Rinjani menepikan ego demi mental anaknya. Bertiga bercanda seolah tidak terjadi apa-apa. Dan bersandiwara seperti ini sungguh tak mudah sebenarnya. Melawan rasa sakit yang berontak dalam dada.
Jam sembilan malam Noval sudah terlelap. Rinjani yang tengah membereskan perlengkapan menggambar, tangannya di tarik pelan oleh Daffa. "Biar dibereskan Lastri. Ada yang perlu mas bicarakan denganmu." Sejenak Rinjani diam, lantas melepaskan cekalan tangan Daffa. Tapi pada akhirnya ia melangkah keluar juga. Persoalan tidak akan terurai jika hanya diam. Waktunya bicara, karena Rinjani tidak ingin pergi dari rumah ini tanpa pamit pemiliknya. Pria yang sangat ia cintai dan telah menorehkan luka terdalam di jiwanya. Andai harus berakhir, jangan sampai meninggalkan sengketa. Daffa menutup pintu kamar. Rinjani merapatkan gorden jendela kemudian duduk di kursi meja rias. Daffa duduk tepat di hadapannya di tepi ranjang. Jika ia jujur sekarang, bukankah lebih mempersulit keadaan. Tapi bagaimana caranya ia menemukan buku nikahnya kalau tidak bertanya. Lebih baik bertanya daripada diam, karena tidak akan menemukan apa yang ia cari. Seluruh rumah sudah ditelusuri, tetap tidak menemukan. Tapi apa mungkin Daffa mau memberikannya. Oh, tentu saja mau jika dia memang sudah kepincut dengan perempuan simpanannya itu. Baru hendak membuka suara, Daffa lebih dulu menggenggam jemarinya. Menatap lekat dan senyuman menghiasi bibirnya. Daffa tidak ingin membahas apa yang ia dengar tadi. Pura-pura saja tidak tahu, tapi tak akan membiarkan Rinjani dan Noval pergi. "Mau apa, Mas?" Rinjani menarik tubuhnya ke belakang saat Daffa merapat. "Kita suami istri, kan. Wajar kalau melakukan sesuatu yang dihalalkan." Embusan napas Daffa yang tak lagi teratur menyapu wajah Rinjani. Tatapan matanya sangat menuntut. "Maaf, Mas." Rinjani mengelak dengan memalingkan muka. Daffa kecewa. "Aku bisa menerima masa lalumu, tapi aku nggak bisa menerima perselingkuhanmu. Berapa kali kalian berkencan selama beberapa bulan ini?" "Rin, hubungan kami tidak melibatkan perasaan. Kami hanya terjebak karena rutinitas pekerjaan." "Alasan basi. Apapun itu, bagiku tetap perselingkuhan. Gadis itu minta tanggungjawabmu, Mas. Entah apa yang kamu lakukan padanya sampai dia mengejarmu seperti itu." "Dulu aku memang brengs*k, Rin. Beberapa kali menjalin asmara dengan banyak perempuan. Tapi aku tahu batasanku." "Itu dulu. Lantas bagaimana dengan perempuan sekarang yang kamu panggil 'sayang' itu, Mas." Rinjani membalas tatapan tajam suaminya. Terpancing akhirnya ia pun emosi. "Nggak ada," jawab Daffa cepat. "Sejauh apa hubungan kalian?" "Nggak seperti yang kamu pikirkan." "Aku nggak percaya. Jangan bilang nggak ada apa-apa. Chat kalian begitu mesra dan menjijikan. Aku sudah membaca semuanya. Jangan katakan kalau semua itu hanya seru-seruan." "Itu kenyataannya, Rin. Tolong percayai suamimu." "Mas, sudah melupakan janji itu. Mas, juga pemicu kandasnya karirku. Bagaimana aku bisa percaya padamu." Rinjani menarik napas berulang. Menata hati dan menyudahi emosinya. Tidak ada gunanya perdebatan ini. "Sudahlah. Ini salahku. Kalau aku nggak bertindak bodoh melukai gadis kesayanganmu. Tentu aku tidak akan merasakan dinginnya tembok penjara." "Maafkan mas, Rin. Mas, akan mengembalikan karirmu. Kita bisa mengurus SIP. Mas akan membangun tempat praktek untukmu." "Mas, kira semudah itu. Mas, pikir uang bisa menebus kepercayaan yang kandas. Kamu keliru, Mas." Rinjani mendorong tubuh suaminya hingga menjauh. Kemudian keluar kamar dan tidur di kamar putranya. Daffa tidak bisa tidur. Kepalanya terasa berat seperti hendak meledak. Karena permasalahan dan keinginannya yang tidak bisa terlampiaskan. Rinjani menolaknya. Ditambah lagi saat membuka ponsel kian menambah beban di kepala. Puluhan pesan dikirim oleh Abila. Mulai dari ucapan manis hingga ancaman jika