Seketika jantungku berdegup begitu kencang, hingga membuat dada ini sesak. Tanganku yang masih memegang sendok gemetar, hampir saja jatuh ke meja.
“A-apa maksud Mas dengan kata menemani?” tanyaku dengan suara yang nyaris tak terdengar. Galang menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapku dengan mata tajam yang seakan sedang menelanjangiku habis-habisan. Ia mengangkat alis, lalu bicara pelan, namun tegas. “Kita sudah sama-sama dewasa, Vania. Saya rasa kamu paham maksud saya.” Aku sontak terdiam, menelan ludah. Rasa panas merambat ke wajahku, bercampur malu, marah, dan ketakutan. Tidak pernah terlintas sebelumnya kalau pria sewibawa dan seberkelas Galang akan mengucapkan kalimat serendah itu padaku. “Ma—Mas … jangan bercanda soal beginian …,” suaraku bergetar. Ekspresi Galang datar, tatapannya dingin. “Saya tidak sedang bercanda. Kamu perlu uang demi ibumu, jadi … saya memberikan penawaran." Aku tersentak, lalu menundukkan kepala. Suaraku terdengar berbisik, “Tapi … bagaimana dengan Mas Bimo? Dan .... bagaimana jika Mbak Ratna tahu hal ini?" tanyaku ragu. "Kamu tidak perlu memikirkan soal Ratna. Selama kamu tidak mengatakan apapun, dia tidak akan pernah tau. Dan mengenai Bimo ...." Galang mendengus kasar, wajahnya berubah dingin. “Bajingan itu biar jadi urusan saya. Saya akan sebar orang-orang untuk mencarinya. Dia harus bertanggung jawab dengan caranya sendiri." Wajah Galang memerah saat menyebut nama Mas Bimo. "Jadi ... bagaimana, Vania?” Aku terdiam lama. Ruangan restoran yang ramai terasa hening di telingaku. Seolah dunia hanya menyisakan aku dan Galang. Apakah keputusanku nanti tepat? Apa aku tidak akan menyesalinya seumur hidup? Tapi kalau aku menolak … berarti aku sudah menandatangani hukuman mati untuk ibuku. Bagiku, ibulah yang membuatku masih berdiri sampai hari ini. Ibu yang rapuh, dengan jantung lemah, yang bisa kambuh atau berhenti berdetak kapan saja jika mendengar bentakan para penagih itu. Jadi, tidaklah salah kalau aku bersedia melakukan apa saja untuknya, bukan? Hatiku berkecamuk. Aku ingin sekali menolak, tahu bahwa tawaran ini salah. Akan tetapi, besok … besok uang tujuh puluh lima juta itu harus ada. Kalau tidak … rumahku bisa dihancurkan, ibuku bisa disakiti, atau bahkan lebih buruk … bisa-bisa mereka memaksaku untuk jual diri. Air mataku menetes ke atas meja. Melihatku kesulitan, Galang akhirnya menghela napas. “Kalau terlalu sulit, maka lupakan saja.” Mendengar itu, aku pun menundukkan kepala rendah. “Aku … aku minta maaf, Mas,” suaraku akhirnya keluar, pelan, sukar. “Aku tidak bisa. Aku tidak sanggup melakukan hal yang membuat aku mengkhianati hati nurani sendiri.” Sudut bibir Galang terangkat samar. “Jadi, maksudmu … saya tidak punya hati nurani?” Aku tersentak, langsung mendongak untuk menatapnya. “B-bukan!” suaraku melengking, membuat beberapa kepala menoleh. Panik, cepat-cepat kuturunkan nada suaraku. “Bukan begitu … bukan Mas Galang tidak punya nurani. Justru sebaliknya. Mas terlalu baik … sampai mau menawarkan bantuan semacam itu pada saya. Tapi saya … terlalu pengecut untuk menerimanya.” Aku menarik napas gemetar, lalu menunduk lagi. “Jadi, ini semua salah saya, bukan salah Mas Galang. Saya harap Mas tidak tersinggung.” Sejenak, keheningan membentang di antara kami. Tatapan Galang menusukku lama, membuatku makin tak tenang. Lalu, perlahan, dia mengalihkan pandangan dan tersenyum tipis. “Aku mengerti. Aku tidak tersinggung, Vania. Tadi cuma menggodamu saja.” Ia berdiri, merapikan jasnya dengan gerakan tenang. “Kamu sudah selesai makan, bukan? Ayo, kuantar pulang.” Aku ikut berdiri dengan tergopoh-gopoh, masih diliputi rasa canggung. “T-tidak usah, Mas. Saya bisa pulang sendiri. Saya tidak mau mengganggu waktu Mas lagi. Untuk uang yang Mas berikan tadi … saya akan kembalikan nanti, kalau sudah ada rezeki.” Galang menoleh sekilas, matanya teduh tapi tajam. “Tidak perlu. Anggap saja itu hadiah dariku … karena kekacauan yang dibuat Ratna di pesta waktu itu. Aku terdiam. Kata-katanya membuat dadaku bergetar, tapi tak sanggup kubalas. Galang hanya tersenyum samar, lalu menambahkan pelan, “Kalau kamu perlu bantuan, hubungi aku kapan saja. Penawaran itu akan selalu ada.” Kemudian, pria itu pun berbalik dan melangkah pergi, meninggalkanku berdiri mematung di sana. Aku menatap punggung lebar Galang yang menjauh, dan tanpa sadar bisikan itu lolos dari bibirku. “Andai saja Mas Bimo punya setidaknya sepertiga dari kesabaran Galang … apakah hidupku akan lebih baik dari sekarang?” ** Dengan langkah gontai, aku meninggalkan mall. Kantong obat kupeluk erat di dada, seolah benda itu bisa memberiku sedikit kekuatan. Kepalaku masih dipenuhi percakapan gila barusan antara aku dan Galang. Sulit dipercaya, pria semacam dia, dengan segala kewibawaannya, bisa mengucapkan hal-hal yang membuatku goyah. Bahkan … seakan ia tertarik padaku. Aku menggeleng cepat, menepis bayangan itu. Tidak boleh. Aku tidak boleh larut. Kalau sampai ingatan ini terus melekat, aku tahu setiap kali bertemu Galang dan Ratna nanti, aku akan dihantui rasa canggung yang mengganggu. Akhirnya, aku pun menegakkan tubuh dan kembali menatap ke depan, melanjutkakn perjalanan pulang. Tak terasa, setelah kurang lebih lima belas menit, aku sudah sampai di jalanan depan rumah. Namun, langkahku tiba-tiba terhenti. Kerumunan orang terlihat berkumpul di depan rumah kecilku. Suara-suara gaduh terdengar, campur aduk antara panik dan cemas. Dadaku mencelos. Ada apa ini? Aku berlari kecil, hendak bertanya, tapi sebelum sempat membuka mulut, seorang perempuan paruh baya keluar dari kerumunan. Bude Narti, tetangga dekat rumah kami, berlari tergopoh menghampiriku. “Vania!” serunya dengan wajah panik. “Ibumu pingsan! Kita harus segera bawa ke rumah sakit!” Darahku seolah berhenti mengalir.Aku berlari di belakang para tetangga yang membantu menggotong ibu ke dalam mobil. Kantong obat yang tadi kupeluk erat masih kugenggam, tapi rasanya tak berguna lagi. Dadaku sesak, mataku panas.“Ibu … bertahan, Bu. Tolong bertahan,” bisikku panik, sambil menggenggam tangan beliau yang terkulai lemah.Aku menoleh ke arah Bude Narti yang ikut terburu-buru masuk ke mobil. “Bude … sebenernya tadi ada apa? Kenapa Ibu bisa pingsan?” tanyaku dengan suara bergetar.Bude Narti menghela napas panjang, wajahnya penuh kekhawatiran. “Siang tadi Bimo sempat pulang, Nak. Kami dengar dia marah-marah di dalam rumah. Suaranya keras sekali, kayak lagi ribut besar. Nggak lama kemudian, dia keluar lagi sambil banting pintu.”Aku tercekat, dadaku makin sesak. “Terus … Ibu?”“Tak lama setelah Bimo pergi, kami dengar suara gedebuk keras dari dalam rumah. Kami kira sesuatu jatuh, jadi beberapa tetangga langsung masuk. Pas kami lihat, ternyata ibumu sudah terkapar di lantai, nggak sadarkan diri.” Suara Bude b
Seketika jantungku berdegup begitu kencang, hingga membuat dada ini sesak. Tanganku yang masih memegang sendok gemetar, hampir saja jatuh ke meja.“A-apa maksud Mas dengan kata menemani?” tanyaku dengan suara yang nyaris tak terdengar.Galang menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapku dengan mata tajam yang seakan sedang menelanjangiku habis-habisan. Ia mengangkat alis, lalu bicara pelan, namun tegas.“Kita sudah sama-sama dewasa, Vania. Saya rasa kamu paham maksud saya.”Aku sontak terdiam, menelan ludah. Rasa panas merambat ke wajahku, bercampur malu, marah, dan ketakutan. Tidak pernah terlintas sebelumnya kalau pria sewibawa dan seberkelas Galang akan mengucapkan kalimat serendah itu padaku.“Ma—Mas … jangan bercanda soal beginian …,” suaraku bergetar.Ekspresi Galang datar, tatapannya dingin. “Saya tidak sedang bercanda. Kamu perlu uang demi ibumu, jadi … saya memberikan penawaran."Aku tersentak, lalu menundukkan kepala. Suaraku terdengar berbisik, “Tapi … bagaimana dengan Mas Bim
