Home / Romansa / Retak Janji Pernikahan / Bab 3. Pria Penolong

Share

Bab 3. Pria Penolong

Author: Rina Novita
last update Last Updated: 2025-09-19 10:53:35

“Tu—tujuh puluh lima juta?” suaraku tercekat, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Dadaku berdegup kencang, lututku mendadak lemas. Seakan dunia runtuh menimpa kepalaku.

“Itu … banyak banget, Bang. Mas Bimo … beneran punya hutang segitu?”

Aku memang tahu Bimo sering main judol, bahkan tak jarang pulang dalam keadaan mabuk berat. Aku juga tahu dia kerap pinjam sana-sini untuk menutupi kebiasaan gilanya itu.

Tapi … tujuh puluh lima juta? Angka itu bagiku seperti langit yang tak terjangkau. Selama ini aku masih bisa meyakinkan diriku kalau hutang-hutangnya tidak sampai segila itu. Nyatanya, aku salah besar.

“Eh, lu pikir kita bohong?” salah satu penagih mendengus kasar. “Ini udah kelakuan suami lu dari dulu, kan? Main hutang, kabur, bikin ribet orang.”

“Aku … aku nggak tahu, Bang. Mas Bimo dari semalam nggak pulang,” ucapku gemetar. Suaraku serak, hampir hilang.

“Halah, Alasan! Jangan bohong lu!” salah satu dari mereka menendang pot bunga kecil di teras, membuatku terlonjak kaget.

“Pokoknya sekarang kita geledah aja rumah lu!” bentaknya.

Aku tersentak. “Ja—jangan, Bang!” suaraku meninggi karena panik. Aku cepat-cepat merentangkan tangan, menghalangi pintu.

“Tolong … jangan kasar. Di dalam ada Ibu saya. Beliau sakit jantung. Kalau dengar ribut-ribut begini … saya takut penyakitnya kambuh.”

Ketiga pria itu saling pandang. Wajah mereka tetap garang, tapi aku bisa menangkap keraguan di mata mereka. Aku menggigit bibir, mencoba menahan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk. “Kalau memang mau geledah, silakan … tapi tolong masuk dengan tenang. Jangan bikin ribut. Ibu saya sakit. Saya mohon …”

Mereka kembali saling lirik, lalu salah satunya mendengus panjang. “Hah … dasar sial. Oke, kali ini gua nggak bakal geledah. Tapi denger ya, jangan lu pikir bisa ngeles seenaknya! Suami lu kabur, bukan berarti lu bisa cuci tangan. Lu istrinya, jadi lu juga harus tanggung jawab!”

Darahku serasa berhenti mengalir. “Ta—tanggung jawab? Tapi, Bang, saya … saya nggak punya uang sebanyak itu.”

“Nggak peduli!” bentaknya. “Mau lu jual barang kek, jual rumah kek, jual diri kek … gua nggak peduli! Yang penting, besok pagi duit tujuh puluh lima juta itu harus ada di tangan gua! Paham?!”

Tubuhku gemetar hebat. “Sa-saya … akan coba usahain, Bang.” Suaraku nyaris tak terdengar.

“Cih!” mereka meludah ke tanah, lalu berbalik pergi dengan langkah kasar. Aku hanya berdiri kaku, menatap punggung mereka yang semakin menjauh. Tangan dan kakiku dingin karena ketakutan.

Aku menutup pintu dengan perlahan. Nafasku tersengal. Aku harus segera menenangkan diri. Jangan sampai Ibu mendengar keributan tadi. Aku berjalan ke kamar, di mana Ibu masih duduk di ranjang, menunggu aku melanjutkan menyuapi.

“Siapa tadi, Nak?” suara Ibu lirih, lembut.

Aku cepat-cepat tersenyum, meski bibirku gemetar. “Oh, itu … cuma temannya Mas Bimo, Bu. Nggak usah khawatir.”

Aku duduk di sampingnya, menyendok bubur, lalu menyuapinya lagi. Ibu berusaha mengunyah perlahan, tapi matanya menatapku penuh rasa ingin tahu. Saat itu, tanpa sadar, setetes air mata jatuh dari mataku.

“Nak … kamu nangis?” tanya Ibu lirih.

Cepat-cepat aku menyeka pipiku. “Eh, nggak Bu … ini cuma kelilipan,” jawabku terburu-buru sambil memaksakan untuk tetap tersenyum.

Aku tak boleh membuat Ibu ikut kepikiran. Tapi bagaimana caranya aku harus bayar hutang itu? Dari mana aku bisa dapat uang sebanyak itu dalam semalam?

Siang harinya, aku memberanikan diri keluar rumah untuk membeli obat Ibu di apotek. Letaknya di dalam mall yang berada, tidak jauh dari rumah. Di sepanjang perjalanan, aku terus mencoba menghubungi nomor Mas Bimo. Berkali-kali kucoba, tapi ponselnya tidak pernah aktif.

Rasanya aku ingin menjerit. Di mana sih kamu, Mas?! Kau tahu nggak kalau aku tiap hari dikejar-kejar rentenir gara-gara kamu!

