Share

Tahap pertama

Evan terus melangkah menyusuri koridor, sampai langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan. Sebuah nama terpampang jelas di daun pintu ruangan itu.

Indah Suryani S.Pd.

Tanpa ragu Evan mengetuk pintu. Tak lama terdengar sahutan dari dalam ruangan ini.

"Masuk!"

Evan menghela napas berat. Sedikit takut, karena pasalnya dia belum pernah membuat kesalahan apa pun sampai harus dipanggil dengan wali kelasnya.

"Ibu manggil saya?"

Wanita berpakaian formal khas PNS itu mengangguk. "Duduk."

Evan terdiam. Dia bingung harus memulai pembicaraannya dari mana. Karena dia tidak tahu untuk apa dipanggil ke ruangan ini. 

Wanita yang masih duduk diam di sebuah kursi itu kini sibuk mencari beberapa tumpukan kertas di atas mejanya.

"Maaf Bu, kenapa saya dipanggil ke sini?" tanya Evan dengan ragu.

Bu indah menatapnya sambil tersenyum. Satu tangannya berhasil meraih sebuah kertas dari laci mejanya.

"Evan, sebelumnya Ibu minta maaf, karena harus membicarakan hal ini kepada kamu, tapi ibu rasa kamu juga perlu tahu soal ini.

Evan semakin bingung dan ketakutan. Keringat sudah membasahi telapak tangannya. Apa gue bakalan di skors? Atau di DO? Batinnya bertanya-tanya.

Bu Indah menghela napas berat. "Kamu belum membayar uang gedung untuk setahun ke depan.  Dan di kelas sebelumnya juga kamu masih memiliki tunggakan SPP selama 3 bulan terakhir," tutur Bu indah sambil tersenyum ramah.

Evan menggigit bibir bawahnya. Perasaannya sekarang menjadi sangat sedih. Bagaimana dia akan membayar uang gedung dan SPP, sementara untuk memenuhi kebutuhan hariannya saja masih sering kali kekurangan. Evan menghela napas gusar. Pandangannya ke bawah, menatap ujung sepatunya. Jari-jari tangannya saling beradu, seolah dia sedang menumpukan semua beban pikiran pada jari tangannya.

"Kasih ke orang tua kamu!" pintanya seraya menyodorkan kertas putih, bentuknya lebih mirip seperti amplop.

Evan mendongak, lalu mengangguk. "Baik, Bu." Dia mengambil amplop yang diberikan oleh Bu Indah kepadanya.

"Kalau gitu saya permisi dulu."

Perkataan Evan hanya dibalas dengan anggukan oleh Bu Indah. Selepas dari ruangan itu, Evan langsung melipat kertas pemberian Bu Indah dan menyimpannya di dalam saku celananya.

Sekali lagi Evan menghela napas, kali ini dibarengi dengan tangan kanannya yang mengusap wajahnya gusar. Kakinya mulai melangkah. Bel masuk sebentar lagi akan berbunyi. Tidak ingin terlambat, Evan segera beranjak menuju kelasnya. Dia melewati kelas IPA 2, tanpa sadar sepasang mata bernetra cokelat itu terus menatapnya dari kejauhan.

Untung saja belum ada guru di kelasnya. Jadi Evan bisa leluasa masuk ke kelas tanpa harus diceramahi seperti yang sering dilakukan teman sekelasnya.

Evan hampir saja lupa kalau tas miliknya masih berada di kantin. Dia mengacak rambutnya frustasi sambil ikut duduk di samping Emil.

"Kusut amat tuh muka!" cibir Emil.

Evan hanya melirik Emil sekilas. Lalu membenamkan kepalanya di atas tangan yang bertumpu pada meja.

"Nih, tas lo!" desis Emil seraya menepuk kepala Evan menggunakan tas milik cowok itu.

Tak lama kelas berlangsung dengan semestinya. Namun, semangat Evan kali ini sedikit berkurang. Apalagi pelajaran pertama adalah Fisika. Membuat kepalanya terasa tambah pening.

