Riku baru saja sampai di rumah pohon. Ia perhatikan dengan seksama temannya yang satu ini. Teman tak bernyawa yang telah menemaninya pada masa-masa awal kehidupan bermainnya. Tempat berteduh, tempat belajar, tempat berlindung, tempat untuk kembali. Ia tarik nafas yang dalam, dan mulai memanjat naik ke atas.
Dilihatnya apa-apa yang ada disana, seluruh proyeksi kehidupannya, gambaran perkembangan dirinya. Dibukanya semua catatannya, disana lah semua kebahagian, keluh kesah yang ia miliki tercurahkan. Ia baca sekali lagi dan ia tutup buku tersebut, ia tak akan membawa buku itu, ia sudah bertekad untuk pergi dan menjadi dirinya, semua hal yang akan membuatnya rindu kembali, akan ia tinggalkan.
Dia ambil beberapa buku disana, ia baca kembali sebelum ia masukkan ke dalam tas. Apapun yang terjadi nantinya, ia akan menggunakan semua yang ia pahami untuk berjuang di tempat selanjutnya. Ia membaca dan terus mengulang bacaan tersebut sampai terlelap, hari mulai gelap, waktu petang datang.
Semburat cahaya oranye membangunkan dirinya yang tertidur. Ia terbangun dan mulai kembali merapihkan barang bawaannya. Dia memang berniat berangkat saat hari mulai malam, sebab untuk pergi ke desa terdekat, dia harus melewati hutan, dan padang rumput terluar, yang saat pagi dan siang, terlalu banyak hewan buas yang siap menerkamnnya dengan leluasa, sekalipun ia bisa selamat, tapi tidak ada keuntungan sedikit pun dengan bertarung melawan mereka bukan? Sehingga ia menunggu senja, maka ini lah waktunya.
Untuk terakhir kalinya, ia pandang rumah pohon itu secara menyeluruh, ia akan sangat merindukan rumah pohon ini. Setelah beberapa saat, ia pun mencoba untuk beranjak pergi dari rumah itu.
"Perjalananku baru saja dimulai." Ucapnya seraya meletakkan langkah pertamanya, dan--duarrr.
Suara apa itu? Pikir, Riku. Ada yang aneh.
Dumm...dumm...duarrr.
Terdengar bunyi ledakan silih berganti, ledakan itu, adalah ledakan yang besar.
Riku segera mengalihkan pandangan ke belakang.
"Ini, tidak mungkin."
Riku melesat cepat. Ledakan itu nampak mengerikan bahkan dari jauh, ledakan besar yang meletupkan apinya sehingga nampak seperti jamur besar yang merah. Hal yang menggetirkan disini adalah arah dari ledakan, itu dari rumah kakek.
Riku melesat secepat yang ia bisa, tapi karena jarak yang cukup jauh, ia membutuhkan beberapa waktu untuk sampai.
"Sial, kenapa harus disaat-saat seperti ini." Ucapnya yang masih dalam posisi tercepatnya, melesat dalam rimbanya hutan dalam suasana langit yang mulai menggelap.
Beberapa saat berlalu dalan ketakutan dan keresahan yang tidak dapat dijelaskan oleh Riku, sebentar lagi ia akan sampai. Lihat lah, semuanya sudah terlihat, dan Riku berhenti, terdiam di salah satu dahan pohon, matanya getir, keringatnya terkucur, wajahnya pias.
Apa yang terjadi? Gumamnya.
Lihatlah, tidak ada apa-apa disana, rumah kakek, dan sebagian besar hutan disana, hilang, hangus menjadi abu, tinggal lah tempat itu menjadi lautan api. Mata Riku menjadi gelap, tubuhnya menjadi lemas, ia menunduk, sedikit tersungkur, nafasnya memburu, namun cepat kembali tenang, ia pun kembali berdiri, menegakkan kepalanya, dan matanya--berubah, ia--terlihat begitu dingin.
Keadaan hati yang tergoncang parah, membuat mental Riku rusak saat itu, tubuhnya dingin, matanya dingin, tapi hatinya begitu panas, emosinya--melesat ke arah yang tidak normal, arah yang buruk.
Tanpa kendalinya, tubuhnya mulai mengeluarkan api bagaikan keringat, perlahan mulai memenuhi dirinya, menyelimutinya, api itu, tunggu dulu, itu bukan api yang ia dapatkan saat pertama kali, api itu tidak membara, api itu--begitu dingin, api biru.
Sebagai seorang pemburu sejak kecil, kemampuan mengamati adalah hal yang penting untuk dilatih, dan Riku adalah ahlinya dalam hal itu. Dipandanginnya seluruh lautan api itu, hanya perlu sedikit waktu baginya untuk menemukan siapapun dan apapun di balik kepulan bara api disana, dan ia sudah menemukannya.
