Share

Episode 2 Menjahit Mimpi

“Bu … bukain pintunya … Nala takut petir,” rintihku sambil mengetuki kaca jendela.

            Aku sedang berada di luar rumah. Memandang ke dalam rumah melalui kaca jendela kamar. Suara tangisku kalah dengan suara air hujan yang menimpa genting. Kemudian petir menggelegar dan berhasil menakutiku lebih dalam. Lagi, kuketuk kaca lagi. Berharap ibu luluh.

“Bu … tolong, Bu,” pintaku kelu sambil memandang dress bunga-bunga di badan – baju kesukaan saat aku masih duduk di kelas 1 SD.

Berhasil. Ibu mendatangiku dengan langkah kuat. Meski wajahnya masih penuh marah, tapi kuyakin akan dibukakan pintu dan diizinkan masuk. Mana rela mendengar tangisan ketakutanku. Namun, ternyata ….

“Diam di situ kamu! Renungi kesalahanmu!” bentak Ibu sambil memelototiku dari balik kaca.

Kupandang wajah Ibu yang cantik dengan memelas. “Takut, Bu … bukain! Nala janji nggak nakal lagi. Nala nggak akan minta kuenya Mbak Vanya lagi,” ujarku memohon ampunan, kedua tangan kusatukan di depan jendela.

“Nggak!” tolak Ibu sembari menutup gorden dengan kasar.

            Dia berlalu tanpa menolongku. Jelas dia menolak aku masuk ke rumah. Sebab tak lama kemudian terdengar tawa cekikikan dari dalam. Sepertinya ibu sedang bergurau riang dengan mbak Vanya. Di antara suara televisi, keduanya terdengar senang sekali.

Sesekali tercium aroma roti hangat yang baru matang dari oven. Jujur, aku lapar. Aku kembali menangis sambil mengelus perutku yang kempes. Adakah seseorang yang menolongku di saat seperti ini? Sepertinya Tuhan mulai mendengar tangisan sedihku.

“Nala, kamu ngapain di luar?” tanya Bapak dengan wajah cemas.

Bapak datang dari bekerja. Bapak kemudian meletakkan payung dan meletakkan tubuh kecilku di pangkuannya. Matanya terlihat penuh tanya, apalagi aku tak berujar apa-apa selain hanya menangis.

“Kamu kenapa sih, Nak?” selidik Bapak makin cemas.

“Bapak!” Kupeluk Bapak dengan erat. “Nala takut, Pak. Ayo masuk rumah!” ajakku dengan tangis tersedu.

            Bapak menggendong tubuh ringkihku yang masih berusia 7 tahun itu ke dalam rumah. Tentu saja dibukakan pintu karena yang mengetuk dan memberi salam adalah bapak. Bapak kemudian masuk sambil mendatangi ibu, setelah mendudukkanku di sofa bersebelahan dengan mbak Vanya. Wajah Bapak tegang sekali, entah kenapa.

“Kamu apain lagi anak ini, hah!” semprot Bapak pada Ibu yang menatapnya penuh tantangan.

Ibu memandang Bapak tajam. “Ngapain kamu bawa masuk anak sialan ini! Dia habiskan kue kakaknya. Vanya kelaparan sepanjang sekolah karena dia! Dia pantas dihukum!” Ibu menunjuk wajahku dengan suara keras.

            Mbak Vanya menangis, sama denganku. Bapak dan ibu bertengkar hebat di depan kami. Mereka ribut, besar sekali. Suaranya keras, hingga aku takut dan berlari masuk kamar. Aku menangis takut di bawah meja sambil memegang sepotong roti. Sembunyi tentu saja, aku biang kerok saat ini.

Tak berapa lama kemudian setelah suara ribut itu hening, ibu masuk kamar dan berhasil menemukanku. Aku gemetar ketakutan, pandangan ibu seperti hantu yang jahat. Kemudian, ibu menarikku keluar dari bawah meja. Sebuah pukulan melayang di punggungku, keras sekali. Aku menangis ketakutan hingga roti yang kubawa jatuh.

