Share

Bab 6. Ibu

Author: Rina Novita
last update Last Updated: 2025-09-30 11:08:09

Aku berlari di belakang para tetangga yang membantu menggotong ibu ke dalam mobil. Kantong obat yang tadi kupeluk erat masih kugenggam, tapi rasanya tak berguna lagi. Dadaku sesak, mataku panas.

“Ibu … bertahan, Bu. Tolong bertahan,” bisikku panik, sambil menggenggam tangan beliau yang terkulai lemah.

Aku menoleh ke arah Bude Narti yang ikut terburu-buru masuk ke mobil. “Bude … sebenernya tadi ada apa? Kenapa Ibu bisa pingsan?” tanyaku dengan suara bergetar.

Bude Narti menghela napas panjang, wajahnya penuh kekhawatiran. “Siang tadi Bimo sempat pulang, Nak. Kami dengar dia marah-marah di dalam rumah. Suaranya keras sekali, kayak lagi ribut besar. Nggak lama kemudian, dia keluar lagi sambil banting pintu.”

Aku tercekat, dadaku makin sesak. “Terus … Ibu?”

“Tak lama setelah Bimo pergi, kami dengar suara gedebuk keras dari dalam rumah. Kami kira sesuatu jatuh, jadi beberapa tetangga langsung masuk. Pas kami lihat, ternyata ibumu sudah terkapar di lantai, nggak sadarkan diri.” Suara Bude bergetar, matanya ikut berkaca-kaca.

“Makanya kami buru-buru panggil orang buat bantu gotong ke mobil, dan pas kamu juga datang.”

Kakiku terasa lemas mendengar penjelasan itu. Hatiku perih, seakan ditusuk-tusuk. Jadi benar… Ibu sampai begini karena ulah Mas Bimo lagi.

Aku menunduk, air mataku jatuh membasahi punggung tangan Ibu. ‘Mas … kenapa harus selalu begini!’ batinku menjerit.

Perjalanan ke rumah sakit terasa begitu panjang, padahal supir tetangga ngebut sepanjang jalan.

Begitu tiba di IGD, para perawat langsung sigap mendorong brankar. Aku berlari mengikuti mereka, wajahku penuh air mata.

“Dok, bagaimana kondisi ibu saya?!” tanyaku terisak setelah dokter memeriksa cepat.

Seorang dokter muda dengan stetoskop di leher menoleh cepat. “Pasien mengalami serangan jantung mendadak. Tekanan darahnya sempat drop, makanya beliau pingsan. Untungnya, Anda membawa beliau cepat-cepat, jadi kondisinya sudah agak lebih stabil,” terang dokter tersebut.

Namun, ekspresinya berubah serius. “Hanya saja, dari hasil pemeriksaan awal, ada indikasi penyumbatan di pembuluh darah jantung. Kami tetap harus segera melakukan tindakan kateterisasi untuk membukanya, sebelum serangan berikutnya terjadi.”

Aku tertegun. “Ka—kateterisasi, Dok?”

“Ya. Tindakan ini butuh dilakukan secepat mungkin. Jika terlambat, nyawa pasien bisa terancam. Biayanya … sekitar tiga puluh sampai empat puluh juta untuk awal tindakan.”

Seperti ada petir menyambar kepalaku. Kakiku langsung lemas. “Empat … puluh juta?” ulangku dengan suara gemetar.

Dokter itu mengangguk tegas. “Benar. Kami butuh persetujuan keluarga secepatnya. Kalau setuju, segera kami siapkan ruang tindakan.”

Aku tercekat. Lidahku kelu. Air mataku jatuh begitu saja.

Tiga puluh juta… aku bahkan tidak punya tiga ratus ribu di dompetku. Sisa tabungan sudah lama terkuras untuk bayar listrik, obat Ibu, dan makan seadanya. Semua harta di rumah pun tak ada yang bisa langsung dijual.

“Ada yang bisa dihubungi? Suami? Saudara?” tanya dokter lagi.

