Si Ceking, si Bau, si Matu, si Codet, si Jempol, lima pendekar bukan dengan kelebihan, melainkan jelas pendekar yang memiliki kekurangan. Semua itu bakal terang-benderang kelihatan oleh mata orang-orang yang melihat perawakannya. Mereka dijuluki sesuai dengan kekurangannya.
Namun jangan salah, kekurangan yang mereka miliki membuktikan malang-melintangnya mereka berlima di dunia pertarungan tidak patut dipertanyakan lagi.
Ambil contoh. Si Ceking. Pendekar itu berjuluk begitu karena bentuk tubuhnya mirip sehelai sapu lidi. Tidak identik, hanya berupa analogi saja, sih. Si Ceking mumpuni dalam meringankan tubuhnya. Ringan tubuhnya mampu membuatnya dia melayang, berpindah dari satu tempat ke tempat lain seringan kapas.
Si Bau. Dari nama julukannya tidak perlu dijelaskan lebih lanjut apa kemumpuniannya. Banyak orang tidak kuat berlama-lama dekat dengan pendekar murah senyum itu.
Si Matu. Matanya memang dua, yang berfungsi hanya satu. Namun dengan hanya satu matanya itu mengalahkan orang yang bermata lengkap. Selain itu, keahlian bela dirinya jangan dipandang sebelah mata. Hanya dia yang boleh memandang orang lain dengan sebelah mata. Paham?
Si Codet. Dijuluki begitu karena dia nakal ketika kecil. Codet di wajahnya adalah buah karya sodet sang ibunda.
Yang terakhir, si Jempol. Jempol tangan putus ketika dia lengah. Putuslah jempol itu tanpa dia sadari saat tukang sunat mengira jempolnya itu adalah alat kelaminnya. Berkat jempolnya yang putus, dia jarang memberi ulasan bagus bila melihat petarung-petarung handal menang bertarung. Jempol tangan kanannya takboleh dijadikan sebagai simbol: mantap.
Namun untuk kisah bagaimana putusnya jempol si Jempol ini, mohon maaf kalau banyak yang bilang itu adalah kisah ngibul!
---
Saat kuda-kuda mereka melangkah pelan membelah kegelapan, si Bau mengeluarkan kantong kecil berisi rempah-rempah. “Kalau kita terpaksa tidur di sini, aku punya solusi,” katanya sambil mencium kantong itu. Si Bau tersenyum penuh arti, sementara si Matu meliriknya dengan mata sebelah yang tajam.
“Apa itu, Bau? Obat antigeraman?” tanya si Codet, menahan tawa.
“Bukan, ini campuran daun jeruk dan kapur barus. Bau ini ampuh mengusir makhluk apa pun, termasuk kau, Codet.”
Si Codet mendesis, “Hati-hati kau, Bau. Bauanku alami, sedangkan itu campuran!” Tawa kecil terdengar, mencairkan ketegangan di antara mereka.
Sementara itu, si Ceking, yang tubuhnya setipis sapu lidi, tampak sibuk mengamati pohon-pohon besar di sekitar mereka. “Saudara, aku punya ide,” katanya. “Kita bisa naik ke atas pohon ini untuk bermalam. Lagi pula, aku yakin tak ada harimau yang bisa memanjat setinggi itu.”
Si Jempol mengangkat tangan—atau lebih tepatnya, tangan tanpa jempolnya—sebagai tanda setuju. “Ide bagus. Tapi bagaimana kita membawa kuda-kuda kita ke atas pohon?”
Si Ceking mengangkat alis, jelas-jelas tersinggung. “Jempol, ini ide untuk kita, bukan kuda. Kuda cukup diikat di bawah. Kalau ada masalah, mereka bisa menghadapi takdir mereka sendiri.”
“Kau ini memang manusia tak berperasaan!” si Jempol membalas dengan nada pura-pura kesal, tetapi dia tetap melangkah menuju salah satu pohon besar yang disarankan si Ceking.