Dalam keadaan terburuknya kini, ia memasang kuda-kuda untuk melompat jauh, ia pusatkan kekuatan api biru tersebut di kakinya, dan melesat bagai roket menuju siapapun yang berada di balik lautan api itu.
Siapapun atau apapun itu, akan segera kuhabisi, gumamnya.
Sesaat setelah ia sampai di dalam lautan api itu, ia dapat melihat dengan seksama mengenai apa yang sedang terjadi, dibalik asap-asap ini, cukup sulit untuk mengamati dengan benar. Terdapat beberapa orang disana.
Mereka yang berkumpul, pastilah para pembuat kerusakan ini, gumamnya setelah berhasil masuk dalam lautan api itu.
Tidak jauh dari tempat ia mendarat ia melihat orang yang tidak asing baginya, itu--kakek. Beberapa bagian tubuhnya terbakar, namun tidak fatal, banyak lebam di bagian tubuhnya, ia terlihat terluka cukup parah. Riku yang menyadari itu, segera merangsek dengan cepat menuju ke arah kakek.
"Kakek, kau tidak apa?" Ucapnya yang secara tiba-tiba muncul di hadapan kakek, api yang menyelimutinya meredup.
Kakek yang masih kaget atas apa yang ia lihat, hanya terdiam dan jengkel.
"Apa yang kau lakukan disini?! Bukannya kau suda berangkat menuju desa sebelah?!" Tanya kakek, geram.
"Iya, tadinya. Tapi, aku melihat ledakan besar dari arah sini, dan aku segera berangkat untuk menolongmu." Ucapnya, masih dalam keadaan dingin, yang kakek pun masih belum menyadari itu.
Kakek malah terlihat lebih geram dari tadi, cucu bodoh, gumamnya.
"Sudah benar kau pergi tadi! Mereka datang mencarimu!! Maka, pergilah dari tempat ini secepatnya!" Kakek geram, panik.
Riku hanya memandangi kakek dengan tenang.
Aku? Katanya.
Ia pandangi sekujur tubuh kakek yang tampak terluka dengan banyak sekali warna hitam legam akibat terpukul atau serangan sejenisnya.
Aku yang dicari? Dan mengapa ia sampai menghancurkan semuanya?
Kepalanya kembali mengingat semua hutan dan rumah yang baru saja akan ia tinggalkan. Sekarang? Ludes, hanya sedikit yang tersisa dari hutan tersebut.
Aku? Berarti semua kerusakan ini adalah sebabku?
Pikirannya terus berperang, mental Riku mulai tidak terkendali, semua mulai rusak, menjadi buruk.
Aku, ya? Berarti, aku juga yang akan menyelesaikan semua ini.
Saat itu, sebab rasa panik, kakek baru memahami apa yang sebenarnya dan akan terjadi.
Tubuh Riku kembali diselimuti api, biru warnanya, pekat, dan hangat. Riku menyentuh kakek, dan api biru tersebut seketika menyelimutinya juga.
"Sembuh lah." Ucap Riku.
Benar saja, api tersebut mulai menyembuhkan bagian tubuh kakek yang terluka, membakar habis semua rasa sakit. Riku memutar tubuhnya, hendak pergi mencari biang keladi ini semua, dan kakek menahannya.
"Kau mau kemana?" Tanyanya dengan nada lemas.
"Aku akan membunuh siapapun mereka pembuat masalah ini."
"Kau tidak akan mampu."
"Tidak, kakek. Kau salah, aku akan membunuh siapapun itu."
"Percaya lah, padaku. Kau tidak akan mampu, dan segera lah pergi, tinggal kan tempat ini." Pintanya, lemas.
Riku hanya menunduk dan tersenyum getir.
"Aku akan pergi, kakek. Kau, selalu saja, meremehkanku." Ucapnya seraya melepas pegangan tangan kakek, dan berjalan ke dalam lautan api.
Kakek hanya diam, sedih.
"Tidak pernah ada yang meremehkanmu, Riku." Ucapnya pelan.
"Hanya, aku yakin kau tak akan sanggup." Suaranya yang pelan, tenggelam dalam kesiur api yang membara.
Riku berjalan perlahan, sampai di sebuah titik, ia menjentikkan jarinya, dan semua api disekitarnya, dalam jarak tertentu--seketika menghilang, menyisakan kepulan asap yang menyebar.
Saat kepulan asap itu hilang, terlihat di depan Riku, terdapat lima orang dengan seragam yang serasi, mereka lah yang membakar habis hutan, rumahnya, dan bahkan tega menyerang kakek, mereka--pasukan kerajaan.
