Setelah panjang menjelaskan bagaimana kehidupan Ayah Riku. Kakek pun melanjutkan pembicaraan.
“Kekuatanmu persisi seperti ayahmu, kekuatan api murni." Ucap Kakek.
Riku yang mendengar kata itu pun masih bingung, ia tidak paham mengenai dasar-dasar kekuatan dan sejenisnya.
“Jika aku pemilik api murni, apakah artinya ada pemilik kekuatan api yang tidak murni? Dan apa yang membedakan keduanya, kakek?” Ucap Riku.
Kakek melihat keingintahuan Riku, sepertinya ia harus menjawab semua hal yang ingin ditanyakan Riku malam ini.
“Mudahnya, kekuatan murni adalah kekuatan dimana pemiliknya dapat mengeluarkan sihir tersebut tanpa perlu pemantik atau sesuatu sejenisnya…” Jelas kakek.
“Sebagai contoh kekuatan api-mu. Kau bisa langsung mengeluarkan kekuatan tersebut bukan? Berbeda dengan Morgan yang menggunakan pemantik api, jadi pada dasarnya, pemilik kekuatan tidak murni hanya bisa memanipulasi elemen tersebut…”
Riku kembali mengingat pertarungannya dengan Morgan sebelumnya, dan memang benar, ia melihat sesuatu seperti pemantik sebelum Morgan melepas kekuatannya.
“Jika saja Morgan bertarung, namun ia tidak memiliki pemantik, dan di sekitarnya tidak terdapat sumber api, maka kekuatannya tidak akan berguna." Jelas kakek. Sampai sini pun Riku paham.
Berarti terdapat banyak sekali jenis kekuatan di dunia ini kah? Pikir Riku. Namun, sudah terlalu banyak yang ia ketahui, ia ingin pergi berkelana sendiri untuk mempelajari semua hal itu.
“Baik, kakek. Terimakasih sudah memberitahuku semuanya." Ucap Riku.
“Aku ingat sudah berapa kali kau berkata tentang ayah yang gugur di medan pertempuran. Aku tahu kau hanya ingin menjagaku agar aku tidak menemukan ayah."
"Tapi, Morgan sering berkata tentang ayah dan kemungkinan dirinya yang masih hidup dan berkelana di penjuru benua."
“Dan berdasarkan ceritamu, aku tahu bahwa masih banyak sekali hal yang kau sembunyikan. Tapi, aku yakin itu karena memang ada kemungkinan bahwa ayah masih hidup, benar?!” Riku memastikan, dan kakek jelas sekali tidak bisa menyangkal hal itu.
“Aku akan tetap mencari ayah." Tegas Riku.
Kakek kini memandang cucunya dengan harap, kini yang berada di hadapannya bukanlah anak kecil yang dahulu ditinggalkan oleh Kuri. Riku sudah tumbuh menjadi seseorang yang kuat, dan kekuatan Kuri yang berada pada Riku, membuatnya terlihat sangat kuat, tidak ada lagi kelemahan di dalam diri anak ini.
“Aku akan berangkat besok, kakek. Aku akan menghabiskan waktu dahulu di rumah pohon, besok hari liburku bukan?!”
Riku pun mengakhiri pembicaraan dan beranjak pergi meninggalkan ruang makan.
Sesaat sebelum ia meninggalkan pintu.
“Terimakasih, kakek." Sayup-sayup terdengar di ruangan yang sunyi itu. Kakek bahkan tidak menjawab, hanya menunduk mengiyakan.
Malam ini semua bersedih, ada yang bersiap pergi, dan ada yang bersiap ditinggalkan. Hidup selalu memberi pilihan bagi mereka yang hidup, dan barang siapa yang sudah menemukan alasan untuk memilih, maka tidak akan ada apapun atau siapapun yang berhak menahannya.
*****
Malam bergerak cepat bagi mereka yang terlelap, namun tidak bagi Riku dan kakek, yang semalaman suntuk hanya terdiam memandang langit kamar mereka, mulai esok, semua akan berubah.
Lalu, sekali lagi, dan untuk kesekian kalinya, mentari terbit. Cahayanya memenuhi cakrawala, hangat rasanya. Begitu indah cahayanya saat menembus padatnya hutan Yoruu, menyikap apa-apa yang hidup dan ada di dalamnya. Pagi ini, bukan hanya Riku dan kakek yang bangun dan bersiap, tapi semua hewan dan tumbuhan di dalamnya.
Riku sudah bersiap dengan segala peralatannya. Hari itu pun ia akan pergi meninggalkan rumahnya, ia sudah bertekad. Dia sadar bahwa terdapat dunia yang lebih besar di luar sana. Dunia yang bukan hanya berisi pohon-pohon yang menjulang tinggi, hewan-hewan buruan, dan rumah pohon, melainkan hal-hal yang besar, yang belum ia ketahui hingga kini.
