Home / Pendekar / Rimba Memburu Senala / 6- Strategi Jingan

Share

6- Strategi Jingan

Author: Erbidee
last update Huling Na-update: 2025-03-17 09:51:22

Dari angkasa, Jingan mengembangkan sayap. Kepalanya menoleh ke segala arah. Sorot matanya tajam, menemukan lima pendekar yang bergerak cepat di atas kudanya menuju arah utara. Jingan mengikuti lima pendekar itu. Tubuhnya segera mengikuti dengan kedua sayapnya terentang lebar. Bulu-bulu tubuhnya bergetar ditiup angin kencang selama dia memburu ke mana lima pendekar berkuda itu menuju.

Jingan mengamati lima kuda pendekar itu berhasil keluar dari sisi hutan. Dan Jingan melihat bahwa mereka berlima memasuki wilayah perdesaan. Keramaian di desa itu tampak oleh Jingan bagai kurcaci-kurcaci yang hilir-mudik. Rupanya Jingan melihat pasar di satu wilayah yang berdekatan dengan perdesaan. Tubuh Jingan berada persis di atas pasar yang ramai. Tubuhnya mengelilingi wilayah itu di angkasa.

Sementara itu, lima pendekar itu turun dari kudanya. Kelima tali kekang kuda itu ditautkan pada pancang kayu kokoh yang sudah tersedia di sudut satu pondok yang lumayan luas dan ramai.

“Saudara,” ujar si Codet. “Mari sarapan dulu.”

Matu menyambut dengan anggukan.

Si Jempol menyarankan agar mereka tidak membuat kekacauan pagi-pagi di pondok itu. Saran Jempol, dengan perilaku beradab sesekali, apa yang mereka cari, yakni keberadaan Mamak Jambul, siapa tahu berhasil ditemukan dari informasi orang-orang yang berada di dalam pondok itu.

Si Ceking menekur sesaat lalu setuju.

Si Bau sudah lebih dulu melangkah. Sepertinya sudah kelaparan dia.

Pondok itu ramai. Bangku, meja, kebanyakan terisi oleh orang-orang yang lapar pagi-pagi.

Satu orang pelayan menghampiri kelima pendekar dengan sopan. Mempersilakan mereka untuk duduk di tempat yang kosong.

“Mau pesan apa?” tanya pelayan dengan membungkuk sopan.

“Menunya apa saja?” tanya si Bau.

Empat pendekar lainnya mengikuti duduk mengelilingi satu meja di mana si Bau sudah lebih dulu bertanya soal menu.

“Sop babi. Sop ayam. Sop kelinci,” jawab pelayan.

“Semuanya sop?” tanya si Jempol seperti takpercaya. “Tidak ada menu selain sop?”

“Ada, Tuan.”

“Apa?” tanya si Codet.

“Cah kangkung. Cah Toge. Semur tahu.”

Si Ceking mengelus rambut tipis di kepalanya.

“Ya sudah,” ujar si Bau. “Aku pesan sop kelinci.”

“Aku pesan cah kangkung, sop ayam hutan. Minum teh hitam. Ada, kan, sop ayam hutan?” Matu memastikan.

“Ada, Tuan. Minumnya?” tanya pelayan.

“Wedang jahe,” sambut si Bau. “Eh, ada belut?”

Pelayan menegakkan tubuhnya yang membungkuk, menoleh ke satu meja di pojok ruangan pondok itu. Dia berkata agak lantang, “Menu belut, ada?”

Satu orang pelayan di meja mengangkat tangannya, juga mengangkat jempolnya.

Pelayan itu semringah dan menjawab, “Ada, Tuan.”

Si Codet segera berkata, “Aku pesan belut goreng. Minum teh.”

Si Ceking pun memesan menu sama dengan Codet.

Si Jempol ditanya oleh pelayan. “Kalau Pendekar,” satu jempolnya menegak, “pesan apa?”

Melihat jempol pelayan menegak dengan sopan, Jempol menahan emosi. “Sop, BABI!”

Matu tergelak. “Minumnya?” goda Matu.

“Teh, BABI!”

---

Masih di langit pagi yang mulai cerah, suara kepakan sayap Jingan nyaris tak terdengar. Tubuhnya yang kokoh menyusuri udara sambil mengamati kelima pendekar yang kini telah duduk di pondok makan menyantap pesanan. Sekalipun aroma lezat dari dapur pondok menguar hingga ke udara, Jingan tetap fokus. Sepasang matanya menyorot tajam ke arah meja tempat mereka berlima berkumpul.

