Share

Episode 3 Dunia Baru Shanala

Sebuah ruang gelap terfokus pada nyala lampu gantung yang terang, aku sedang melihat seorang anak perempuan berkuncir pita merah sedang duduk di depan ibunya. Wajah si ibu tidak ramah, cenderung kejam dengan satu alis yang naik dan mulut mengerucut tajam. Padahal wajah si ibu bisa berubah sehangat sup ayam yang dia makan saat menghadapi gadis berambut pendek di sebelahnya. Bahkan si ibu menyuapi gadis berambut pendek itu dengan wajah penuh syukur.

            Kontras saat matanya kembali berkontak dengan si gadis berkuncir pita merah, langsung mencuram layaknya tebing.

            Ibu itu tampak benci gadis berkuncir merah, sayang pada gadis berambut pendek. Si ibu selalu membedakan keduanya berdasarkan standar absurd buatan dirinya sendiri. Entah itu apa, yang jelas si ibu tak ada baik-baiknya pada gadis berkuncir pita merah.

            Gadis malang itu hanya menatap si ibu tanpa ekspresi. Mungkin dia bingung kenapa si ibu tak mau memberinya sup, atau makanan itu. Aku baru sadar jika gadis itu bernama Nala. Dia adalah aku, yang hanya bisa mengais taplak meja putih di depannya dengan perut keroncongan. Sesekali dia menelan ludah saat gadis berambut pendek – bernama Vanya – mengunyah potongan ayam di sup.

            Aku mendekati meja di tengah ruang gelap ini dengan hati berdebar. Untuk memastikan apa isi dialog mereka, apa sama dengan isi dialogku dan ibu beberapa tahun silam.

“Ibu, Nala ingin makan sup juga,” Kusaksikan diriku menatap Ibu penuh harap.

Ibu menatapku dingin. Tatapan yang sama dengan beberapa tahun yang lalu. Dialog yang kuucap juga sama, dan jawaban Ibu, “kamu nggak lihat Ibu nyuapin Mbak Vanya? Sana ambil sendiri di dapur.”

Jawaban Ibu juga masih sama. Potongan adegan menyakitkan ini terputar lagi dan kusaksikan dari masa depan dalam bentuk mimpi. Ya, aku sedang bermimpi saat ini, mimpi yang sangat buruk.

Air mataku mulai berlinang saat menebak adegan selanjutnya. Ya, adegan yang paling menyayat dari peristiwa masa lalu ini. Itulah kenapa semua menjelma menjadi mimpi burukku.

            Selanjutnya, aku memang berjalan pelan menuju dapur. Mataku mendapati panci sup sayur itu ada di atas kompor yang tinggi. Kemudian aku berpikir, bagaimana cara menjangkaunya? Dan aku terpikir memakai kursi. Maka akhirnya kudorong kursi dengan sekuat tenaga, sampai aku naik dengan hati-hati. Kulihat sendok sup dan mulai kuambil pelan karena sedikit berat.

            Namun …. Ya semua urutan kejadian di masa lalu atau mimpi ini masih sama.

Brang!

“Awww!” pekikku kesakitan.

            Sepanci sup itu tumpah karena gerakan tanganku yang tidak kuat. Kuah sup yang agak panas menumpahi tangan dan setengah badanku. Aku kaget, sakit, dan basah, tapi ….

“Ya ampun!” Suara keras membuat pandanganku kecut. “Kamu apakan masakanku, hah!” bentaknya kemudian.

Aku memejamkan mata dalam mimpiku, merasakan sakit akibat jeweran itu terasa masih nyata.

“Goblok!” kutuk Ibu keras.

            Aku hanya tersedu. Sakit badan dan telingaku. Aku menangis tersedu tanpa berani menatap wajah ibu. Namun, itu tak berlangsung lama karena ada suara bapak. Tentu saja muka Ibu langsung berubah. Ibu membantuku berdiri dan mulai membersihkan tumpahan di lantai dapur tanpa banyak bicara.

            Aku masih sangat ingat bagaimana ekspresi Ibu yang apik. Menyembunyikan kekejaman di balik wajah cantik nan damainya.

