Dari angkasa, Jingan mengembangkan sayap. Kepalanya menoleh ke segala arah. Sorot matanya tajam, menemukan lima pendekar yang bergerak cepat di atas kudanya menuju arah utara. Jingan mengikuti lima pendekar itu. Tubuhnya segera mengikuti dengan kedua sayapnya terentang lebar. Bulu-bulu tubuhnya bergetar ditiup angin kencang selama dia memburu ke mana lima pendekar berkuda itu menuju.
Jingan mengamati lima kuda pendekar itu berhasil keluar dari sisi hutan. Dan Jingan melihat bahwa mereka berlima memasuki wilayah perdesaan. Keramaian di desa itu tampak oleh Jingan bagai kurcaci-kurcaci yang hilir-mudik. Rupanya Jingan melihat pasar di satu wilayah yang berdekatan dengan perdesaan. Tubuh Jingan berada persis di atas pasar yang ramai. Tubuhnya mengelilingi wilayah itu di angkasa.
Sementara itu, lima pendekar itu turun dari kudanya. Kelima tali kekang kuda itu ditautkan pada pancang kayu kokoh yang sudah tersedia di sudut satu pondok yang lumayan luas dan ramai.
“Saudara,” ujar si Codet. “Mari sarapan dulu.”
Matu menyambut dengan anggukan.
Si Jempol menyarankan agar mereka tidak membuat kekacauan pagi-pagi di pondok itu. Saran Jempol, dengan perilaku beradab sesekali, apa yang mereka cari, yakni keberadaan Mamak Jambul, siapa tahu berhasil ditemukan dari informasi orang-orang yang berada di dalam pondok itu.
Si Ceking menekur sesaat lalu setuju.
Si Bau sudah lebih dulu melangkah. Sepertinya sudah kelaparan dia.
Pondok itu ramai. Bangku, meja, kebanyakan terisi oleh orang-orang yang lapar pagi-pagi.
Satu orang pelayan menghampiri kelima pendekar dengan sopan. Mempersilakan mereka untuk duduk di tempat yang kosong.
“Mau pesan apa?” tanya pelayan dengan membungkuk sopan.
“Menunya apa saja?” tanya si Bau.
Empat pendekar lainnya mengikuti duduk mengelilingi satu meja di mana si Bau sudah lebih dulu bertanya soal menu.
“Sop babi. Sop ayam. Sop kelinci,” jawab pelayan.
“Semuanya sop?” tanya si Jempol seperti takpercaya. “Tidak ada menu selain sop?”
“Ada, Tuan.”
“Apa?” tanya si Codet.
“Cah kangkung. Cah Toge. Semur tahu.”
Si Ceking mengelus rambut tipis di kepalanya.
“Ya sudah,” ujar si Bau. “Aku pesan sop kelinci.”
“Aku pesan cah kangkung, sop ayam hutan. Minum teh hitam. Ada, kan, sop ayam hutan?” Matu memastikan.
“Ada, Tuan. Minumnya?” tanya pelayan.
“Wedang jahe,” sambut si Bau. “Eh, ada belut?”
Pelayan menegakkan tubuhnya yang membungkuk, menoleh ke satu meja di pojok ruangan pondok itu. Dia berkata agak lantang, “Menu belut, ada?”
Satu orang pelayan di meja mengangkat tangannya, juga mengangkat jempolnya.
Pelayan itu semringah dan menjawab, “Ada, Tuan.”
Si Codet segera berkata, “Aku pesan belut goreng. Minum teh.”
Si Ceking pun memesan menu sama dengan Codet.
Si Jempol ditanya oleh pelayan. “Kalau Pendekar,” satu jempolnya menegak, “pesan apa?”
Melihat jempol pelayan menegak dengan sopan, Jempol menahan emosi. “Sop, BABI!”
Matu tergelak. “Minumnya?” goda Matu.
“Teh, BABI!”
---
Masih di langit pagi yang mulai cerah, suara kepakan sayap Jingan nyaris tak terdengar. Tubuhnya yang kokoh menyusuri udara sambil mengamati kelima pendekar yang kini telah duduk di pondok makan menyantap pesanan. Sekalipun aroma lezat dari dapur pondok menguar hingga ke udara, Jingan tetap fokus. Sepasang matanya menyorot tajam ke arah meja tempat mereka berlima berkumpul.
"Codet," ujar Matu, dengan nada berbisik, cukup terdengar tegas. "Kau yakin kita di tempat yang tepat?"
