Masuk“Kau… bukan sekadar juru masak,” bisiknya, kata-kata itu keluar seperti hembusan napas yang rapuh, sarat dengan kekaguman yang nyaris menyakitkan.
“Kau adalah seorang pencerita. Dan ini…,” si wanita menunjuk piring kaleng itu dengan dagunya, matanya masih terpaku pada Radit, “...ini adalah kebenaran yang bisa dirasakan.” Radit hanya bisa menatap wanita itu. Mulutnya terbuka tanpa suara. Otaknya gagal total memproses pujian yang begitu puitis dan dahsyat. Selama ini, pujian tertinggi yang pernah ia terima adalah, “Lumayan, Dit, nggak terlalu gosong.” Wanita itu perlahan berdiri, gerakannya kembali anggun dan terkendali, seolah momen keterkejutan tadi hanyalah riak sesaat di permukaan danau yang dalam. Ia merapikan blazernya, tatapannya yang tajam kini melunak, digantikan oleh sesuatu yang lebih kompleks. Rasa hormat, keingintahuan, dan mungkin sedikit kebingungan. “Aku Luna,” katanya, memperkenalkan diri seolah itu adalah hal paling wajar di dunia, di tengah warung yang lebih mirip lokasi syuting film horor. “Aku akan kembali. Dan saat aku kembali, aku ingin tahu cerita di balik sihir ini.” Tanpa menunggu jawaban, Luna berbalik. Uang yang ia letakkan di meja tadi masih tergeletak di sana, seolah menjadi persembahan bisu bagi keajaiban yang baru saja ia saksikan. Ia berjalan keluar, bunyi hak sepatunya kembali terdengar tegas. Namun kali ini tidak lagi terdengar seperti vonis, melainkan seperti janji. Deru mesin sedan hitam legam itu kembali menyala, membelah keheningan malam sebelum lenyap ditelan kegelapan, meninggalkan Radit sendirian di tengah warungnya yang tiba-tiba terasa begitu sunyi dan nyata. Radit berdiri membeku selama beberapa saat, aroma parfum mahal Luna yang samar masih tertinggal di udara. Beradu dengan wangi nasi gorengnya. Ia menatap tumpukan uang di meja, lalu ke piring yang kini hanya tersisa separuh. “Luna…,” gumamnya. Nama itu terasa familier. Ia meraih ponsel bututnya, mengetik nama itu di mesin pencari dengan jari gemetar. Puluhan artikel muncul. Foto wanita yang sama, dengan tatapan tajam yang sama, di samping para koki selebritas dan di restoran-restoran berbintang. Judul-judul artikel itu membuatnya pusing: “Lidah Setan Luna: Koki Paling Ditakuti di Indonesia”, “Ulasan Luna yang Menghancurkan Restoran Bintang Lima”. Jantung Radit serasa berhenti berdetak. Wanita tadi… adalah Luna Kancana, kritikus kuliner paling kejam dan berpengaruh di seluruh negeri. Dan ia baru saja membuat wanita itu menangis dengan nasi goreng sisa. “Gila…” Ping. Suara lembut namun menusuk itu kembali bergema di kepalanya, menariknya paksa dari keterkejutan. Layar holografik biru kembali menyala di hadapannya, menampilkan rentetan aksara yang berkilauan. [Quest Pertama: Nasi Goreng Kebangkitan - SELESAI] [Penilaian: Sempurna. Rasa yang dihasilkan berhasil mengguncang jiwa seorang kritikus tingkat tinggi.] [Hadiah Diberikan: 10 Poin Pengalaman. Skill ‘Bumbu Dasar Level 1’ telah terintegrasi.] [PENGGUNA: RADIT JAYA] [LEVEL: 1 (Koki Pemula)] Status ‘Pecundang Kuliner’ yang merah menyala itu telah lenyap, digantikan oleh ‘Koki Pemula’ yang berwarna putih netral. Sebuah kemajuan kecil, namun terasa seperti kemenangan