Share

Kehidupan, Harus Tetap Berjalan

Pemakaman Ratih Prana Jiwo berlangsung khidmat, tak banyak undangan, karena Laut sangat mengantisipasi keadaan.

Semua anggota keluarga bahkan belum tahu tentang karangan bunga ganjil itu.

Mereka kini berkumpul di ruang tengah, membicarakan langkah selanjutnya, karena kasus ini masih dalam penyelidikan.

“Paman, Bibi, sebenarnya aku tak ingin mengatakan ini sekarang. Akan tetapi, aku rasa, semua harus tahu akan hal ini.” Kata Laut membuka percakapan.

“Apa maksudmu?” tanya Glagah.

“Ayo ikut aku.” Laut beranjak menuju gudang di sebelah rumah.

Karangan bunga anggrek hitam dan mawar merah itu mulai terlihat layu, tapi tulisan jawa itu masih terbaca.

Sari menutup mulutnya. Glagah tampak geram. Darma menghela napasnya berat. Sementara Diara, kebingungan dengan reaksi semua orang, dia tak bisa membaca aksara jawa itu. Tapi, melihat semua orang tampak tak suka, membuat Diara berpikir, pasti tulisan itu mengandung makna yang tidak baik.

“Aku juga masih menyelidiki siapa pengirimnya. Kemungkinan besar, pengirimnya sama dengan pelaku penyerangan. Mari kita kembali ke dalam, agar lebih leluasa berbicara,” ajak Laut.

“Apa yang bisa kulakukan?” tanya Glagah begitu mereka sudah berada di ruang tengah kembali.

“Kamu, tak bisa melakukan apa pun saat ini. Statusmu sebagai simbol Prana Jiwo tak bebas melakukan sesuatu,” papar Laut membuat Glagah mengempaskan punggungnya ke sandaran.

“Tapi, aku harap kamu melakukan tugasmu dengan baik. Kita bisa mencurigai siapa pun sekarang. Baik kolega maupun pengusaha yang sering berhubungan dengan kegiatan audit kita,” lanjut Laut.

“Aku mungkin akan aktif kembali, agar informasi yang kita dapatkan lebih banyak,” kata Darma.

“Ayah,” kata Glagah dengan nada khawatir.

“Tidak apa-apa, aku hanya akan berhubungan dengan kolega yang bisa kupercaya,” kata Darma menenangkan.

“Diara, mulai lusa, kamu bisa kembali menjalankan tugasmu menjadi sekretaris Bintang. Ini lebih baik, daripada kita berkumpul menjadi satu. Risiko akan lebih besar. Glagah bisa leluasa, kamu aman bersama Bintang, dan aku tak mengkhawatirkan kalian.” Rencana Laut sudah sangat dipikirkan matang.

“Orang ini, tahu tentang Wita---“

“Ibu, dia Ibumu,” ralat Sari saat mendengar Laut masih menyebut Wita dengan sebutan nama.

Laut tampak kikuk.

“Ya, dia mengenal wanita itu, siapa pun dia, kita patut waspada.” Laut masih enggan menyebutkan nama Ibu untuk wanita yang sudah meninggalkannya semenjak dia kecil itu.

“Baiklah, besok mungkin masih akan ada banyak tamu yang datang, penjagaan tak akan kuperketat, tapi kalian harus tetap waspada. Bintang akan mengirimkan sopir untuk menjemput Diara.” Laut mengedarkan pandangan, mengharapkan timbal balik dari orang di ruangan itu.

“Baiklah. Kita memang tak bisa gegabah dalam menyikapi kasus ini,” kata Glagah menyadari keadaan yang melingkupi mereka sekarang.

“Kalau begitu aku pamit, masih banyak yang harus kuurus,” kata Laut seraya undur diri.

“Baiklah, kita juga harus beristirahat,” kata Darma seraya membimbing Sari untuk masuk ke kamar mereka.

Glagah masih terpaku di sofa. Merenungi semua kejadian ini.

“Ayo beristirahat,” kata Diara seraya mengulurkan tangannya ke arah Glagah.

Glagah menyambut tangan Diara dan menggenggamnya erat, untuk menguatkan hatinya juga.

“Jangan terlalu lama bersedih, aku tak bisa melihatmu terus-terusan seperti ini,” kata Diara begitu mereka berada di kamar.

Glagah hanya mendesah, benar, dia tak boleh larut, terlebih pekerjaan sudah menunggu dan kasus insiden itu belum terkuak.

Diara membingkai wajah Glagah, menatap dengan tatapan memohon.

