Share

Bab 5. Kesepakatan

Author: Rina Novita
last update Last Updated: 2025-09-19 10:54:40

Seketika jantungku berdegup begitu kencang, hingga membuat dada ini sesak. Tanganku yang masih memegang sendok gemetar, hampir saja jatuh ke meja.

“A-apa maksud Mas dengan kata menemani?” tanyaku dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Galang menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapku dengan mata tajam yang seakan sedang menelanjangiku habis-habisan. Ia mengangkat alis, lalu bicara pelan, namun tegas.

“Kita sudah sama-sama dewasa, Vania. Saya rasa kamu paham maksud saya.”

Aku sontak terdiam, menelan ludah. Rasa panas merambat ke wajahku, bercampur malu, marah, dan ketakutan. Tidak pernah terlintas sebelumnya kalau pria sewibawa dan seberkelas Galang akan mengucapkan kalimat serendah itu padaku.

“Ma—Mas … jangan bercanda soal beginian …,” suaraku bergetar.

Ekspresi Galang datar, tatapannya dingin. “Saya tidak sedang bercanda. Kamu perlu uang demi ibumu, jadi … saya memberikan penawaran."

Aku tersentak, lalu menundukkan kepala. Suaraku terdengar berbisik, “Tapi … bagaimana dengan Mas Bimo? Dan .... bagaimana jika Mbak Ratna tahu hal ini?" tanyaku ragu.

"Kamu tidak perlu memikirkan soal Ratna. Selama kamu tidak mengatakan apapun, dia tidak akan pernah tau. Dan mengenai Bimo ...."

Galang mendengus kasar, wajahnya berubah dingin. “Bajingan itu biar jadi urusan saya. Saya akan sebar orang-orang untuk mencarinya. Dia harus bertanggung jawab dengan caranya sendiri."

Wajah Galang memerah saat menyebut nama Mas Bimo.

"Jadi ...  bagaimana, Vania?”

Aku terdiam lama. Ruangan restoran yang ramai terasa hening di telingaku. Seolah dunia hanya menyisakan aku dan Galang.

Apakah keputusanku nanti tepat? Apa aku tidak akan menyesalinya seumur hidup?

Tapi kalau aku menolak … berarti aku sudah menandatangani hukuman mati untuk ibuku.

Bagiku, ibulah yang membuatku masih berdiri sampai hari ini. Ibu yang rapuh, dengan jantung lemah, yang bisa kambuh atau berhenti berdetak kapan saja jika mendengar bentakan para penagih itu. Jadi, tidaklah salah kalau aku bersedia melakukan apa saja untuknya, bukan?

Hatiku berkecamuk. Aku ingin sekali menolak, tahu bahwa tawaran ini salah. Akan tetapi, besok … besok uang tujuh puluh lima juta itu harus ada. Kalau tidak … rumahku bisa dihancurkan, ibuku bisa disakiti, atau bahkan lebih buruk … bisa-bisa mereka memaksaku untuk jual diri.

Air mataku menetes ke atas meja.

Melihatku kesulitan, Galang akhirnya menghela napas. “Kalau terlalu sulit, maka lupakan saja.”

Mendengar itu, aku pun menundukkan kepala rendah. “Aku … aku minta maaf, Mas,” suaraku akhirnya keluar, pelan, sukar. “Aku tidak bisa. Aku tidak sanggup melakukan hal yang membuat aku mengkhianati hati nurani sendiri.”

Sudut bibir Galang terangkat samar. “Jadi, maksudmu … saya tidak punya hati nurani?”

Aku tersentak, langsung mendongak untuk menatapnya. “B-bukan!” suaraku melengking, membuat beberapa kepala menoleh. Panik, cepat-cepat kuturunkan nada suaraku. “Bukan begitu … bukan Mas Galang tidak punya nurani. Justru sebaliknya. Mas terlalu baik … sampai mau menawarkan bantuan semacam itu pada saya. Tapi saya … terlalu pengecut untuk menerimanya.”

Aku menarik napas gemetar, lalu menunduk lagi.

“Jadi, ini semua salah saya, bukan salah Mas Galang. Saya harap Mas tidak tersinggung.”

Sejenak, keheningan membentang di antara kami. Tatapan Galang menusukku lama, membuatku makin tak tenang. Lalu, perlahan, dia mengalihkan pandangan dan tersenyum tipis.

“Aku mengerti. Aku tidak tersinggung, Vania. Tadi cuma menggodamu saja.”

Ia berdiri, merapikan jasnya dengan gerakan tenang. “Kamu sudah selesai makan, bukan? Ayo, kuantar pulang.”

Aku ikut berdiri dengan tergopoh-gopoh, masih diliputi rasa canggung. “T-tidak usah, Mas. Saya bisa pulang sendiri. Saya tidak mau mengganggu waktu Mas lagi. Untuk uang yang Mas berikan tadi … saya akan kembalikan nanti, kalau sudah ada rezeki.”

Galang menoleh sekilas, matanya teduh tapi tajam. “Tidak perlu. Anggap saja itu hadiah dariku … karena kekacauan yang dibuat Ratna di pesta waktu itu.