Setelah beberapa saat, kelima pendekar itu sepakat untuk naik ke atas pohon. Si Ceking, tentu saja, meluncur lebih dulu dengan gerakan anggun seperti sehelai daun yang tertiup angin. Si Matu menyusul, hanya dengan satu mata yang berfungsi, tetapi entah bagaimana, dia tak pernah salah memegang cabang.
“Cepat, Codet. Jangan terlalu lama di bawah. Kau tahu, makhluk yang mencakar itu mungkin lebih tertarik dengan wajah penuh codetmu,” ujar si Ceking dari atas.
“Lihat saja nanti. Kalau makhluk itu sampai ke atas sini, aku akan mencodet wajahnya!” balas si Codet sambil memanjat.
Si Bau menjadi yang terakhir naik. Bau khasnya meninggalkan jejak tak kasatmata di bawah pohon. “Bagaimana kalau makhluk itu pingsan karena bauku?” Dia bergumam sendiri, membuat si Jempol yang mendengar tertawa kecil.
Ketika mereka sudah nyaman di atas dahan besar, suasana hening tiba-tiba menyergap. Hanya terdengar suara serangga malam yang bersenandung pelan.
“Saudara-saudaraku, coba lihat ke bawah,” bisik si Matu. Mata satunya yang tajam menangkap gerakan samar. “Ada yang mendekat.”
Mereka berlima serempak melongok ke bawah. Sepasang mata menyala terlihat bergerak perlahan di antara semak-semak. Kemudian, suara geraman terdengar, membuat tubuh mereka menegang.
“Sepertinya kita kedatangan tamu,” kata si Jempol, mencoba terdengar santai meskipun kakinya yang berjempol gemetar.
“Kau yakin itu tamu? Kurasa itu penjaga penginapan hutan ini yang marah karena kita tidak membayar!” ujar si Codet, mencoba menyisipkan humor di tengah ketegangan.
Geraman semakin jelas. Kali ini, lebih dari satu pasang mata menyala tampak berkumpul di bawah pohon. Si Ceking menelan ludah. “Mungkin aku salah. Ternyata harimau memang bisa memanjat.”
“Kalau begitu, siapkan senjata kalian!” seru si Matu dengan semangat. “Jangan lupa, harimau-harimau ini tidak tahu siapa kita. Mereka belum pernah berhadapan dengan pendekar seunik kita.”
Sumpit beracun milik si Matu, pedang si Codet, dan tas penuh trik si Bau mulai dikeluarkan. Si Jempol memegang sebuah tongkat pendek, sementara si Ceking dengan percaya diri mengandalkan tubuhnya yang ringan untuk menghindar dari bahaya.
“Kita harus menyusun rencana,” kata si Codet. “Si Bau, kau tarik perhatian mereka dengan baumu. Si Ceking, kau melayang dan bingungkan mereka. Aku dan Matu akan menyerang dari atas. Jempol, kau—eh, kau lakukan apa saja yang menurutmu berguna.”
“Tunggu dulu,” potong si Bau, “aku bukan umpan hidup. Aku pendekar, bukan pengusir harimau!”
“Bisa diam? Mereka sudah mulai memanjat!” ujar si Jempol, menunjukkan salah satu harimau yang kini menggaruk-garuk batang pohon.
Pertarungan pun dimulai. Si Ceking melayang seperti bayangan, membuat harimau yang mencoba memanjat kebingungan. Si Bau, dengan tas rempahnya, melemparkan campuran daun jeruk ke arah mata menyala, menciptakan jarak aman bagi mereka. Sementara itu, si Matu dengan presisi luar biasa menembakkan sumpit beracunnya, membuat beberapa harimau mundur.
“Ayo, Codet! Giliranmu!” teriak si Jempol.
Si Codet melompat dengan gaya dramatis, pedangnya bersinar di bawah langit berbintang. Tapi sialnya, dia malah tergelincir dan nyaris jatuh. Untung saja dia berhasil berpegangan pada dahan terakhir sebelum mencapai tanah.