Aku menggigit bibir, hampir berdarah. Mas Bimo? Suamiku itu entah di mana. Mungkin sedang mabuk, atau justru kabur dari penagih hutang.

“Tidak ada, Dok,” suaraku pecah. “Saya … saya nggak punya siapa-siapa lagi. Saya tidak punya uang sepeser pun.”

Tanganku meremas ujung bajuku sendiri. Dunia seakan menghimpit dari segala sisi. Ibu terbaring di ambang maut, tapi aku tak bisa menolongnya.

Aku menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhku gemetar hebat.

“Ya Allah … apa yang harus aku lakukan sekarang …?”

Tiba-tiba, pikiran mengenai tawaran Galang menyambar begitu saja.

“Kenapa, Nak? Ada apa?” suara Bude Narti memecah lamunanku. Tatapannya cemas, seolah membaca perubahan ekspresi di wajahku.

Aku tersentak. “Ti-tidak, Bude … aku … aku hanya teringat sesuatu.” Lalu, aku pun menatap sang dokter. “Mohon … beri saya waktu sebentar, Dok. Sepuluh menit saja. Saya perlu melakukan panggilan.”

Dokter pun mengangguk, dan tanpa membuang waktu lebih jauh, aku membungkuk singkat lalu melangkah cepat keluar IGD. Napasku memburu, langkahku tergesa menuju lorong sepi rumah sakit. Tanganku gemetar hebat saat meraih ponsel dari dalam tas.

Dengan jari bergetar, aku mencari nama itu di layar. Menekan tombol hijau.

Nada sambung terdengar. Satu detik. Dua detik. Tiga…

Lalu suara berat itu masuk, menembus telingaku. “Vania?”

“Mas Galang ….” Suaraku sedikit tercekik, membuatku berusaha tenang sebelum melanjutkan. “Maaf mengganggu lagi, Mas, tapi … apa tawaran Mas tadi masih ada? Tentang … tentang aku menemani Mas Galang ….” Aku menutup mataku, merasa sangat malu mengucapkan hal itu dengan mulutku sendiri.

Ada jeda hening di seberang. Suara napas berat terdengar samar sebelum Galang akhirnya menjawab, “Kamu berubah pikiran?”

Aku menggertakkan, menahan rasa malu. “Iya, Mas…”

Galang bergeming sejenak, lalu bertanya lagi. “Apa yang terjadi? Rentenir itu datang lagi?”

Detik pertanyaan itu terlontar, pertahananku pun langsung hancur. Air mata mengalir deras di pipi.

“Bukan … bukan rentenir, Mas. Ibu saya … setelah bertengkar dengan Bimo tadi, penyakit jantungnya kambuh. Dokter bilang harus ada tindakan segera. Perlu empat puluh juta.” Aku terisak. “Tapi saya… saya nggak punya uang. Mas Bimo pun entah di mana. Saudara pun saya nggak punya. Saya … saya nggak tahu harus bagaimana lagi ….”

Hening.

Aku menggigit bibir, tubuhku gemetar. Di dalam hati, aku yakin Galang pasti sedang menilaiku sebagai wanita plin-plan. Beberapa waktu lalu aku baru saja menolak, tapi sekarang merangkak menerima. Seorang wanita yang benar-benar tak tahu diri.

Namun, tepat pada saat itu, ponselku tiba-tiba bergetar di tangan.

Aku terbelalak. Masih dalam sambungan telepon dengan Galang, layar notifikasiku menampilkan pesan dari mobile banking.

[Transfer masuk Rp150.000.000 dari Galang Pramono]

Tanganku hampir menjatuhkan ponsel. Napasku tercekat, dadaku berdegup hebat.

Seakan bisa membaca pikiranku, suara Galang terdengar berkata dari ujung panggilan yang lain.