Aku berjalan pelan di samping Galang, memeluk kantong obat di dadaku seolah itu harta paling berharga. Sebenarnya aku ingin buru-buru pulang, takut kalau ibu terbangun sendirian. Tapi langkahku terus mengikuti Galang, entah kenapa.“Mas …” aku memberanikan diri memanggil, suaraku lirih. “Sebenarnya nggak usah repot-repot, Mas. Udah banyak bantuan Mas buat keluarga saya. Saya malu …”Galang melirikku sekilas, lalu kembali menatap lurus ke depan. “Udah, nggak usah mikirin itu. Kamu terlalu banyak mikir. Kalau saya bisa bantu, ya saya bantu. Simple aja."Aku terdiam. Entah kenapa kata-katanya selalu terdengar gampang, padahal untukku semua terasa rumit.Kami melewati sebuah restoran kecil. Aroma kuah gurih langsung menyeruak. Aku sempat menoleh, lalu buru-buru memalingkan wajah. Tapi Galang malah berhenti.“Kamu belum makan siang, kan?” tanyanya datar.Aku tergagap. “Maaf, Mas … saya harus pulang. Ibu—”“Kamu makan dulu. Kalau kamu jatuh sakit, siapa yang urus ibumu?” Suaranya tetap data
“Tu—tujuh puluh lima juta?” suaraku tercekat, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Dadaku berdegup kencang, lututku mendadak lemas. Seakan dunia runtuh menimpa kepalaku.“Itu … banyak banget, Bang. Mas Bimo … beneran punya hutang segitu?”Aku memang tahu Bimo sering main judol, bahkan tak jarang pulang dalam keadaan mabuk berat. Aku juga tahu dia kerap pinjam sana-sini untuk menutupi kebiasaan gilanya itu. Tapi … tujuh puluh lima juta? Angka itu bagiku seperti langit yang tak terjangkau. Selama ini aku masih bisa meyakinkan diriku kalau hutang-hutangnya tidak sampai segila itu. Nyatanya, aku salah besar.“Eh, lu pikir kita bohong?” salah satu penagih mendengus kasar. “Ini udah kelakuan suami lu dari dulu, kan? Main hutang, kabur, bikin ribet orang.”“Aku … aku nggak tahu, Bang. Mas Bimo dari semalam nggak pulang,” ucapku gemetar. Suaraku serak, hampir hilang.“Halah, Alasan! Jangan bohong lu!” salah satu dari mereka menendang pot bunga kecil di teras, membuatku te
“Eh!"Aku buru-buru menarik tanganku dari genggaman itu. Tapi justru semakin gugup karena tangan kokoh itu masih saja menahan pergelangan tangan ini. Jantungku berdetak tak karuan. Rasanya wajahku panas sekali. Aku menunduk, berharap tidak ada seorang pun yang melihat kami.“Mas …,” suaraku tercekat, lirih, hampir tak terdengar. Aku melirik cepat ke arah tanganku yang masih dalam genggamannya, lalu menatap wajahnya sekilas. “Tolong … dilepas.”Galang tersentak, seolah baru sadar dengan apa yang barusan dilakukannya. Ia cepat-cepat melepas genggaman itu. “Oh, maaf. Aku nggak sengaja,” ucapnya cepat, suaranya agak serak.Aku buru-buru mengangguk, meski gemetar. “I-iya, nggak apa-apa, Mas.” Dengan canggung, aku merapatkan nampan yang hampir terlepas dari genggamanku tadi. Tanpa berani menatapnya lagi, aku langsung mempercepat langkah menuju ruang tamu.Namun langkah gugupku justru membawaku pada masalah berikutnya.BRUK!Nampan di tanganku berguncang keras saat tubuhku bertabrakan dengan
“Cepat sedikit! Dasar lelet!” Bentakan Mas Bimo, suamiku, lagi-lagi menggelegar memenuhi rumah kecil kami. Padahal aku lamban karena baru saja selesai membantunya menyiapkan diri untuk acara reuni SMA-nya. “Aku udah siap, Mas,” ucapku pelan setelah rapi, menarik napas panjang untuk menahan hati yang bergetar sejak tadi dihantam omelan bertubi-tubi. Bimo menoleh tajam, matanya meneliti penampilanku dari atas ke bawah. Ia mendengus kasar. “Astaga, Vania! Kenapa pakai baju itu, sih? Orang-orang pasti ketawa lihat kamu kampungan kayak gitu! Bikin malu aja!” Aku menatap diriku, lalu kembali menatapnya. “Ini bajuku yang paling bagus, Mas. Aku ‘kan nggak pernah beli baju baru ….” Sekejap wajah Mas Bimo memerah. “Mulai lagi kamu nyindir-nyindir! Udah tahu aku lagi banyak masalah, masih aja kamu minta macam-macam!” bentaknya lagi. Sindiran? Minta macam-macam? Aku hanya menyatakan apa yang terjadi. Akan tetapi, takut pertengkaran ini melebar, aku pun buru-buru diam, lalu mengikuti Bimo