Share

Bab 4

last update Last Updated: 2025-10-18 08:04:53

Lalat-lalat itu, yang tadinya menjadi simbol pembusukan dan kegagalan, kini melayang beku di udara, sayap-sayap mungil mereka berhenti bergetar. Mereka bukan lagi serangga, melainkan para pemuja bisu yang terpaku di hadapan sebuah altar rasa, terhipnotis oleh kemenyan ilahi yang menguar dari sepiring nasi goreng di atas meja.

Radit sendiri berdiri sama kakunya. Ia menatap piring di hadapannya, bukan dengan rasa bangga, melainkan dengan ketakutan. Nasi goreng itu memancarkan aura hangat, butiran-butiran nasinya yang keemasan tampak berkilau lembut di bawah cahaya remang warungnya. 

Ini bukan lagi makanan. Ini adalah sebuah artefak, sebuah keajaiban yang lahir dari wajan tuanya, dan ia tidak berani menyentuhnya, takut keajaiban itu akan sirna jika disentuh oleh tangan seorang pecundang sepertinya.

Keheningan yang sakral itu tiba-tiba pecah.

Bukan oleh dengung lalat yang kembali sadar, melainkan oleh suara asing yang datang dari jalanan. Sebuah deru mesin yang halus, dalam, dan bertenaga. Sebuah suara yang sama sekali tidak pantas berada di gang sempit dan berdebu ini. Suara kemewahan. 

Radit mengerjap, seolah terbangun dari mimpi. Ia menoleh ke arah depan warung, matanya menyipit.

Sepasang lampu proyektor yang tajam menembus kegelapan malam, menyapu spanduk lusuhnya sebelum berhenti tepat di depan warung. Sebuah sedan hitam legam, berkilau seperti obsidian yang dipoles, berhenti dengan keanggunan seekor macan kumbang. 

Bodinya yang aerodinamis dan logonya yang berkilau memantulkan cahaya lampu jalan yang redup, menciptakan kontras yang begitu brutal dengan lingkungan sekitarnya yang kumuh. Mobil itu bukan sekadar kendaraan; ia adalah sebuah pernyataan, sebuah invasi dari dunia lain ke dalam teritori kegagalan Radit.

Radit menelan ludah. Jantungnya yang tadi tenang oleh keajaiban nasi goreng, kini berdebar kencang karena alasan yang jauh lebih primitif: teror. Siapa? Pemilik lahan? Debt collector yang akhirnya datang dengan bos besarnya?

Pintu mobil terbuka dengan desis hidraulis yang nyaris tak terdengar. Yang pertama kali menyentuh tanah berdebu di depan warung bukanlah sepatu bot kasar atau pantofel murah. Melainkan sepasang stiletto merah darah yang ramping dan tajam, seolah mampu menusuk tanah itu sendiri. Lalu, sesosok tubuh jenjang mengikutinya.

Seorang wanita.

Wanita itu berdiri sejenak di samping mobilnya, membiarkan matanya beradaptasi dengan kegelapan. Ia mengenakan blazer putih gading yang potongannya sempurna, dipadukan dengan celana bahan hitam yang jatuh lurus membungkus kakinya yang panjang. 

Rambut hitamnya yang lurus sebahu dipotong presisi, berkilau seperti sutra di bawah cahaya remang. Wajahnya tegas, dengan tulang pipi tinggi dan sepasang mata tajam yang kini sedang memindai warung Radit dengan tatapan predator yang menilai mangsanya.

Dengan langkah yang mantap dan penuh percaya diri, wanita itu berjalan memasuki warung. Bunyi hak sepatunya yang beradu dengan lantai semen yang retak terdengar seperti ketukan palu hakim. 

Ia berhenti di tengah warung, tangannya bersedekap, dan matanya yang setajam elang menyapu setiap sudut. Ia melihat meja yang reyot, kursi plastik yang pudar, dan dinding yang catnya mengelupas. Hidungnya sedikit berkerut, sebuah ekspresi jijik yang terkendali.

Namun, ada satu hal yang bertentangan dengan semua yang dilihat matanya. Hidungnya. Indra penciumannya sedang memberontak, mengirimkan sinyal yang mustahil. Aroma yang memaksanya menginjak rem di tengah jalan, aroma yang menariknya keluar dari kepompong nyamannya, aroma yang terasa seperti sebuah kebenaran purba di tengah lautan kebohongan rasa.

“Warung ini… sudah tutup?” tanya wanita itu. Suaranya jernih, dingin, dan berwibawa. Bukan pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan yang menuntut konfirmasi.