Aku melihat ke sisi yang lain. Bak ada lampu menyala dari arah gelap yang lain. Ada sosok Bapak mendekat dengan wajah cemas. “Kenapa, Bu? Shana kenapa, Nak?” tanya Bapak bergantian.

Aku hanya menangis saat itu, tentu saja ingin langsung mengadu pada bapak baikku. Namun, saat menatap mata ibu yang melotot, dia berbisik dengan gerakan mulut, “diam kamu!”

“Ini Pak, Nala numpahin sup, padahal ini buat sarapan kita,” sesal Ibu dengan suara rendah, membelakangi Bapak dan menatapku tajam.

“Oh, Shana nggak apa-apa, ‘kan, Bu?” tanya Bapak sambil berusaha menjangkau wajahku yang ditutupi badan Ibu.

“Dia cuma basah,” ucap Ibu pendek.

            Bapak berlalu dengan singkat saat itu karena terburu berangkat kerja. Aku masih ingat semua, dan adegan selanjutnya tak kalah mengerikan. Bak menerima hukum pancung dalam hitungan menit.

Ibu menjewer telingaku keras sambil melotot. “Goblok! Diam kamu jangan ngadu pada Bapak!” ancamnya mengerikan.

Aku menggigit bibir seraya menahan tangis ketakutan. Ibu sangat menakutkan. Bapak, tolong Shana …!

“Tolong, Shana, Pak!” Baik dulu dan sekarang aku tetap berucap kalimat yang sama, meminta bapak menolongku walau percuma.

Tangisku sudah membasahi pipi. Masih kuingat sedu tangisku saat itu ketika semua mulai memudar. Adegan menyedihkan dari kenangan sakit masa laluku itu perlahan berganti dengan cahaya mentari pagi yang menyusup dari gorden putih kamar kosku.

Dirt! Dirt! Dirt!

            Tiga getaran dari samping kepalaku membuat mataku makin terbuka. Alarm ponsel mengembalikan kesadaranku ke dunia. Napasku yang tersengal mulai teratur. Pikiran yang acak mulai kutata. Baru saja kualami mimpi buruk dari kejadian nyata saat usiaku baru enam tahun. Saat di mana kusadari ibu suka menyiksa dan menyakitiku di belakang bapak.

            Aku bangun, duduk dan menata pikiran. Sejenak menggeleng dan menghapus sisa air di sudut mata. Sudahlah, tak ada gunanya merenungi kenyataan buruk. Itu adalah masa lalu yang kelam. Tak berguna jika diingat sekarang. Lebih baik aku menjalani masa kini, menata tempat tidur dan memulai hari.

            Sekarang 14 Februari 2019, katanya sih hari kasih sayang. Menurutku, nggak ada yang namanya kasih sayang. Yang ada hanyalah iba dan kasihan. Aku bisa hidup sampai sekarang karena banyak yang mengasihaniku. Bebas dari kekangan depresi saja sudah Alhamdulillah.

            Kutarik seprai hingga lurus, selimut juga dilipat dengan rapi presisi tidak acak kadul. Selimut dan kain lainnya kutata dari warna yang terang sampai ke gelap. Bantal ditepuk-tepuk supaya rapi dan tidak menggembung di satu sisi. AC kumatikan dan remotnya kutata rapi di rak kayu di meja kecil samping ranjang. Tak lupa ranjang kusemprot desinfektan supaya selalu steril. Itulah kebiasaanku sebagai penderita OCD.

            Beralih pada tubuh, aku langsung masuk ke kamar mandi bekas kosku dan Jihan ini. Benar, aku masih setia memakai kamar ini kendati Jihan sudah pindah. Dia sudah menikah dengan atasannya di mal dan hidup bahagia. Ya, dia sangat berhak bahagia. Jihan adalah satu-satunya sahabatku yang baik.

            Kubersihkan tubuh dengan perlahan menggunakan sabun yang lembut. Teliti dari ujung kepala sampai kaki, tak ada yang terlewat. Menggunakan satu merek yang sama dari sampo hingga sabun, aroma lili putih dan magnolia. Sama dengan perawatan badan, dari body care sampai body lotion, semua satu merek yang sama. Kuingin semua sama, tak ada yang beda.

