Share

Bab 6

Reina mematung dan tidak bisa berkutik, dia tidak percaya semua hal ini terjadi.

Reina berusaha meronta dan menolak, tetapi usahanya sia-sia.

Maxime baru kembali tenang setelah mencapai puncak kepuasan.

Di luar, langit sudah mulai terang.

Maxime melirik tubuh Reina yang ringkih, lalu mendapati ada noda merah di kasur. Maxime merasakan sesuatu, tetapi dia tidak bisa menjelaskannya.

"Plak!"

Reina mengangkat tangannya dan menampar wajah Maxime kuat-kuat.

Tamparan ini sekaligus mematahkan semua ilusinya tentang cinta.

Telinga Reina kembali berdengung, dia tidak bisa mendengar apa yang Maxime katakan dan langsung membentaknya, "Keluar!"

Maxime pun pergi.

Adegan semalam terus berputar di benaknya.

Maxime kembali ke mobilnya dan berkata pada Ekki, asistennya, "Selidiki pria mana saja yang Reina kenal."

Ekki bingung.

Mana mungkin ada pria lain? Setelah menikah setiap hari Reina hanya mencintai Pak Maxime, mana mungkin ada pria lain?

...

Di motel, setelah Maxime pergi.

Reina mandi dan menggosok dirinya berulang kali.

Mendekati perceraian mereka baru melakukan hubungan suami istri? Benar-benar konyol dan juga ... miris ....

Jam 9 pagi, Revin datang membawa sarapan tetapi tidak menyadari ada yang aneh dari Reina.

"Ah, semalam aku lupa kasih tahu. Kebetulan aku punya apartemen kosong, bagaimana kalau kamu tinggal di sana?"

"Nggak aman seorang gadis sepertimu tinggal di motel sendirian."

Reina menggeleng dan menolak.

Balas budi adalah hal yang paling sulit dilakukan, Reina tidak ingin utang budi pada orang lain.

Revin sudah menduga Reina akan menolaknya, dia pun membujuk, "Sudah, nggak apa-apa, kamu tinggal saja di sana. Lagian, aku akan menagih biaya sewa."

"Tapi paling aku hanya akan tinggal selama sebulan."

"Nggak masalah, lebih baik daripada kamar itu kosong sebulan."

Sebenarnya Revin tidak paham kenapa Reina bilang dia hanya akan tinggal selama sebulan, karena baginya waktu mereka bersama masih sangat panjang.

Revin mengantar Reina ke sana.

Reina hanya membawa sebuah koper, tidak ada barang lain.

Setelah masuk ke mobil, Revin mengobrol dengan Reina tentang masa kecil mereka, lalu Revin menceritakan seperti apa hidupnya setelah mereka berpisah.

Revin pergi ke luar negeri setelah lulus SMA dan bekerja keras untuk membiayai pendidikannya di luar negeri. Di umur 20 tahun, dia berhasil mendirikan perusahaan sendiri dan sekarang dia bisa dibilang sudah jadi seorang bos.

Reina kagum mendengar pencapaian Revin yang luar biasa, lalu berkaca pada dirinya sendiri.

Setelah lulus, dia menikah dengan Maxime dan menjadi seorang ibu rumah tangga.

Reina menatap Revin dengan kagum, "Kamu hebat banget."

"Kamu juga hebat! Setelah kamu pergi dari kampung, aku masih mencari berita tentangmu. Kamu pernah masuk berita karena meraih juara satu sebagai pianis muda, 'kan? Waktu itu kamu adalah idolaku ...."

Revin tidak memberi tahu Reina.

Di awal ceritanya mengadu nasib di luar negeri, sebenarnya hidup Revin sangat susah, dia banyak belajar hal buruk bahkan sampai ingin menyerah terhadap diri sendiri.

Sampai suatu hari, dia melihat sosok Reina di berita internasional. Waktu itu Reina terlihat seperti cahaya yang mendorong Revin untuk bangkit dan kembali berjuang.

Revin memuji kehebatan Reina dan Reina mendengarkan dengan saksama, karena dia sendiri hampir melupakan masa-masa itu.

Akhirnya mereka sampai.

Sebelum masuk ke dalam, Reina berujar, "Terima kasih ya, bahkan aku hampir lupa seperti apa diriku yang dulu."

Reina tinggal di tempat Revin.

Masih ada belasan hari sebelum tanggal 15 Mei tiba, hari di mana Reina dan Maxime akan resmi bercerai.

Tiba-tiba, dia teringat janjinya pada Treya.

