Musim basah telah berlalu. Januari pembuka tahun menjadi lintasan tercepat memperbarui masa lampau. Hidup kembali berulang dengan usia berkurang. Sebagian orang mengartikan awal tahun adalah lembaran baru dengan menutup semua kejadian-kejadian perih di tahun sebelumnya ada yang melaluinya dengan suka cita, ada juga yang justru menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu lalu dengan menorehkan catatan hidup kurang berguna. Sesuatu paling pedih yang dipikir oleh kaum peka terhadap kehidupan yaitu waktu hilang tak akan kembali datang. Kembang api meletus di langit, menyaingi keindahan alamiah bintang-bintang. Malam itu Fira menyaksikan dari beranda rumah. Fira tidak bisa menutup mata sampai kalender berganti.
Ia berdiri di beranda rumah menyaksikan sekitar. Hening. Jalanan sepi tak perbenghuni. Lampu lima watt di pertigaan jalan dikerubungi serangga kecil-kecil, ada siluet melingkar seperti cincin. Matanya bergerilnya mengamati gerbang pintu masuk rumah. Kunci
Kawan lihatlah. Ia Fira. Camkan dalam otakmu!Ia gadis yang pandai berkelit dari hardikan guru. Bibirnya belum mampu menyenandungkan alvabet dengan benar meski sudah menduduki kelas 3 SD. Ia seringkali membuat guru-guru gemas dengan ulahnya, apalagi jika pagi datang dan ia terlambat. Ruangan guru mendadak akan ramai dipenuhi kasak-kusuk yang tidak jelas. Hendak melabelinya anak pemalas, namun sesungguhnya ia tidak malas, mengatakannya gadis nakal, ia tidak pernah melanggar peraturan.Yang ia lakukan hanya sederhana, ya begitu kata imajinasinya, ia melakukan kesalahan yang sederhana sehingga tidak layak mendapatkan hukuman. Fira baru saja tidak mengerjakan PR dan kembali datang terlambat. Guru Bahasa Indonesia menggebrak mejanya. Penghapus bergetar ketakutan. Kapur yang bersangkar di dalam kotaknya menerima sebuah guncangan kecil. Buku pelajaran yang terbuka di atas permukaan taplak lusuh itu malas mendengarkan ocehan, andaikan mampu maka ia hendak menyuruh
Terang cepat menjadi lalu. Sunyi dipinang keramaian titik hitam. Remang cahaya bergelayut manja pada denting-denting waktu. Meja-meja dipenuhi minum penglayang akal. Piring, tisu, gelas berserak di meja-meja tamu. Biduan terus bergoyang menyesuaikan dengan irama gendang. Lantunan lagu menelusup ruang telinga, masuk ke dalam jiwa-jiwa lena. Pengunjung menyesap rasa masing-masing, mencairkan perih yang dibekam kesadaran. Langkah-langkah menyelinap ragu, naik ke panggung hendak menyelipkan rupiah di genggaman biduan. Perih kehidupan tersimpan pada rekahan senyuman mereka. Ada yang hendak menggenggam kuasa, namun kekuasaan tak mau bersahabat. Ada yang hendak ikat takdir bersama, sayang keputusan detik tak mengikat.Satu sendok, dua suap, tiga tenggak air minum, lalu gerakan tangan Fira terhenti. Ada suara aneh yang menahan pencernaan, suatu hal yang menghambarkan rasa makanan. Ia sedang mengambil jatah istirahat malam. Langit menjelma kenangan dalam bungkusan gerimis. Titik
Tubuh siang berangsur melepaskan diri, terang melayang ke naungannya di balik malam. Azan maghrib berteriak membangunkan jiwa-jiwa yang kelelahan. Penduduk bergegas mengambil air wudu, sebagian masih asyik di depan layar bercahaya. Anak-anak dibimbing melangkah menuju masjid dekat rumah atau surau-surau terdekat. Langit tetap biru, namun birunya pudar, ada abu yang tidak terlalu jelas. Mentari tenggelam, nyawanya tersisa remang di balik pegunungan. Bintang perlahan menyembul, bulan siap-siap membuka matanya. Jalanan remang dipenuhi penduduk yang menyandang sajadah menuju tempat ibadah. Sementara Ibu justru bermuka pucat, langkahnya tergopoh-gopoh. Ranjang sayurnya dijatuhkan begitu saja ke lantai. Tempe goreng dan cotot, jajanan yang dibeli dari pasar tercecer di lantai. Ibu bergegas memapah Fira yang tersungkur di lantai. Ia lantas duduk di anak tangga ke dua.“Apa yang kau lakukan Fira?”“Kepala Fira sak
Pipinya tertimpa reruntuhan sinar ruangan. Terlihat berseri-seri manis meski keningnya ditambal perban. Malam menggantungkan bulan di musim tanpa hujan. Lorong ruang sunyi, jejak-jejak telah berhenti. Pasien-pasien rebah dalam mimpi di atas bangsal masing-masing. Kota menyalakan lampu-lampu ketika mentari melengserkan tugas. Denting detik dan cicak di dinding saling melengkapi siulan. Hening. Bila terlelap di pinggiran bangsal sembari menggenggam telapak tangan Akhtar. Sementara gadis itu, —Fira, sedang lelap di kursi sofa. Tubuhnya dibalut selimut. Pandangan Akhtar t ertuju pada wajah Fira. Ia mencermati setiap lekuk permukaan rupa gadis itu. Rambut poni berantakan menutup sebagian perban. Bibir mungilnya sedikit terbuka, seolah tidak peduli nyamuk masuk ke rongga mulut.'Aku benci dirimu karena selalu memanggil kekurangan fisikku. Aku bersumpah pada takdir, kelak akan bisa berjalan normal seperti orang-orang lainnya lagi, Fir.' Umpatnya dalam hati. Ia lantas men
