Dini hari pukul 1 sudah menyapa langit Makassar. Burung besi itu sedang mengarungi langit setinggi 37.000 kaki dengan kecepatan sekitar 600 kilometer/jam. Udara kabin terasa dingin menusuk, sebab udara ketinggian bisa di suhu minus derajat. Rerata penumpang NA-990 sedang terlelap meski di tengah desing mesin jet. Namun, ada sebuah suara yang berbeda dan terasa sedikit mengganggu suasana bising itu. Berisik di tengah kebisingan.
Tangis bayi berusia lima bulan terasa menyayat sebagian hati, sebagian lagi memilih tak peduli. Namun, ada jua yang merasa sangat terganggu hingga menoleh ke kursi belakang – tempat si bayi berusaha ditenangkan. Ada si ibu yang frustrasi sebab bayi mungilnya tak henti menangis. Entah karena apa, si ibu sedang menerka-nerka.
Mana
Jika bekerja di udara yang penuh risiko itu seperti tidur, maka berkumpul dengan keluarga seperti mimpi yang indah. Setelah menikmati pekerjaan yang menyenangkan itu, serasa mimpi bisa berkumpul dengan bapak, mamak, dan juga dia, Mas Kava. Sekarang kami berempat duduk di meja makan bulat. Sedang menikmati ikan kuah kuning, nasi beras merah, ikan bakar, dan juga kerupuk bawang. Tak lupa mamak memotong buah semangka merah dan kuning. Bapak memecah beberapa kelapa muda dan dibuat es kuwut bali. Makan sederhana seperti ini sudah membuatku sangat bahagia. Mereka lebih mahal dari makanan restoran super mewah. Sebab tak setiap hari aku menikmatinya. “Non, makan yang banyak. Kenapa ko pu badan makin kurus ka?” Mamak membelai pipiku lembut. (Kenapa badanm
Pagi baru saja mendatangi hari saat aku tercenung sendiri di kamar mandi. Dari kejauhan terdengar merdu suara azan Subuh yang menentramkan hati. Saking syahdunya, air mata satu tetes jatuh di pipi. Apalagi pemandangan alat kecil di atas ubin kamar mandi itu sejenak menimbulkan haru. Dua garis merah nan terang, positif. Aku sedang mengandung buah hati mas Kava. Tentu saja napasku tertahan tak percaya. Untung saja terantisipasi dengan hasil dari alat yang satunya. Aku menoleh ke gelas satunya dan mendapati hasil yang sama. Dua bahkan lima alat kecil pipih itu tetap bergaris dua merah terang. Aku hamil. Jadi, inilah
Blak! Sebuah pintu kayu dibanting dengan kuat oleh dua buah tangan yang gemetaran. Bibir wanita ayu bermata lentik itu bergetar, berusaha dikatupkan erat, dan digigit kuat-kuat. Dia jua menempelkan punggungnya kuat-kuat pada pintu pembatas antara kamar dan ruang tengah rumah dinas itu. Matanya yang lentik perlahan menelurkan bulir bening tiga kali. Kini ada sebuah aliran air mata yang seperti sungai di pipi tembam itu. Wanita ayu itu sedang menangis. Pagi ini sebuah harapannya dipatahkan oleh sebuah kenyataan pahit. Dia kira anak bayi itu adalah sosok yang menyenangkan bila di dekatnya. Nyatanya, wanita ayu bernama Shanala itu merasa salah besar. Justru dia merasa tertekan saat harus menghadapi bayinya yang menangis keras. Suara tangisnya tetap tembus kendat
Januari 2017 Hujan tak pernah jemu mengguyur tanah Jakarta sejak pagi. Menambah dingin hawa di sekitarku. Sesekali kuelus kening yang lebam karena sebuah tonjokan, terasa sakit dan ngilu. Saat aku melihatnya di kaca, ada bercak kemerahan di sana. Pasti bekas lemparan botol kaca parfum. Namun, lagi-lagi aku diam dan menyerah. Sekarang bahkan hanya bisa menatap bulir air di kaca jendela kamar dengan perasaan kosong. Terasa sudah mati rasa, karena luka ini bukan sekali dua kali mampir. Berkali-kali sudah. Kutundukkan kepala ke atas meja belajar, terasa berat dan letih. Sebab baru menangis hampir setengah jam karena luka batin. Ditambah pukulan yang cukup keras tadi membuatku kesakitan. Sesekali menyesap kenyataan bahwa aku baru saja mengalami kesakitan lagi dari orang yang sama. Darinya, ibu kandungku sendiri. Brak!
