LOGIN…TINGKAT MAKSIMUM. LEVEL 100.]Huruf-huruf emas itu tidak terbakar di retina batin Radit; mereka terlahir dari kehampaan, terbentuk dari debu bintang yang menyusun kesadarannya. Suara riuh stadion, wajah cemas Luna, dan dinginnya lantai panggung—semua itu lenyap, digantikan oleh keheningan agung di dalam sebuah katedral data yang tak bertepi.Ia tidak lagi berada di dalam tubuhnya. Ia adalah titik kesadaran yang melayang di tengah samudra informasi yang tenang. Di sekelilingnya, galaksi-galaksi algoritma berputar perlahan, dan nebula-nebula memori berkilauan dengan cahaya lembut. Ini adalah inti dari Sistem Citarasa Ilahi, sebuah ruang singgasana di ujung alam semesta kuliner.Sebuah utas cahaya perak terulur dari pusat kosmos ini, menyentuh kesadarannya. Sebuah suara yang bukan suara, sebuah konsep yang ditanamkan langsung ke dalam jiwanya, mulai berbicara.`[Pencapaian Tertinggi Telah Diraih. Protokol Wadah Telah Sempurna.]`“Sempurna?” bisik jiwa Radit, gema pikirannya menciptakan
… dia.”Kata itu, sebuah perintah yang lahir dari kehendak kolektif para dewa, menggantung sesaat di udara sebelum jatuh menimpa panggung. Ia tidak memiliki volume, tetapi bobotnya mampu meretakkan fondasi realitas itu sendiri. Ki Gendeng, yang tadinya membeku dalam kengerian, kini tersentak seolah disambar petir tak terlihat.“Angkat dia? Angkat pecundang itu?!” raungnya, urat-urat di lehernya menonjol, wajahnya memerah karena amarah yang tak tertahankan. “Kalian buta! Kalian semua buta! Akulah yang menawarkan kekuatan! Akulah masa depan! Dia hanya masa lalu yang membusuk!”Namun, semesta tidak lagi mendengarkannya.Sesuai perintah itu, sebuah pilar cahaya keemasan yang lembut turun dari langit buatan, menembus atap stadion seolah ia terbuat dari kabut. Cahaya itu tidak panas, tidak menyilaukan. Ia terasa seperti kehangatan pelukan seorang ibu setelah mimpi buruk yang panjang. Pilar itu menyentuh lantai di sekitar Radit, lalu dengan kelembutan yang tak terhingga, mulai mengangkat tu
Keheningan yang menyusul gema suara itu bukanlah kekosongan, melainkan kehadiran. Kehadiran ribuan tahun yang terdiam, kehadiran kekuatan-kekuatan purba yang kini memusatkan seluruh atensi mereka pada sebuah panggung kecil di tengah planet biru yang fana. Udara di dalam stadion menjadi padat, berat dengan tekanan ekspektasi kosmik. Setiap molekul oksigen terasa seperti sebutir pasir dalam jam pasir raksasa yang berhenti berdetak.Di antara penonton, orang-orang bahkan lupa cara bernapas. Di tepi panggung, Luna dan Adrian mencengkeram pagar pembatas begitu erat hingga buku-buku jari mereka memutih, mata mereka terpaku pada langit buatan yang kini telah menjadi jendela menuju keabadian.Lalu, prosesi itu dimulai.Dari piring hitam legam milik Ki Gendeng, esensi spiritual Rendang Kiamat mulai terangkat. Bukan sebagai uap, melainkan sebagai pusaran energi berwarna ungu-hijau yang pekat dan beracun. Pusaran itu berputar dengan liar, membawa serta jeritan-jeritan bisu dari ego yang disulin
… adalah doa.”Suara Maestro Tanaya, meski serak karena emosi, terdengar seperti dentang lonceng di kuil kuno—jernih, khidmat, dan membelah kebisingan batin setiap orang. Ki Gendeng membeku, kata-kata terakhirnya yang penuh amarah tersangkut di tenggorokan seolah berubah menjadi batu.“Doa?” desisnya, nadanya adalah campuran antara cemoohan dan kengerian yang tak ia sadari. “Orang tua ini sudah gila! Ini kompetisi memasak, bukan rumah ibadah!”Namun, tak ada yang memedulikannya. Semua mata tertuju pada Maestro Tanaya, yang tatapannya masih terpaku pada sosok Radit yang terbaring. “Hidangan pertama,” lanjut sang maestro, kini menoleh pada para juri lainnya yang masih pucat, “adalah sebuah mantra. Ia menjerat, ia memaksa, ia membius. Sebuah kejahatan yang dibungkus dalam kenikmatan. Namun, hidangan kedua… hidangan dari anak itu… ia tidak meminta apa-apa. Ia hanya memberi. Ia menceritakan kisah tanah, keringat para petani, harapan seorang kakek. Ia mengingatkan kita pada rumah yang mung
“Adalah sebuah kejahatan.”Dua kata itu jatuh ke dalam stadion yang hening seperti dua bilah es, membekukan gelombang ekstasi palsu yang diciptakan Ki Gendeng. Untuk sesaat, bahkan para juri yang masih terjerat dalam adiksi Rendang Kiamat pun tersentak, sendok mereka berhenti di tengah jalan menuju mulut.Ki Gendeng, yang tadinya berdiri angkuh, tersentak seolah ditampar. Seringai iblisnya retak, digantikan oleh ekspresi tidak percaya yang kemudian mendidih menjadi amarah murni. “Kejahatan?” desisnya, suaranya bergetar karena murka yang tertahan. “Orang tua pikun! Kau menyebut evolusi sebagai kejahatan? Kau tidak mengerti! Ini adalah masa depan! Rasa yang tidak lagi dibatasi oleh nostalgia bodohmu!”“Justru karena aku mengerti, aku menyebutnya demikian,” balas Maestro Tanaya, matanya yang tua namun jernih menatap lurus ke arah Ki Gendeng tanpa gentar. Ia tidak meninggikan suaranya, tetapi setiap suku katanya bergema dengan otoritas yang tak terbantahkan. “Kau tidak menciptakan rasa.
Gedebuk!Suara tubuh Radit yang menghantam lantai panggung terdengar lebih keras dari bel akhir waktu, sebuah tanda titik yang brutal dalam simfoni memasak yang baru saja usai. Untuk sesaat, seluruh stadion membeku. Keheningan yang tadinya mencekam karena antisipasi kini berubah menjadi keheningan syok.“RADIT!” Jeritan Luna merobek keheningan itu, penuh kepanikan murni. Ia melompati pagar pembatas tanpa ragu, disusul oleh Adrian yang bergerak sigap, wajahnya pucat pasi. Tim medis yang siaga di sisi panggung segera berlari, mengabaikan segala protokol kompetisi.Di seberang panggung, Ki Gendeng tertawa. Bukan tawa kemenangan yang meledak-ledak, melainkan tawa serak yang puas, seperti suara ular derik yang baru saja menyuntikkan bisanya.“Hah… hah… lihatlah sang pahlawan rakyat,” desisnya, napasnya masih terengah setelah mengerahkan seluruh sihirnya. “Menumpahkan jiwa ke dalam sepiring nasi? Bodoh. Jiwa itu untuk dikendalikan, bukan untuk dibagikan.”Ia sama sekali tidak peduli pada ke