Tatapan Fira kosong, ia tidak mendengarkan nasihat guru, justru mengajak imajinasinya berjalan-jalan ke negeri antah berantah. Perasaan bersalah tidak mengendap di dadanya. Baginya, apa yang ia ucapkan telah tepat dan tidak melesat dari yang diharapkan teman-teman. Kenyataannya mereka semua terbahak, bukankah itu yang dinamakan dengan mendukung? Lantas mengapa guru dengan kaca mata tebal, sebut saja Pak Ano itu menatapnya geram? Ini tidak adil! Ya menurutnya Pak Ano berbuat tidak adil. Kini justru ia berbalik menatap Pak Ano, menggelembungkan pipi, berkacak pinggang, matanya melotot tajam. Dua manusia itu kini pelotot-pelototan! Lala sedang bermain tepuk tangan di bangku paling belakang dengan Devi. Kakaknya diabaikan.Kawan, baru saja Fira melamun, ia tidak mengerjakan PR yang diberikan Pak Ano minggu lalu. Guru dengan kumis tipis di bawah hidungnya itu masih bersabar, sayang ketika soal dipecahkan, Fira tetap tidak memerhatikan. Kesabaran Pak Ano lenyap dicuri h
Caca menerka-nerka pikiran takdir, ia mengemas segala resah dari balik jendela kamar. Mengunci mulut berhari-hari demi menutup kesalahan yang tak mau ia ungkap. Tubuhnya diserang gigil ketakutan akut. Ia sampai kehilangan nafsu bermain dan makan. Ingatannya terus tertuju pada kenangannya bersama Fira, menerobos masuk ke kandang, tempat Ayah dipasung. Andaikan jari-jarinya tidak usil, kabar mengerikan utusan takdir itu tak akan tersebar liar. Ia menyalahkan Tuhan yang selama ini dianggap tak mendengar doa-doanya. Sudah berulangkali Caca pinta akal sehat Ayah dipulihkan, sayang sepertinya Tuhan tak mau mengabulkan. Ia merutuk sambil bercermin di kamar. Senyumnya purna beberapa pekan. Keceriannya disirnakan kebisuan. Ia jatuh pada rasa bersalah amat curam. Tardir memilukan.Orang-orang dirundung panik di mana-mana. Khawatir jika tetiba Ayah datang membawa sebilah pisau, lantas menghunus ke sembarang leher. Gunjingan berkelindan di mana-mana. Keramah tamahan yang biasa dibe
“Lekas kau bereskan buku belajarmu, tuntun adikmu ke kantor. Bapak mau mengantarkanmu pulang,”Pak Ano simpati, ia sangat iba dengan prestasi anak didiknya yang tidak pernah meningkat. Harapannya siang itu sederhana, ingin bertemu Ibunya untuk menyampaikan nasihat-nasihat yang bersifat konstruktif demi membantu perkembangan alam pengetahuannya.“Kita pulang naik mobil, Pak?” mata Fira berbinar. Pak Ano mengangguk.Pijakan kakinya melompat girang. Guru yang baru saja masuk ke dalam ruang itu menatap heran.“Bapak ingin bertemu dengan ibumu,”Fira bergeming, ia mendadak menjadi patung yang merasa tidak beruntung. Kalimatnya tercekak, berkali-kali guru-gurunya menanyakan perihal Ibu dan mengutarakan keinginan mereka yang selalu ingin bertemu dengan ibunya, berkali-kali pula ia berkata jujur bahwa siang hari ibunya tidak bersemayam di rumah, tetap saja mereka kurang percaya. Dianggapnya orang dewasa adalah sekelo
Pagi. Aroma aspal terkontaminasi dengan wewangian air hujan. Lumpur-lumpur mengendap di jalan berlubang. Alam basah dan pandangan penuh kabut. Rambut Caca bertabur embun. Ransel menggantung di bahu terlihat malang, sedih karena tuannya tak segera melangkahkan kaki menuju kampus. Pandangan layunya masih memerhatikan laju titik air yang memantul di permukaan jalan, pepohonan, dedaunan, bebunga, dan obyek-obyek di depan tubuhnya. Ia tak beranjak dari halte bus, meski kendaraan telah berhenti menantikan dirinya masuk. Sayang, ia hanya melambaikan tangan.Sepuluh menit kemudian, ia biakkan payung yang sedari tadi digenggamnya. Barulah hasrat menuntunnya melangkah, namun berlawanan arah dari kampus. Seperti biasanya, ia hendak membuang penat di kursi tunggu Indomaret. Ia duduk di sana, terus memandang detak jantung hujan yang tenang berdenyut. Waktu itu jiwanya mendung. Banyak kenangan hinggap di pikiran. Aroma tanah mengantarkannya pada lorong waktu masa lalu. Ada cerita tib