            Aku suka seragam, semua sama dan tertata. Aroma yang berbeda sedikit mengganggu jiwa kesempurnaanku.

            Setelah selesai membersihkan badan, aku sepakat untuk membersihkan kamar ini. Kamar bernuansa monokrom, hitam dan putih, ini harus rapi. Tak boleh ada debu barang sebutir. Tanpa ragu, tanganku yang kukunya berhias kuteks merah ini menyambar sapu dan pengki. Aku mulai menyapu dan dilanjut menyepel nanti.

“Bersihkan lantai ini sampai bersih, Nala! Ulang sampai sepuluh kali!”

            Ah, telingaku agak gatal jika ingat kalimat ibu yang itu. Itu kalimat yang sering dia ucapkan setiap pagi sebelum aku berangkat sekolah. Jadi ingat dulu aku sering terlambat sekolah karena harus mengerjakan pekerjaan rumah dulu. Beda dengan Vanya yang bisa berangkat sekolah atau kuliah jam berapa pun.

Tenang saja, urusan kebersihan aku selalu melakukan dua sampai tiga kali kok. Seperti menyapu dan mengepel 3 kali sehari pakai sabun super banyak. Membilas baju hingga lima kali sekali nyuci, dan tentu saja diberi pewangi pakaian sampai lima kali takaran normal. Setelah itu menjemurnya berdasarkan warna. Setelah kering, langsung kuseterika licin dan rapi, kemudian masuk lemari. Tak ada tumpukan, semua rapi.

Urusan kamar, aku juga menata barang dalam warna yang gradasi warna terang sampai gelap, perfect, tidak acak warna karena rerata barangku cuma hitam dan putih. Paling banter kursi kecil warna abu-abu itu saja, itu juga karena aku ragu antara hitam dan putih. Maka kuambil warna di tengah-tengahnya.

Aku penyuka kebersihan dan kesempurnaan. Hidupku ada dalam aturan, keteraturan, dan kesempurnaan. Semua ditata rapi dan ajek sepanjang hari, minggu, bulan, dan tahun.

Kukepakkan tangan dengan senyum puas saat melihat kamarku sudah rapi dan bersih. Kemudian menarik lurus seragam di badan karena aku juga sudah bersiap berangkat kerja pagi ini. Sedikit menyeka keringat di dahi karena aktivitas barusan menyita banyak kalori. Sejenak aku menoleh ke meja karena ponselku berdering lembut. Ada nama “Pak Roy Driver” di sana.

“Halo selamat pagi!” sapaku ramah pada Pak Roy, driver mobil jemputan maskapai.

“Baik, Pak. Setengah jam lagi saya siap,” jawabku kemudian sambil mematikan telepon.

            Aku memandang cermin besar di sebelah jendela. Kupatut untuk ketiga kalinya seragam di cermin. Dari rambut yang sudah rapi sanggulnya, sempurna. Turun ke kerah kebaya warna magenta ini dan kerahnya rapi. Turun ke pinggangku yang ramping, tidak ada yang berkerut.

Namun, saat sampai di bagian tangan, mulutku berdecak kecewa karena hasil laundry di tempat biasa tak rapi. Lengan seragamku berkerut sedikit, bikin mata gatal. Disetrika lagi tak sempat, mobil jemputan akan datang.

“Andai saja aku menyeterika semua sendiri. Kenapa sih harus sok-sokan masukin laundry segala, huh!” gerutuku risau dengan otak mulai berkecamuk.

Jujur, kalau lihat hal nggak rapi dan berantakan itu kepalaku gatal dan emosiku mulai terganggu. Namun, jam di dinding membuatku sejenak harus meminggirkan semua ini. Mungkin dalam hitungan menit, pak Roy akan datang. Gegas, aku menggelengkan kepala supaya kecemasan tak penting itu ngabur ke udara.

“Sudahlah, nggak apa-apa. Hidup harus tetap berjalan!” putusku sambil berjalan cepat ke meja kecil di tepi smart TV.