Hari sudah terang, kakek tidak nampak keluar dari kamarnya. Riku sudah siap dengan peralatannya, dan mulai berjalan keluar rumah. Dilihatnya rumah itu sekali lagi, ia tak tahan, tak tega, tapi demi dirinya sendiri, ia akan berangkat hari ini. Ia pun tidak berpamitan kepada kakek, terlalu berat baginya, dan ia tahu begiti pun sebaliknya bagi kakek.
"Selamat tinggal. Kau tahu? Tidak ada orang yang sangat menyebalkan, di dunia ini, selain kau--kakek." Ucapnya, seraya berlari cepat menuju rumah pohon untuk terakhir kalinya.
Seketika suasana rumah menjadi hening. Hanya mereka berdua yang tinggal di tengah hutan ini, dan kini tinggal lah seorang. Kakek pun akhirnya keluar dari kamarnya, padahal ia sudah bangun sedari tadi, atau lebih pas disebut dengan--tidak tidur.
Namun, hal ini adalah berat baginya. Seorang Riku yang ia besarkan dari kecil, meskipun kerap kali ia tegas dan keras padanya, ia sadar bahwa itu karena ia sangat menyayangi cucunya. Ia pun keluar dan berjalan ke arah pintu yang terbuka lebar, Riku baru saja pergi, dan kini hanyalah pemandangan kosong menuju padatnya hutan yang nampak di mata Yuo, kakek Riku.
"Kau tahu? Tidak ada cucu yang paling kurang ajar di dunia ini, selain dirimu." Ucapnya, yang perlahan hilang tergerus hembusan angin.
Kakek pun masih memandangi keluar pintu untuk beberapa saat, memandang kosong keluar.
"Sudah selesai main dramanya?"
Suara itu muncul dari belakang kakek.
"Sudah lah, biarkan saja. Itu juga memang yang terbaik baginya, bukan?!"
Suara itu terus datang, ada seseorang di belakang sana.
"Ini tidak seperti dirimu, Yuo. Hahaha!"
Orang itu terus saja berbicara. Kakek pun tak ayal menggubris ucapan orang itu.
"Sudah lah, kau itu-"
"Ya! Diam lah." Potong kakek. Ia pun memutar pandangannya ke arah orang tersebut.
"Kau datang terlalu pagi, Rengga." Ucap kakek.
"Sudah kubilang, ini keadaan darurat."
Kakek memandang orang itu dengan seksama.
"Cepat! Jelaskan rencananya."
“Apa kalian lihat seorang bocah disini?” tanya Morgan. Para pemburu terdiam dengan rasa takut. Mereka sadar siapa yang berdiri di hadapan mereka. Kapten dari Pasukan Kerajaan, terlebih seorang kapten dari pasukan pertama. “Apa yang dilakukan seorang Pasukan Kerajaan di hutan Yooru?” Morgan berjalan maju. Sedangkan, para pemburu mempersiapkan diri, menjaga jarak. “Aku tadi merasakan bocah itu disini. Dimana dia?” Morgan terus mendekat. Diambilnya pemantik api, ia nyalakan api itu. Dengan cepat itu membuat tekanan panas dengan api itu. Morgan mencoba menfokuskan dirinya, perluasan tekanan itu menjadi radar, namun – “Mati kau!! Hahaha!!!” Seseorang meloncat dari kegelapan, mencoba menerjang Morgan dengan sebilah pedang yang dihunuskan kepadanya. Wajahnya – sudah siap membunuh. Morgan dengan cepat membakar sekelilingnya dengan api. Api besar nampak membara mengelilinginya. Orang tadi langsung menghindar. Api Morgan terasa begitu panas, bahkan sebelum orang itu menyentuhnya. “Cih
Pertandingan sudah dimulai. Pertandingan yang dibuat sepihak oleh Riku guna membuat Morgan menyadari kehebatannya.Morgan sendiri hanya mengikuti keinginan Riku.Mungkin tidak apa jika aku ikut permainannya – pikirnya, ini permainan baginya, liburan di masa senggangnya.Morgan sendiri baru saja selesai mendapat buruannya.“Aku rasa ini sudah cukup.” Ucapnya, sedang di hadapannya terdapat seekor Bison yang sudah terkapar.“Semoga ini tidak terlalu berat.” Ia pun berjalan pulang. Diangkatnya bison di pundak.Di tengah perjalanan, Morgan hanya memenuhi kepalanya dengan banyak hal.“Dia begitu menyayangi ayahnya. Kini, ia terbebani dengan betapa kuatnya ia, dan kekecewaan dalam hatinya terhadap apa yang dilakukan Kuri padanya – meninggalkannya.” Perkataan Yuo sebelumnya terlintas.Dan jauh sebelum itu –“Aku serahkan anak itu padamu.”“Anak itu? Siapa dia?!”“Anakku, Riku namanya.”Kenangan lain, ikut terlintas. Morgan hanya tersenyum dalam diamnya.“Bodohnya aku menerima tugas yang merep