“Bu … bukain pintunya … Nala takut petir,” rintihku sambil mengetuki kaca jendela. Aku sedang berada di luar rumah. Memandang ke dalam rumah melalui kaca jendela kamar. Suara tangisku kalah dengan suara air hujan yang menimpa genting. Kemudian petir menggelegar dan berhasil menakutiku lebih dalam. Lagi, kuketuk kaca lagi. Berharap ibu luluh. “Bu … tolong, Bu,” pintaku kelu sambil memandang dress bunga-bunga di badan – baju kesukaan saat aku masih duduk di kelas 1 SD. Berhasil. Ibu mendatangiku dengan langkah kuat. Meski wajahnya masih penuh marah, tapi kuyakin akan dibukakan pintu dan diizinkan masuk. Mana rela mendengar tangisan ketakutanku. Namun, ternyata …. “Diam di situ kamu! Renungi kesalahanmu!” bentak Ibu sambil memelototiku dari balik kaca. Kupandang wajah Ibu yang cantik dengan memelas. “Takut, Bu … bukain! Nala janji nggak nakal lagi. Nala nggak akan minta kuenya Mba
Sebuah ruang gelap terfokus pada nyala lampu gantung yang terang, aku sedang melihat seorang anak perempuan berkuncir pita merah sedang duduk di depan ibunya. Wajah si ibu tidak ramah, cenderung kejam dengan satu alis yang naik dan mulut mengerucut tajam. Padahal wajah si ibu bisa berubah sehangat sup ayam yang dia makan saat menghadapi gadis berambut pendek di sebelahnya. Bahkan si ibu menyuapi gadis berambut pendek itu dengan wajah penuh syukur. Kontras saat matanya kembali berkontak dengan si gadis berkuncir pita merah, langsung mencuram layaknya tebing. Ibu itu tampak benci gadis berkuncir merah, sayang pada gadis berambut pendek. Si ibu selalu membedakan keduanya berdasarkan standar absurd buatan dirinya sendiri. Entah itu apa, yang jelas si ibu tak ada baik-baiknya pada gadis berkuncir pita merah.
Dulu, setiap hari adalah hari yang buruk bagiku. Kenapa, sebab selalu menangis saat hari itu. Awalnya aku tidak mengerti buruk itu apa, sampai pada rasa sakit di badan yang memancing tangisku. Baru kusadari itulah rasa sakit, rasanya buruk sekali hingga membuatku takut. Bahkan, untuk tidur saja aku takut – ibu nanti datang ke mimpiku. Setiap kali bapak pergi bekerja, kejadian buruk itu langsung dimulai. Ibu menjadi sosok yang sangat berbeda bila hanya ada aku dan mbak Vanya. Baru saja aku senang bermain boneka, datang ibu yang marah karena aku terlalu berisik. Baru saja aku senang bermain masak-masakan, datang ibu yang marah dan membuang semua mainanku. Tak lupa beberapa buah cubitan mendarat di kulitku. Berakhir dengan aku yang menangis sambil menutup mulut biar ibu tidak makin terganggu. Ibu sangat suka melihatku menangis, mungkin menurutnya lucu. Namun, semenjak mengambil keputusan besar di
“Seorang anak tetap suci, Shana. Sekalipun ibumu membenci kehadiranmu, Bapak sangat menyayangimu seperti Vanya.” Suara bapak terngiang lagi di benakku. Berulang-ulang hingga sepuluh kali lebih. Kusadari bahwa bapak adalah malaikat yang tak bersayap, lebih layak disebut seperti itu. Sehebat itu hatinya bisa menerima anak hasil zina yakni aku. Bahkan, berapa kali bapak pasang badan untukku, membelaku di depan ibu. Bahkan, bapak pergi setelah membelaku. Wajar tak mau hidup dengan ibu. Bisa memaafkan ibu saja sudah luar biasa. Dan tadi aku telah menyakiti bapak untuk kesekian kalinya. Aku pergi meninggalkannya saat bapak masih ingin memelukku. Sebab aku terlalu hina untuk disentuh bapak. Aku hanyalah penghancur rumah tangganya. Sebab karena aku rumah