Sampai di apotek, aku mengambil obat sesuai resep dokter. Saat kasir menyebutkan jumlah yang harus kubayar, aku tercekat. Uang di dompetku tidak cukup. Aku menatap lembaran-lembaran uang lusuh itu, menghitung lagi dengan panik. Masih kurang banyak.

“Maaf, Mbak … uangnya kurang?" tanya kasir itu datar.

Pipiku panas. Aku menunduk, bingung harus bagaimana. Aku tidak mungkin pulang tanpa obat untuk Ibu. Tapi aku juga benar-benar tidak punya uang.

Tiba-tiba, sebuah suara berat terdengar di belakangku. “Saya yang bayar.”

Aku menoleh cepat. Jantungku langsung berdebar. “Ma—Mas Galang?”

Pria itu berdiri tenang dengan wajah datar, menyodorkan kartu debit ke kasir. “Ini.”

Aku terpaku. Hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Mas … nggak perlu … saya …”

“Udah, nggak apa-apa.” Ucapannya tegas, seolah tak ingin ada bantahan.

Aku hanya bisa menunduk. Malu rasanya, harus ditolong begini. Tapi, di sisi lain, ada rasa lega luar biasa karena obat untuk Ibu akhirnya bisa terbeli.

Setelah keluar dari apotek, aku memberanikan diri membuka suara. “Mas … maaf banget, udah nyusahin. Saya janji akan kembalikan setelah punya uang nanti. Makasih banyak …”

Galang menoleh sekilas, sorot matanya tajam tapi hangat. “Nggak usah dipikirin."

Aku kembali memberanikan diri bertanya, "Mas, tau nggak Bimo dimana? Dia ... semalam nggak pulang."

Galang menoleh sekilas. Keningnya berkerut. "Saya tidak tahu. Apa ada masalah?"

Aku tercekat. Ingin rasanya aku menceritakan semuanya. Tentang para penagih hutang, tentang ancaman tujuh puluh lima juta itu. Tapi lidahku kelu.

“Kalau ada sesuatu, cerita. Siapa tahu saya bisa bantu," lanjutnya lagi.

Aku menelan ludah. Pikiranku langsung kembali pada wajah garang para penagih tadi pagi.

‘Besok pagi. Tujuh puluh lima juta. ‘Kata-kata itu terus terngiang di telingaku.

Dan tiba-tiba, pikiran gila melintas di kepalaku.

Bagaimana kalau … aku minta tolong saja pada Galang?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 62. Mencoba Gaya Baru

    POV BIMOMotor tuaku meraung kecil saat kutarik gas dalam-dalam. Jalanan masih ramai, tapi pikiranku hanya tertuju pada satu tujuan, yaitu tempat kost Sela. Sejak tadi pikiranku dipenuhi suara genitnya di telepon, tentang “gaya baru” yang katanya bakal bikin aku ketagihan. Dia memang selalu punya gaya bermacam-macam setiap kali kami ketemu. Bahkan dia punya ratusan video entah dari mana, yang katanya bisa menambah gairah.Aku berhenti tepat di depan kostnya. Sela sudah menunggu sambil berdiri di dekat gerbang, mengenakan jaket tipis dan celana jeans. Senyumnya sangat manis, membuat dadaku makin berdebar. Begitu motorku berhenti, dia langsung naik cepat tanpa banyak bicara.“Pegangan, Sayaaang!” seruku sambil ngebut menuju jalan raya.Sela tertawa senang, tangannya melingkar erat di pinggangku. Dari tawanya aku tahu, dia sangat bersemangat. Sela pasti sudah ketagihan dengan permainanku di ranjang. Tiba-tiba saja bayangan malam-malam panas kami terlintas di pikiranku. Rasanya sudah

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 61. ATM Vania

    POV BIMOUntung saja tadi ada Rini yang tidur di warung. Kalau tidak, aku pasti kerepotan membawa Vania sendirian ke rumah sakit. Sebenarnya … kalau dia tidak hamil, mungkin sudah aku tinggal saja di rumah. Tapi keadaan seperti itu bikin aku gak bisa kabur. Mau gak mau harus cari bantuan.Sekarang kami berada di UGD. Bau obat menyengat. Lampu-lampu putih terang membuat mataku makin perih karena kurang tidur.Vania sedang di dalam ruang periksa, ditemani Rini. Sementara aku bersandar di dinding ruang tunggu, berdiri dengan tangan masuk ke saku celana. Kakiku gemetar, entah karena cemas atau karena masih kesal akibat kalah judi tadi.Pintu ruang periksa terbuka. Rini muncul dengan tergesa-gesa, wajahnya tegang.“Mas Bim,” panggilnya, “kok nggak masuk? Ntar kalau dokter nyariin gimana?”Aku langsung manyun. “Udah, kamu aja yang hadapin dokter. Aku males ditanya-tanya ini itu.”“Ya mana bisa gitu, Mas,” protes Rini. “Yang dicari pasti suaminya.”Aku mendecak. “Kamu kayak ngerti aja. Ema