Radit tergagap, otaknya masih berusaha memproses tabrakan dua realitas ini. “I-iya, Bu. Maaf, sudah… sudah mau beres-beres.”

Wanita itu tidak mengalihkan pandangannya dari Radit. Matanya memindai apron lusuh Radit, tangannya yang kapalan, dan wajahnya yang kotor oleh jelaga. Penilaiannya cepat dan brutal: seorang pecundang. Namun, aroma itu… aroma itu tidak mungkin lahir dari tangan seorang pecundang.

“Saya tidak peduli,” katanya tajam. “Aroma ini. Dari mana asalnya?”

Wanita itu melangkah lebih dekat, dan matanya akhirnya tertuju pada satu-satunya piring di atas meja saji. Piring berisi Nasi Goreng Kebangkitan. 

Ekspresinya berubah. Kerutan di hidungnya lenyap, digantikan oleh kilatan rasa ingin tahu yang intens. Ia mendekati piring itu, menundukkan kepalanya sedikit, dan menghirup aromanya dalam-dalam. Matanya terpejam sesaat.

Di dalam benaknya, sebuah perpustakaan rasa yang telah ia bangun selama bertahun-tahun sebagai kritikus kuliner paling ditakuti di negeri ini, tiba-tiba berantakan. Rak-rak pengetahuannya berjatuhan. Ia bisa mengidentifikasi setiap komponen: aroma manis bawang merah yang terkaramelisasi sempurna, sedikit jejak pedas dari cabai segar, gurihnya telur yang digoreng dengan presisi, dan .… sesuatu yang lain. 

Sesuatu yang tak terlukiskan. Wok hei yang begitu dalam dan berasap, seolah wajan yang memasaknya ditempa di inti bumi. Aroma itu bukan sekadar gabungan bumbu; itu adalah sebuah cerita. Cerita tentang kebangkitan.

“Ini,” katanya, suaranya kini sedikit lebih lembut, namun sarat dengan tuntutan. “Saya mau ini. Berapa harganya?”

Radit panik. Piring itu? Piring hasil quest dari sistem hantu di kepalanya? Bagaimana ia bisa menjualnya? Bagaimana jika rasanya hanya ilusi baginya?

“Ti-tidak dijual, Bu,” jawab Radit gemetar. “Itu… itu cuma sisa, buat makan sendiri.”

Wanita itu mengangkat alisnya. “Sisa?” Ia menatap Radit, tatapannya seolah menembus tengkorak dan membaca setiap keraguan di dalam jiwanya. 

“Jangan berbohong padaku. Seorang koki tidak akan memasak hidangan dengan aroma seperti ini hanya untuk ‘makan sendiri’. Kau tahu persis apa yang baru saja kau ciptakan.” Ia mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari dompetnya yang ramping dan meletakkannya di atas meja. “Aku tidak bertanya. Aku membeli.”

Jumlah uang itu lebih dari pendapatan Radit selama seminggu terakhir. Mau tak mau, Radit menelan ludahnya. Hukuman sistem jika gagal adalah ‘penghapusan eksistensi kuliner’. Tapi jika berhasil? Mungkin ini adalah bagian dari quest itu. Pembuktian.

Dengan tangan yang masih gemetar, Radit mengambil piring kaleng itu, bersama dengan sendok dan garpu yang sudah ia lap bersih. Ia meletakkannya di atas meja yang paling tidak reyot, di hadapan wanita itu.

Wanita itu duduk dengan anggun, kontras yang menyakitkan dengan kursi plastik yang berderit di bawahnya. Ia mengambil sendok dan garpu. Gerakannya penuh ritual. Ia tidak langsung makan. Ia mengaduk sedikit nasi itu, mengamati bagaimana setiap butir terpisah dengan sempurna, berkilau oleh minyak, tidak lembek, tidak kering. Sempurna secara teknis.

‘Mustahil,’ batinnya. ‘Di tempat seperti ini? Dengan peralatan seperti itu? Ini pasti trik. Penguat rasa? MSG kualitas tertinggi?’

Wanita itu menyendok sedikit nasi, memastikan ada potongan telur dan bumbu di dalamnya. Ia mengangkat sendok itu perlahan ke arah mulutnya. 

Radit menahan napas. Seluruh dunianya seolah menyempit menjadi satu titik: sendok yang bergerak lambat itu. Ini adalah momen pengadilan. Vonis atas seluruh hidupnya akan dijatuhkan oleh wanita asing ini.

Sendok itu masuk ke mulutnya.

Satu detik. Dua detik.