Riku hanya menetap mereka dingin, sedingin api yang menyelimutinya. Ia tidak peduli siapa mereka, dalan pikirannya hanya terdapat kata 'bunuh', sampai ia menolehkan wajahnya ke atas tuk menatap wajah orang yang akan dibunuhnya. Semangatnya pias, nafsunya tunduk, hati dan jiwanya semakin rusak, dirinya tidak terima dengan ini semua, wajah itu--Morgan.
Itu tertunduk lemas, api birunya perlahan menjadi merah dan redup, lalu hilang. Ia tersungkur memandang wajah orang di depannya, seseorang yang tidak ia sangka, Morgan.
"Apa yang kau lakukan disini, Morgan?"
"Apa yang kau lakukan disini, Morgan?"Morgan hanya memandangnya dengan dingin."Aku mencarimu." Tegasnya.Mencariku? Untuk apa?"Apa kau akan melindungi kami dari para penyerang hutan ini?" Tanya Riku.Morgan hanya menghela nafas, menundukkan kepala ke arah Riku."Aku yang membakar hutan ini"Apa ini? Gumam Riku.Morgan membakar hutan ini? Mengapa? "Aku membakar hutan ini, sebab kakek tidak mau memberi tahu apapun.""Jadi, aku menyerangnya dan membakar hutan ini. Memancingmu untuk datang kesini."Apa? Memancingku? Kenapa ia juga menyerang kakek?Morgan maju selangkah lebih dekat dengan berdiri tegap."Riku, atas perintah dari perdana menteri kerajaan, kau kami tahan karena terlahir sebagai anak dari orang yang terkutuk, Raja Api Kuri."Terkutuk? Raja Api Kuri? Ayahku? Ayahku orang terkutuk?"Apa maksudmu, Morgan? Bukankah ayahku adal
"Apa yang kau lakukan disini, Morgan?"Morgan hanya memandangnya dingin."Aku mencarimu." Tegasnya.Mencariku? Untuk apa?"Apa kau akan melindungi kami dari para penyerang hutan ini?" Tanya Riku.Morgan hanya menghela nafas, menundukkan kepala ke arah Riku."Aku yang membakar hutan ini"Apa? Gumam Riku.Morgan membakar hutan ini? Mengapa?"Aku membakar hutan ini, karena kakek tidak mau memberitahu keberadaanmu.""Jadi aku menyerangnya dan membakar hutan ini, memancingmu untuk datang kesini."Apa? Memancingku? Tapi, untuk apa? Dan mengapa ia melakukan semua ini?Morgan maju selangkah lebih dekat dengan berdiri tegap."Riku, atas perintah dari perdana menteri kerajaan, kau kami tahan karena terlahir sebagai anak dari orang yang terkutuk, Raja Api Kuri."Terkutuk? Raja Api Kuri? Ayahku?Ayahku orang terkutuk? A
Kepulan asap membuat jarak pandang semakin sempit, itu bukanlah ledakan kecil. Morgan beserta pasukannya masih dalam posisi siap. Mereka tahu ini tidak akan mudah, mengalahkan anak Raja Api? Sama seperti mengalahkan Raja Api itu sendiri. Sesaat setelah kepulan asap itu hilang, di tempat Riku berdiri, tidak ada siapa-siapa. Kemana dia? Pikir Morgan. "Fire...ball." Empat bola api raksasa tiba-tiba datang, bergerak cepat dari atas mereka, menyerang dengan ganas. "Menghindar!" teriak Morgan. "Aarrgghh!" teriak salah satu dari mereka, terhempas jatuh terluka oleh bola api itu. "Satu." Morgan membalikkan tubuhnya, mengambil posisi, dinyalakannya pemantik api miliknya, ia akan menyerang. Dengan cepat ia mengumpulkan sejumlah besar gumpalan api di tangannya, mengarahkannya kepada Riku yang tengah bergerak ke arahnya. Dipadatkannya api itu, besar, lebih besar, dan lebih besar. "Sihir Ap
"Morgan, kau akan mati."Riku mengangkat pedangnya, dia akan membunuh Morgan."Hahaha!!"Riku menahan pedangnya, Morgan--dia tertawa."Apa yang lucu?"Morgan menatap Riku. Sorot matanya, berubah."Yang lucu?""Fakta bahwa kau tidak akan bisa membunuhku.Hahaha!!"Tawanya mengerikan. Morgan, tanpa sadar, kehilangan kendali.Sementara Morgan tertawa. Riku kembali mengangkat pedangnya."Mati lah kau dengan kebodohanmu, Morgan"Pedang itu bergerak cepat ke arah leher Morgan, dan--Bumm!!Ledakan dahsyat tiba-tiba terjadi di sana. Riku terhempas oleh ledakan itu, seluruh tubuhnya terbakar, yang cepat ia padamkan dengan api biru. Api biru membakar api biasa. Riku tidak menyadari serangan itu, ia membentuk kuda-kuda, instingnya merasakan sesuatu akan datang. Matanya terfokus pada arah ledakan tadi, yang tepat mengenai dirinya dan juga Morgan.Musuh, kah?