Bel istirahat kembali berbunyi. Emil sudah pergi ke kantin untuk membeli minuman. Sementara Evan masih tetap di bangkunya. Seketika pikirannya kembali merekam ucapan Elang tentang taruhan malam kemarin.

"Van, kantin nggak?" teriak Elang dari depan pintu. Panjang umur untuk Elang. Baru saja Evan memikirkannya, tetapi sekarang cowok itu sudah ada di depan kelasnya.

Evan menggeleng.

"Ya udah gue ke kantin dul...." Elang mulai melangkah, tapi suara Evan kembali menghentikan pergerakan kakinya.

"Eh, Lang sini dulu!"

Terpaksa cowok itu kembali masuk ke dalam kelas Evan. Elang mengambil posisi duduk di bangku depan Evan.

"Kenapa lo?"

"Eum ... soal tawaran lo semalam...."

Elang mengernyitkan keningnya. Menunggu Evan kembali melanjutkan perkataannya.

"Gue setuju." lanjutnya singkat.

"Taruhan?"

Evan mengangguk mantap. Sebetulnya dia sangat merasa bersalah karena mau menerima taruhan Elang. Cowok di depan Evan mengangguk sambil tersenyum lebar.

Keraguan Evan bukan hanya terletak pada motor yang dijanjikan, melainkan pada konsekuensi hati di kemudian hari. Karena bisa saja Eca akan sangat marah padanya kalau cewek itu tahu dirinya dijadikan taruhan.

"Deal?" tanyanya seraya mengulurkan tangan. Evan membalas uluran tangan itu, masih dengan sejuta keraguan dan kecemasan dalam dirinya. Jabatan tangan itu bertanda bahwa mereka sudah setuju pada hal yang sebenarnya tidak boleh mereka lakukan.

"Jangan sampai Emil tahu, ya." Elang kembali bersuara, tapi hanya dibalas dengan anggukan kepala oleh Evan.

***

Bel pulang sekolah berbunyi. Ketiga sejoli itu, Evan, Emil dan Elang sedang dalam perjalanan menuju parkiran. Raut wajah Evan sangat terlihat murung. Maklum saja dia pasti sedang kebingungan bagaimana cara untuk mendekati Eca. Langkahnya terhenti.

Emil yang menyadari Evan tertinggal beberapa langkah ikut berhenti. "Van, kenapa lo?"

Evan menatap Emil yang sudah berada beberapa meter di depannya. "Hmm," Evan hanya bergumam sambil mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu diakhiri dengan menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan.

Saat itu juga Eca lewat di depannya menuju mobil yang sudah terparkir di depan gerbang sekolah. Dengan ragu Evan memanggil gadis itu.

"Aresha!" teriaknya.

Tahap pertama, mengantar perempuan pulang sampai ke rumahnya.

Kalimat itu yang bisa Evan ingat dari pencariannya di internet, sewaktu istirahat.

Gadis pemilik nama Aresha Veranka Putri itu menoleh. Melihat wajahnya, Evan tertegun seketika. Meski sikapnya yang friendly dan terbuka kepada semua orang, tetapi Evan belum pernah berpacaran. Karena Evan tidak ada niat sedikit pun untuk menghabiskan waktu remajanya dengan berpacaran.

Ini aneh, selama di sekolah ini Evan belum pernah merasa setegang ini. Keringat dingin sudah menjalar di sekujur tubuhnya. Hanya di depan Eca dia bisa sekaku saat ini. Doraemon, tolong berikan Evan kekuatan.

Eca tersenyum, menunggu Evan kembali mengeluarkan suara. Rasanya cinta diam-diam yang selama ini Eca pendam akan terbalaskan. Mungkin.

Sementara Emil dan Elang saling melirik keduanya bergantian. Bingung sekaligus penasaran.

"Ada apa, Evan?" tanya Eca seraya tersenyum ramah.

Evan berjalan melewati Emil dan Elang menuju Eca. Langkahnya berhenti sebentar diantara kedua temannya. "Doain, ya," ucapannya membuat Emil tambah kebingungan.