Kuambil cangkir putih dengan hati-hati dengan tangan satunya yang menarik koper. “Em, selalu enak!” ucapku sambil memejamkan mata saat menyesap teh dengan takaran satu sendok teh gula palem dan seiris lemon yang tebalnya dua senti.

            Hampir saja lupa tidak menenggak minuman kesukaanku. By the way, irisan lemon memang harus presisi agar rasanya enak, dua sentimeter. Kalau lemonnya ketipisan berasa aneh, harus dua senti. Itulah kenapa di dapur mini kamar ini ada penggaris.

            Begitulah pagi-pagiku, mungkin juga siang-siangku, dan semua hari-hariku di sepanjang tahun. Semua kegiatannya sama, alurnya sama, monoton begitu-begitu saja. Bangun tidur, mandi, membersihkan kamar 3 kali, memeriksa seragam di kaca tiga kali, menyesap teh lemon, dan berangkat. Tanpa bosan melakukan itu semua setiap harinya di sepanjang tahun. Yang berubah dari hidupku cuma jadwal terbang yang gonta-ganti saban minggu, kadang nggak tentu tiba-tiba dapat panggilan di waktu standby.

Andai saja rute penerbanganku bisa sama sepanjang tahun. Namun, itu nggak mungkin. Pasti pemikiranku aneh, ‘kan? Tidak, bagi penderita OCD sepertiku.

            Semua harus sempurna, pada tempatnya, nggak boleh berubah, harus diperiksa dua tiga kali supaya yakin udah beres apa belum. Oh iya, aku lupa menyisipkan kegiatan rutin yang satunya. Memeriksa kompor, mencabut kabel-kabel yang menancap ke sakelar, kenop pintu dan kunci jendela sudah terkunci atau belum. Termasuk kunci kamar masih berfungsi atau tidak. Kuperiksa semua hingga lima sampai sepuluh kali. Tanganku hingga kebas karena kebanyakan menaikturunkan kenop pintu.

Benar sudah kekunci apa belum?

Kebiasaan anehku ini sudah diketahui oleh Pak Roy yang sudah bertengger manis di depan kamar kos. Dia menatapku sabar sambil memegang koperku yang berat.

“Sudah-sudah, Mbak!” tegas Pak Roy mulai kesal. “Mbak Nala, ayo nanti ketinggalan pesawat lho,” tegur Pak Roy gemas.

Aku meringis malu sambil menunjukkan gigi depanku yang rapi. “Baik, Pak. Maaf ….”

            Pak Roy adalah pengemudi langgananku. Dia sering menjemputku, otomatis sudah hapal dengan kebiasaan anehku ini. Kadang dia sabar menungguku, kadang juga kesel sedikit. Namun, dia selalu sabar saat aku sempat-sempatnya menyemprot kursi mobil jemputan dengan alkohol sebelum duduk dan lain sebagainya. Memang aneh kalau ada orang asing yang lebih care dibanding keluarga sendiri.

“Mbak Nala terbang ke mana?” Pak Roy melirikku dari spion kecil di depannya.

Aku merapikan poni yang sempat turun ke muka sambil membalas tatapannya. “Jakarta – Balikpapan – Banjarmasin – Surabaya. Nginep di SBY, besoknya balik ke Jakarta,” jelasku sambil menyapa Sherena, rekan satu batch, tapi beda kelompok.

“Wah, panjang juga, ya? Semoga lancar, ya, Mbak!” ucap Pak Roy pelan.

“Aamiin, Pak,” sahutku sambil mengamati Sherena dan menata suara sapaan yang pas.

“Mbak?” sapanya riang dengan suara bindeng. Di tangannya tergenggam tisu yang kusut. Sesekali dia menahan bersin hingga hidungnya memerah.

Dengan mata agak memicing aku membalas. “Pagi, Mbak. Lagi pilek?”

“Iya, Mbak. Kayaknya habis kehujanan,” jawabnya singkat sambil membersihkan ujung hidung dengan tisu.