“Gara-gara kamu Ibu bertengkar dengan bapak! Kamu memang anak pembawa sial!” kutuknya sambil meninju mataku yang sedang menangis.

            Gelap, dan seluruh tubuhku sakit. Aku gemetaran seperti kedinginan. Hingga guncangan itu makin keras dan mataku terbuka dalam kondisi basah.

“Nala! Na!” panggil Jihan dengan tatapan cemas.

Aku langsung terduduk dan mengedarkan mata ke sekeliling ruang. Ini kamar Jihan bukan kamarku di rumah itu. Seketika menyadari peristiwa mengerikan barusan itu cuma mimpi buruk. Ya, sekarang aku bukanlah anak tujuh tahun itu lagi, melainkan sudah berusia delapan belas tahun dan sudah keluar dari rumah itu. Kini aku duduk di depan Jihan sambil menata pikiranku satu persatu.

“Kamu kenapa?” tanya Jihan lagi makin cemas. “Kamu menendang seperti ketakutan. Kamu berontak dan aku cemas, Nala. Ayo kita ke rumah sakit, ya? Aku ada uang kok,” ajak sekaligus bujuknya.

Aku menggeleng, “aku nggak apa-apa, Han. Cuma mimpi buruk,” tepisku.

“Kamu mau teh hangat?” tawarnya yang kuiyakan.

Hari ini bulan Februari tahun 2018, aku duduk berdua dengan Jihan sambil memeluk cangkir teh hangat. Memandangi bulir hujan di kaca sembari memeluk kaki. Meresapi suara hujan yang turun deras di atas genteng tanpa banyak dialog.

Kami banyak diam dengan pikiran masing-masing di pagi yang dingin karena hujan. Sampai pada suatu menit, Jihan memecahnya dengan sebuah obrolan. Meminggirkan cangkir teh yang isinya tinggal setengah itu sambil memandangi sahabat karibku.

“Tidak maukah kamu bercerita tentang hidupmu, Na? Katakan saja semua padaku,” ucap Jihan sambil memandangku iba.

“Kamu tahu jika hidupku tak lebih baik daripada ini. Aku hidup sendiri sejak usia lima belas tahun, bapak ibuku nggak tahu ke mana. Aku berjuang hidup dengan normal, nggak sampai hancur kayak anak broken yang lain. Intinya, aku dibuang oleh keegoisan mereka. Ceritalah, hem?” bujuknya lagi sambil memegang lenganku dengan tangannya yang hangat.

Aku tersenyum sedih. “Hidupku terlalu mengerikan untuk didengar, Han.”

“Apa sangat berat untuk mengingatnya?” tanya Jihan pelan yang kujawab anggukan.

            Apa cerita tentang kekerasan dalam rumah tangga antara ibu dan anaknya itu patut ditulis, didengar, atau diceritakan? Sekarang kutanya, menurut kalian, ibu itu apa?

            Kata orang, ibu adalah malaikat tak bersayap. Namun, hanya rupanya yang cantik seperti malaikat. Rupa itulah yang dia turunkan penuh padaku. Wajah cantik, hidung mancung, bibir tipis, kulit putih bersih, dengan mata bulat mungkin jadi anugerah terindah yang pernah kumiliki.

Namun, tak pernah sekali pun kujumpai ibu seperti malaikat. Kutukan, kata kasar, umpatan, pukulan, tendangan, bentakan, jambakan, lemparan benda keras, itulah cara ibu menunjukkan apa yang namanya kasih sayang.

Ibu mengajarkan membaca dengan pukulan. Ibu mengajarkan mencuci baju dengan membuang bajuku. Melarang bermain dengan cara mengurungku di ruang gelap hingga malam menjelang. Ibu mengajari rajin mandi dengan menyeretku paksa ke kamar mandi hingga terjatuh dan gigiku tanggal 2.