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 60. Pendarahan

    POV BIMOTengah malam, aku diantar pulang oleh temanku naik motor. Udara malam terasa sangat dingin, tapi kepalaku panas karena emosi. Uang yang tadi kusimpan untuk main judi sudah habis. Ludes. Hasilnya aku pulang cuma dengan tangan kosong.Begitu motor berhenti di depan rumah, aku turun cepat. Temanku langsung pergi, tidak ada basa-basi. Aku membuka pagar, lalu masuk ke rumah dengan kunci yang selalu kubawa. Lampu teras mati, hanya lampu ruang tamu yang redup.“Brengsek …” gumamku sambil melempar kunci ke meja. “Masa kalah lagi. Ludes udah duit.”Aku duduk di sofa sambil mengacak rambut. Kesal bukan main. Rasanya semua sial datang bersamaan. Perutku juga lapar karena belum makan dari sore, tapi emosi malah lebih besar.Dan seperti biasanya, kalau aku sudah kalah, mau gak mau pulang ke rumah. Tapi rasanya tensiku malah naik. Di kepalaku langsung muncul satu nama.“VANIA!”Aku berteriak dari ruang tamu.“VANIA! Heh! Tidur apa mati, sih!”Tidak ada jawaban.Aku berdiri dan berjalan ke

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 59. Hutang Lunas

    POV BIMOKami sudah memasuki area Jakarta ketika Galang kembali membuka suara. Sejak berhenti di pom bensin tadi, dia yang mengambil alih kemudi. Tidak seperti biasanya, kali ini dia menyetir dengan sangat fokus, rahangnya mengeras setiap kali mobil berhenti di lampu merah.“Bim,” katanya pelan tapi tegas, “nanti aku antar kamu sampai rumah.”Aku menoleh, lalu tertawa pelan. “Ah, nggak usah, Lang. Turunin aja aku di Jalan Kecubung. Seperti biasa lah, nongkrong dulu. Pulang juga males, masih siang.”Galang tidak langsung menjawab. Kedua tangannya tetap berada di setir, mencengkeram, seperti sedang menahan sesuatu. Aku melirik lagi. Entah kenapa wajahnya terlihat kesal. Apa dia lagi punya masalah?Aneh. Sejak tadi dia memang kelihatan beda. Lebih pendiam. Lebih … keliatan tegang?“Istri kamu lagi hamil, Bim,” katanya akhirnya. “Harusnya kamu jaga.”Aku langsung menatapnya lama. Ngapain juga dia peduli sama rumah tanggaku? Benar-benar aneh.Tatapan Galang masih lurus ke jalan.“Udah bias

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 58. Lukisan Dinding

    POV BIMOPerjalanan menuju bandung selama dua jam rasanya cukup panjang. Begitu papan bertuliskan “Selamat Datang di Kota Bandung” terlihat di pinggir jalan, aku menepuk ringan setir sambil bersiul kecil. Udara di kota ini terasa lebih sejuk dibanding Jakarta. Pohon-pohon besar berbaris di tepi jalan, dan di kejauhan tampak siluet bangunan megah berdiri menjulang.“Lang, kita langsung ke proyek kamu, kan?” tanyaku sambil melirik Galang yang duduk di kursi penumpang.“Iya,” jawabnya pendek. Matanya fokus ke depan, tapi pandangannya kosong. Seolah pikirannya sedang berada di tempat lain.Kami terus melaju melewati jalan utama hingga berhenti di depan area proyek besar yang dijaga satpam berseragam. Sebuah papan besar bertuliskan “The Evergreen Hotel by G. Group” berdiri gagah di sisi gerbang.Begitu turun dari mobil, aku kembali bersiul pelan. “Wah, gila … megah banget, Lang,” ujarku jujur.Galang hanya mengangguk kecil, ekspresinya datar. “Masih delapan puluh persen. Tapi sudah bisa k

  • Retak Janji Pernikahan   Bab 57. Tergila-gila

    POV GALANG Aku menatap sisa teh hangat di gelas, meneguknya perlahan hingga habis. “Kita berangkat sekarang,” kataku akhirnya sambil bangkit dari duduk. Bimo yang sedari tadi memeriksa ponselnya menoleh cepat. “Ayo!” ujarnya, meraih tas ransel yang bersandar di samping kursi. Aku berdiri di dekat pintu, sekilas kuedarkan pandangan ke dalam rumah. Tanpa disadari Bimo, mataku sedang mencari seseorang. Namun, ia tak terlihat. “Dimana istrimu?” tanyaku tiba-tiba. Bimo menoleh sebentar, lalu terkekeh kecil. “Halah! Paling juga tidur. Alasannya bawaan bayi. Ayo, kita berangkat aja!” Aku spontan menatapnya. “Istrimu … hamil?” tanyaku pelan, pura-pura tidak tau. Tetapi aku memang ingin sekedar memastikan. Bimo mengangguk, bibirnya tersenyum lebar. “Iya. Aku nggak nyangka juga bakal punya anak.” Wajahnya terlihat sangat bangga. Aku terdiam beberapa detik. Melihat ekspresi Bimo justru membuat dadaku bergemuruh. “Selamat, ya,” ucapku datar. “Thanks, Bos.” Bimo menepuk bahuku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status