Suatu pagi, Reina pergi membeli guci abu.

Kemudian, dia pergi ke sebuah studio foto. Semua staf studio itu menatap Reina dengan bingung karena dia meminta foto dirinya dicetak hitam putih.

Reina pulang setelah semua urusannya selesai.

Di rumah, Reina melamun sembari menatap ke luar jendela.

Tiba-tiba ponsel Reina berdering.

"Nana, siapa yang menyuruhmu memberiku uang? Aku nggak butuh uang itu, kamu simpan saja untuk nanti, mungkin kamu mau berbisnis atau ada keperluan lain ...."

Selama ini, Reina memang diam-diam sering memberi uang pada Lyann.

Lyann tinggal di kampung sehingga tidak butuh banyak uang, jadi selama ini dia selalu menyimpan uang pemberian Reina.

Air mata mulai membasahi wajah kuyu Reina saat dia mendengar omelan Lyann yang sangat menyayanginya.

"Bu Lyann, apa Ibu mau menjemputku sama seperti waktu kecil dulu?"

Lyann bingung.

Reina melanjutkan, "Tanggal 15 nanti, aku mau Bu Lyann menjemputku pulang ke rumah kita."

Lyann tidak mengerti, ada apa dengan tanggal 15?

"Oke, Ibu jemput kamu ya tanggal 15 nanti."

Belakangan ini pihak rumah sakit sering mengiriminya pesan dan memintanya melakukan pemeriksaan kesehatan, tetapi semua ini ditolak dengan sopan oleh Reina.

Bagaimanapun, dia sudah memutuskan untuk pergi dari dunia ini, tidak ada gunanya membuang uang untuk pengobatan.

Reina membuka buku tabungannya dan melihat masih ada uang dua ratusan juta, Reina berencana memberikan uang ini pada Lyann untuk biaya masa tuanya.

Dalam beberapa hari terakhir, Kota Simaliki terus diguyur hujan.

Revin sering mengunjunginya dan selalu mendapati Reina sedang duduk melamun sendirian di teras.

Revin juga menyadari pendengaran Reina semakin memburuk karena meski Revin sudah berkali-kali mengetuk pintu, Reina tetap tidak mendengarnya.

Di sisi lain, di Grup Sunandar.

Setelah selesai bekerja, Maxime terbiasa melirik ponselnya untuk melihat apa ada pesan dari Reina atau tidak. Setiap kali mendapati tidak ada pesan dari Reina, tatapan Maxime sontak berubah menjadi suram.

Saat ini, Ekki masuk ke ruangannya.

"Pak Maxime, kami sudah tahu siapa pria itu. Namanya Revin, dia adalah teman masa kecil Reina."

Apa yang Maxime ketahui sama dengan berita yang beredar. Itu adalah teman masa kecil Reina, Revin Lander.

Ekki melaporkan, Revin adalah pria yang Reina kenal sewaktu di kampung dulu.

Artinya, Reina mengenal Revin lebih dulu dibanding mengenal Maxime.

Maxime mengernyit kesal begitu mengingat pria bermata genit itu.

"Pak Maxime, Pak Jovan masih menunggumu di luar."

Maxime menjawab, "Bilang padanya hari ini aku masih ada kerjaan."

Ekki terkejut.

Beberapa hari belakangan, Pak Maxime selalu pergi bersenang-senang dengan para anak orang kaya itu setelah selesai bekerja, ada apa hari ini? Tumben?

Maxime turun ke bawah dengan lift khusus untuknya dan naik ke mobilnya di garasi, kemudian melajukan mobilnya ke motel tempat Reina menginap.

Namun, sesampainya di sana, Maxime baru tahu kalau Reina sudah pindah beberapa hari yang lalu.

Seketika, Maxime merasa kesal. Dia mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor Reina.

Baru saja Maxime memutuskan akan meneleponnya, masuklah telepon dari Marshanda.

"Ada apa?"

"Max, kata Ibu Reina, Reina sedang bersiap menikah."

Maxime tercekat.

Marshanda pergi menemui ibu dan adik Reina.

Dari keduanya-lah Marshanda tahu bahwa Reina akan menikahi seorang kakek tua demi uang 600 miliar.

Melihat Maxime hanya diam saja, Marshanda kembali mengompori.

"Kata ibunya, Reina yang minta mahar sebesar 600 miliar. Nggak kusangka ternyata dia seperti itu."

"Dia juga bilang karena belum melewati masa tenang, dia nggak enak mengadakan pesta, jadi dia berencana menikah secara sipil dulu."

...