Oh iya, aku juga sering dilarang masuk rumah sampai malam setelah melakukan kesalahan. Hingga aku melewatkan waktu makan dan kelaparan sepanjang malam. Awalnya, bapak tidak tahu perbuatan ibu. Dengan apiknya itu disembunyikan. Namun, pada akhirnya ketahuan juga. Bukannya mereda, ibu justru makin menjadi-jadi.

Namun, ibu bisa jadi malaikat yang lembut pada Mbak Vanya. Kakakku itu selalu disayang kendati melakukan kesalahan. Meski tak sempurna, ibu selalu menyanjungnya. Ibu pernah menghantam kepalaku dengan parutan kelapa karena aku dianggap melukai mbak Vanya. Padahal aku tahu betul, dia dilukai teman lelakinya, Harun. Namun, tak ada satu pun kalimatku yang didengar.

Setiap mbak Vanya terluka karena kami bermain bersama, selalu aku yang disalahkan. Pernah aku memutuskan main sendiri, tapi malah dihukum ibu karena dianggap tidak menemani mbak Vanya. Intinya, ibu selalu ingin kami saling membenci. Mbak Vanya tidak boleh menyayangiku laksana adik.

Ibu makin bangga saat mbak Vanya berhasil masuk ke kedokteran. Aku merasa makin dianaktirikan. Mungkin benar jika ada istilah anak kandung bagaikan anak tiri itu. Aku saksi hidupnya, aku mengalaminya.

Seorang ibu akan mengirim selaksa doa untuk anaknya, terkecuali aku yang selalu didoakan mati atau musnah dari dunia ini.

“Nala?” Jihan menyenggolku pelan. Seperti biasa, aku terjatuh dalam lamunan.

Aku mendongak dan berusaha tersenyum kuat. “Kisah hidupku terlalu panjang, Han.”

“Nala, tak bisakah kamu menjadi manusia normal saja? Menangislah jika sedih, tertawalah jika senang. Jangan sebaik ini, Na! Sialan!” kutuk Jihan dengan air mata.

Dia menunduk, menutup mulut dan wajahnya dengan kedua tangan. Dia menangis hingga bahunya terguncang pelan. Kadang terisak karena mungkin wajahku sangat menyedihkan.

“Hei, aku baik saja, oke!” ucapku bohong sambil mencari-cari wajahnya.

            Lebih suka kukurung sedih ini dalam-dalam. Sebab lebih sakit saat membukanya. Orang lain tak perlu tahu lukaku, bukan?

            “Kukira, pasti bahagia punya orang tua, meski hanya seorang ibu saja. Nyatanya, hidupmu tak jauh menyakitkan dibanding aku, Nala. Kukira kamu bahagia punya keluarga. Ternyata …,” ungkap Jihan dalam isaknya.

            “Ternyata sama mengerikannya, ‘kan?” pungkasku sambil memeluknya.

---

“Setelah ini apa rencanamu?” tanya Jihan sambil menjemur pakaian yang tadi dicucinya.

            Hujan telah reda, menandaskan dingin yang membelai Jakarta yang terkenal panas. Perlahan matahari yang kurindukan itu menyembul dari balik mendung. Mengeringkan baju, mungkin air mata kami karena menangis cukup lama tadi.

Kuedarkan mata ke arah langit yang mulai cerah sambil menyipitkan mata karena terlalu silau. “Aku ingin bekerja. Kuliah apalagi jadi dokter terlalu tinggi, Han,” ungkapku.

“Kerja apa? Di mal aja kayak aku?” tanya sekaligus ajaknya penuh semangat.

Kutatap lagi langit yang masih tersisa mendung. “Entah, mungkin iya,” jawabku gamang.