“Gunakan uang yang kukirim untuk melunasi utang Bimo dan menyelamatkan ibumu.” Lalu, dia menambahkan, “Kerja sama kita dimulai akhir pekan ini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 156. Gugatan

    POV BIMOAku mondar-mandir di ruang tamu rumah, kepalaku penuh. Mama duduk di sofa dengan wajah tegang, jemarinya sibuk memutar-mutar tasbih kecil yang sejak tadi tak lepas dari tangannya. Sejak kejadian di restoran itu, suasana rumah terasa tegang. Aku seperti sedang menunggu bom waktu yang siap meledak kapan saja.“Ini nggak bisa dibiarin, Bim.” Suara Mama akhirnya memecah hening. “Perempuan itu makin berani. Masa mau gugat cerai segala?”Aku menghela napas kasar. “Aku juga lagi mikir, Ma.”Kita sama-sama tahu, ancaman paling ampuh sekarang ini adalah bayi itu. Fajar. Tapi pasti sulit. Bayi itu masih butuh ASI. Tidak mungkin kita menariknya paksa tanpa risiko besar. Dan yang lebih menyebalkan, Vania terlihat jauh lebih siap daripada yang kukira.“Kalau pakai cara biasa, susah,” lanjut Mama, suaranya menajam. “Kamu juga jangan kelihatan lemah. Dia itu istrimu. Tanpa persetujuanmu, mana bisa cerai?”Aku mengangguk, meski di dalam dada ada kegelisahan yang sulit ditepis. Selama ini aku

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 155. Bukti Video

    POV VANIAAku tidak lagi peduli dengan apa yang terjadi antara Bimo dan ibunya di ruang private itu. Suara Bu Marni yang meninggi, atau wajah Bimo yang mungkin sedang pucat ketakutan, sama sekali tidak ingin kupikirkan lagi. Kepalaku terlalu lelah untuk menampung emosi mereka.Aku melangkah cepat menuju paviliun.Begitu pintu tertutup di belakangku, suasana langsung berubah sunyi. Ankala sedang terjaga di ranjang kecilnya, sementara suster Lani baru saja selesai membersihkan botol-botol susu Ankala.Aku mendekat, menggendong Ankala dengan hati-hati, lalu duduk di kursi sofa yang biasa aku gunakan untuk menyusui bayiku itu . Aku menyusui Ankala perlahan, sambil mengelus punggungnya.“Tenang ya, Nak,” bisikku lirih. “Mama nggak akan biarin siapa pun menyakitimu.” Aku menyusui Ankala sampai bayiku puas kekenyangan. Tak lama kemudian, Suster Lani masuk membawa perlengkapan mandi bayi. Ia memandikan Ankala dengan cekatan, penuh kehati-hatian. Setelah selesai, ia mengeringkan tubuh kecil i

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 154. Butuh Penjelasan

    POV VANIA“Mana Vania?!”Suara Ratna terdengar lantang dari pintu masuk restoran. Dari dalam ruang private yang sebagian dindingnya terbuat dari kaca, aku bisa melihat Ratna dengan jelas. Wajahnya tegang, matanya menyala penuh emosi. Untungnya, keluarga besar Bimo sedang fokus menikmati hidangan, tertawa kecil dan saling berbincang, sehingga mereka tidak mendengar suara Ratna. Hanya beberapa pelanggan yang duduk dekat pintu masuk yang sempat menoleh sekilas.Dadaku langsung berdegup kencang. Aku tidak bisa membiarkan Ratna membuat keributan di sini.Aku segera bangkit dari kursiku dan melangkah cepat keluar dari ruang private, menghampirinya sebelum suasana menjadi semakin buruk.“Mbak Ratna?” sapaku pelan. “Ada apa, Mbak?”Meski suaraku bergetar, aku berusaha terlihat setenang mungkin. Sebenarnya aku panik. Kedatangan Ratna yang tiba-tiba, dengan ekspresi seperti itu, jelas bukan pertanda baik.Ratna melotot tajam ke arahku. “Heh, Vania! Aku perlu bicara sama kamu. Empat mata.”Aku