“Codet, kau itu pendekar atau pemain sirkus?” si Ceking mengejek dari atas.
Dengan perjuangan keras, akhirnya mereka berhasil membuat kawanan harimau itu mundur. Kelima pendekar itu bersorak, meskipun napas mereka terengah-engah.
“Kalian tahu?” ujar si Bau sambil duduk lemas di dahan. “Kalau aku tahu menjadi pendekar itu seperti ini, aku mungkin lebih baik menjadi penjual rempah saja.”
“Tapi kalau kau jadi penjual rempah, siapa yang akan membuat harimau-harimau itu pingsan?” balas si Codet dengan senyum masam.
Malam itu, setelah harimau-harimau pergi, mereka berlima akhirnya bisa tidur dengan tenang di atas pohon barang sejenak. Meskipun penuh kekurangan, mereka sekali lagi membuktikan bahwa kerja sama senjata terbaik dalam menghadapi bahaya.
Malam semakin larut, hutan yang gelap menjadi saksi. Diam mereka berlima di atas pohon. Si Ceking mulai gelisah, kakinya yang kurus bergoyang-goyang sambil melirik ke bawah.
“Kurasa geraman itu lebih seram daripada suara perutku yang kelaparan,” bisik si Ceking.
“Jangan bicara soal perut,” si Bau menyela sambil memegang perutnya. “Kau tahu, perutku ini memiliki kebiasaan buruk. Tiap aku lapar, aromanya menyengat dua kali lipat.”
“Sudahlah, kita fokus saja. Siapa tahu geraman itu hanya cara alam mengingatkan kita bahwa kita tidak diterima di sini,” tambah si Codet dengan tenang, meski matanya terus melirik ke kegelapan.
“Aku tak keberatan tidak diterima,” jawab si Jempol. “Yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana kita bisa turun dengan selamat.”
Si Matu tertawa kecil. “Tenang saja, teman-teman. Aku punya rencana. Dengan sumpit ini, kita bisa membuka jalan.”
Mereka berdiskusi pelan, tetapi ketegangan masih menggantung. Mata-mata menyala itu perlahan kembali muncul, kali ini lebih banyak. Suasana menjadi hening, hanya terdengar gesekan daun diembus angin.
Si Ceking, dengan tubuhnya yang ringan, melompat ke dahan di sebelah, berharap mendapatkan sudut pandang yang lebih baik. Tapi malang tak dapat ditolak, dahan itu rapuh. Dia hampir jatuh jika bukan karena si Codet yang dengan sigap menangkapnya.
“Berhati-hatilah, Saudara! Kalau kau jatuh, mungkin kau malah jadi santapan mereka,” kata si Codet dengan nada setengah bercanda.
Sementara itu, si Bau mulai mengendus sesuatu. Dia mendekatkan hidungnya ke arah angin. “Hmm ..., ada aroma mangsa di sekitar sini.”
“Mangsa siapa? Kita atau mereka?” si Jempol bertanya dengan ekspresi khawatir.
“Entahlah, mungkin mereka lapar seperti kita,” jawab si Bau dengan senyum lebar.
Tiba-tiba, suara keras terdengar dari bawah. Seekor harimau melompat ke arah pohon mereka dan menggaruk-garuk batangnya. Si Matu tanpa pikir panjang melepaskan satu tembakan sumpit ke arah harimau itu, membuatnya mundur beberapa langkah. Harimau itu menggeram lagi, tetapi kali ini terdengar seperti ..., menangis?
“Apa-apaan ini?” tanya si Codet.
Mereka berlima menatap harimau itu yang tampak kesakitan. Si Ceking akhirnya melompat turun dengan percaya diri, mendekati harimau yang masih menggeram pelan. Anehnya, harimau itu tak menyerangnya.
“Harimau ini ..., duri di kakinya,” kata si Ceking sambil menunjuk ke kaki harimau yang terluka.