“Hem, tunggu bentar!” Jihan beranjak masuk dan keluar lagi, lalu duduk di sebelahku dengan membawa sebuah selebaran. “Gimana kalau kamu masuk ke sini?” tawarnya semangat.

            Kubaca selebaran itu dengan teliti. Brosur perekrutan pramugari maskapai nasional pelat merah berkibar di depan mataku. Kutatap Jihan penuh tanya. “Kenapa harus flight attendant?” tanyaku bingung.

“Kamu tinggi, cantik, dan menarik. Bahasa asingmu juga bagus, sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan,” jawabnya dengan wajah semangat. Tangan terkepal dua penuh tekad.

“Aku ingin kerja yang mudah saja, sepertimu,” ucapku putus asa sambil melipat kertas itu.

Jihan beringsut makin dekat ke tubuhku. “Nala, aku tahu kamu punya potensi. Mimpimu tinggi. Dengan menjadi pramugari, kamu pasti bisa membuktikan ke ibumu, bahwa membuangmu adalah kerugian besar. Kamu harus bisa bikin dia menyesal!” tekad Jihan masih berapi-api.

“Aku terlalu sayang sama ketabahanmu yang luar biasa,” pungkasnya kemudian.

Kutatap dia dengan senyum geli. “Aku mana ada uang untuk sekolah pramugari, Han,” ucapku pias.

“Aku ada uang. Pakailah dulu, nggak apa-apa,” bujuknya lagi.

Aku menggeleng dan kembali menatap langit. “Itu cita-cita yang terlalu tinggi untukku, Han! Langit itu terlalu tinggi untuk dijelajahi. Aku nggak mau ngrepotin kamu terus,” tolakku kuat.

Jihan menepuk pundakku optimis. “Memang, karena kamu akan selalu ada di ketinggian. Kalau kamu kerja di udara, intensitas pertemuan dengan ibumu pasti berkurang. Dan ketika nanti dia melihatmu … woah! Pasti spechless, nggak nyangka! Bangga! Menyesal banget!” ucap Jihan berapi-api dengan mata berbinar-binar.

Aku tergelak kecil dan mengelus kening lebamku. “Kamu makin ngacau aja, Han!”

“Coba saja dulu, Na! Kuyakin kamu pasti bisa!” bujuknya lagi.

            Kugelengkan kepala, membuyarkan impian liar itu. Mimpiku memang tinggi, kuliah dan jadi dokter. Namun, mimpi jadi pramugari itu adalah pikiran terkonyol yang pernah diutarakan Jihan. Manusia tak berguna dengan masa lalu mengerikan macam aku ini bisa jadi apa?

---

Aku terdiam dan tenggelam dalam lamunan rumit di sebuah kursi, di dalam ruang dengan banyak orang. Suara-suara ramai di sekitarku menjadi hening karena aku terpaku pada satu hal. Vonis demi vonis dari dokter spesialis jiwa, dokter Hasana, kembali terngiang di benakku. Bercamuk satu demi satu membiaskan kewarasan yang sudah goyah dari dulu.

“Saya takut keramaian. Takut dengan pandangan-pandangan banyak orang. Mereka seolah mengejek saya. Oh iya, saya juga merasa tidak berguna. Tidur pun tak bisa, makan tak selera. Sebenarnya saya kenapa, Dok?”

“Post Traumatic Stress Disorder, itu nama gangguan yang sedang Anda alami saat ini. Penyebabnya bisa macam-macam, tapi menurut saya Anda mengalami ini karena penganiayaan, kekerasan verbal dan fisik yang membuat trauma.”

“Hasil pemeriksaan menunjukkan, Anda sering mimpi buruk, mengigau dan menangis ketakutan karena teringat potongan peristiwa buruk. Itu adalah gejala PTSD. Depresi yang Anda derita masih taraf ringan, Anda masih bisa sembuh dengan berobat dan konseling.”