"Good luck!" seru Elang seraya menepuk bahu Evan pelan.

"Kenapa tuh anak?" tanya Emil dengan menggerakkan dagunya ke arah Evan.

Elang mengedikkan kedua bahunya. "Nggak tahu," alibinya. Padahal tentu saja Elang tahu, karena ini adalah rencara antara mereka berdua.

Evan terus melangkah, menghampiri gadis berponi itu. 

"Hai, Sha," sapa Evan ramah.

Eca menatap Evan. Netranya yang hitam pekat membuat Eca merasa tenang saat menatapnya. Bahkan kini tatapannya lebih jauh lagi menerobos manik milik Evan.

Evan menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya. "Gue, anterin lo pulang, boleh?"

"Tapi Eca...." Eca melirik mobil yang sudah terparkir di depan gerbang.

"Gue bakalan izin sama supir lo."

"Evan udah tau?"

Evan mengangguk sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Merasa malu, karena kemarin sudah menuduh supir Eca dengan yang tidak-tidak. Sementara Eca hanya terkekeh kecil melihat Evan.

"Maaf ya, gue udah nuduh supir lo yang nggak-nggak."

"Iya gak apa-apa, kok." Eca manggut-manggut.

Keduanya melangkah bersama. Namun, degup jantung Eca berpacu lebih cepat ketimbang langkahnya saat ini. Berada di samping seseorang yang disukainya sejak setahun yang lalu, ternyata tidak bagus untuk kesehatan jantungnya.

"Permisi, Pak," ucap Evan pada Tono yang sedang asik mendengarkan lagu keroncong di dalam mobil.

"Wah, kamu yang kemarin ngatain saya, 'kan?" tanya Tono dengan wajah garang. Mimik wajahnya terlihat begitu murka. Kalau saja dia tidak ingat dosa, sudah dipenggal kepala Evan saat ini juga.

"Iya pak, saya mau minta maaf. Karena ada sedikit kesalahpahaman."

Tono menghela napasnya panjang. Sebetulnya dia agak sakit hati dengan ucapan Evan yang kemarin terdengar tidak sopan.

Namun, dia juga paham betul kalau Evan pasti menyangka dirinya adalah buaya rawa yang suka mencari anak gadis sekolahan sebagai mangsa. Tono kembali melirik Evan dan Eca bergantian. "Iya, ndak apa-apa," ucap Tono.

"Pak, Eca mau pulang bareng sama Evan. Pak Tono pulang duluan aja," ucap Eca sambil menunjukkan deretan giginya yang terlihat putih bersih.

"Jangan gitu, Non. Nanti bapak kena marah sama Ayah non Eca."

"Nggak akan Pak, saya bakalan jagain Eca."

Kali kedua perut Eca terasa dipenuhi kupu-kupu yang sedang berterbangan. Eca melirik Evan melalui ekor matanya. Menahan senyum bahagia di wajahnya. Tangannya meremas ujung kemeja putih yang dia kenakan. Ah, rasanya Eca ingin kayang saat ini juga, saking senangnya.

Tono menghela napasnya. Kemudian dia mengangguk singkat.

"Makasih, Pak." Evan kembali menunjukkan senyum paling manis sepanjang hidupnya.

Kini Evan dan Eca kembali masuk menuju parkiran. Untung saja Evan membawa helm dua, sebetulnya setiap hari juga dia akan membawa helm dua ke sekolah, karena sebelumnya dia harus berangkat bersama ibunya.

Eca memakai helm berwarna merah menyala dan duduk di jok belakang motor Evan.

***

Hitungan di atas sana terus mundur, sejauh ini angka yang bisa Evan lihat adalah lima. Vespa yang sedang dikendarainya perlahan mulai melaju pelan. Sedetik kemudian motornya berhenti. Lampu berganti warna menjadi merah.

Trukk!

Eca tersentak, helm yang dipakainya bertubrukan dengan helm milik cowok di depannya. Gadis itu menegakkan tubuhnya. Tangannya masih gemetar di atas pahanya. Namun, kedua sudut bibirnya terangkat sejak tadi.