“Ah, ini kesempatan kita untuk menjadi pendekar baik hati!” seru si Jempol. Meski tanpa jempol, dia dengan cekatan membantu si Ceking mencabut duri itu.
Harimau itu berdiri, menggeram pelan, lalu ..., menjilat wajah si Bau? Harimau itu pergi dengan tenang, meninggalkan mereka dengan tatapan bingung.
“Lihat? Kekuranganku ternyata bisa berguna juga,” kata si Bau sambil tertawa.
---
Setelah suasana tenang kembali, kelima pendekar tersebut mulai merasa lega. Si Ceking, yang sedari tadi memegangi tubuh kurusnya agar tidak terpeleset dari dahan, akhirnya bersuara.
“Kuda kita selamat. Hebat juga, ya, insting Matu. Tapi aku yakin, kalau kita terjebak lebih lama lagi di sini, kita bisa-bisa jadi pendekar vegetarian!”
Si Bau menyengir. “Kalau memang begitu, aku akan makan daun saja. Tapi kasihan daun-daun itu—pasti layu lebih cepat kalau berdekatan denganku.”
“Aku setuju, kita harus meninggalkan tempat ini secepatnya. Tempat ini terlalu gelap, terlalu misterius, dan terlalu ..., bau harimau,” sahut si Codet sambil mengelus-elus bekas luka di pipinya.
“Tapi bagaimana? Mereka masih berkeliaran di bawah sana,” tambah si Jempol, menunjuk ke tanah yang hanya samar-samar terlihat dalam kegelapan.
“Aku punya ide!” Si Matu, dengan semangat, menunjuk sumpitnya. “Kita buat jebakan menggunakan ranting pohon dan tali kuda kita!”
“Ah, kau ini. Selalu penuh ide, ya, Matu,” ucap si Codet, mengangguk. “Meski matamu cuma satu yang berfungsi, tak kusangka bisa melihat solusi di tengah bahaya.”
Rencana pun dimulai. Mereka menggunakan keterampilan masing-masing untuk merancang jebakan sederhana. Si Ceking, dengan tubuhnya yang seringan kapas, melayang-layang di antara dahan, mengumpulkan ranting-ranting yang kuat. Si Bau, meskipun dikenal dengan aromanya, dengan lihai mengikat tali menggunakan simpul-simpul yang rumit.
“Kalian percaya padaku, kan?” tanya si Bau sambil berkeringat.
“Jujur? Tidak. Tapi kita tidak punya pilihan lain,” jawab si Jempol sambil tertawa. “Tali ini mungkin satu-satunya hal yang lebih bau daripada dirimu.”
Dalam waktu singkat, jebakan mereka sudah terpasang. Ketika harimau-harimau itu kembali mendekat, mata-mata menyala mereka sekali lagi menjadi ancaman yang nyata. Tapi kali ini, para pendekar sudah siap.
“Ayo, Matu, ini giliranmu!” seru si Ceking, sambil memberikan aba-aba.
Dengan satu tiupan kuat, sumpit beracun Matu melesat ke arah sasaran. Harimau yang terpancing jebakan langsung terperangkap dalam simpul-simpul buatan si Bau. Hewan itu menggeram dan berusaha melepaskan diri, tetapi sia-sia.
Melihat hal itu, si Jempol melompat turun dengan berani, mengangkat tangan kanannya yang tanpa jempol. “Mantap, kita berhasil!”
Satu per satu, harimau yang lain mulai mundur, merasa takut pada keahlian aneh kelima pendekar ini. Dalam beberapa menit, suasana kembali sunyi.
“Luar biasa! Kita tidak hanya selamat, tetapi juga memberi pesan kepada para penghuni hutan ini bahwa kita tak bisa diremehkan,” ujar si Codet sambil mengacungkan pedangnya.
Setelah semua selesai, mereka berlima memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu. Kali ini, perjalanan mereka penuh canda dan tawa, mengenang keberanian dan kekonyolan mereka dalam menghadapi malam yang penuh bahaya.