Padahal faktanya, Reina tidak tahu menahu rencana ibu dan adiknya yang sedang mempersiapkan pesta pernikahan untuknya. Reina sendiri tidak menganggap serius pembicaraannya dengan Treya waktu itu.

Hari ini, Reina baru mendapat pesan dari ibunya, "Pak Jeremy sudah menentukan hari pernikahanmu, tanggal 15 bulan ini."

"Masih ada empat hari lagi, siapkan dirimu dengan baik. Kali ini, kamu harus bisa menjaga perasaan Pak Jeremy, ngerti?"

Entah bagaimana Reina harus menjelaskan perasaan yang timbul di hatinya ini.

Tanggal 15 ....

Hari yang penuh kegembiraan ....

Hari di mana dia dan Maxime akan bercerai.

Hari dia dipaksa menikah dengan kakek tua ....

Juga hari di mana dia sudah memutuskan untuk meninggalkan dunia ini ....

Reina takut melupakan semua hal penting ini, jadi dia mencatatnya di buku catatannya.

Setelah selesai mencatat, Reina menulis surat wasiat.

Reina menggenggam pulpennya untuk waktu yang cukup lama, dia tidak tahu mau menulis apa. Akhirnya, dia menulis surat untuk Lyann dan Revin.

Surat itu dia selipkan di bawah bantal.

Tiga hari kemudian.

Hari ini tanggal 14 dan hujan turun dengan sangat deras.

Ponsel Reina yang ada di atas meja terus berdering.

Treya meneleponnya tanpa henti dan menanyakan keberadaannya.

Karena besok Reina akan menikah, Treya menyuruh Reina pulang supaya bisa menyiapkan pernikahan dengan baik.

Reina tidak mengangkat telepon atau membalas pesan Treya. Hari ini dia memakai gaun panjang berwarna merah muda cerah dan merias wajahnya.

Meski pada dasarnya dia sudah cantik, tubuhnya saat ini terlalu kurus dan wajahnya terlalu pucat.

Reina menatap pantulan dirinya yang cantik di cermin, saat ini dia seolah kembali seperti sebelum menikah dengan Maxime.

Setelah itu, Reina naik taksi dan pergi menuju sebuah pemakaman.

Reina turun dari taksi sambil memegang payung, lalu berjalan perlahan menuju batu nisan ayahnya dan meletakkan buket bunga aster putih.

"Ayah."

Angin dingin menderu mengiringi butiran air hujan yang jatuh di atas payung.

"Maaf .... Awalnya aku nggak mau datang ke sini, tapi sekarang aku benar-benar nggak punya tempat tujuan. "

"Aku mengaku, aku itu pengecut dan takut berjalan sendirian. Itu sebabnya aku memutuskan untuk datang ke sini ...."

"Kalau Ayah mau marah, marahi saja aku."

Reina berujar pelan, lalu duduk di samping batu nisan dan memeluk dirinya sendiri.

Dia kembali menyalakan ponselnya dan mendengar pesan suara Treya satu per satu.

"Reina! Kamu pikir kamu bisa kabur dengan bersembunyi?"

"Adikmu sudah mengambil uang itu. Pak Jeremy juga punya mata-mata di mana-mana, kamu pikir dia akan melepaskanmu?"

"Coba kamu pikir, lebih baik menikah baik-baik daripada diseret di hari pernikahanmu sendiri, 'kan?"

"Kamu harus tahu diri, sekarang ini ...."

Reina membaca semua pesan itu dalam hati.

Setelah itu, dia mengetik balasan, "Aku nggak mau pulang. Besok, kalian bisa menjemputku di pinggir barat kota. Kutunggu kalian di depan batu nisan Ayah."

Treya tidak berpikir macam-macam saat membaca pesan Reina, karena sudah mendapat balasan, Treya pun tidak lagi mengganggu Reina.

Reina menikmati saat-saat damai seperti ini.

Dia akan duduk di sini sepanjang hari.

Waktu malam tiba, dia mengeluarkan patung kayu kecil yang diukir ayahnya untuknya ketika dia masih kecil. Reina memegangnya dengan hati-hati, menggunakan tubuhnya untuk melindungi patung itu dari malam yang gelap dan hujan lebat.

Waktu berlalu menit demi menit, sampai akhirnya tepat pukul 12 malam.

Tanggal 15 pun tiba.

Reina menatap langit gelap yang tak berujung, hatinya penuh kepahitan.

Pukul tiga dini hari.

Dengan tangan gemetar, Reina mengeluarkan sebotol obat dari tasnya ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status