sampai Daffa meninggalkannya. Gadis itu belum tahu kalau Daffa sudah membebaskan Rinjani. Setelah bertemu bidadari yang mengalihkan dunianya, kini bertemu devil yang menghancurkan segalanya. Daffa tidak akan membiarkan rumah tangganya binasa. Tidak akan. ***L*** "Rin, habis nganterin Noval ke sekolah. Kita ke rumah mama. Tadi Mbak Jum nelepon kalau vertigo mama kambuh." Daffa memberitahu Rinjani sambil mengancingkan hem warna biru yang dipakainya. "Aku bukan dokter lagi. Bawa Mama periksa ke dokter lain saja, Mas," jawab Rinjani sambil merapikan tempat tidur. "Mama maunya sama kamu." "Mas, sudah baca surat dari rumah sakit kemarin, kan? Apa aku masih bisa disebut dokter kalau sudah diberhentikan kelayakannya." Keduanya saling pandang. Rinjani sebenarnya tidak sampai hati berkata demikian. Apalagi pada mama mertuanya. Ini juga bertentangan dengan hati nuraninya sebagai seorang tenaga medis. Tapi Rinjani enggan bertemu dengan papa mertua. Ucapan menyakitkan kemarin itu masih terasa di dada. Sebelum menjadi menantu di rumah itu pun, mereka juga punya dokter pribadi sendiri. Setelah diam beberapa saat, Rinjani ingat sesuatu. Apa mungkin Daffa menyembunyikan surat nikah mereka di rumah orang tuanya. Seharusnya ia menyetujui saja untuk memeriksa kondisi Bu Tiwi. "Aku akan menjenguk mama, tapi bukan untuk memeriksanya. Biar mama diperiksa sama dokter Budi langganan keluarga kalian." "Oke. Kita berangkat sekalian nganterin Noval ke sekolah." Daffa mendekati Rinjani. Harum tubuh dan leher jenjang itu menimbulkan rasa yang beberapa lama ditahan dan sungguh menyiksanya. Bahkan semalaman dia tidak bisa tidur. Dan pagi ini keinginan itu semakin berkobar-kobar dalam dirinya. Next ....Rasa bahagia sekaligus haru menyelimuti ruang perawatan mamanya Bobby. Pria dengan seragam lapas itu memeluk erat dua putrinya. Air mata tumpah tak terkira. Karena isaknya, sampai menyulitkan untuk bicara.Sang mama yang tergolek di atas brankar tak bisa bergerak selain menangis. Adik Bobby sibuk menghapus air matanya sendiri. Begitu juga dengan Ika. Tidak menyangka jika jalan kehidupan putri-putrinya seperti ini. Reza merangkul sambil mengusap-usap lengan istrinya untuk menenangkan. Ika bukan menangisi Bobby, tapi menangis untuk kedua anaknya.Sedangkan Nasya yang tidak seberapa mengerti, duduk diam di sebelah papanya."Terima kasih banyak, Pak Reza. Sudah menjaga dan membimbing anak-anak saya. Terima kasih. Saya titip mereka." Bobby yang sudah mulai tenang, bicara pada Reza."Jangan khawatir, Pak Bobby. Saya akan menyayangi dan menjaga mereka dengan baik," jawab Reza dengan penuturan sopan dan ramah. Bobby ganti memandang mantan istrinya. "Maafkan kesalahanku. Maafkan keluargaku j
Ika menghela nafas panjang. Pantaslah suara mantan adik iparnya terdengar cemas. Perempuan yang beberapa bulan lalu sempat mencak-mencak dan marah karena sang kakak mendapatkan hukuman lumayan lama, kini melunak. Mungkin sekarang benar-benar merasakan bagaimana kehilangan support dan ATM berjalannya.Selama ini Bobby dan Ika yang mensupport pengobatan wanita itu. Makanya kesehatannya terjaga. Namun mulai drop setelah Bobby masuk penjara dan tidak ada dukungan finansial lagi.Sudah hidup enak karena Ika tidak sayang uang buat mereka, tapi mereka diam-diam malah memberikan dukungan pada Bobby bermain serong. Apa mereka pikir, hidupnya akan jauh lebih baik lagi? Orang tamak akan terperosok pada ketamakannya sendiri."Bagaimana, Ma?" Reza menyentuh pundak sang istri yang masih berdiri di teras rumah.Ika mengajak suaminya duduk. Kemudian menceritakan tentang percakapannya dengan mantan ipar."Sebenarnya ini solusi, Ma. Kalau pihak keluarga Bobby mau mengajukan permohonan supaya Bobby diiz