Masih kuingat wajah beliau saat memberiku vonis PTSD, raut sedih dengan kening berkerut dan kedua tangan terlipat ke atas meja. Mungkin tak menyangka, bahwa aku yang masih delapan belas tahun saat itu sudah mengalami PTSD. Mau tak mau, aku membuka aib diri sendiri dan keluarga.

Memang aku korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Dan itu membuat dokter Hasana terhenyak untuk sepersekian detik saat itu. Seolah tak percaya bahwa di balik senyum riang dan wajah ramahku, tersimpan luka besar yang menganga.

Sejenak, kuresapi kembali vonis-vonis yang sudah terpaku di dalam kepala itu tanpa peduli sedang di mana. Sampai pada sebuah suara mengembalikanku ke dunia nyata saat ini, dunia di mana usiaku sudah sembilan belas tahun. Setahun setelah menerima vonis PTSD. Dan hampir setahun pula aku menerima konseling gratis dari beliau karena tahu aku pasien kurang mampu.

“Nala, kita harus boarding! Ke posmu sana!” tunjuk pemilik suara itu dengan cekatan.

            Aku gagap dan menoleh. Teguran Mbak Wenda menggugah lamunanku. Lagi, aku terjatuh dalam lamunan dalam hening seperti tadi. Sekarang, aku sadar sedang ada di mana dan sedang berbuat apa. Gegas aku berjalan cepat di aisle untuk segera berdiri di pintu masuk bagian depan, menyambut penumpang yang akan terbang bersama benda ini.

            Hari ini adalah 1 Februari 2019. Tepat setahun setelah aku menghayal konyol bersama Jihan perihal cita-cita sebagai pramugari di beranda kosnya. Ternyata itu bukan banyolan, Tuhan menuntunku menjadi pramugari yang sesungguhnya. Ini tahun pertamaku, bulan ke delapan aku terbang bersama Nusantara Airlines, sebuah maskapai nasional pelat merah milik pemerintah.

            Dan siang ini aku sedang bertugas untuk penerbangan Jakarta tujuan ke Lombok. Hatiku bahagia karena akhirnya bekerja di tempat yang sebelumnya cuma seperti mimpi. Maka aku menjalani semua tugasku dengan tulus tanpa beban hati.

“Selamat siang Bapak, boleh saya lihat boarding pass-nya?” tanyaku ramah sambil menyungging senyum di depan pintu masuk pesawat.

Kubaca kertas tipis dari tangan si bapak. “27F, silakan ke belakang belok kanan, ya, Pak!” pintaku ramah sambil menerima uluran boarding pass selanjutnya.

            Aku kembali tersenyum bangga pada para penumpang yang terlihat ramah. Ya, inilah aku, Shanala Arunika, manusia yang berusaha menyembunyikan depresinya dengan menjadi sosok baru, pramugari. Seperti mimpi dan aneh, bukan? Aku bahkan seperti mengelabuhi diriku sendiri dalam tes psikologi. Kadang tidak percaya bahwa aku sudah sampai di titik ini.

            Setelah vonis dokter yang masih terngiang sampai detik ini, aku masih berobat dan sampai kini masih sering konsultasi. Aku berusaha membuka diri, menerima kenyataan, dan bekerja keras untuk sembuh. Aku mulai cuek dengan takdir, tak peduli cap anak durhaka di jidat.

            Aku bahkan tak peduli dengan anggapan orang lain. Fokus pada pengembangan diri menjadi lebih baik dan sukses. Aku menjalani hidup dengan terbuka, menerima semua garisan yang pahit ini. Memaafkan semua yang terjadi dalam kelas konseling, meski entah berhasil atau tidak.

Untung ada Jihan yang masih sering meminjamiku uang, untuk berobat ke sana sini. Meski konsultasi gratis, obat tetap bayar. Jihan juga tak segan mengeluarkan uang untuk biayaku menjadi pramugari. Ia yang getol menolong, meski aku sudah bekerja sebagai kasir minimarket saat itu.

