LOGINAku berjalan pelan di samping Galang, memeluk kantong obat di dadaku seolah itu harta paling berharga. Sebenarnya aku ingin buru-buru pulang, takut kalau ibu terbangun sendirian. Tapi langkahku terus mengikuti Galang, entah kenapa.
“Mas …” aku memberanikan diri memanggil, suaraku lirih. “Sebenarnya nggak usah repot-repot, Mas. Udah banyak bantuan Mas buat keluarga saya. Saya malu …” Galang melirikku sekilas, lalu kembali menatap lurus ke depan. “Udah, nggak usah mikirin itu. Kamu terlalu banyak mikir. Kalau saya bisa bantu, ya saya bantu. Simple aja." Aku terdiam. Entah kenapa kata-katanya selalu terdengar gampang, padahal untukku semua terasa rumit. Kami melewati sebuah restoran kecil. Aroma kuah gurih langsung menyeruak. Aku sempat menoleh, lalu buru-buru memalingkan wajah. Tapi Galang malah berhenti. “Kamu belum makan siang, kan?” tanyanya datar. Aku tergagap. “Maaf, Mas … saya harus pulang. Ibu—” “Kamu makan dulu. Kalau kamu jatuh sakit, siapa yang urus ibumu?” Suaranya tetap datar, tapi kalimatnya tidak bisa kubantah. Tanpa menunggu jawabanku, ia masuk ke dalam restoran. Aku terbengong di depan pintu. “Mas, saya beneran nggak lapar—” “Masuk,” potongnya tegas. Seperti anak kecil, aku akhirnya menuruti. Kami duduk di meja pojok. Pelayan mendekat, tapi Galang langsung bicara tanpa menoleh padaku. “Sop buntutnya dua porsi.” Aku menoleh kaget. “Mas, saya—” “Udah, nggak usah protes. Suka, kan? Sop buntut?” Aku terdiam. Jujur saja, itu makanan favoritku. Tapi sekarang aku tidak punya selera makan sama sekali. Tak lama, dua mangkuk sop buntut panas tersaji di depan kami. Aroma kaldu yang harum memenuhi udara. Perutku yang dari tadi kosong tiba-tiba bergejolak, tapi tanganku hanya memegang sendok, tak kunjung menyuap. "Makanlah,” kata Galang pelan namun dengan gaya khasnya yang tegas. Aku menunduk, mengaduk-aduk sopku dengan sendok. Uap panasnya naik ke wajahku. Tapi lidahku terasa kaku. Sementara dia sudah mulai menikmati sop buntutnya. “Kamu nggak bakal kuat ngomongin masalah ini kalau belum makan,” katanya lagi, kali ini menatapku tajam. Aku masih diam. Air mataku sudah menumpuk di pelupuk. Tangan ini gemetar, suara sendok beradu dengan piring terdengar lebih jelas. Akhirnya Galang meletakkan sendoknya dengan keras. “Vania. Stop. Sekarang kamu cerita.” Aku tersentak. Nafasku tercekat. “Saya … saya takut, Mas.” “Takut apa?” “Takut kalau saya cerita, malah bikin Mas tambah repot.” Suaraku pecah. “Saya malu. Saya malu banget.” Galang menghela napas panjang, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Kamu nggak usah mikir macam-macam. Kamu butuh pertolongan, Vania. Dan kebetulan saya ada di sini. Jadi, ceritain aja.” Air mataku akhirnya tumpah. Aku menutup wajahku dengan tangan. “Mas Bimo … dia punya banyak hutang. Saya nggak tahu jumlah pastinya. Tapi hampir tiap hari ada penagih datang ke rumah. Mereka marah-marah, maki-maki saya, bahkan mengancam akan hancurin rumah kalau nggak dibayar.” Galang mengepalkan tangannya di atas meja. Rahangnya mengeras. “Bajingan.” Aku spontan mendongak, menatapnya. Baru kali ini aku mendengar Galang bicara kasar. Baru kali ini juga aku lihat matanya membara. Galang dan Bimo sudah berteman sejak SMA. Banyak hal yang sudah mereka lakukan bersama. Meski nasib Galang jauh lebih beruntung, dia banyak membantu kami selama ini. Tapi, hari ini dia memaki Bimo, temannya sendiri. “Suami macam apa dia, malah nyeret kamu ke masalah kayak gini?” Sadar kalimatnya terlewat kasar, Galang berdeham. Lalu, dia kembali bertanya, “Untuk apa dia berutang sebanyak itu?” Aku buru-buru mengusap air mata dengan punggung tangan. “Saya nggak tahu uang itu dipakai buat apa. Tapi orang-orang bilang dia sering main judi online, mabuk-mabukan….” Galang menatapku lama. Seakan sedang menimbang-nimbang sesuatu. Tapi sebelum ia bicara, ponselku berdering. Nomor tak dikenal, tapi aku tahu betul siapa. Dengan tangan gemetar, aku mengangkat. “H-halo?” Suara di seberang langsung