Aku terdiam. Kata-katanya membuat dadaku bergetar, tapi tak sanggup kubalas. 

Galang hanya tersenyum samar, lalu menambahkan pelan, “Kalau kamu perlu bantuan, hubungi aku kapan saja. Penawaran itu akan selalu ada.”

Kemudian, pria itu pun berbalik dan melangkah pergi, meninggalkanku berdiri mematung di sana.

Aku menatap punggung lebar Galang yang menjauh, dan tanpa sadar bisikan itu lolos dari bibirku.

“Andai saja Mas Bimo punya setidaknya sepertiga dari kesabaran Galang … apakah hidupku akan lebih baik dari sekarang?”

**

Dengan langkah gontai, aku meninggalkan mall. Kantong obat kupeluk erat di dada, seolah benda itu bisa memberiku sedikit kekuatan. Kepalaku masih dipenuhi percakapan gila barusan antara aku dan Galang. 

Sulit dipercaya, pria semacam dia, dengan segala kewibawaannya, bisa mengucapkan hal-hal yang membuatku goyah. Bahkan … seakan ia tertarik padaku.

Aku menggeleng cepat, menepis bayangan itu. 

Tidak boleh. Aku tidak boleh larut. Kalau sampai ingatan ini terus melekat, aku tahu setiap kali bertemu Galang dan Ratna nanti, aku akan dihantui rasa canggung yang mengganggu.

Akhirnya, aku pun menegakkan tubuh dan kembali menatap ke depan, melanjutkakn perjalanan pulang.

Tak terasa, setelah kurang lebih lima belas menit, aku sudah sampai di jalanan depan rumah. Namun, langkahku tiba-tiba terhenti.

Kerumunan orang terlihat berkumpul di depan rumah kecilku. Suara-suara gaduh terdengar, campur aduk antara panik dan cemas. Dadaku mencelos.

Ada apa ini?

Aku berlari kecil, hendak bertanya, tapi sebelum sempat membuka mulut, seorang perempuan paruh baya keluar dari kerumunan. Bude Narti, tetangga dekat rumah kami, berlari tergopoh menghampiriku.

“Vania!” serunya dengan wajah panik. “Ibumu pingsan! Kita harus segera bawa ke rumah sakit!”

Darahku seolah berhenti mengalir.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 156. Gugatan

    POV BIMOAku mondar-mandir di ruang tamu rumah, kepalaku penuh. Mama duduk di sofa dengan wajah tegang, jemarinya sibuk memutar-mutar tasbih kecil yang sejak tadi tak lepas dari tangannya. Sejak kejadian di restoran itu, suasana rumah terasa tegang. Aku seperti sedang menunggu bom waktu yang siap meledak kapan saja.“Ini nggak bisa dibiarin, Bim.” Suara Mama akhirnya memecah hening. “Perempuan itu makin berani. Masa mau gugat cerai segala?”Aku menghela napas kasar. “Aku juga lagi mikir, Ma.”Kita sama-sama tahu, ancaman paling ampuh sekarang ini adalah bayi itu. Fajar. Tapi pasti sulit. Bayi itu masih butuh ASI. Tidak mungkin kita menariknya paksa tanpa risiko besar. Dan yang lebih menyebalkan, Vania terlihat jauh lebih siap daripada yang kukira.“Kalau pakai cara biasa, susah,” lanjut Mama, suaranya menajam. “Kamu juga jangan kelihatan lemah. Dia itu istrimu. Tanpa persetujuanmu, mana bisa cerai?”Aku mengangguk, meski di dalam dada ada kegelisahan yang sulit ditepis. Selama ini aku

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 155. Bukti Video

    POV VANIAAku tidak lagi peduli dengan apa yang terjadi antara Bimo dan ibunya di ruang private itu. Suara Bu Marni yang meninggi, atau wajah Bimo yang mungkin sedang pucat ketakutan, sama sekali tidak ingin kupikirkan lagi. Kepalaku terlalu lelah untuk menampung emosi mereka.Aku melangkah cepat menuju paviliun.Begitu pintu tertutup di belakangku, suasana langsung berubah sunyi. Ankala sedang terjaga di ranjang kecilnya, sementara suster Lani baru saja selesai membersihkan botol-botol susu Ankala.Aku mendekat, menggendong Ankala dengan hati-hati, lalu duduk di kursi sofa yang biasa aku gunakan untuk menyusui bayiku itu . Aku menyusui Ankala perlahan, sambil mengelus punggungnya.“Tenang ya, Nak,” bisikku lirih. “Mama nggak akan biarin siapa pun menyakitimu.” Aku menyusui Ankala sampai bayiku puas kekenyangan. Tak lama kemudian, Suster Lani masuk membawa perlengkapan mandi bayi. Ia memandikan Ankala dengan cekatan, penuh kehati-hatian. Setelah selesai, ia mengeringkan tubuh kecil i