            Jihan bak bapak dan ibu, orang tua bagiku. Dia mendukung mimpiku sampai di titik ini. Doanya ampuh mengetuk pintu Tuhan untuk menolongku. Sehingga cuma dialah yang datang dan kuundang saat malam inagurasiku sebagai pramugari. Mungkin benar, Jihan adalah temanku satu-satunya. Bersyukur Tuhan masih memberiku teman yang baik.

            Saat aku mendapat gaji pertama sebagai pramugari, Jihan yang paling bahagia hingga memelukku seerat mungkin. Dia menangis dan berpesan agar aku rajin menabung demi masa depan. Masalah utang, lunasi saja perlahan. Dan aku hanya tersenyum tak enak saat itu.

            Tenang saja, aku sudah melunasi semua hutangku di gajian bulan ketiga. Bayaran kerja di maskapai ini lumayan, apalagi aku sering terbang.

            Perihal memaafkan ibu, ya? Itu cuma sekedar usahaku di kelas konseling, berusaha saja. Mungkin aku memaafkan, tapi tidak dengan melupakan. Semua masih terekam utuh di otak. Bagaimana ibu memperlakukan dan membesarkanku selama ini, semua masih kuingat sampai detail terkecil.

            Namun, ada yang tersisa dari trauma yang kualami, gangguan pikiran yang terus menerus timbul dan sangat mengganggu. OCD (Obsessive Compulsive Disorder) istilahnya. Aku jadi orang yang takut kotor, terkena kuman atau penyakit, suka kebersihan, sangat suka kerapihan, dan kadang khawatir pada hal yang tak perlu. Aku pernah kembali ke kos karena cemas sudah mematikan kompor atau belum. Padahal sudah kuperiksa puluhan kali sebelum berangkat.

            Sekompleks itu, efek trauma masa kecil dan remajaku sangat menakutkan. Namun, semua kusembunyikan baik-baik di balik senyuman dan keramahan saat bekerja. Aku bisa menjadi orang lain saat memakai atasan encim warna biru muda dan kebaya biru tua motif parang ini. Ya, seorang pramugari dengan senyum cerah dan wajah ramah.

“Mbak, ini pakai sabuknya gimana?” Pertanyaan Ibu seat 4C membuatku menoleh.

Setelah menutup kompartemen bagasi, aku mendatangi si ibu dengan sabar. Aku tersenyum. “Boleh saya bantu?” tawarku.

“Iya Mbak,” jawabnya ramah.

Kusatukan buckle dan gesper sampai berbunyi ‘klik’ lantas tersenyum ramah lagi. Tak lupa kuberi petunjuk lanjutan. “Sudah Bu, begini cara mengendurkan dan merapatkan. Ada lagi?”

“Terima kasih,” ucap ibu itu dengan senyum puas, kemudian dia mengamati wajahku. “Mbak cantik sekali, ya?” pujinya.

Aku tersipu, tapi tak percaya dengan sebuah pujian. “Terima kasih, Bu.”

            Selesai bertugas, aku lantas melipir ke galley belakang untuk melakukan hal yang lain. Celingukan ke kanan dan ke kiri sambil membuka handbag dan mengeluarkan sebuah botol plastik, menyemprot kedua tanganku dengan hand sanitizer sampai tiga kali. Meniup-niupnya hingga kering dan terasa kesat.

Jujur aku takut bersentuhan dengan benda atau orang asing. Bagaimana kalau sabuk pengaman dan tubuh ibu tadi ada kumannya? Bagaimana kalau kuman yang berbahaya? Aku nggak mau terpapar lalu sakit dan terkapar mati. Ya, tanganku harus bersih.

Maka, sekali lagi kusemprot kedua tangan dengan cairan berkadar alkohol 70% itu. Lebih banyak lebih baik, bukan?

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ummi Khai
......... yampun dampaknya sampai segitunya. semoga Nala lepas dr semua depresinya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status