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 153. Mati Kutu

    POV VANIA“Memangnya Bimo kenapa?”Pertanyaan itu meluncur dari salah satu tamu, seorang tante berusia lima puluhan yang sejak tadi duduk di ujung meja. Suaranya terdengar santai tapi tatapannya sangat penasaran.Aku menarik napas perlahan. Tanganku refleks mengelus punggung Ankala yang masih terlelap di gendonganku. Jantungku berdetak lebih kencang. Aku tahu, kalimatku barusan pasti akan membuat Bimo dan mamanya ketakutan.“VANIA!” Bu Marni memekik lantang. Matanya melotot, wajahnya merah padam. “Kamu jangan coba-coba jelek-jelekan suami kamu di depan orang-orang! Istri macam apa sih kamu ini!”Suaranya penuh amarah, tapi aku bisa menangkap sesuatu yang lain di sana, ketakutan. Bu Marni jelas panik. Dia tahu, kalau aku mulai bicara, semua cerita versinya tentang aku akan runtuh.Aku menatapnya datar. Dadaku memang panas, tapi anehnya kepalaku justru terasa jernih. Mungkin karena terlalu lama ditekan, akhirnya aku kebal.Belum sempat aku menjawab, pintu ruang private terbuka.“Sudah-

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 152. Kedatangan Keluarga Besar

    POV VANIA“Bu Vania?”Suster Lani kembali memanggilku. Aku tersadar dari lamunan. Sejak tadi aku memang hanya diam, menatap Ankala yang kembali terlelap di gendonganku. Kepalaku penuh memikirkan kenyataan yang satu per satu terbuka.“Iya, Mbak,” jawabku akhirnya, meski suaraku terdengar lebih pelan Lani tampak bingung. Tatapannya bergantian antara wajahku dan Ankala. Seperti ada banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, tapi ia menahannya.“Mbak Lani,” aku menarik napas panjang, lalu menatapnya lurus, “karena Mbak sudah tahu sejak awal … saya akan jelaskan yang sebenarnya. Tapi tolong, simpan dulu rahasia ini rapat-rapat.”Wajah Lani langsung berubah serius. Ia mengangguk cepat. “Iya, Bu. Saya janji.”Aku menelan ludah. Sebenarnya aku ragu, tapi aku memaksakan diri untuk bicara.“Ankala memang anak Mas Galang,” ucapku akhirnya. Kalimat itu keluar lirih. “Dan … saya akan segera mengurus perceraian saya dengan Bimo.”Lani menghela napas lega. Bahkan terlihat seperti beban di dadanya i

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 151. Keributan

    POV VANIA“Astaga, Mas … bagaimana ini?” Suaraku gemetar begitu menutup panggilan dari Rini. Dadaku terasa sesak, telapak tanganku dingin, aku sangat mengkhawatirkan Ankala.Galang langsung menoleh, wajahnya berubah tegang. “Ada apa? Ankala baik-baik saja, kan?” Galang jugapanik, matanya menelusur wajahku seakan mencari jawaban sebelum aku sempat bicara.“Cepat, Mas. Cepat kita balik ke restoran,” kataku nyaris terisak. “Bimo dan ibunya berusaha mau ambil Ankala dari Suster Lani.”Wajah Galang seketika memerah. Rahangnya mengeras. “Bimo brengsek!” umpatnya pelan tapi penuh amarah.Tanpa menunggu lagi, Galang langsung menyalakan mesin mobil. Mobil melesat meninggalkan taman, kembali ke arah restoran. Aku menangis sepanjang jalan. Air mataku tidak bisa kutahan. Bayangan Ankala menangis, ketakutan, diperebutkan orang-orang yang tidak pernah benar-benar menjaganya, membuat dadaku terasa seperti diremas.“Tenang, Nia,” Suara Galang terdengar menenangkan meski jelas ia juga cemas. “Selama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status