama. Saat ingatannya kembali, Jazz merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia merasa aneh dan malu, namun ada sensasi geli yang tak bisa ia pungkiri. Ia menggerakkan tubuhnya perlahan, mencoba melepaskan diri dari pelukan mereka tanpa membangunkan keduanya. Namun, pergerakannya membangunkan Baron. Pria itu membuka matanya, menatap Jazz dengan senyum hangat. "Selamat pagi, sayang," bisiknya, lalu mencium bibir Jazz sekilas. Jazz tersentak, terkejut dengan ciuman tiba-tiba itu. Ia menatap Baron dengan bingung, lalu melirik ke arah Simon yang menggeliat, baru bangun tidur. Jazz tampak canggung dan salah tingkah. Baron, yang menyadari p