“Teman-teman,” si Ceking memulai, “aku pikir kita harus memberi nama untuk teknik ini. Bagaimana kalau kita sebut ‘Operasi Bau Jempol’?”
Semua tertawa, termasuk si Bau, yang dengan bangga berkata, “Aroma kemenangan, Saudara-saudara!”
Dan dengan itu, kelima pendekar melanjutkan perjalanan mereka, kembali ke jalur setapak dengan rasa percaya diri yang lebih besar dari sebelumnya. Meskipun mereka memiliki kekurangan, malam itu membuktikan bahwa kekurangan mereka justru adalah kekuatan yang unik.---
Rimba Rangkuti dan Cucu akhirnya melihat dengan mata kepala bagaimana sebuah perseteruan antara ayah-anak itu terjadi.“Ketika kita meninggalkan anak-anak Akarlangit, mereka tersenyum bahagia,” ujar Cucu.Rimba diam, tidak menimpali ucapan sahabatnya. Dia menarik selimut di kamar penginapan yang berisi empat orang. Yu Lie dan Lon Chang sudah lelap sedari tadi.“Aku, kamu, dan mereka berdua hanyalah pengembara.” Kata Rimba lagi, “Kita tidak bisa memilih apa yang akan kita lihat dan alami.”Kali ini Cucu diam di balik selimut. Pandangannya tajam pada langit-langit kamar tempat mereka menginap malam itu.“Setidaknya, pikiranmu kali ini lebih baik dari sebelumnya.”Rimba tersenyum di sisi Cucu lalu beringsut memunggunginya. “Ayo, tidur.”Sepasang mata merah Cucu menghilang nyalanya.---Langkah Lou Cho Nghek kembali menapaki dunia luar. Namun dunia yang dilihatnya bukan lagi dunia yang sama. Salju tampak lebih kelabu, langit tampak lebih rendah, dan wajah-wajah di jalanan tampak seperti b
Di tengah kabut salju yang meruap, langkah Lou Cho Nghek mengoyak kesunyian malam. Napasnya memburu. Matanya me-merah bukan karena dingin, melainkan karena bara yang membakar dadanya tak henti-henti.Di hadapannya, rumah kayu kecil berdiri tenang. Sepasang cahaya dari dalam memperlihatkan siluet Thong Chai dan Mei Chin yang tengah duduk bersebelahan. Sebuah ketenangan yang menjadi bahan bakar bagi amarah Lou Cho Nghek.Dia tak mengetuk. Pedangnya membelah pintu kayu itu seperti membelah kenangan masa kecil yang dipenuhi cacian: "Anak yang gagal menjadi bayangan ayahnya."Mei Chin bangkit lebih dulu. Kipas baja terlipat di tangannya. Tatapannya dingin, tapi tak gentar. Thong Chai berdiri dengan gerakan mengalir seperti embun yang tak bisa dicegah oleh badai.“Lou Cho Nghek,” ucap Thong Chai pelan, “kau datang dengan amarah, bukan keberanian.”“Aku datang dengan kebenaran yang kalian sembunyikan!” balasnya dengan suara parau.Pertarungan pun meletus. Ruang sederhana itu berubah menjadi
Kedengkian tidak memerlukan alasan. Ia hanya tumbuh bagai semak belukar. Mungkin hanya api yang dapat meluluhlantakkan kedengkian sehingga panasnya pun menjalar ke sekujur tubuh yang meronta-ronta.Lou Cho Nghek mengendapkan kedengkiannya kepada Thong Chai dan Mei Chin. Pasangan itu menghindar untuk menghindari perseteruan. Mereka berdua memilih ketenteraman di satu rumah sederhana. Keseharian mereka adalah berkebun, menggembalakan binatang ternak, merajut cinta dan kasih sayang dalam setiap senyum dan lelah tubuh mereka.Sekte Yǒngjiǔ tetap menjadi sekte yang disegani meskipun rumor kekalahan Lu Thong sudah menyebar. Namun banyak dari para pendekar berempati, dan beranggapan bahwa ayah lebih memilih untuk mengalah demi sang anak.“Lu Thong bukan orang sembarangan. Lou Cho Nghek itu anak bau kencur, sekali kepret, habis anak itu.” Satu pendekar mengungkapkan pendapatnya ketika sedang duduk-duduk di kedai.“Dan, Thong Chai bisa saja mengalahkan anak Lu Thong itu.” Satu pendekar berambu