"Codet," ujar Matu, dengan nada berbisik, cukup terdengar tegas. "Kau yakin kita di tempat yang tepat?"

Si Codet mengangguk sambil memegang cangkir teh. "Aku yakin. Kita cari tahu, Mamak Jambul sering mampir ke sini atau tidak. Kalau iya, dia pasti ada di sekitar daerah ini."

"Aku tetap berpendapat kita tidak boleh menarik perhatian," sela si Jempol, sambil menyeruput sop babinya. Matanya memandang sekeliling, memeriksa keramaian pondok. "Siapa tahu, orang-orang di sini bekerja untuknya."

Codet tersenyum kecil, menunjukkan bekas luka panjang di pipinya yang khas. "Kau ini terlalu banyak berpikir, Jempol. Nikmati saja sarapanmu. Kalau kita bertemu dia, kita baru bertindak."

"Hei," si Bau mengangkat tangannya, dengan mulut penuh sop kelinci. "Tidak bisakah kalian diam sejenak? Aku lapar, dan makanan ini enak sekali."

Si Ceking tertawa kecil sambil mengunyah belut gorengnya. "Aku setuju. Kalau terus bicara, kita akan kelaparan sebelum Mamak Jambul muncul."

Namun, sesaat setelah itu, percakapan mereka terhenti. Seorang pria bertubuh besar dengan janggut lebat memasuki pondok. Semua orang yang tengah makan seketika terdiam, termasuk pelayan yang sedang mengantar pesanan. Suasana berubah kaku. Pria itu memandang sekeliling dengan mata yang penuh curiga.

Jempol langsung berbisik, "Itu dia. Mungkin dia anak buah Mamak Jambul."

"Jangan bergerak dulu," Codet berbisik balik. "Kita biarkan dia melakukan langkah pertama."

Pria berjanggut itu berjalan mendekati meja mereka. Sorot matanya bergantian memperhatikan kelima pendekar itu. Suasana di pondok kian terasa menegangkan. Si Bau hampir tersedak belut gorengnya, sementara si Ceking sudah bersiap dengan tangannya yang menggenggam gagang pedang.

"Dengar," ujar pria itu dengan suara serak. "Kalian berlima ..., apa kalian mencari seseorang?"

Codet mendongak, menatap pria itu tanpa rasa takut. "Mungkin. Apa yang kau tahu?"

Pria itu tertawa pelan, suara tawanya seperti gemuruh yang membuat meja bergetar. "Aku tahu kau adalah orang-orang yang bermasalah. Jika kau ingin bertemu Mamak Jambul, kau harus melewati aku dulu."

Codet berdiri dari kursinya, diikuti oleh teman-temannya. "Kalau begitu, ayo kita selesaikan di luar."

Jingan, yang sejak tadi mengamati dari angkasa, memperhatikan semuanya. Dia terbang rendah, bersiap mengamati kapan saja. Sementara itu, para pengunjung pondok mulai bergerak menjauh, memberi ruang kepada pria berjanggut dan kelima pendekar.

Di luar pondok, tanah berdebu menjadi arena pertarungan mendadak. Pria berjanggut itu mencabut golok besar dari pinggangnya, sementara Codet dan teman-temannya bersiap dengan senjata masing-masing.

"Berhati-hatilah," ujar Matu. "Dia tampaknya bukan orang sembarangan."

Si Jempol, yang dikenal paling impulsif, langsung maju pertama. "Aku duluan!"

Dengan cepat, pria berjanggut itu mengayunkan goloknya. Si Jempol berhasil menghindar dengan lincah. Serangan itu cukup untuk membuatnya mundur beberapa langkah.

"Dia lebih kuat dari yang kelihatan," gumam si Ceking, melirik ke arah Codet.

Codet hanya mengangguk, lalu melangkah maju. "Sudah cukup bermain-main. Kita selesaikan dengan cepat."

Pertarungan berlangsung sengit. Codet dan keempat temannya bekerja sama dengan baik, saling melindungi dan menyerang pria berjanggut itu. Namun, pria itu ternyata sangat tangguh. Meski dikeroyok lima orang, dia tetap mampu memberikan perlawanan yang cukup merepotkan.

Jingan, dari atas, merasa tidak tenang. Dia memutuskan untuk turun tangan. Dengan kecepatan luar biasa, dia menukik ke arah pria berjanggut itu. Kepakan sayapnya yang besar menciptakan angin kencang yang mengejutkan semua orang.

"Apa itu?!" teriak si Bau, terkejut melihat Jingan mendarat dengan gagah di tengah pertarungan.

