Share

BAB 9 (Teman dan Musuh)

Author: Bung Choi
last update Huling Na-update: 2021-08-15 20:29:40

Riku baru saja sampai di rumah pohon. Ia perhatikan dengan seksama temannya yang satu ini. Teman tak bernyawa yang telah menemaninya pada masa-masa awal kehidupan bermainnya. Tempat berteduh, tempat belajar, tempat berlindung, tempat untuk kembali. Ia tarik nafas yang dalam, dan mulai memanjat naik ke atas.

Dilihatnya apa-apa yang ada disana, seluruh proyeksi kehidupannya, gambaran perkembangan dirinya. Dibukanya semua catatannya, disana lah semua kebahagian, keluh kesah yang ia miliki tercurahkan. Ia baca sekali lagi dan ia tutup buku tersebut, ia tak akan membawa buku itu, ia sudah bertekad untuk pergi dan menjadi dirinya, semua hal yang akan membuatnya rindu kembali, akan ia tinggalkan.

Dia ambil beberapa buku disana, ia baca kembali sebelum ia masukkan ke dalam tas. Apapun yang terjadi nantinya, ia akan menggunakan semua yang ia pahami untuk berjuang di tempat selanjutnya. Ia membaca dan terus mengulang bacaan tersebut sampai terlelap, hari mulai gelap, waktu petang datang.

Semburat cahaya oranye membangunkan dirinya yang tertidur. Ia terbangun dan mulai kembali merapihkan barang bawaannya. Dia memang berniat berangkat saat hari mulai malam, sebab untuk pergi ke desa terdekat, dia harus melewati hutan, dan padang rumput terluar, yang saat pagi dan siang, terlalu banyak hewan buas yang siap menerkamnnya dengan leluasa, sekalipun ia bisa selamat, tapi tidak ada keuntungan sedikit pun dengan bertarung melawan mereka bukan? Sehingga ia menunggu senja, maka ini lah waktunya.

Untuk terakhir kalinya, ia pandang rumah pohon itu secara menyeluruh, ia akan sangat merindukan rumah pohon ini. Setelah beberapa saat, ia pun mencoba untuk beranjak pergi dari rumah itu.

"Perjalananku baru saja dimulai." Ucapnya seraya meletakkan langkah pertamanya, dan--duarrr.

Suara apa itu? Pikir, Riku. Ada yang aneh.

Dumm...dumm...duarrr.

Terdengar bunyi ledakan silih berganti, ledakan itu, adalah ledakan yang besar.

Riku segera mengalihkan pandangan ke belakang.

"Ini, tidak mungkin."

Riku melesat cepat. Ledakan itu nampak mengerikan bahkan dari jauh, ledakan besar yang meletupkan apinya sehingga nampak seperti jamur besar yang merah. Hal yang menggetirkan disini adalah arah dari ledakan, itu dari rumah kakek.

Riku melesat secepat yang ia bisa, tapi karena jarak yang cukup jauh, ia membutuhkan beberapa waktu untuk sampai.

"Sial, kenapa harus disaat-saat seperti ini." Ucapnya yang masih dalam posisi tercepatnya, melesat dalam rimbanya hutan dalam suasana langit yang mulai menggelap.

Beberapa saat berlalu dalan ketakutan dan keresahan yang tidak dapat dijelaskan oleh Riku, sebentar lagi ia akan sampai. Lihat lah, semuanya sudah terlihat, dan Riku berhenti, terdiam di salah satu dahan pohon, matanya getir, keringatnya terkucur, wajahnya pias.

Apa yang terjadi? Gumamnya.

Lihatlah, tidak ada apa-apa disana, rumah kakek, dan sebagian besar hutan disana, hilang, hangus menjadi abu, tinggal lah tempat itu menjadi lautan api. Mata Riku menjadi gelap, tubuhnya menjadi lemas, ia menunduk, sedikit tersungkur, nafasnya memburu, namun cepat kembali tenang, ia pun kembali berdiri, menegakkan kepalanya, dan matanya--berubah, ia--terlihat begitu dingin.

Keadaan hati yang tergoncang parah, membuat mental Riku rusak saat itu, tubuhnya dingin, matanya dingin, tapi hatinya begitu panas, emosinya--melesat ke arah yang tidak normal, arah yang buruk.

Tanpa kendalinya, tubuhnya mulai mengeluarkan api bagaikan keringat, perlahan mulai memenuhi dirinya, menyelimutinya, api itu, tunggu dulu, itu bukan api yang ia dapatkan saat pertama kali, api itu tidak membara, api itu--begitu dingin, api biru.