Cowok itu melirik kaca spionnya, menatap Eca yang sedang tersenyum tipis mampu membuat dadanya berdebar sangat cepat. Pasokan oksigen siang hari ini terasa berkurang. Evan sampai harus membuang napasnya melalui mulut, mengatur detak jantungnya agar tak memompa darah dengan cepat.

Tiga,

Dua,

Satu,

Tunggu sampai lampu berubah menjadi hijau.

Eca mendongak, membaca tulisan di atas sana, lalu dalam hitungan detik lampu sudah berubah menjadi hijau. Entah Evan tidak melihatnya, atau bahkan tidak menyadari bahwa beberapa kendaraan di sebelah motornya sudah menancap gas dan melaju dengan sangat cepat.

"Evan, udah lampu hijau," ucap Eca sambil mendekatkan mulutnya di telinga Evan. Membuat dagu gadis itu bersentuhan langsung dengan pundak Evan.

Evan mengerjap beberapa kali, pandangannya dia edarkan ke sekitar sambil sesekali melirik lampu lalu lintas. Tak lama Vespa miliknya kembali melaju dengan kecepatan sedang.

"Mikirin apa, sih, sampe gak fokus?" Suara Eca kembali terdengar, meski pelan dan tersamarkan oleh embusan angin siang ini.

Evan tertegun. Namun, dia tetap mencoba fokus memperhatikan jalan. Kepalanya bergerak pelan. "Ng-nggak, Sha."

Eca manggut-manggut dan kembali memperhatikan jalan. Ternyata naik motor lebih mengasyikan ketimbang naik mobil, yang hanya bisa merasakan pendingin dari sebuah alat buatan manusia. Tidak seperti saat naik motor, bisa menghirup udara banyak-banyak dan embusan angin juga sangat alami.

Mungkin gak sih Evan suka sama Eca? gumamnya dalam hati.

Netranya melirik spion, tergambar jelas raut wajah Evan di sana. Pandangannya? Tidak mungkin! Evan sedang melirik spion juga dan netra mata keduanya sempat bertemu di spion jika saja Evan tak menghindari tatapan itu.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman Eca. Karena rumah gadis itu lebih dekat dengan sekolah dibandingkan dengan rumah Evan.

Vespa biru itu memasuki kompleks perumahan alam indah, tepat di mana rumah Eca berada.

Sesampainya di depan gerbang besi yang sudah dicat hitam, Vespa itu berhenti. Eca dengan hati-hati turun dari motor Evan.

"Bisa nggak?" tanya Evan memastikan.

Cowok itu masih terus memperhatikan Eca melalui spion. Padahal sudah terlihat jelas kalau dia sangat kesulitan untuk turun. Tangan kirinya memegang beberapa buku yang dia pinjam di perpus tadi. Tangan kanannya sibuk menahan helm. Karena ukurannya yang kebesaran, terkadang helm itu menghalangi penglihatan Eca.

Eca sudah berhasil turun dari motor, tetapi kini kesulitan kembali melandanya. Dia sibuk berkutat membuka tali helm di kepalanya. Eca menatap Evan sebentar.

"Evan,bisa tolong pegangin buku Eca, sebentar?" tanya Eca seraya menyerahkan beberapa buku yang ada di tangannya.

Evan menoleh seraya mengulurkan tangannya. Bukan mengambil buku dari tangan Eca, melainkan membantu membuka helm di kepala Eca.

"Gue bantuin, maaf ya," kata Evan dengan ragu.

Eca terdiam, matanya mengerjap beberapa kali. Waktu terasa berhenti beberapa detik. Jantungnya seperti tak lagi memompa darah ke seluruh tubuh. Apa Eca akan mati?

Eca, jangan baper. Dulu juga Eca pernah dibukain helm sama tukang ojek 'kan? Jadi, gak boleh baper sama Evan!

Ah, tapi Eca gak bisa bohong. Eca suka sama Evan! umpat Eca dalam hati.

"Sha!" seru Evan.