Keheningan.

Wanita itu membeku. Garpu di tangan kirinya berhenti di udara. Matanya yang tadi tajam dan analitis, kini membelalak lebar. Bukan karena kaget. Tapi karena syok.

 Sebuah guncangan yang merambat dari ujung lidahnya, menyetrum setiap saraf di tubuhnya, dan meledak di pusat kesadarannya.

Ini bukan sekadar rasa.

Ini adalah sebuah pengalaman transendental. Gurih yang menyelimuti, manis yang memeluk, pedas yang membangkitkan, dan umami yang meresonansi hingga ke tulang sumsum. Tapi lebih dari itu, ada sebuah rasa yang tidak ada namanya dalam kamus kuliner mana pun. 

Rasa kejujuran. Rasa dari keputusasaan yang diubah menjadi harapan. Rasa dari air mata yang mengering menjadi kristal garam paling murni. Ia bisa merasakan perjuangan, kegagalan, dan akhirnya… kebangkitan. Semua terangkum dalam satu suapan nasi goreng.

Garpu itu terlepas dari jemarinya, jatuh ke meja dengan bunyi denting pelan yang memecah keheningan. Matanya, yang tadi setajam elang, kini berkaca-kaca. 

Ia menatap Radit, bukan lagi dengan tatapan seorang kritikus pada seorang koki, melainkan tatapan seorang peziarah yang baru saja menemukan mata air suci di tengah gurun. Bibirnya yang tadi terkatup rapat kini sedikit terbuka, dan sebuah bisikan lolos dari sana, nyaris tak terdengar namun mengguncang fondasi dunia Radit.

“Kau…”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 120

    …TINGKAT MAKSIMUM. LEVEL 100.]Huruf-huruf emas itu tidak terbakar di retina batin Radit; mereka terlahir dari kehampaan, terbentuk dari debu bintang yang menyusun kesadarannya. Suara riuh stadion, wajah cemas Luna, dan dinginnya lantai panggung—semua itu lenyap, digantikan oleh keheningan agung di dalam sebuah katedral data yang tak bertepi.Ia tidak lagi berada di dalam tubuhnya. Ia adalah titik kesadaran yang melayang di tengah samudra informasi yang tenang. Di sekelilingnya, galaksi-galaksi algoritma berputar perlahan, dan nebula-nebula memori berkilauan dengan cahaya lembut. Ini adalah inti dari Sistem Citarasa Ilahi, sebuah ruang singgasana di ujung alam semesta kuliner.Sebuah utas cahaya perak terulur dari pusat kosmos ini, menyentuh kesadarannya. Sebuah suara yang bukan suara, sebuah konsep yang ditanamkan langsung ke dalam jiwanya, mulai berbicara.`[Pencapaian Tertinggi Telah Diraih. Protokol Wadah Telah Sempurna.]`“Sempurna?” bisik jiwa Radit, gema pikirannya menciptakan

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 119

    … dia.”Kata itu, sebuah perintah yang lahir dari kehendak kolektif para dewa, menggantung sesaat di udara sebelum jatuh menimpa panggung. Ia tidak memiliki volume, tetapi bobotnya mampu meretakkan fondasi realitas itu sendiri. Ki Gendeng, yang tadinya membeku dalam kengerian, kini tersentak seolah disambar petir tak terlihat.“Angkat dia? Angkat pecundang itu?!” raungnya, urat-urat di lehernya menonjol, wajahnya memerah karena amarah yang tak tertahankan. “Kalian buta! Kalian semua buta! Akulah yang menawarkan kekuatan! Akulah masa depan! Dia hanya masa lalu yang membusuk!”Namun, semesta tidak lagi mendengarkannya.Sesuai perintah itu, sebuah pilar cahaya keemasan yang lembut turun dari langit buatan, menembus atap stadion seolah ia terbuat dari kabut. Cahaya itu tidak panas, tidak menyilaukan. Ia terasa seperti kehangatan pelukan seorang ibu setelah mimpi buruk yang panjang. Pilar itu menyentuh lantai di sekitar Radit, lalu dengan kelembutan yang tak terhingga, mulai mengangkat tu