Jujur, aku mulai cemas. Berdekatan dengan orang pilek itu tidak menyenangkan. Penyakit itu gampang menular, ‘kan?

Aku hanya tersenyum gamang, sebab kecemasan makin kental saat Sherena membersihkan hidungnya yang meler. Mendingan kubuka handbag dan mengeluarkan sebuah masker. Dengan cuek, kukenakan masker berwarna putih itu. Bagaimana kalau aku tertular jika berdekatan dengannya? Aku nggak mau sakit, harus selalu sehat. Jadwal terbangku masih padat, nggak mau tumbang.

Apalagi pilek saat bekerja di ketinggian itu sangat menyiksa.

---

            Aku berjalan tenang di aisle, sesekali sambil memeriksa alat keselamatan di bawah kursi. Ini memang tugasku di penerbangan Jakarta – Balikpapan, memeriksa alat keselamatan dan menghitung jumlahnya. Tak lupa memeriksa kualitasnya, masih layak atau tidak. Sesekali aku menahan napas karena memeriksa bagian bawah seat itu agak jorok. Siapa tahu ada penumpang ngupil. Terus upilnya nempel di tanganku.

            Bisa lelah menyabun tangan nanti. Tak cukup sebotol, mungkin dua botol bisa habis untuk membasuhnya. Aku sangat cinta kebersihan.

            Ah, santai Shanala! Jangan overthinking! Santai aja, nanti bisa cuci tangan di lavatory kok. Lagian, pesawat ini baru saja keluar hanggar jadi pasti kondisinya bersih. Ya, aku modal yakin saja!

            Maka kulanjutkan pekerjaanku dengan teliti seperti pramugari tahun pertama lainnya, walau kadang sedikit menjimpit benda-benda itu. Aku masih di fase rajin dan semangat jadi masih bisa meminggirkan rasa jijik. Untuk menjaga nama baik dan mencari muka tentu saja. Khas junior pada umumnyalah, aku takut dibenci senior. Takut dipandang sepele oleh mereka, apalagi sampai dirundung.

Saat asyik meluruskan isi pocket seat, tepukan tangan Mbak Astri menggugah konsentrasiku. “Dek, bentar lagi boarding, kamu sambut penumpang, ya!” suruhnya manja padaku.

Kubuat wajah pura-pura sedih, tak kalah kalem. “Mbak, kenapa harus saya? Bukankah harusnya Mbak?” tanyaku bingung.

Mbak Astri mencolek pipiku dengan senyum usil. “Captain suka wajah cantikmu, bisa menghangatkan hati penumpang. Cocok sebagai penerima tamu,” kelakar Mbak Astri sambil berlalu.

            Dia berlalu dan menyisakan aku yang menghela napas berat. Menyambut penumpang, tandanya aku garda terdepan penerbangan ini. Tandanya, aku mungkin saja yang pertama kena virus atau bakteri dari mereka. Bolehkah aku pakai celemek seperti saat menyajikan makanan? Kurasa cukup aneh. Aduh, bagaimana ini? Bagaimana cara menghindar?

            Tunggu, Captain yang dimaksud tadi apakah Captain Markus? Lagi, dia membuat hatiku tersentil. Buat apa dia mencari perhatian pada gadis yang hidupnya mengerikan sepertiku? Bukankah dia sudah beristri dan beranak? Apa aku nggak lebih cocok jadi anaknya saja? Andai tahu pikiranku yang kusut dan meletihkan ini, pasti dia sudah menyingkir jauh.

            Namun, aku hanya bisa menerima itu sebagai bagian dari pekerjaanku. Sebab aku terlalu mencintai dunia ini. Sebab hanya di sinilah aku merasa nyaman dan dimanusiakan. Bekerja di udara membuatku jarang berada di darat. Itu tandanya aku akan jarang bertemu dengan ibu.

            Tuhan telah memberiku dunia baru yang indah dan menyenangkan, meski banyak tantangan menghadang di depan.

            Banyak bahagianya di sini karena intesitas pertemuanku dan ibu takkan banyak. Jujur, aku takut bertemu dengannya. Wajahnya bak momok yang menghantui hidupku sejauh ini. Bahkan, bertemu dalam mimpi pun aku ketakutan.