Salju turun perlahan di atas puncak Gunung Xuelan, menyelimuti tanah dengan keheningan yang menyesakkan. Di bawah langit kelabu, dua bendera berkibar: satu berwarna biru keperakan bertuliskan Yǒngjiǔ, satu lagi merah darah bertuliskan Shèng Xuè. Dua sekte, dua jalan, dua darah yang sama—namun kini saling menantang.Di aula utama Sekte Darah Suci, Lou Cho Nghek berdiri di depan para murid barunya. Matanya tajam, penuh bara yang tak padam. Di belakangnya, Guru Duan duduk bersila, wajahnya tenang lamun penuh perhitungan.“Mulai hari ini,” kata Lou Cho Nghek. Suaranya menggema, “kita tidak tunduk pada warisan yang membusuk. Kita tidak tunduk pada nama yang hanya menjadi beban. Kita adalah darah yang murni, yang memilih jalannya sendiri.”Seorang murid muda, Liang Fei, mengangkat tangan. “Tapi ..., Tuan Lou, apakah benar Sekte Yǒngjiǔ adalah tempat kelahiranmu? Tempat ayahmu mengajar dan membesarkanmu?”Lou Cho Nghek menatapnya lama. “Benar. Dan karena itulah aku tahu betapa rusaknya akar
Rimba memandang sahabatnya. Raut wajahnya bingung. Sementara, Cucu, sahabatnya pun ekspresi wajahnya bingung.“Mengapa dalam pandangan mereka berdua, kita adalah binatang?”Cucu menggeleng bingung dan tak mengerti.“Aku tidak melangkah dengan empat kaki.”“Aku juga begitu,” sahut Cucu.Akibat bertemu tiba-tiba dengan Cucu yang tinggi besar dan Rimba Rangkuti, Lon Chang, si Pengembara Botak dan Yu Lie berhalusinasi. Mereka mengidentikkan tubuh Cucu dan Rimba ramping seperti kijang, tapi kulitnya bersisik keperakan dan matanya bersinar kehijauan. Mereka berdua hanya menatap dengan sorot yang tak manusiawi. Lalu halusinasi mereka mulai ngaco, hingga mitos Qisao, Gunung Xuelan dan sebagainya menjadi igauan. Di padang rumput, mereka berhalusinasi, mengigau. Sementara Rimba dan Cucu hanya mampu tertegun melihat tingkah Lon Chang dan Yu Lie.“Kita masih beruntung.”“Beruntung?”
“Qisao adalah mitos,” sebut Lon Chang.Yu Lie diam, mengangguk tidak, menggeleng pun tidak.“Apa yang kualami cuma mimpi.”Yu Lie melirik gelang di genggaman Lon Chang.Lon Chang mengeratkan genggamannya.“Kalau sekadar mimpi, kenapa gelang itu bisa berada di tanganmu?”Lon Chang tersadar dan mengangkat genggamannya, melihat gelang itu dengan saksama. Kemudian dia memandang Gunung Xuelan.“Gerbang terbuka dalam semusim,” gumam Lon Chang.Yu Lie pun mencari apa yang dipandang oleh Lon Chang. Kemudian gadis itu berkata, “Kamu mau ke sana?”Lon Chang terlihat ragu. “Aku berharap ini sekadar mimpi.”---Lon Chang menatap siluet Gunung Xuelan yang menjulang dengan tenang dan dingin, seperti menyimpan ribuan rahasia dalam kabut abadi. Langit berwarna kelabu, menyiratkan musim yang berubah dan waktu yang tidak lagi pasti. Angin berdesir pelan,