Sebagai seorang pemburu sejak kecil, kemampuan mengamati adalah hal yang penting untuk dilatih, dan Riku adalah ahlinya dalam hal itu. Dipandanginnya seluruh lautan api itu, hanya perlu sedikit waktu baginya untuk menemukan siapapun dan apapun di balik kepulan bara api disana, dan ia sudah menemukannya.

Dalam keadaan terburuknya kini, ia memasang kuda-kuda untuk melompat jauh, ia pusatkan kekuatan api biru tersebut di kakinya, dan melesat bagai roket menuju siapapun yang berada di balik lautan api itu.

Siapapun atau apapun itu, akan segera kuhabisi, gumamnya.

Sesaat setelah ia sampai di dalam lautan api itu, ia dapat melihat dengan seksama mengenai apa yang sedang terjadi, dibalik asap-asap ini, cukup sulit untuk mengamati dengan benar. Terdapat beberapa orang disana.

Mereka yang berkumpul, pastilah para pembuat kerusakan ini, gumamnya setelah berhasil masuk dalam lautan api itu.

Tidak jauh dari tempat ia mendarat ia melihat orang yang tidak asing baginya, itu--kakek. Beberapa bagian tubuhnya terbakar, namun tidak fatal, banyak lebam di bagian tubuhnya, ia terlihat terluka cukup parah. Riku yang menyadari itu, segera merangsek dengan cepat menuju ke arah kakek.

"Kakek, kau tidak apa?" Ucapnya yang secara tiba-tiba muncul di hadapan kakek, api yang menyelimutinya meredup.

Kakek yang masih kaget atas apa yang ia lihat, hanya terdiam dan jengkel.

"Apa yang kau lakukan disini?! Bukannya kau suda berangkat menuju desa sebelah?!" Tanya kakek, geram.

"Iya, tadinya. Tapi, aku melihat ledakan besar dari arah sini, dan aku segera berangkat untuk menolongmu." Ucapnya, masih dalam keadaan dingin, yang kakek pun masih belum menyadari itu.

Kakek malah terlihat lebih geram dari tadi, cucu bodoh, gumamnya.

"Sudah benar kau pergi tadi! Mereka datang mencarimu!! Maka, pergilah dari tempat ini secepatnya!" Kakek geram, panik.

Riku hanya memandangi kakek dengan tenang.

Aku? Katanya.

Ia pandangi sekujur tubuh kakek yang tampak terluka dengan banyak sekali warna hitam legam akibat terpukul atau serangan sejenisnya.

Aku yang dicari? Dan mengapa ia sampai menghancurkan semuanya?

Kepalanya kembali mengingat semua hutan dan rumah yang baru saja akan ia tinggalkan. Sekarang? Ludes, hanya sedikit yang tersisa dari hutan tersebut.

Aku? Berarti semua kerusakan ini adalah sebabku?

Pikirannya terus berperang, mental Riku mulai tidak terkendali, semua mulai rusak, menjadi buruk.

Aku, ya? Berarti, aku juga yang akan menyelesaikan semua ini.

Saat itu, sebab rasa panik, kakek baru memahami apa yang sebenarnya dan akan terjadi.

Tubuh Riku kembali diselimuti api, biru warnanya, pekat, dan hangat. Riku menyentuh kakek, dan api biru tersebut seketika menyelimutinya juga.

"Sembuh lah." Ucap Riku.

Benar saja, api tersebut mulai menyembuhkan bagian tubuh kakek yang terluka, membakar habis semua rasa sakit. Riku memutar tubuhnya, hendak pergi mencari biang keladi ini semua, dan kakek menahannya.

"Kau mau kemana?" Tanyanya dengan nada lemas.

"Aku akan membunuh siapapun mereka pembuat masalah ini."

"Kau tidak akan mampu."

"Tidak, kakek. Kau salah, aku akan membunuh siapapun itu."

"Percaya lah, padaku. Kau tidak akan mampu, dan segera lah pergi, tinggal kan tempat ini." Pintanya, lemas.

Riku hanya menunduk dan tersenyum getir.

"Aku akan pergi, kakek. Kau, selalu saja, meremehkanku." Ucapnya seraya melepas pegangan tangan kakek, dan berjalan ke dalam lautan api.

Kakek hanya diam, sedih.

"Tidak pernah ada yang meremehkanmu, Riku." Ucapnya pelan.

"Hanya, aku yakin kau tak akan sanggup." Suaranya yang pelan, tenggelam dalam kesiur api yang membara.