Si Codet mengangguk sambil memegang cangkir teh. "Aku yakin. Kita cari tahu, Mamak Jambul sering mampir ke sini atau tidak. Kalau iya, dia pasti ada di sekitar daerah ini."
"Aku tetap berpendapat kita tidak boleh menarik perhatian," sela si Jempol, sambil menyeruput sop babinya. Matanya memandang sekeliling, memeriksa keramaian pondok. "Siapa tahu, orang-orang di sini bekerja untuknya."
Codet tersenyum kecil, menunjukkan bekas luka panjang di pipinya yang khas. "Kau ini terlalu banyak berpikir, Jempol. Nikmati saja sarapanmu. Kalau kita bertemu dia, kita baru bertindak."
"Hei," si Bau mengangkat tangannya, dengan mulut penuh sop kelinci. "Tidak bisakah kalian diam sejenak? Aku lapar, dan makanan ini enak sekali."
Si Ceking tertawa kecil sambil mengunyah belut gorengnya. "Aku setuju. Kalau terus bicara, kita akan kelaparan sebelum Mamak Jambul muncul."
Namun, sesaat setelah itu, percakapan mereka terhenti. Seorang pria bertubuh besar dengan janggut lebat memasuki pondok. Semua orang yang tengah makan seketika terdiam, termasuk pelayan yang sedang mengantar pesanan. Suasana berubah kaku. Pria itu memandang sekeliling dengan mata yang penuh curiga.
Jempol langsung berbisik, "Itu dia. Mungkin dia anak buah Mamak Jambul."
"Jangan bergerak dulu," Codet berbisik balik. "Kita biarkan dia melakukan langkah pertama."
Pria berjanggut itu berjalan mendekati meja mereka. Sorot matanya bergantian memperhatikan kelima pendekar itu. Suasana di pondok kian terasa menegangkan. Si Bau hampir tersedak belut gorengnya, sementara si Ceking sudah bersiap dengan tangannya yang menggenggam gagang pedang.
"Dengar," ujar pria itu dengan suara serak. "Kalian berlima ..., apa kalian mencari seseorang?"
Codet mendongak, menatap pria itu tanpa rasa takut. "Mungkin. Apa yang kau tahu?"
Pria itu tertawa pelan, suara tawanya seperti gemuruh yang membuat meja bergetar. "Aku tahu kau adalah orang-orang yang bermasalah. Jika kau ingin bertemu Mamak Jambul, kau harus melewati aku dulu."
Codet berdiri dari kursinya, diikuti oleh teman-temannya. "Kalau begitu, ayo kita selesaikan di luar."
Jingan, yang sejak tadi mengamati dari angkasa, memperhatikan semuanya. Dia terbang rendah, bersiap mengamati kapan saja. Sementara itu, para pengunjung pondok mulai bergerak menjauh, memberi ruang kepada pria berjanggut dan kelima pendekar.
Di luar pondok, tanah berdebu menjadi arena pertarungan mendadak. Pria berjanggut itu mencabut golok besar dari pinggangnya, sementara Codet dan teman-temannya bersiap dengan senjata masing-masing.
"Berhati-hatilah," ujar Matu. "Dia tampaknya bukan orang sembarangan."
Si Jempol, yang dikenal paling impulsif, langsung maju pertama. "Aku duluan!"
Dengan cepat, pria berjanggut itu mengayunkan goloknya. Si Jempol berhasil menghindar dengan lincah. Serangan itu cukup untuk membuatnya mundur beberapa langkah.
"Dia lebih kuat dari yang kelihatan," gumam si Ceking, melirik ke arah Codet.
Codet hanya mengangguk, lalu melangkah maju. "Sudah cukup bermain-main. Kita selesaikan dengan cepat."
Pertarungan berlangsung sengit. Codet dan keempat temannya bekerja sama dengan baik, saling melindungi dan menyerang pria berjanggut itu. Namun, pria itu ternyata sangat tangguh. Meski dikeroyok lima orang, dia tetap mampu memberikan perlawanan yang cukup merepotkan.
Jingan, dari atas, merasa tidak tenang. Dia memutuskan untuk turun tangan. Dengan kecepatan luar biasa, dia menukik ke arah pria berjanggut itu. Kepakan sayapnya yang besar menciptakan angin kencang yang mengejutkan semua orang.