Pria berjanggut itu tidak sempat bereaksi. Dengan cakarnya yang tajam, Jingan menyerang, membuat pria itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Codet tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan satu tebasan pedang, dia melumpuhkan pria itu.

Semua terdiam, hanya suara napas yang terdengar. Jingan berdiri dengan gagah di tengah arena, bulu-bulunya berkilauan di bawah sinar matahari pagi.

"Burung itu .... Siapa yang punya?" tanya si Jempol, sambil terengah-engah.

Codet tersenyum. "Bukan milik siapa-siapa. Kurasa dia ada di pihak kita."

Jingan menatap kelima pendekar itu dengan tajam, bagai mengatakan bahwa dia akan terus mengawasi mereka. Tanpa suara, dia mengepakkan sayapnya dan terbang kembali ke angkasa.

Codet menatap pria berjanggut yang kini tergeletak tak berdaya. "Sekarang kita tahu. Mamak Jambul pasti sudah menunggu kita. Ini baru permulaan."

Kelima pendekar itu kembali menaiki kuda mereka, bersiap melanjutkan perjalanan.

Si Ceking melemparkan beberapa keping benggol persis di depan pelayan yang melayani mereka barusan.

Pelayan itu masih berdiri, hanya mengangguk sekali dan menelan ludah.---

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Rimba Memburu Senala   88- Ayo, Tidur

    Rimba Rangkuti dan Cucu akhirnya melihat dengan mata kepala bagaimana sebuah perseteruan antara ayah-anak itu terjadi.“Ketika kita meninggalkan anak-anak Akarlangit, mereka tersenyum bahagia,” ujar Cucu.Rimba diam, tidak menimpali ucapan sahabatnya. Dia menarik selimut di kamar penginapan yang berisi empat orang. Yu Lie dan Lon Chang sudah lelap sedari tadi.“Aku, kamu, dan mereka berdua hanyalah pengembara.” Kata Rimba lagi, “Kita tidak bisa memilih apa yang akan kita lihat dan alami.”Kali ini Cucu diam di balik selimut. Pandangannya tajam pada langit-langit kamar tempat mereka menginap malam itu.“Setidaknya, pikiranmu kali ini lebih baik dari sebelumnya.”Rimba tersenyum di sisi Cucu lalu beringsut memunggunginya. “Ayo, tidur.”Sepasang mata merah Cucu menghilang nyalanya.---Langkah Lou Cho Nghek kembali menapaki dunia luar. Namun dunia yang dilihatnya bukan lagi dunia yang sama. Salju tampak lebih kelabu, langit tampak lebih rendah, dan wajah-wajah di jalanan tampak seperti b

  • Rimba Memburu Senala   87- Lou Cho Nghek Mendengki Kian Menggila

    Di tengah kabut salju yang meruap, langkah Lou Cho Nghek mengoyak kesunyian malam. Napasnya memburu. Matanya me-merah bukan karena dingin, melainkan karena bara yang membakar dadanya tak henti-henti.Di hadapannya, rumah kayu kecil berdiri tenang. Sepasang cahaya dari dalam memperlihatkan siluet Thong Chai dan Mei Chin yang tengah duduk bersebelahan. Sebuah ketenangan yang menjadi bahan bakar bagi amarah Lou Cho Nghek.Dia tak mengetuk. Pedangnya membelah pintu kayu itu seperti membelah kenangan masa kecil yang dipenuhi cacian: "Anak yang gagal menjadi bayangan ayahnya."Mei Chin bangkit lebih dulu. Kipas baja terlipat di tangannya. Tatapannya dingin, tapi tak gentar. Thong Chai berdiri dengan gerakan mengalir seperti embun yang tak bisa dicegah oleh badai.“Lou Cho Nghek,” ucap Thong Chai pelan, “kau datang dengan amarah, bukan keberanian.”“Aku datang dengan kebenaran yang kalian sembunyikan!” balasnya dengan suara parau.Pertarungan pun meletus. Ruang sederhana itu berubah menjadi