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 118

    Keheningan yang menyusul gema suara itu bukanlah kekosongan, melainkan kehadiran. Kehadiran ribuan tahun yang terdiam, kehadiran kekuatan-kekuatan purba yang kini memusatkan seluruh atensi mereka pada sebuah panggung kecil di tengah planet biru yang fana. Udara di dalam stadion menjadi padat, berat dengan tekanan ekspektasi kosmik. Setiap molekul oksigen terasa seperti sebutir pasir dalam jam pasir raksasa yang berhenti berdetak.Di antara penonton, orang-orang bahkan lupa cara bernapas. Di tepi panggung, Luna dan Adrian mencengkeram pagar pembatas begitu erat hingga buku-buku jari mereka memutih, mata mereka terpaku pada langit buatan yang kini telah menjadi jendela menuju keabadian.Lalu, prosesi itu dimulai.Dari piring hitam legam milik Ki Gendeng, esensi spiritual Rendang Kiamat mulai terangkat. Bukan sebagai uap, melainkan sebagai pusaran energi berwarna ungu-hijau yang pekat dan beracun. Pusaran itu berputar dengan liar, membawa serta jeritan-jeritan bisu dari ego yang disulin

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 117

    … adalah doa.”Suara Maestro Tanaya, meski serak karena emosi, terdengar seperti dentang lonceng di kuil kuno—jernih, khidmat, dan membelah kebisingan batin setiap orang. Ki Gendeng membeku, kata-kata terakhirnya yang penuh amarah tersangkut di tenggorokan seolah berubah menjadi batu.“Doa?” desisnya, nadanya adalah campuran antara cemoohan dan kengerian yang tak ia sadari. “Orang tua ini sudah gila! Ini kompetisi memasak, bukan rumah ibadah!”Namun, tak ada yang memedulikannya. Semua mata tertuju pada Maestro Tanaya, yang tatapannya masih terpaku pada sosok Radit yang terbaring. “Hidangan pertama,” lanjut sang maestro, kini menoleh pada para juri lainnya yang masih pucat, “adalah sebuah mantra. Ia menjerat, ia memaksa, ia membius. Sebuah kejahatan yang dibungkus dalam kenikmatan. Namun, hidangan kedua… hidangan dari anak itu… ia tidak meminta apa-apa. Ia hanya memberi. Ia menceritakan kisah tanah, keringat para petani, harapan seorang kakek. Ia mengingatkan kita pada rumah yang mung

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 116

    “Adalah sebuah kejahatan.”Dua kata itu jatuh ke dalam stadion yang hening seperti dua bilah es, membekukan gelombang ekstasi palsu yang diciptakan Ki Gendeng. Untuk sesaat, bahkan para juri yang masih terjerat dalam adiksi Rendang Kiamat pun tersentak, sendok mereka berhenti di tengah jalan menuju mulut.Ki Gendeng, yang tadinya berdiri angkuh, tersentak seolah ditampar. Seringai iblisnya retak, digantikan oleh ekspresi tidak percaya yang kemudian mendidih menjadi amarah murni. “Kejahatan?” desisnya, suaranya bergetar karena murka yang tertahan. “Orang tua pikun! Kau menyebut evolusi sebagai kejahatan? Kau tidak mengerti! Ini adalah masa depan! Rasa yang tidak lagi dibatasi oleh nostalgia bodohmu!”“Justru karena aku mengerti, aku menyebutnya demikian,” balas Maestro Tanaya, matanya yang tua namun jernih menatap lurus ke arah Ki Gendeng tanpa gentar. Ia tidak meninggikan suaranya, tetapi setiap suku katanya bergema dengan otoritas yang tak terbantahkan. “Kau tidak menciptakan rasa.

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 115

    Gedebuk!Suara tubuh Radit yang menghantam lantai panggung terdengar lebih keras dari bel akhir waktu, sebuah tanda titik yang brutal dalam simfoni memasak yang baru saja usai. Untuk sesaat, seluruh stadion membeku. Keheningan yang tadinya mencekam karena antisipasi kini berubah menjadi keheningan syok.“RADIT!” Jeritan Luna merobek keheningan itu, penuh kepanikan murni. Ia melompati pagar pembatas tanpa ragu, disusul oleh Adrian yang bergerak sigap, wajahnya pucat pasi. Tim medis yang siaga di sisi panggung segera berlari, mengabaikan segala protokol kompetisi.Di seberang panggung, Ki Gendeng tertawa. Bukan tawa kemenangan yang meledak-ledak, melainkan tawa serak yang puas, seperti suara ular derik yang baru saja menyuntikkan bisanya.“Hah… hah… lihatlah sang pahlawan rakyat,” desisnya, napasnya masih terengah setelah mengerahkan seluruh sihirnya. “Menumpahkan jiwa ke dalam sepiring nasi? Bodoh. Jiwa itu untuk dikendalikan, bukan untuk dibagikan.”Ia sama sekali tidak peduli pada ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status