"Apa itu?!" teriak si Bau, terkejut melihat Jingan mendarat dengan gagah di tengah pertarungan.
Pria berjanggut itu tidak sempat bereaksi. Dengan cakarnya yang tajam, Jingan menyerang, membuat pria itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Codet tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan satu tebasan pedang, dia melumpuhkan pria itu.
Semua terdiam, hanya suara napas yang terdengar. Jingan berdiri dengan gagah di tengah arena, bulu-bulunya berkilauan di bawah sinar matahari pagi.
"Burung itu .... Siapa yang punya?" tanya si Jempol, sambil terengah-engah.
Codet tersenyum. "Bukan milik siapa-siapa. Kurasa dia ada di pihak kita."
Jingan menatap kelima pendekar itu dengan tajam, bagai mengatakan bahwa dia akan terus mengawasi mereka. Tanpa suara, dia mengepakkan sayapnya dan terbang kembali ke angkasa.
Codet menatap pria berjanggut yang kini tergeletak tak berdaya. "Sekarang kita tahu. Mamak Jambul pasti sudah menunggu kita. Ini baru permulaan."
Kelima pendekar itu kembali menaiki kuda mereka, bersiap melanjutkan perjalanan.
Si Ceking melemparkan beberapa keping benggol persis di depan pelayan yang melayani mereka barusan.
Pelayan itu masih berdiri, hanya mengangguk sekali dan menelan ludah.---
Saat musim berganti dan salju tak lagi memaksakan dinginnya, Sekte Yǒngjiǔ berdiri sebagai monumen dari banyak luka yang perlahan disembuhkan. Para pendekar kembali ke jalan masing-masing, membawa bukan hanya ajaran bela diri, tetapi pelajaran tentang hati, tentang kehilangan, dan tentang keberanian untuk memaafkan.---Di ruang meditasi yang tenang, Yu Lie menulis jurnalnya sendiri, bukan untuk dikenang, melainkan untuk menjaga agar sejarah tak kembali dibengkokkan oleh ambisi. “Kebenaran bukan pisau,” tulisnya. “Ia adalah cermin. Kadang menyakitkan, tapi tanpanya, kita berkelana tanpa arah.” Dia menyadari bahwa tugasnya tak pernah hanya tentang membongkar rahasia—tapi mengembalikan jiwa yang terluka ke pelukan dunia.Langit malam di atas Tanah Riuh menggantung kelabu, seolah-olah enggan memberi cahaya pada hari-hari yang masih mengandung luka. Angin membawa bau debu, lilin yang telah padam, dan sisa harapan yang belum dibakar oleh ketakutan.Di ruang meditasi yang sama, Yu Lie duduk
Di tengah Tanah Salju yang kini menampakkan rona musim semi, Pertemuan Agung dimulai dengan arak-arakan para pendekar dari berbagai sekte. Aula utama Sekte Yǒngjiǔ kembali menjadi pusat perhatian. Simbol naga bersinar terpahat segar di dinding, dan langit tampak bersahabat, menyingkirkan salju demi cahaya kehangatan.Pertemuan Agung itu adalah pertemuan kedelapan semenjak Mei Chin dan Thong Chai terpisah.Thong Chai berdiri di podium kehormatan, mengenakan jubah biru keperakan, sementara Mei Chin berada di sisinya, tangannya menggandeng seorang bocah lelaki yang belum genap sepuluh tahun, tetapi sorot matanya tajam dan menyala penuh semangat.“Ini adalah Chen Lung,” ucap Mei Chin dengan suara bergetar, “Putra kami. Buah dari cinta yang tumbuh di tengah badai.”Chen Lung menggenggam jubah ayahnya. Tatapan para pendekar berubah dari hormat menjadi haru. Anak kecil itu membungkuk perlahan seperti telah diajarkan sejak bayi untuk menghormati para tetua. Mungil tubuhnya, tapi langkahnya ga