besar. Radit merasakan secercah kelegaan. [Syarat untuk naik ke Level 2: Selesaikan Ritual ‘Persembahan Pertama’.] Kelegaan itu menguap secepat embun pagi. “Persembahan?” Radit bertanya pada layar itu, suaranya serak. “Maksudmu apa? Persembahan buat siapa?” [Sistem Citarasa Ilahi beroperasi dengan menukar energi cita rasa murni dengan entitas non-fisik untuk membuka pengetahuan kuliner yang lebih tinggi. Anda harus mempersembahkan hidangan Anda kepada Entitas Gaib lokal.] Radit mundur selangkah, matanya membelalak ngeri. “Entitas Gaib? Maksudmu… sajen? Buat setan?!” pekiknya, rasa takutnya kini bercampur dengan rasa jijik yang mendalam. “Gila! Aku bukan dukun! Aku ini tukang nasi goreng!” [Istilah ‘sajen’ atau ‘setan’ tidak akurat. Entitas ini adalah penjaga energi primordial di wilayah Anda. Mereka adalah penikmat rasa orisinal. Persembahan adalah bentuk kontrak dan pembayaran.] “Aku tidak peduli istilahmu apa! Itu musyrik!” teriak Radit, suaranya menggema di warung yang kosong. Prinsip-prinsip yang diajarkan almarhum kakeknya seperti bekerja keras, berdoa, dan jangan pernah main-main dengan hal-hal aneh berteriak di dalam kepalanya. “Aku tidak mau! Aku tidak akan memasak untuk jin atau genderuwo atau apa pun itu! Batalkan! Cari cara lain!” [Tidak ada cara lain. Ini adalah mekanisme fundamental dari Sistem Citarasa Ilahi. Menolak menyelesaikan ritual persembahan akan dianggap sebagai pelanggaran kontrak jiwa.] “Kontrak jiwa apaan?! Aku tidak pernah tanda tangan apa-apa!” [Keberadaan Anda saat ini terikat pada Sistem. Konsekuensi pelanggaran: Penarikan kembali semua skill yang telah diberikan. Status kuliner akan diturunkan secara permanen menjadi ‘Nihil’. Setiap makanan yang Anda sentuh akan kehilangan seluruh rasanya, menjadi lebih hambar dari air.] Ancaman itu menghantam Radit seperti palu godam. Bukan lagi sekadar penghapusan eksistensi kuliner, tapi sebuah kutukan abadi. Ia akan menjadi Raja Midas terbalik, di mana semua yang ia sentuh berubah menjadi kehampaan. “Kau… kau iblis,” desisnya, keputusasaan mulai merayapinya kembali. [Tugas untuk Persembahan Pertama dikeluarkan.] [HIDANGAN: Nasi Goreng Level 1 (Kualitas Minimal: Sempurna)] [LOKASI: Persimpangan tiga jalan terdekat dari lokasi Anda saat ini.] [WAKTU: Tepat tengah malam.] [METODE: Letakkan hidangan di pusat persimpangan. Jangan menoleh ke belakang saat pergi.] Setiap baris instruksi itu terasa seperti paku yang ditancapkan ke dalam keyakinannya. Persimpangan tiga jalan. Tengah malam. Jangan menoleh. Itu adalah semua elemen cerita horor murahan yang selalu ia tertawakan. Sekarang, itu adalah kenyataan yang harus ia jalani. “Tidak… kumohon…,” pintanya, suaranya pecah. “Ada cara lain, kan? Aku bisa memasak untuk orang miskin, untuk panti asuhan… itu kan lebih baik?” [Energi dari rasa syukur manusia bersifat berbeda. Sistem membutuhkan transaksi dengan entitas non-fisik untuk membuka segel pengetahuan kuno. Pilihan ada di tangan Anda, Pengguna.] Pilihan. Sebuah ilusi kebebasan yang kejam. Radit bisa memilih untuk mempertahankan prinsipnya dan kembali menjadi lebih buruk dari seorang pecundang, menjadi sebuah anomali kuliner, seorang pria yang dikutuk untuk hidup di