membentak. “Hei, lu! Jangan sampai lu kabur, ya! Besok pagi duit tujuh puluh lima juta itu harus ada! Kalau nggak, lu siap-siap aja gue bikin nyesel seumur hidup!” Aku pucat. Tubuhku lunglai seketika. “T-tolong, Bang … saya butuh waktu lagi …” “Nggak bisa. Pokoknya besok pagi!” telepon diputus sepihak. Tanganku gemetar hebat. Ponsel nyaris jatuh. Galang menatapku tajam, wajahnya mengeras. “Penagih hutang itu lagi?” Aku menunduk, bahuku bergetar. “Iya … mereka … mereka cuma kasih waktu sampai besok pagi. Tujuh puluh lima juta, Mas. Saya … saya nggak tahu harus gimana.” Air mataku tumpah, deras mengalir di pipi. Aku menunduk, menutup wajahku dengan tangan. Suaraku bergetar. “Saya nggak punya siapa-siapa lagi, Mas. Saya cuma bisa nangis.” Beberapa saat, hanya ada suara sendok beradu dengan mangkuk dari meja lain. Galang tidak bicara. Ia hanya menatapku, lama, dengan rahang mengeras. Lalu tiba-tiba, suaranya yang khas berat dan tegas itu kembali terdengar. “Vania.” Aku mengangkat wajah dengan mata terasa bengkak. “Aku akan bayar semua hutang-hutang Bimo. Semuanya. Termasuk yang tujuh puluh lima juta besok pagi.” Dunia seakan berhenti berputar. Dengan mata membesar, aku menatap Galang tak percaya. “Mas Galang … tadi bilang apa?” Galang tidak berkedip. Tatapannya sangat dalam. “Aku akan selesaikan semua utang Bimo.” Mataku membesar, tidak menyangka Galang akan menawarkan jalan keluar. Namun, aku merasa lega terlalu awal. Karena … Galang belum selesai. “Tapi…” suara Galang kembali terdengar, tepat seiring dia menatapku lurus dan dalam “Kamu harus bisa memenuhi permintaanku.” “A-apa pun! Saya akan penuhi semua permintaan Mas Galang selama—” “Temani aku setiap aku minta.” Hah? Aku terperangah sesaat, lalu sedikit tertawa. Aku yakin aku salah dengar. “Maaf, Mas … saya sepertinya terlalu senang, jadi … saya kurang dengar ucapan Mas Galang. Tadi, permintaan Mas Galang apa?” Galang tak bergeming, matanya masih memandangku tajam. “Kubilang, Temani aku setiap aku membutuhkanmu, Vania.”POV BIMOMotor tuaku meraung kecil saat kutarik gas dalam-dalam. Jalanan masih ramai, tapi pikiranku hanya tertuju pada satu tujuan, yaitu tempat kost Sela. Sejak tadi pikiranku dipenuhi suara genitnya di telepon, tentang “gaya baru” yang katanya bakal bikin aku ketagihan. Dia memang selalu punya gaya bermacam-macam setiap kali kami ketemu. Bahkan dia punya ratusan video entah dari mana, yang katanya bisa menambah gairah.Aku berhenti tepat di depan kostnya. Sela sudah menunggu sambil berdiri di dekat gerbang, mengenakan jaket tipis dan celana jeans. Senyumnya sangat manis, membuat dadaku makin berdebar. Begitu motorku berhenti, dia langsung naik cepat tanpa banyak bicara.“Pegangan, Sayaaang!” seruku sambil ngebut menuju jalan raya.Sela tertawa senang, tangannya melingkar erat di pinggangku. Dari tawanya aku tahu, dia sangat bersemangat. Sela pasti sudah ketagihan dengan permainanku di ranjang. Tiba-tiba saja bayangan malam-malam panas kami terlintas di pikiranku. Rasanya sudah
POV BIMOUntung saja tadi ada Rini yang tidur di warung. Kalau tidak, aku pasti kerepotan membawa Vania sendirian ke rumah sakit. Sebenarnya … kalau dia tidak hamil, mungkin sudah aku tinggal saja di rumah. Tapi keadaan seperti itu bikin aku gak bisa kabur. Mau gak mau harus cari bantuan.Sekarang kami berada di UGD. Bau obat menyengat. Lampu-lampu putih terang membuat mataku makin perih karena kurang tidur.Vania sedang di dalam ruang periksa, ditemani Rini. Sementara aku bersandar di dinding ruang tunggu, berdiri dengan tangan masuk ke saku celana. Kakiku gemetar, entah karena cemas atau karena masih kesal akibat kalah judi tadi.Pintu ruang periksa terbuka. Rini muncul dengan tergesa-gesa, wajahnya tegang.“Mas Bim,” panggilnya, “kok nggak masuk? Ntar kalau dokter nyariin gimana?”Aku langsung manyun. “Udah, kamu aja yang hadapin dokter. Aku males ditanya-tanya ini itu.”“Ya mana bisa gitu, Mas,” protes Rini. “Yang dicari pasti suaminya.”Aku mendecak. “Kamu kayak ngerti aja. Ema