Aku bisa merasakan bahagia karena sudah setahun hengkang dari rumah neraka itu. Sudah setahun juga aku berusaha keras menyambung hidup. Walau sengsara, aku menikmatinya. Menurutku, enak hidup sendiri tapi bahagia, daripada punya orang tua tapi hidup terhina.

            Hidup mandiri dan bekerja keras lebih baik daripada menerima derita setiap hari di dalam rumah. Ah, apa rumah itu masih bisa disebut rumah? Kurasa aku tak pernah merasa nyaman di sana. Home, but not homy.

            Pramugari adalah pekerjaan yang kucintai saat ini. Mungkin aku memang terlahir menjadi seorang pekerja udara. Memang tak salah saat Jihan memaksaku daftar dulu. Siapa sangka dalam sekali daftar aku langsung menembus maskapai nasional. Mungkin rejeki Tuhan untuk manusia sepertiku.

            “Selamat datang di Nusantara Airlines! Silakan Ibu!” sapaku ramah pada penumpang yang baru saja menyapaku di pintu masuk. Senyumku sudah terpasang lebih dari lima menit yang lalu. Benar kata Mbak Astri, banyak orang yang memuji senyumku.

            Aku memang suka bekerja di balik senyum, sebab tak ada yang menanyai lukaku. Aku suka melayani banyak orang, sebab mereka selalu menyukaiku. Aku suka bertemu banyak orang baru, sebab mereka tak perlu mengenalku.

            Tak ada yang menghakimiku. Tak ada yang membenciku. Semua penumpang pesawat membutuhkan pramugari, dan itu aku. Berbeda saat aku masih remaja dulu, hidup dalam siksaan kebencian. Sekarang tak ada lagi.

            Dengan menjadi pramugari aku bisa tampil cantik. Memakai riasan untuk menutupi codet kecil di kening bekas lemparan gunting kuku dari ibu saat usiaku 6 tahun dulu. Wajahku bisa tampil cantik sempurna. Tak ada yang mendebat itu.

            Aku bisa berkeliling Indonesia, bahkan dunia dengan gratis. Impian yang tak pernah kusangka akan kujalani sekarang. Ya, menjadi pramugari seperti mimpi padahal nyata. Saking bahagianya, saking bersyukurnya aku punya dunia baru.

            Hampir tak ada duka yang kurasa selama jadi pramugari. Meski sehari bisa tiga kali naik turun ketinggian, aku menyukainya. Meski setiap detik bertaruh nyawa, aku tak peduli. Dulu aku hidup di rumah, tapi hampir meregang nyawa setiap hari.

            Aku tetap tenang meski pesawat sedang berguncang melewati awan hujan. Meski kadang pesawat ini tidak selalu mulus saat mendarat itu tak masalah. Meski kadang menghadapi senior atau captain yang menyebalkan itu tak jadi soal. Aku selalu menikmati pesawat ini dan semua isinya, baik dan buruk.

            Dulu aku hidup di atas tanah yang stabil dengan hati yang labil setiap hari. Bahkan, aku pernah bertaruh dengan waktu, apakah hari ini aku akan dihajar atau tidak. Di rumah itu dulu setiap pagi aku selalu merenung, apa ini akan jadi pagi terakhirku atau bukan. Ya, semacam itulah.

            Di balik seragam ini, kusembunyikan luka. Kuganti dengan senyum hangat dan ramah, meski hatiku dingin dan penuh luka. Rupiah bisa menutupi luka dan hatiku yang dingin. Aku bisa menerima pundi-pundi rupiah yang tidak sedikit dari pekerjaan ini. Minimal delapan jutaan saat ini meski aku masih pramugari tahun pertama.

            Setidaknya bisa membayar hutang pada Jihan sekaligus membelikannya barang mahal, sebuah kalung emas putih berliontin hati. Aku mulai hidup mapan sekaligus punya tabungan. Sesekali makan mewah di restoran. Belanja pakaian bermerek di mal mentereng di Jakarta. Hanya untuk diriku sendiri, bahagia untuk diriku sendiri. Menebus semua luka di masa lalu, meskipun tak bisa terlupa selamanya.