RINDU YANG TERLUKA- Sehari di Surabaya "Ma, papa nggak ngelarang kamu membawa anak-anak menjenguk papanya. Apapun yang terjadi, nggak ada yang bisa memisahkan darah yang mengalir sama di tubuh mereka. Tapi papa ngasih saran, bisakah diusahakan bertemu selain di penjara?"Malam itu Ika memberitahu sang suami perihal pesan yang dikirim mantan adik iparnya. Tentu Ika harus mendiskusikan bersama Reza untuk mengambil keputusan. "Pikirkan psikologis anak-anak. Selama ini mereka hanya mendengar papanya di penjara dari cerita. Tidak menyaksikan secara langsung. Kalau mereka melihat sendiri, pasti akan menjadi beban mental dan mengusik ketenangan jiwa anak-anak. Terutama Zahra yang sudah besar."Ika mengangguk. Benar yang dikatakan sang suami. Karena dia pun memikirkan hal yang sama."Bobby baru setahun menjalani hukumannya, Pa. Mana mungkin diizinkan keluar sebentar dengan alasan tertentu.""Ada beberapa alasan yang bisa membuat pihak berwenang memberi izin untuk Bobby keluar dalam beberap
"Sudah. Tadi malam Iren ngasih tahu kalau Mas Yansa diopname. Livernya kambuh lagi. Kamu mau nyambangi?""Kayaknya nggak, Mbak. Rin juga lagi sakit.""Sakit apa?""Masuk angin.""Jangan-jangan istrimu hamil lagi?""Nggak. Hanya masuk angin. Beberapa hari ini memang sibuk di klinik sampai malam karena rekannya ada yang cuti. Minggu kemarin, tiga hari Rin juga bolak-balik ke Batu untuk seminar.""Nanti mbak ke rumahmu.""Oke. Kalau gitu aku berangkat dulu, Mbak.""Kamu nyetir sendiri?""Iya. Ibnu sudah berangkat pagi tadi ngantar proposal ke Surabaya."Daffa bangkit dari duduknya. Menyapa sebentar pada Bu Murti yang sedang memetik sayuran di halaman samping, lantas masuk mobil dan pergi.Ika masuk ke dalam rumah dan langsung ke dapur. Sebelum mulai sibuk dengan pekerjaannya, dia selalu menyempatkan untuk membantu memasak. Sambil memotong sayuran, ia teringat dengan sepupunya. Mereka pernah membesar bersama di dalam keluarga besar Joyo Winoto. Itu nama kakek mereka. Disaat masih sekola
"Noval sudah berani tidur sendiri di kamarnya, Mas. Asal sebelum tidur ditemani dulu. Kalau Rachel biar tidur di kamar kita untuk sementara. Setelah dia bisa jalan biar ditemani oleh Mak Sum di kamarnya. Gimana?""Oke," jawab Daffa seraya merapatkan pelukannya. Mereka berdua sedang duduk menyaksikan hujan di luar dari balik jendela kaca."Terima kasih untuk hadiahnya, Mas. Tadi pagi kita buru-buru sampai aku nggak sempat bilang terima kasih." Rinjani berkata sambil menyentuh kalung di lehernya."Apa yang mas berikan tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang kamu berikan dalam hidup mas, Rin. Kamu menyempurnakan hidup lelaki yang tidak sempurna ini. "Kamu memberikan gelar lelaki br*ngsek ini sebagai seorang ayah. Memberikan kesempatan disaat kesalahan mas teramat fatal. Maaf, untuk semua kesalahan kemarin. Mas bangga memilikimu.""Nggak usah diingat lagi. Kita sudah melangkah sejauh ini. Yang lalu biarlah berlalu. Kita berjuang untuk masa depan keluarga kecil kita. Tapi sekali lagi
RINDU YANG TERLUKA - Biarlah Berlalu Kejutan macam apa ini. Daffa malah sukses membuat Rinjani kelabakan dan tergesa-gesa ke klinik dengan rambut yang belum kering. Dan jadi pusat perhatian, karena belum pernah ia datang ke klinik dengan rambut seperti ini.Mau marah, tapi ini hari ulang tahunnya. Mau marah, tapi Daffa seromantis itu. Ah, sejak dulu sebenarnya Daffa memang sangat romantis meski kemauannya tidak bisa dibantah. Bahkan di tengah perselingkuhannya, Daffa tetap romantis plus egois.Rinjani menghela nafas lalu duduk di kursinya. Meraba kalung berlian di balik kerah bajunya. Daffa yang memakaikannya sesaat sebelum pria itu membawanya terbang ke nirwana."Ini harus dipakai. Nggak mengganggu aktivitasmu, kan?"Sekarang hadiah istimewa itu melingkar dan di sembunyikan di balik kerah baju. Rinjani selalu memakai baju dengan kerah yang menutupi leher jenjangnya."Nanti malam kita dinner dan nginap di Batu," kata Daffa sebelum Rinjani turun dari mobil saat di antar tadi. Jarak