“Bagaimana dengan pertandingan!? Aku akan mengalahkanmu, dan menutup mulutmu itu.”Morgan pun berdiri, dan menatap Riku tajam, lalu ia tersenyum.“Baiklah, aku terima. Apa tantangannya?”“Mudah saja, akan ku jelaskan di luar.”*****Riku dan Morgan pun berjalan ke luar rumah, Yuo memperingatkan Morgan.“Jangan dibawa terlalu serius, Morgan. Dia masih anak-anak.” Jelas Yuo.Morgan mendengarnya dan tertawa kecil.“Kau tahu, kakek. Sebagai orang yang terlihat kasar kepada Riku, rupanya kau begitu memperhatikannya.”Kali ini Yuo yang tertawa cukup keras mendengar ucapan Morgan.“Ya, bisa kau sebut itu sebagai naluri orang tua.”“Tenang saja. Aku hanya akan mengajarkan dia apa yang diajarkan kapten kepadaku.” Jelas Morgan.Sesampainya di depan rumah.“Kita akan berburu. Siapa yang membawa buruan terbaik, dia pemenangnya.” Ucap Riku.“Kau yakin malam ini? Bukankah banyak hewan buas yang keluar pada malam hari?”Riku memandangnya dengan tatapan menghina.“Jadi, kau takut?”Demi menghadapi ta
Sementara itu, Riku dan Teera.“Baik. Em…kita mulai dari mana dahulu ya?” tanya Teera.“Kau sendiri yang bilang kalau kau hebat dalam berdiskusi!? Jangan tanya aku.”“Oke, sebentar.”Teera berpikir sejenak.“Oke. Pertama, apa yang diinginkan kerajaan dari dirimu?” tanya Teera.“Em….”“Entahlah Teera, aku pun tidak tahu.” Jelas Riku.“Tidak mungkin tidak ada sesuatu yang penting darimu, yang sampai membuat pasukan kerajaan menyerang.” Tegas Teera, Riku pun hanya menganggukkan kepala.“Kau benar. Bahkan sampai kakek berusaha begitu keras untuk menolongku.” Ucapnya sedih, ia masih memikirkan kakeknya.“Apapun hal itu. Aku yakin kakekmu tahu sesuatu, begitu pula dengan Morgan.”Riku terlihat memadatkan kepalan tangannya, wajahnya mengkerut penuh amarah.“Morgan…” uc
“Bicaralah.” Tegas teman Rengga. “Aku tidak bertanggungjawab jika tubuhmu hancur setelah ini.” Rengga merendahkan tubuhnya, mendekatkan dirinya kepada sosok tersebut. Dengan pukulan yang cukup keras, rupanya sosok tersebut masih sadar, namun nampak terduduk kesakitan dan tidak mampu berdiri. Semakin dekat Rengga memastikan, yang ia lihat hanya sebuah senyum tipis dari sosok tersebut. “Siapa kau? Bicaralah.” Tegas Rengga. Sosok tersebut hanya mengangkat kedua tangannya, dan memperlihatkan seyumnya kepada mereka berdua. Teman Rengga yang tidak suka melihat wajah itu, langsung bergerak menghantamnya. “Tunggu!” teriak Rengga, namun telat. “15 kali.” Pukulan itu pun melesat bebas menghantam sosok tersebut, bumm. Tepat setelah pukulan tersebut kembali diangkat, tidak ada siapapun disana. Kepala Rengga dan temannya seketika terasa begitu pusing, penuh getaran, seperti diputar secara paksa. Hal itu terjadi dalam sekejap saja, setelah itu hilang. “Memang kekuatan yang mengerikan.” R
Lima belas menit berlalu semenjak Rengga pergi. Teera masih melakukan pemanasan, tubuhnya sudah dibanjiri keringat, namun belum ada tanda Riku sudah menyelesaikan makannya.“Kemana Riku? Padahal hanya makan sayuran, kenapa dia bisa selama ini.”“Apa dia memang selemah ini dengan sayuran?”Setelah menyentuh dua puluh menit, Teera menghembuskan nafas, menyerah.Sepertinya aku terlalu memaksa dia, akan kulihat apakah dia pingsan atau sejenisnya. Gumam Teera.Namun, baru beberapa langkah, Riku datang, dan ya – wajahnya seperti mau mati mencoba menelan banyak sekali sayuran.“Ayo latihan, huekk.” Ucapnya menahan mual.Teera yang melihatnya hanya tertawa ringan.“Telan dulu semua itu, baru kita latihan.”Riku dengan mata yang sudah basah dan keringat dinginnya, langsung menelan semua sayuran hijau itu, huekkk.Selepas membasuh wajah, ia kembali datang ke Teera dan sudah siap untuk latihan. Namun, tidak butuh waktu lama ia menyadari bahwa tidak ada Rengga.“Hei Teera. Dimana kakekmu? Bukanny