---

“Penumpang 30A itu lagi kasmaran kali, ya? Dari tadi megang tangan penumpang 30B terus,” celetuk Mbak Astri seru.

            Kami sedang ngerumpi di galley belakang saat pesawat transit di Balikpapan hendak ke Banjarmasin. Aku hanya menatap layar ponsel sambil sesekali melirik dan tersenyum. Buat apa sih mengurusi pengantin baru? Sudah jelas, pax 30A dan 30B adalah pengantin baru. Mereka sering menatap mesra. Sekilas tadi kulihat mereka mengenakan cincin kembaran saat menerima sajian minum dariku.

“Na,” tegur Mbak Greta yang membuatku mendongak.

“Kamu nggak duduk di jumpseat? Berdiri terus,” ujarnya sambil berdiri. Niatnya memintaku duduk di tempatnya.

Aku menggeleng dengan masih menyandarkan lengan ke pintu lavatory. “Nggak Mbak, capek duduk tadi pas flight.”

            Aku hanya beralasan. Sebenarnya, aku malas duduk di bekas Mbak Greta. Dia sedang menstruasi, bilang tadi. Bagaimana kalau tembus? Nanti ada kumannya terus nempel di bajuku gimana?

“Nala ini aneh kok, Ta. Dia nggak mau minum air pesawat. Kalau mau duduk harus disemprat-semprot terus. Parahnya, nggak mau dicicipi makannya!” cerocos Mbak Astri sambil tertawa dan mengunyah kacang almond dari tangannya.

Aku hanya mesem, tak tersinggung sama sekali. “Mbak, saya cuma cinta kebersihan apa salahnya?” tanyaku sambil menatap para senior yang mulai gemas.

“Ya ampun, Na! Jadi lo mikir bekas duduk gue kotor?” Mbak Greta pura-pura marah. “Gue itu suci, lebih suci dari mukanya Vero!”

Mbak Vero melempar segulung tisu. “Kurang azar lo, Ta!” Kemudian mencep sambil membuang muka.

            Mereka tergelak, beda denganku yang cuma mesem sebab melihat Captain Markus mendekat dari arah cockpit. Pilot berusia 45 tahun itu menatap kami lekat dan seketika semua hening.

“Kalian lagi ngomongin saya?” ucapnya pura-pura marah.

“Siap nggak, Kep! Itu tuh ngomongin Nala!” Mbak Astri menunjukku yang sedikit bersembunyi di balik curtain pembatas galley.

            Malas ditegur Captain Markus. Dia sengaja menyentuh tanganku pekan lalu saat aku mengantar kopi padanya. Itu cukup membuatku takut. Pandangannya beda dengan cara memandang atasan ke bawahan. Seperti terpesona dan berbinar-binar begitulah.

“Nala, kebetulan kamu di sini. Buatin saya es kopi, ya! Super dingin lalu antar ke depan!” pintanya dengan mimik serius.

Seketika semua pandangan beralih padaku. Pasti wajahku sudah datar dan melongo pilon. “Kep, biar Greta yang buat aja gimana?” Mbak Greta menengahi situasi dengan rayuan agak genit.

Captain Markus menggeleng. “Enggak, saya maunya Nala!” tolaknya sambil menunjuk ujung hidungku.

            Captain beringsut pergi dan menanggalkan pias di wajah Mbak Greta. Dia mencolekku usil dengan pandangan aneh. “Kamu ditaksir Captain tuh!” celetuknya asal.

Aku hanya mesem cuek sambil beranjak ke meja galley, menyiapkan gelas tinggi dan meracik kopi. “Nggak kok, Mbak. Mungkin emang Captain suka ngusilin saya,” ucapku cuek sambil menoleh sedikit pada mbak Greta yang menyandarkan badan di pintu lavatory.

“Serius deh, Na, lo selalu dipanggil beliau setiap terbang, ‘kan?” Mbak Astri menyipitkan matanya penuh telisik.

“Mungkin karena saya selalu junior, Mbak. Perlu ditatar mungkin,” hindarku.