Riku berjalan perlahan, sampai di sebuah titik, ia menjentikkan jarinya, dan semua api disekitarnya, dalam jarak tertentu--seketika menghilang, menyisakan kepulan asap yang menyebar.

Saat kepulan asap itu hilang, terlihat di depan Riku, terdapat lima orang dengan seragam yang serasi, mereka lah yang membakar habis hutan, rumahnya, dan bahkan tega menyerang kakek, mereka--pasukan kerajaan.

Riku hanya menetap mereka dingin, sedingin api yang menyelimutinya. Ia tidak peduli siapa mereka, dalan pikirannya hanya terdapat kata 'bunuh', sampai ia menolehkan wajahnya ke atas tuk menatap wajah orang yang akan dibunuhnya. Semangatnya pias, nafsunya tunduk, hati dan jiwanya semakin rusak, dirinya tidak terima dengan ini semua, wajah itu--Morgan.

Itu tertunduk lemas, api birunya perlahan menjadi merah dan redup, lalu hilang. Ia tersungkur memandang wajah orang di depannya, seseorang yang tidak ia sangka, Morgan.

"Apa yang kau lakukan disini, Morgan?"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Riku's Story (Benua Meera dan Raja Api)   BAB 22 (Para Pencuri – Pertarungan Pertama)

    “Apa kalian lihat seorang bocah disini?” tanya Morgan. Para pemburu terdiam dengan rasa takut. Mereka sadar siapa yang berdiri di hadapan mereka. Kapten dari Pasukan Kerajaan, terlebih seorang kapten dari pasukan pertama. “Apa yang dilakukan seorang Pasukan Kerajaan di hutan Yooru?” Morgan berjalan maju. Sedangkan, para pemburu mempersiapkan diri, menjaga jarak. “Aku tadi merasakan bocah itu disini. Dimana dia?” Morgan terus mendekat. Diambilnya pemantik api, ia nyalakan api itu. Dengan cepat itu membuat tekanan panas dengan api itu. Morgan mencoba menfokuskan dirinya, perluasan tekanan itu menjadi radar, namun – “Mati kau!! Hahaha!!!” Seseorang meloncat dari kegelapan, mencoba menerjang Morgan dengan sebilah pedang yang dihunuskan kepadanya. Wajahnya – sudah siap membunuh. Morgan dengan cepat membakar sekelilingnya dengan api. Api besar nampak membara mengelilinginya. Orang tadi langsung menghindar. Api Morgan terasa begitu panas, bahkan sebelum orang itu menyentuhnya. “Cih

  • Riku's Story (Benua Meera dan Raja Api)   BAB 21 (Pemburu Liar)

    Pertandingan sudah dimulai. Pertandingan yang dibuat sepihak oleh Riku guna membuat Morgan menyadari kehebatannya.Morgan sendiri hanya mengikuti keinginan Riku.Mungkin tidak apa jika aku ikut permainannya – pikirnya, ini permainan baginya, liburan di masa senggangnya.Morgan sendiri baru saja selesai mendapat buruannya.“Aku rasa ini sudah cukup.” Ucapnya, sedang di hadapannya terdapat seekor Bison yang sudah terkapar.“Semoga ini tidak terlalu berat.” Ia pun berjalan pulang. Diangkatnya bison di pundak.Di tengah perjalanan, Morgan hanya memenuhi kepalanya dengan banyak hal.“Dia begitu menyayangi ayahnya. Kini, ia terbebani dengan betapa kuatnya ia, dan kekecewaan dalam hatinya terhadap apa yang dilakukan Kuri padanya – meninggalkannya.” Perkataan Yuo sebelumnya terlintas.Dan jauh sebelum itu –“Aku serahkan anak itu padamu.”“Anak itu? Siapa dia?!”“Anakku, Riku namanya.”Kenangan lain, ikut terlintas. Morgan hanya tersenyum dalam diamnya.“Bodohnya aku menerima tugas yang merep

  • Riku's Story (Benua Meera dan Raja Api)   BAB 20 (Pertandingan Dimulai)