POV BIMOTengah malam, aku diantar pulang oleh temanku naik motor. Udara malam terasa sangat dingin, tapi kepalaku panas karena emosi. Uang yang tadi kusimpan untuk main judi sudah habis. Ludes. Hasilnya aku pulang cuma dengan tangan kosong.Begitu motor berhenti di depan rumah, aku turun cepat. Temanku langsung pergi, tidak ada basa-basi. Aku membuka pagar, lalu masuk ke rumah dengan kunci yang selalu kubawa. Lampu teras mati, hanya lampu ruang tamu yang redup.“Brengsek …” gumamku sambil melempar kunci ke meja. “Masa kalah lagi. Ludes udah duit.”Aku duduk di sofa sambil mengacak rambut. Kesal bukan main. Rasanya semua sial datang bersamaan. Perutku juga lapar karena belum makan dari sore, tapi emosi malah lebih besar.Dan seperti biasanya, kalau aku sudah kalah, mau gak mau pulang ke rumah. Tapi rasanya tensiku malah naik. Di kepalaku langsung muncul satu nama.“VANIA!”Aku berteriak dari ruang tamu.“VANIA! Heh! Tidur apa mati, sih!”Tidak ada jawaban.Aku berdiri dan berjalan ke
POV BIMOKami sudah memasuki area Jakarta ketika Galang kembali membuka suara. Sejak berhenti di pom bensin tadi, dia yang mengambil alih kemudi. Tidak seperti biasanya, kali ini dia menyetir dengan sangat fokus, rahangnya mengeras setiap kali mobil berhenti di lampu merah.“Bim,” katanya pelan tapi tegas, “nanti aku antar kamu sampai rumah.”Aku menoleh, lalu tertawa pelan. “Ah, nggak usah, Lang. Turunin aja aku di Jalan Kecubung. Seperti biasa lah, nongkrong dulu. Pulang juga males, masih siang.”Galang tidak langsung menjawab. Kedua tangannya tetap berada di setir, mencengkeram, seperti sedang menahan sesuatu. Aku melirik lagi. Entah kenapa wajahnya terlihat kesal. Apa dia lagi punya masalah?Aneh. Sejak tadi dia memang kelihatan beda. Lebih pendiam. Lebih … keliatan tegang?“Istri kamu lagi hamil, Bim,” katanya akhirnya. “Harusnya kamu jaga.”Aku langsung menatapnya lama. Ngapain juga dia peduli sama rumah tanggaku? Benar-benar aneh.Tatapan Galang masih lurus ke jalan.“Udah bias
POV BIMOPerjalanan menuju bandung selama dua jam rasanya cukup panjang. Begitu papan bertuliskan “Selamat Datang di Kota Bandung” terlihat di pinggir jalan, aku menepuk ringan setir sambil bersiul kecil. Udara di kota ini terasa lebih sejuk dibanding Jakarta. Pohon-pohon besar berbaris di tepi jalan, dan di kejauhan tampak siluet bangunan megah berdiri menjulang.“Lang, kita langsung ke proyek kamu, kan?” tanyaku sambil melirik Galang yang duduk di kursi penumpang.“Iya,” jawabnya pendek. Matanya fokus ke depan, tapi pandangannya kosong. Seolah pikirannya sedang berada di tempat lain.Kami terus melaju melewati jalan utama hingga berhenti di depan area proyek besar yang dijaga satpam berseragam. Sebuah papan besar bertuliskan “The Evergreen Hotel by G. Group” berdiri gagah di sisi gerbang.Begitu turun dari mobil, aku kembali bersiul pelan. “Wah, gila … megah banget, Lang,” ujarku jujur.Galang hanya mengangguk kecil, ekspresinya datar. “Masih delapan puluh persen. Tapi sudah bisa k
POV GALANG Aku menatap sisa teh hangat di gelas, meneguknya perlahan hingga habis. “Kita berangkat sekarang,” kataku akhirnya sambil bangkit dari duduk. Bimo yang sedari tadi memeriksa ponselnya menoleh cepat. “Ayo!” ujarnya, meraih tas ransel yang bersandar di samping kursi. Aku berdiri di dekat pintu, sekilas kuedarkan pandangan ke dalam rumah. Tanpa disadari Bimo, mataku sedang mencari seseorang. Namun, ia tak terlihat. “Dimana istrimu?” tanyaku tiba-tiba. Bimo menoleh sebentar, lalu terkekeh kecil. “Halah! Paling juga tidur. Alasannya bawaan bayi. Ayo, kita berangkat aja!” Aku spontan menatapnya. “Istrimu … hamil?” tanyaku pelan, pura-pura tidak tau. Tetapi aku memang ingin sekedar memastikan. Bimo mengangguk, bibirnya tersenyum lebar. “Iya. Aku nggak nyangka juga bakal punya anak.” Wajahnya terlihat sangat bangga. Aku terdiam beberapa detik. Melihat ekspresi Bimo justru membuat dadaku bergemuruh. “Selamat, ya,” ucapku datar. “Thanks, Bos.” Bimo menepuk bahuku