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 154. Butuh Penjelasan

    POV VANIA“Mana Vania?!”Suara Ratna terdengar lantang dari pintu masuk restoran. Dari dalam ruang private yang sebagian dindingnya terbuat dari kaca, aku bisa melihat Ratna dengan jelas. Wajahnya tegang, matanya menyala penuh emosi. Untungnya, keluarga besar Bimo sedang fokus menikmati hidangan, tertawa kecil dan saling berbincang, sehingga mereka tidak mendengar suara Ratna. Hanya beberapa pelanggan yang duduk dekat pintu masuk yang sempat menoleh sekilas.Dadaku langsung berdegup kencang. Aku tidak bisa membiarkan Ratna membuat keributan di sini.Aku segera bangkit dari kursiku dan melangkah cepat keluar dari ruang private, menghampirinya sebelum suasana menjadi semakin buruk.“Mbak Ratna?” sapaku pelan. “Ada apa, Mbak?”Meski suaraku bergetar, aku berusaha terlihat setenang mungkin. Sebenarnya aku panik. Kedatangan Ratna yang tiba-tiba, dengan ekspresi seperti itu, jelas bukan pertanda baik.Ratna melotot tajam ke arahku. “Heh, Vania! Aku perlu bicara sama kamu. Empat mata.”Aku

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 153. Mati Kutu

    POV VANIA“Memangnya Bimo kenapa?”Pertanyaan itu meluncur dari salah satu tamu, seorang tante berusia lima puluhan yang sejak tadi duduk di ujung meja. Suaranya terdengar santai tapi tatapannya sangat penasaran.Aku menarik napas perlahan. Tanganku refleks mengelus punggung Ankala yang masih terlelap di gendonganku. Jantungku berdetak lebih kencang. Aku tahu, kalimatku barusan pasti akan membuat Bimo dan mamanya ketakutan.“VANIA!” Bu Marni memekik lantang. Matanya melotot, wajahnya merah padam. “Kamu jangan coba-coba jelek-jelekan suami kamu di depan orang-orang! Istri macam apa sih kamu ini!”Suaranya penuh amarah, tapi aku bisa menangkap sesuatu yang lain di sana, ketakutan. Bu Marni jelas panik. Dia tahu, kalau aku mulai bicara, semua cerita versinya tentang aku akan runtuh.Aku menatapnya datar. Dadaku memang panas, tapi anehnya kepalaku justru terasa jernih. Mungkin karena terlalu lama ditekan, akhirnya aku kebal.Belum sempat aku menjawab, pintu ruang private terbuka.“Sudah-

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 152. Kedatangan Keluarga Besar

    POV VANIA“Bu Vania?”Suster Lani kembali memanggilku. Aku tersadar dari lamunan. Sejak tadi aku memang hanya diam, menatap Ankala yang kembali terlelap di gendonganku. Kepalaku penuh memikirkan kenyataan yang satu per satu terbuka.“Iya, Mbak,” jawabku akhirnya, meski suaraku terdengar lebih pelan Lani tampak bingung. Tatapannya bergantian antara wajahku dan Ankala. Seperti ada banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, tapi ia menahannya.“Mbak Lani,” aku menarik napas panjang, lalu menatapnya lurus, “karena Mbak sudah tahu sejak awal … saya akan jelaskan yang sebenarnya. Tapi tolong, simpan dulu rahasia ini rapat-rapat.”Wajah Lani langsung berubah serius. Ia mengangguk cepat. “Iya, Bu. Saya janji.”Aku menelan ludah. Sebenarnya aku ragu, tapi aku memaksakan diri untuk bicara.“Ankala memang anak Mas Galang,” ucapku akhirnya. Kalimat itu keluar lirih. “Dan … saya akan segera mengurus perceraian saya dengan Bimo.”Lani menghela napas lega. Bahkan terlihat seperti beban di dadanya i

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 151. Keributan

    POV VANIA“Astaga, Mas … bagaimana ini?” Suaraku gemetar begitu menutup panggilan dari Rini. Dadaku terasa sesak, telapak tanganku dingin, aku sangat mengkhawatirkan Ankala.Galang langsung menoleh, wajahnya berubah tegang. “Ada apa? Ankala baik-baik saja, kan?” Galang jugapanik, matanya menelusur wajahku seakan mencari jawaban sebelum aku sempat bicara.“Cepat, Mas. Cepat kita balik ke restoran,” kataku nyaris terisak. “Bimo dan ibunya berusaha mau ambil Ankala dari Suster Lani.”Wajah Galang seketika memerah. Rahangnya mengeras. “Bimo brengsek!” umpatnya pelan tapi penuh amarah.Tanpa menunggu lagi, Galang langsung menyalakan mesin mobil. Mobil melesat meninggalkan taman, kembali ke arah restoran. Aku menangis sepanjang jalan. Air mataku tidak bisa kutahan. Bayangan Ankala menangis, ketakutan, diperebutkan orang-orang yang tidak pernah benar-benar menjaganya, membuat dadaku terasa seperti diremas.“Tenang, Nia,” Suara Galang terdengar menenangkan meski jelas ia juga cemas. “Selama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status