    “Bagaimana dengan pertandingan!? Aku akan mengalahkanmu, dan menutup mulutmu itu.”Morgan pun berdiri, dan menatap Riku tajam, lalu ia tersenyum.“Baiklah, aku terima. Apa tantangannya?”“Mudah saja, akan ku jelaskan di luar.”*****Riku dan Morgan pun berjalan ke luar rumah, Yuo memperingatkan Morgan.“Jangan dibawa terlalu serius, Morgan. Dia masih anak-anak.” Jelas Yuo.Morgan mendengarnya dan tertawa kecil.“Kau tahu, kakek. Sebagai orang yang terlihat kasar kepada Riku, rupanya kau begitu memperhatikannya.”Kali ini Yuo yang tertawa cukup keras mendengar ucapan Morgan.“Ya, bisa kau sebut itu sebagai naluri orang tua.”“Tenang saja. Aku hanya akan mengajarkan dia apa yang diajarkan kapten kepadaku.” Jelas Morgan.Sesampainya di depan rumah.“Kita akan berburu. Siapa yang membawa buruan terbaik, dia pemenangnya.” Ucap Riku.“Kau yakin malam ini? Bukankah banyak hewan buas yang keluar pada malam hari?”Riku memandangnya dengan tatapan menghina.“Jadi, kau takut?”Demi menghadapi ta

  • Riku's Story (Benua Meera dan Raja Api)   BAB 19 (Awal yang Buruk)

    Sementara itu, Riku dan Teera.“Baik. Em…kita mulai dari mana dahulu ya?” tanya Teera.“Kau sendiri yang bilang kalau kau hebat dalam berdiskusi!? Jangan tanya aku.”“Oke, sebentar.”Teera berpikir sejenak.“Oke. Pertama, apa yang diinginkan kerajaan dari dirimu?” tanya Teera.“Em….”“Entahlah Teera, aku pun tidak tahu.” Jelas Riku.“Tidak mungkin tidak ada sesuatu yang penting darimu, yang sampai membuat pasukan kerajaan menyerang.” Tegas Teera, Riku pun hanya menganggukkan kepala.“Kau benar. Bahkan sampai kakek berusaha begitu keras untuk menolongku.” Ucapnya sedih, ia masih memikirkan kakeknya.“Apapun hal itu. Aku yakin kakekmu tahu sesuatu, begitu pula dengan Morgan.”Riku terlihat memadatkan kepalan tangannya, wajahnya mengkerut penuh amarah.“Morgan…” uc

  • Riku's Story (Benua Meera dan Raja Api)   BAB 18 (Joker)

    “Bicaralah.” Tegas teman Rengga. “Aku tidak bertanggungjawab jika tubuhmu hancur setelah ini.” Rengga merendahkan tubuhnya, mendekatkan dirinya kepada sosok tersebut. Dengan pukulan yang cukup keras, rupanya sosok tersebut masih sadar, namun nampak terduduk kesakitan dan tidak mampu berdiri. Semakin dekat Rengga memastikan, yang ia lihat hanya sebuah senyum tipis dari sosok tersebut. “Siapa kau? Bicaralah.” Tegas Rengga. Sosok tersebut hanya mengangkat kedua tangannya, dan memperlihatkan seyumnya kepada mereka berdua. Teman Rengga yang tidak suka melihat wajah itu, langsung bergerak menghantamnya. “Tunggu!” teriak Rengga, namun telat. “15 kali.” Pukulan itu pun melesat bebas menghantam sosok tersebut, bumm. Tepat setelah pukulan tersebut kembali diangkat, tidak ada siapapun disana. Kepala Rengga dan temannya seketika terasa begitu pusing, penuh getaran, seperti diputar secara paksa. Hal itu terjadi dalam sekejap saja, setelah itu hilang. “Memang kekuatan yang mengerikan.” R

  • Riku's Story (Benua Meera dan Raja Api)   Bab 17 (Apa yang sebenarnya terjadi?)

    Lima belas menit berlalu semenjak Rengga pergi. Teera masih melakukan pemanasan, tubuhnya sudah dibanjiri keringat, namun belum ada tanda Riku sudah menyelesaikan makannya.“Kemana Riku? Padahal hanya makan sayuran, kenapa dia bisa selama ini.”“Apa dia memang selemah ini dengan sayuran?”Setelah menyentuh dua puluh menit, Teera menghembuskan nafas, menyerah.Sepertinya aku terlalu memaksa dia, akan kulihat apakah dia pingsan atau sejenisnya. Gumam Teera.Namun, baru beberapa langkah, Riku datang, dan ya – wajahnya seperti mau mati mencoba menelan banyak sekali sayuran.“Ayo latihan, huekk.” Ucapnya menahan mual.Teera yang melihatnya hanya tertawa ringan.“Telan dulu semua itu, baru kita latihan.”Riku dengan mata yang sudah basah dan keringat dinginnya, langsung menelan semua sayuran hijau itu, huekkk.Selepas membasuh wajah, ia kembali datang ke Teera dan sudah siap untuk latihan. Namun, tidak butuh waktu lama ia menyadari bahwa tidak ada Rengga.“Hei Teera. Dimana kakekmu? Bukanny

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status