Malam telah menjelma sunyi, memeluk Tanah Salju dengan keheningan yang dalam. Bangunan utama Sekte Yǒngjiǔ tampak seperti benteng batu yang membeku. Namun di dalamnya, Yu Lie dan tiga rekannya sudah menyusup ke lorong tersembunyi, dipandu oleh petunjuk yang mereka temukan di naskah tua kedai penginapan: peta kecil dengan tinta tipis yang memudar. Tidak ada yang tahu bahwa mereka sudah berada di jantung tempat yang dulu hanya bisa dimasuki oleh Lu Thong sendiri.“Lorong ini tidak tercatat dalam arsip umum,” bisik Yu Lie sambil mengusap embun dari dinding.Rimba berlutut memeriksa celah lantai. “Ada jejak. Beku. Tapi baru satu-dua hari. Mungkin Lu Thong sempat ke sini sebelum wafat.”Lon Chang mendorong sebuah rak tua dengan lambang ukiran naga. Terdengar suara berderak, dan rak itu bergeser membuka lorong tangga turun yang gelap.Cucu tersenyum tipis. “Akhirnya tempat rahasia yang layak disebut rahasia. Mari kita turun dan menggali kebenaran.”---Ruangan di bawah tanah itu dingin dan
Angin di luar aula berderu pelan, seperti bisikan alam yang turut berduka. Aroma dupa menyesakkan dada, menggiring pikiran para pelayat pada kenangan yang belum sempat diselesaikan.Lou Cho Nghek datang tepat ketika langit meredup. Langkah-langkahnya tidak terdengar, tapi tatapan matanya mengguncang suasana. Dia berdiri di ambang pintu aula, mengenakan jubah abu-abu tua yang dipenuhi lapisan salju. Rambutnya sebagian mencair dari embun, sebagian lagi mengeras, menambah kesan beku pada wajahnya yang tanpa ekspresi.Beberapa murid yang mengenal wajahnya hanya bisa menunduk—ada ketakutan, ada dendam, ada hormat. Phe I Yek mendongak perlahan dan matanya membelalak.“Kamu datang juga,” katanya parau, nyaris seperti gumaman.Lou Cho Nghek tidak menjawab. Matanya hanya terarah pada peti mati. Langkah-langkahnya lambat, seperti menghitung dosa yang dibawanya dari masa lalu. Di depan peti, dia berlutut. Tangannya gemetar menyentuh kayu dingin.“Guru,” ucapnya lirih, “Aku …, tidak sempat bicara
Asap hitam membubung meninggalkan atap penginapan. Jelaga yang dibawa bersama asap hitam itu terpisah oleh butiran-butiran salju yang turun dari langit. Matahari sudah muncul dari ufuk, tetapi tidak membuat Tanah Salju menghangat karena sinarnya seakan-akan terhalang oleh butiran-butiran salju. Mungkin matahari memilih muncul ufuknya di wilayah lain, tidak di Tanah Salju.Di dalam kamar penginapan, kayu bakar menyisakan hangat dengan sisa-sisa batang-batang kayunya berubah warna menjadi sekam. Sisi jendela penginapan bagian luar menempel salju sehingga tampak seperti mata tombak yang berjejer. Embusan angin dingin berani menyelinap masuk ke dalam kamar, membuat Yu Lie menarik selimut untuk menghalau dingin.Lon Chang tidur masih dengan lelap meski suasana dingin di kamar penginapan begitu menyengat. Sementara Cucu dan Rimba, mereka berdua anteng-anteng saja. sepertinya dingin yang meliputi kamar penginapan mereka bukanlah gangguan bagi mereka untuk tetap pulas.Hingga Yu Lie merasa tu
Rimba Rangkuti dan Cucu akhirnya melihat dengan mata kepala bagaimana sebuah perseteruan antara ayah-anak itu terjadi.“Ketika kita meninggalkan anak-anak Akarlangit, mereka tersenyum bahagia,” ujar Cucu.Rimba diam, tidak menimpali ucapan sahabatnya. Dia menarik selimut di kamar penginapan yang berisi empat orang. Yu Lie dan Lon Chang sudah lelap sedari tadi.“Aku, kamu, dan mereka berdua hanyalah pengembara.” Kata Rimba lagi, “Kita tidak bisa memilih apa yang akan kita lihat dan alami.”Kali ini Cucu diam di balik selimut. Pandangannya tajam pada langit-langit kamar tempat mereka menginap malam itu.“Setidaknya, pikiranmu kali ini lebih baik dari sebelumnya.”Rimba tersenyum di sisi Cucu lalu beringsut memunggunginya. “Ayo, tidur.”Sepasang mata merah Cucu menghilang nyalanya.---Langkah Lou Cho Nghek kembali menapaki dunia luar. Namun dunia yang dilihatnya bukan lagi dunia yang sama. Salju tampak lebih kelabu, langit tampak lebih rendah, dan wajah-wajah di jalanan tampak seperti b