dunia tanpa rasa. Atau, ia bisa menelan rasa jijik dan ketakutannya, melakukan ritual gila ini, dan mungkin… mungkin bisa menyelamatkan warung ini. Radit menatap tumpukan uang yang ditinggalkan Luna. Uang itu cukup untuk membayar sewa bulan ini, bahkan membeli bahan baku baru yang lebih baik. Itu adalah bukti. Bukti bahwa kekuatan ini nyata. Bukti bahwa ada harapan. Tapi harga dari harapan itu adalah sebuah kontrak gaib yang membuatnya mual. Waktu seolah merayap. Radit duduk terdiam di salah satu kursi plastiknya yang reyot, berperang dengan dirinya sendiri. Langit di luar semakin gelap, dan suara-suara malam mulai terdengar lebih jelas. Suara jangkrik, lolongan anjing liar di kejauhan, dan desau angin yang terdengar seperti bisikan. Pukul sebelas malam. Ia teringat wajah pemilik lahan yang menagihnya dengan tatapan merendahkan. Pukul setengah dua belas. Ia teringat spanduk “TUTUP” yang nyaris ia tulis. Pukul dua belas kurang lima menit. Ia teringat tatapan takjub di mata Luna. Tatapan yang mengatakan bahwa ia bukan pecundang. “Sialan,” umpatnya pelan. Dengan langkah berat, Radit bangkit. Tangannya bergerak dengan presisi yang kini terasa seperti kutukan. Ia menyalakan kompor, menuang minyak, dan menumis bumbu. Radit menyajikan sepiring nasi goreng yang sama sempurnanya dengan yang pertama di atas piring kaleng. Tangannya gemetar saat mengangkatnya. Piring itu terasa berat, seolah membawa beban seluruh jiwanya. Tepat tengah malam, Radit melangkah ke luar dari warungnya. Udara terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Jalanan gang yang sempit itu tampak lebih gelap, lampu jalan di ujung gang berkedip-kedip seperti mata lelah. Sekitar dua puluh meter dari warungnya, terdapat sebuah persimpangan kecil tempat tiga gang sempit bertemu—sebuah titik temu yang selalu ia lewati tanpa pernah memikirkannya. Malam ini, persimpangan itu terasa berbeda. Terasa seperti sebuah altar purba yang menunggu persembahan. Jantungnya berdebar kencang di rusuknya, setiap langkah terasa seperti berjalan di atas bara. Ia tiba di tengah persimpangan, tanah berdebu di bawah kakinya terasa dingin menembus sol sandalnya. Radit berjongkok, tangannya yang gemetar nyaris menjatuhkan piring itu. Dengan napas tertahan, ia meletakkan piring Nasi Goreng Kebangkitan itu di atas tanah. Sesaat, tidak ada yang terjadi. Hanya keheningan malam yang pekat. Radit hendak berdiri dan berlari sekencang yang ia bisa. Namun kemudian, ia merasakannya. Suhu udara di sekelilingnya anjlok drastis. Angin yang tadinya berdesau lembut kini berhenti total, menciptakan keheningan yang memekakkan telinga. Dari ketiga mulut gang, kabut tipis mulai merayap keluar. Bukan kabut pagi yang sejuk, melainkan kabut putih pucat yang pekat dan dingin, membawa bau aneh campuran ozon sesudah petir dan tanah basah dari kuburan yang baru digali. Kabut itu bergerak tidak wajar, tidak terbawa angin, melainkan mengalir seperti cairan kental di atas tanah, berkumpul menuju satu titik: piring nasi goreng di hadapannya. Radit membeku di tempat, lututnya lemas, terlalu takut untuk lari, terlalu ngeri untuk berteriak. Kabut itu kini mulai berputar pelan di sekeliling persembahannya, semakin