  • Rimba Memburu Senala   86- Kedengkian Tidak Memerlukan Alasan

    Kedengkian tidak memerlukan alasan. Ia hanya tumbuh bagai semak belukar. Mungkin hanya api yang dapat meluluhlantakkan kedengkian sehingga panasnya pun menjalar ke sekujur tubuh yang meronta-ronta.Lou Cho Nghek mengendapkan kedengkiannya kepada Thong Chai dan Mei Chin. Pasangan itu menghindar untuk menghindari perseteruan. Mereka berdua memilih ketenteraman di satu rumah sederhana. Keseharian mereka adalah berkebun, menggembalakan binatang ternak, merajut cinta dan kasih sayang dalam setiap senyum dan lelah tubuh mereka.Sekte Yǒngjiǔ tetap menjadi sekte yang disegani meskipun rumor kekalahan Lu Thong sudah menyebar. Namun banyak dari para pendekar berempati, dan beranggapan bahwa ayah lebih memilih untuk mengalah demi sang anak.“Lu Thong bukan orang sembarangan. Lou Cho Nghek itu anak bau kencur, sekali kepret, habis anak itu.” Satu pendekar mengungkapkan pendapatnya ketika sedang duduk-duduk di kedai.“Dan, Thong Chai bisa saja mengalahkan anak Lu Thong itu.” Satu pendekar berambu

  • Rimba Memburu Senala   85- Pertarungan Darah dan Nama

    Salju turun perlahan di atas puncak Gunung Xuelan, menyelimuti tanah dengan keheningan yang menyesakkan. Di bawah langit kelabu, dua bendera berkibar: satu berwarna biru keperakan bertuliskan Yǒngjiǔ, satu lagi merah darah bertuliskan Shèng Xuè. Dua sekte, dua jalan, dua darah yang sama—namun kini saling menantang.Di aula utama Sekte Darah Suci, Lou Cho Nghek berdiri di depan para murid barunya. Matanya tajam, penuh bara yang tak padam. Di belakangnya, Guru Duan duduk bersila, wajahnya tenang lamun penuh perhitungan.“Mulai hari ini,” kata Lou Cho Nghek. Suaranya menggema, “kita tidak tunduk pada warisan yang membusuk. Kita tidak tunduk pada nama yang hanya menjadi beban. Kita adalah darah yang murni, yang memilih jalannya sendiri.”Seorang murid muda, Liang Fei, mengangkat tangan. “Tapi ..., Tuan Lou, apakah benar Sekte Yǒngjiǔ adalah tempat kelahiranmu? Tempat ayahmu mengajar dan membesarkanmu?”Lou Cho Nghek menatapnya lama. “Benar. Dan karena itulah aku tahu betapa rusaknya akar

  • Rimba Memburu Senala   84- Keakraban Para Pengembara

    Rimba memandang sahabatnya. Raut wajahnya bingung. Sementara, Cucu, sahabatnya pun ekspresi wajahnya bingung.“Mengapa dalam pandangan mereka berdua, kita adalah binatang?”Cucu menggeleng bingung dan tak mengerti.“Aku tidak melangkah dengan empat kaki.”“Aku juga begitu,” sahut Cucu.Akibat bertemu tiba-tiba dengan Cucu yang tinggi besar dan Rimba Rangkuti, Lon Chang, si Pengembara Botak dan Yu Lie berhalusinasi. Mereka mengidentikkan tubuh Cucu dan Rimba ramping seperti kijang, tapi kulitnya bersisik keperakan dan matanya bersinar kehijauan. Mereka berdua hanya menatap dengan sorot yang tak manusiawi. Lalu halusinasi mereka mulai ngaco, hingga mitos Qisao, Gunung Xuelan dan sebagainya menjadi igauan. Di padang rumput, mereka berhalusinasi, mengigau. Sementara Rimba dan Cucu hanya mampu tertegun melihat tingkah Lon Chang dan Yu Lie.“Kita masih beruntung.”“Beruntung?”

  • Rimba Memburu Senala   83- Qisao adalah Mitos

    “Qisao adalah mitos,” sebut Lon Chang.Yu Lie diam, mengangguk tidak, menggeleng pun tidak.“Apa yang kualami cuma mimpi.”Yu Lie melirik gelang di genggaman Lon Chang.Lon Chang mengeratkan genggamannya.“Kalau sekadar mimpi, kenapa gelang itu bisa berada di tanganmu?”Lon Chang tersadar dan mengangkat genggamannya, melihat gelang itu dengan saksama. Kemudian dia memandang Gunung Xuelan.“Gerbang terbuka dalam semusim,” gumam Lon Chang.Yu Lie pun mencari apa yang dipandang oleh Lon Chang. Kemudian gadis itu berkata, “Kamu mau ke sana?”Lon Chang terlihat ragu. “Aku berharap ini sekadar mimpi.”---Lon Chang menatap siluet Gunung Xuelan yang menjulang dengan tenang dan dingin, seperti menyimpan ribuan rahasia dalam kabut abadi. Langit berwarna kelabu, menyiratkan musim yang berubah dan waktu yang tidak lagi pasti. Angin berdesir pelan,

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status