“Kau tinggal sendiri?”Morgan yang syok melihat orang tuanya terbunuh, hanya diam mematung.“Hei, bocah?”Suara itu memanggilnya lagi. Tapi, nihil, dia masih terguncang dengan semua itu.“Hei, bocah! Kau dengar aku?”Suara itu, tapi percuma. Matanya, Morgan, tampak semakin kosong tiap detiknya. Tatapan ngeri.Tolong, bunuh saja aku, gumamnya. Plakk!Pemilik suara tadi, menampar Morgan. Pukulannya begitu kuat, menyadarkan tatapan Morgan. Kini ia mampu mengenali dan melihat sekitarnya. Dia menatap pria itu.“Apa kau malaikat maut?”Plakk, satu tamparan lagi.“Aduh! Apa sih masalahmu? Bodoh.” Geram Morgan.Siapa orang ini? Yang pasti bukan pembunuh yang tadi, dia terlihat baik.Pria itu berdiri. Tubuhnya gagah bak benteng raksasa, tatapannya tajam menusuk, dan wajahnya, wajah seorang pemimpin
Morgan beserta pasukan kerajaan kembali, Yuo ikut bersama mereka. Tubuhnya diikat kuat, dan itu bukanlah pengikat sembarangan, melainkan alat khusus yang dapat menahan kekuatan sihir dari jimat.Setelah sampai di kerajaan, mereka berjalan sedikit lebih jauh, bergerak ke bagian terburuk di dalam kerajaan ini, penjara kesengsaraan. Yuo pun dilempar dan ditempatkan di sel tersendiri, sebab mereka tahu seberbahaya apa Yuo jika tidak ditekan sekeras ini.“Jadi, inikah penjara kesengsaraan? Tidak begitu buruk.”Yuo hanya diam memperhatikan, masalah seperti ini? Hanya masalah sepele bagi kakek tua ini.“Kau akan tahu setelah ini, kakek tua.”“Atau aku harus membunuhmu sekarang?”Moreey hendak mencabut pedangnya.“Moreey! Tahan dirimu.”Morgan baru sampai, dia baru saja menyampaikan hasil penyerangan ini kepada perdana menteri.Moreey kembali memasukkan pedangnya dan tertundu
“Morgan, kau yakin dengan ini?” orang itu bukan karena tidak percaya, hanya saja, hal ini begitu beresiko, terlebih bagi Morgan. “Ya, aku sangat yakin.” Tidak perlu ada lagi keraguan, hal seperti itu hanya akan menghalangi apapun. Selama kau memiliki rencana,mempertimbangkan semuanya, bahkan sampai kepada keadaan terburuk, maka tidak aan ada masalah, dan lagi, selama kau tidak bermain dengan emosi di dalamnya. “Apa kau ragu?” Morgan bertanya. Orang itu menggeleng. “Tidak.” “Hanya saja, aku berharap kita bisa saling berbagi kesulitan dalam hal ini.” “Karena aku juga bagian dari rencana ini.” Morgan tidak menggubris pernyataan temannya itu. “Maaf, aku tidak bisa.” Orang yang bersamanya nampak heran. “Apa sesulit itu hanya untuk berbagi?” Morgan tersenyum kecil. “Bukan masalah itu.” Morgan menunduk. “Aku hanya tidak ingin menyusahkan siapapun lagi.” “Hanya itu.”  
“Aku pulang.” Ucap orang tersebut seraya masuk ke dalam rumah. Dari jauh, seorang anak kecil berlari cepat menuju arah dari suara itu.“Ayah!” teriaknya yang disambut oleh pelukan ayahnya.“Kamu sudah pulang. Bagaimana tugasmu tadi?” tanya seseorang yang kemudian Nampak datang dari arah dapur, itu istrinya.“Ya cukup aman, Mareta.”“Hanya membereskan sedikit cecunguk yang berteriak Revolusi. Hehe.” Anak kecil itu mendengarkan dengan seksama, walau tidak paham di umurnya yang masih tiga tahun itu, namun melihat bagaimana sang ayah tertawa dan bercerita adalah hal yang keren.“Bagus lah kalau seperti itu, sayangku.” Namun setelahnya sang ayah menundukan kepalanya. Mareta terdiam, ia tahu ada sesuatu yang mengganggunya.“Ada apa sayangku?”Sang ayah menatap Mareta. “Aku rasa, pelakunya masih orang yang sama.”Mareta hanya terdi