“Baiklah, kita memang tak boleh berlama-lama bersedih.” Glagah memegang tangan Diara dan menarik Diara ke pelukannya.

“Terima kasih,” bisik Glagah.

Diara balas memeluk Glagah erat.

“Besok kita harus mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan,” kata Glagah tanpa mengurai pelukannya.

“Aku akan baik-baik saja bersama Dewa Yunani, eh Mas Bintang.” Diara terkekeh saat Glagah melepas pelukannya dan memasang wajah cemberut.

“Jangan macam-macam,” ancam Glagah malah membuat Diara memeluknya karena gemas dengan reaksi Glagah.

“Jangan tertawa.” Glagah masih memasang wajah tak suka.

“Bagaimana aku bisa berharap mendapatkan Zeus kalau aku sudah punya Hercules?” Diara menatap Glagah jenaka.

“Jadi, begitu? Kalau gak bersamaku, kamu akan memilih Mas Bintang?” tanya Glagah sangsi.

Diara malah tertawa, lalu mengecup pipi Glagah.

“Hm ....” Glagah lalu merengkuh Diara ke dalam pelukannya kembali. Mengecup puncak kepala perempuan yang sudah memikatnya tersebut, sejenak melupakan beban yang akan mereka hadapi esok.

Laut sedang menerima laporan Dani di ruang kerjanya. Prosesi pemakaman Ratih yang menguras tenaga karena banyaknya atensi dari media, tak membuat Laut lengah.

“Saya sudah mencari tahu florist yang mengirim karangan bunga tersebut. Mereka menyebut, pesanan datang dengan surat terketik rapi tanpa pengirim dan alamat, bahkan pembayaran disertakan langsung.” Dani menyerahkan salinan dari surat pesanan itu.

Hanya instruksi sederhana, Laut yakin seratus persen pihak florist tak mengetahui arti dari tulisan jawa itu. Mengingat sekarang sudah tak banyak yang mengetahui bahasa leluhur itu.

“Lalu bagaimana laporan di kepolisian?” tanya Laut sambil meletakkan surat itu di meja.

“Mereka tak menemukan kejanggalan yang mencurigakan dari CCTV di sekitar pasar. Kemungkinan pelaku mengubah penampilan juga bisa,” terang Dani.

Kepala Laut berdenyut.

“Ada laporan audit dari perusahaan kertas di Jawa Timur yang harus segera di kroscek, file sudah aku kirim ke Mas Glagah dan Mas Laut. Ada beberapa temuan yang sedikit mencurigakan,” papar Dani semakin membuat kepala Laut bertambah pening.

“Akan aku cek. Siapa yang bertugas audit ke sana kemarin?”

“Sastra.” Dani menyerahkan flashdisk hasil laporan rinci dari Sastra.

“Aku percaya dengan penilaiannya, tapi akan kupastikan sekali lagi,” kata Laut membuat Dani mengangguk.

“Kalau sudah tidak ada lagi, aku pamit. Besok kita masih harus mengerjakan audit perusahaan di Kalimantan. Apa Sastra juga yang berangkat?” tanya Dani.

“Jangan, berikan pada orang lain.” Laut memijat keningnya.

“Baik.” Dani kemudian mengundurkan diri dan menutup ruang kerja Laut.

Laut memijat keningnya, sungguh peristiwa beruntun ini membuatnya lelah. Sejenak rasa lega, hilang dengan datangnya prahara.

“Beristirahatlah. Pikirkan besok.” Karya sudah berdiri di pintu membuat Laut terlonjak.

“Baik, Ayah.” Laut berdiri dan meninggalkan ruang kerja.

Jam sudah menunjuk pukul dua belas malam.

Seseorang mondar-mandir di sebuah flat, ruangan gelap, hanya ada kursi, televisi dan ranjang besi. Tanpa cahaya, jendela tertutup rapat.

Tangannya sesekali memegang kepalanya, mengerutkan dahi dan sesekali menghela napas berat.

“Tidak bisa begini saja, aku harus melakukan progress, keadaan ini terlalu lambat, tapi juga tak bisa dipercepat.” Dia bergumam sendiri sambil terus bolak-balik dari depan televisi ke kursi.

“Baiklah sepertinya aku harus melakukan pendekatan lain.” Dia kemudian menatap pintu yang tertutup rapat itu. Berpikir untuk melangkah keluar dari sana dan menatap kehidupan yang seharusnya dia lakukan beberapa tahun yang lalu. Bersosialisasi dengan orang lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status