tebal dan pekat, membentuk pusaran kecil yang menyembunyikan piring itu dari pandangannya. Dari dalam pusaran kabut yang bergolak itu, ia mendengar sesuatu… sebuah suara isapan pelan, seperti seseorang yang tengah menikmati hidangan paling lezat di seluruh jagat raya, sebuah suara yang membuat bulu kuduknya berdiri dan darahnya serasa membeku.Suara isapan itu berhenti, menyisakan keheningan yang seribu kali lebih menakutkan. Kehampaan suara itu terasa seperti sebuah pernyataan—hidangan telah habis, transaksi telah selesai. Radit, yang masih berjongkok dengan lutut gemetar, merasakan gelombang dingin merayap di punggungnya, sebuah insting purba yang memerintahkannya untuk lari.Tanpa berpikir, ia bangkit dan berbalik. Ia tidak berlari, karena kakinya terasa seperti jeli, melainkan berjalan sempoyongan dengan kecepatan yang dipaksakan. Ia mematuhi perintah Sistem: jangan menoleh. Setiap langkah menjauh dari persimpangan itu terasa seperti menarik kakinya dari lumpur hisap yang tak terlihat. Ia bisa merasakan sesuatu di belakangnya, bukan kehadiran fisik, melainkan sebuah kekosongan yang mengawasinya, sebuah tatapan dari entitas yang baru saja ia beri makan.Begitu pintu warungnya yang reyot tertutup di belakangnya, kakinya lemas. Ia bersandar di pintu, dadanya kembang kempis, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Gila… g
“Kau… bukan sekadar juru masak,” bisiknya, kata-kata itu keluar seperti hembusan napas yang rapuh, sarat dengan kekaguman yang nyaris menyakitkan. “Kau adalah seorang pencerita. Dan ini…,” si wanita menunjuk piring kaleng itu dengan dagunya, matanya masih terpaku pada Radit, “...ini adalah kebenaran yang bisa dirasakan.”Radit hanya bisa menatap wanita itu. Mulutnya terbuka tanpa suara. Otaknya gagal total memproses pujian yang begitu puitis dan dahsyat. Selama ini, pujian tertinggi yang pernah ia terima adalah, “Lumayan, Dit, nggak terlalu gosong.”Wanita itu perlahan berdiri, gerakannya kembali anggun dan terkendali, seolah momen keterkejutan tadi hanyalah riak sesaat di permukaan danau yang dalam. Ia merapikan blazernya, tatapannya yang tajam kini melunak, digantikan oleh sesuatu yang lebih kompleks. Rasa hormat, keingintahuan, dan mungkin sedikit kebingungan.“Aku Luna,” katanya, memperkenalkan diri seolah itu adalah hal paling wajar di dunia, di tengah warung yang lebih mirip lo
Lalat-lalat itu, yang tadinya menjadi simbol pembusukan dan kegagalan, kini melayang beku di udara, sayap-sayap mungil mereka berhenti bergetar. Mereka bukan lagi serangga, melainkan para pemuja bisu yang terpaku di hadapan sebuah altar rasa, terhipnotis oleh kemenyan ilahi yang menguar dari sepiring nasi goreng di atas meja.Radit sendiri berdiri sama kakunya. Ia menatap piring di hadapannya, bukan dengan rasa bangga, melainkan dengan ketakutan. Nasi goreng itu memancarkan aura hangat, butiran-butiran nasinya yang keemasan tampak berkilau lembut di bawah cahaya remang warungnya. Ini bukan lagi makanan. Ini adalah sebuah artefak, sebuah keajaiban yang lahir dari wajan tuanya, dan ia tidak berani menyentuhnya, takut keajaiban itu akan sirna jika disentuh oleh tangan seorang pecundang sepertinya.Keheningan yang sakral itu tiba-tiba pecah.Bukan oleh dengung lalat yang kembali sadar, melainkan oleh suara asing yang datang dari jalanan. Sebuah deru mesin yang halus, dalam, dan bertenaga