"Hah?" Eca menoleh. Kalau saja Evan tidak memanggil namanya, mungkin dia akan berdiri di depan gerbang sampai besok pagi.

"Gue pulang, ya?"

"Hmm ... oh, iya. Oke, hati-hati."

Sialan! Kenapa lidah ikutan grogi gini sih, pikir Eca.

Evan mengangguk. Tak lama tikungan itu menelan Evan dan motornya. Sampai tak lagi ada di hadapan Eca.

Gadis berponi depan itu menghela napasnya panjang. Mengontrol kembali degup jantung dan aliran darahnya. Kemudian, dia masuk ke dalam rumah.

Langkahnya terhenti di dapur. Gadis itu meletakkan buku dan tas di atas meja pantry. Lalu mendudukkan bokongnya di sebuah kursi.

"Non, baru pulang?" tanya Bi Imah seraya menyambut Eca. Wanita berkepala empat itu adalah asisten rumah tangga Eca. Entah sudah berapa lama Bi Imah bekerja di rumah Eca, tetapi setahu Eca, wanita itu sudah ada sejak dirinya masih kecil.

"Iya," sahutnya singkat.

Eca beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah kulkas. Lalu mengeluarkan air dingin dan menuangkannya ke sebuah gelas.

Tak lama dering telepon rumah berbunyi. Bi Imah langsung berlari ke ruang tengah untuk menjawab teleponnya.

"Halo, Tuan."

" ... "

"Oh, udah. Baru aja pulang."

" ... "

Bi Imah kembali ke dapur. Sementara Eca masih menyandarkan tubuhnya di kursi, sambil membiarkan air dingin itu membasahi kerongkongannya yang sejak tadi terasa sangat kering.

"Non, Tuan mau bicara di telepon."

Eca meletakkan gelasnya. Dia langsung berlari menuju ruang tengah. Baru tiga hari ditinggal sang ayah, tatapi rindu sudah menyelinap hadir dalam hatinya.

"Ayah apa kabar? Ayah, Eca kangen. Ayah kapan pulang?"

"Kebiasaan kalo nanya tuh satu-satu!"

Eca hanya cengengesan. Di detik berikutnya mimik wajah gadis itu terlihat lebih serius dari sebelumnya. Sama seriusnya dengan lawan bicaranya di seberang sana.

"Pulang sekolah kemana aja? Kenapa gak pulang sama Pak Tono?"

"Eca pulang sama teman, Yah."

"Temannya cewek atau cowok? Pasti cowok kan? Eca, lain kali gak boleh pulang sama orang asing. Nanti kalau kamu kenapa-kenapa gimana? Kan Ayah khawatir."

Eca tercengang. Tiga hari sudah Gerald pergi dinas dan baru hari ini mendapat telepon dari sang ayah. Namun, di luar dugaan. Eca malah diceramahi oleh Gerald. Gadis itu membulatkan matanya. Mendengarkan sang ayah dengan ocehannya di seberang sana.

Pasti pak Tono ngaduin Eca ke Ayah, pikir Eca.

"Iya, Ayah. Yaudah Eca mau mandi dulu, ya. Byee." Eca meletakkan teleponnya kembali. Tangannya mengepal. Napasnya memburu.

"Pak Tono!" teriak Eca dengan suara melengking, yang bisa membuat piring pecah tanpa sebab.

Pria berkumis tebal itu berlari kocar-kacir dari arah bagasi. "Iya, Non. Ada apa?"

Gadis itu bangkit dari duduknya. Menatap pria di depannya dengan tatapan murka. "Bapak ngaduin Eca ke ayah, ya?"

"M-maaf Non."

Eca menghela napasnya. Kemudian dia pergi ke kamarnya. Meninggalkan Tono yang masih mematung di tempat.

Eca langsung mengempaskan tubuhnya ke atas kasur miliknya. Tubuhnya telentang. Matanya menatap langit-langit kamar. Senyuman tipis itu tercetak jelas di wajahnya kala mengingat bahwa dirinya diantar pulang lagi oleh Evan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status