Radit tersentak, punggungnya menghantam tanah berdebu di belakang warung dengan bunyi gedebuk. Napasnya tersengal, dadanya naik turun tak beraturan, seolah ia baru saja berlari maraton sejuta kilometer. Matanya terpejam rapat, mencoba mengusir sisa-sisa ledakan sensorik itu. Ia merasakan denyutan di setiap saraf, bukan sakit, melainkan sebuah kejutan dahsyat yang melampaui rasa nyeri. Radit membuka kelopak matanya. Dunia di sekelilingnya tampak berbeda. Bukan secara fisik, namun dalam sebuah dimensi yang lebih subtil.Udara malam yang dingin kini terasa membawa partikel-partikel aroma tersembunyi. Debu di tanah tak lagi hanya debu, melainkan campuran partikel mineral dengan jejak aroma tanah basah dan sisa pembakaran kayu. Bahkan embusan angin yang menerpa kulitnya terasa seperti sentuhan yang bisa ia ‘rasakan’ komposisinya.Radit berdiri dengan gontai, kepalanya masih berdenyut seperti ditabuh gong. Namun ada sensasi kejelasan yang aneh. Seolah, di tengah kekacauan itu, sebuah perp
Beberapa saat Radit mematung. Ia sama sekali tidak bisa tidur. Suara yang muncul di kepalanya membuatnya bertanya-tanya. Apa ia sungguh kehilangan kewarasannya sekarang? Sistem Citarasa Ilahi. Sesuatu yang tidak disangka oleh Radit. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?Arang hitam itu terlepas dari genggamannya yang gemetar, jatuh ke tanah dengan bunyi gedebuk yang nyaris tak terdengar. Radit berdiri kaku, matanya yang membelalak liar menatap spanduk lusuh di hadapannya, tetapi yang ia lihat bukanlah kain pudar itu. Ia melihat kehampaan.“Gila…,” desisnya, napasnya keluar dalam embusan gemetar yang membentuk kabut tipis di udara malam yang dingin. “Aku sudah gila. Stres. Kurang tidur. Kelaparan. Lengkap sudah penderitaanku,” ocehanya pada diri sendiri. Radit mencoba merangkai serpihan rasionalitas yang tersisa di benaknya yang kacau. Tentu saja itu jawabannya. Tubuhnya telah mencapai batas, dan otaknya mulai memproduksi ilusi untuk melarikan diri dari kenyataan pahit. Suara di dala
Radit menggenggam spatulanya dengan erat. Spatula itu meliuk-liuk, mengaduk masakan di wajan cekung. Api dari kompor menyala-nyala, mengeluarkan hawa panas di sekitar. Klang! Deng! Klang!Suara bising spatula baja yang menghantam dasar wajan cekung itu terdengar lelah, nyaris tanpa gema. Hanya bunyi logam mati yang beradu dalam kepulan asap tipis beraroma sangit. Bagi Radit, itu adalah musik pengiring kegagalan. Ritme monoton dari seorang pecundang yang bahkan sudah terlalu letih untuk merasa putus asa.Pemuda itu mengaduk nasi dengan gerakan mekanis, matanya kosong menatap butiran-butiran putih yang melompat enggan di atas minyak jelantah yang mulai menghitam. Ini adalah piring kelima belas hari ini. Dan seperti empat belas piring sebelumnya, ia tahu persis rasanya bahkan sebelum mencicipi. Rasa hambar. Sebuah kekosongan yang bisa dikunyah. Nasi goreng tanpa jiwa.“Satu lagi sampah,” gumamnya dengan nada kecewa pada diri sendiri. Suaranya serak dan tertutup oleh desis wajan.Api d