“Dia sering nitip salam ke copilot yang terbang sama kamu lho,” bisik Mbak Vero yang memang benar.

Aku hanya tersenyum dan membawa nampan es kopi pesanan tadi. “Saya nganterin kopi dulu, ya, Mbak-mbak!” pamitku tanpa menjawab rasa penasaran mereka.

            Selalu menghindar supaya tak muncul kecurigaan apalagi desas-desus miring. Sumpah aku takut. Tak mau dunia baru kesukaanku ini tercoreng dengan noda yang tak perlu.

            Apa yang dituduh dan dibisikkan padaku barusan benar semua. Malah lebih parah. Captain Markus pernah mengirimiku sekotak coklat Belanda yang mahal, sering mengirimi makanan via Go-Food setiap kali aku tak terbang, nitip mawar merah untukku via mas copilot, dan terakhir nekat menyentuh tanganku pekan lalu dengan pandangan tak tergambarkan.

            Sungguh, aku tak ada niatan untuk membalas semua perlakuannya. Kutahu perhatian Captain Markus lebih dari biasa. Hatiku tidak bodoh-bodoh amat. Dia adalah pria beristri. Haram hukumnya bagiku untuk memikirkannya. Kami cukup sebatas rekan kerja, aku pramugari dan dia Captain pesawat. Selesai!

Aku tak buta urusan cinta, sebab aku sudah merasakannya pada seseorang. Benar, si depresi dengan hidup penuh kengerian ini sudah berpacaran dengan seorang copilot bar dua. Namanya, Arganta Syahreza. Kami kenal saat aku first flight delapan bulan yang lalu.

            Perasaan terdalamku sudah tertambat padanya sejak delapan bulan yang lalu. Aku menjalin cinta dengannya secara rahasia, sebab aturan perusahaan melarang kami berpacaran. Tak masalah, sebab dia sangat menjaga dan menyayangiku.

            Tak pernah terdengar kabar burung tentangnya, baik yang menyangkut tentang wanita atau pramugari lain yang mendekat. Mas Ganta selalu menjaga cintanya dengan cukup melihatku. Sayangnya, dia tidak tahu bagaimana carut-marutnya pikiranku ini. Kurasa dia tak perlu tahu karena aku akan segera sembuh dan jadi manusia normal seutuhnya.

            Mungkin cuma Mas Ganta, orang yang mengajariku kasih sayang antara lelaki dan wanita. Dia baik dan sabar, penyayang dan ngemong. Sayang, dia hanya tak tahu rahasia kelam masa laluku. Kurasa tak perlu tahu, sebab kuingin dia jadi masa depanku saja.

---

“Turunlah ke lobi, ayo makan lontong balap, Shanala!”

            Pesan yang masuk hanya kubuka tanpa kubalas. Kupilih untuk menganggurkannya di atas kasur yang sudah disemprot desinfektan. Baru saja selesai bebersih sesampainya di Hotel Ibis Kota Surabaya. Dengan lancangnya, pesan Captain Markus masuk ke ponselku. Dia mengajak makan, memang tidak berdua, tapi aku malas. Perut sudah kenyang karena roti kacang merah sisa penerbangan.

            Aku tak mood keluar kamar. Ingin istirahat saja karena lelah 6 kali take-off landing hari ini. Mumpung sendirian di kamar karena Mbak Astri sudah turun ke bawah. Dia jadi roommate-ku kali ini. Bagus, dia tak terlalu kaget dengan kebiasaanku. Nggak bagusnya karena dia amat berisik macam mesin cuci dua tabung.

“Capekkah, Nala?”

Sebuah pesan kembali membuat layar ponselku menyala. Namun, kali ini mataku langsung semangat saat membaca tulisan itu. Sebab Mas Ganta yang mengirimiku pesan di saat yang tepat, saat aku memikirkannya. Rupanya dia ingin mengajakku bertemu. Tentu saja langsung kuiyakan.

Capek, tapi bisa hilang kalau kita ketemu”, begitu balasku.

            Tanpa menunggu tanggapan, dengan cepat aku berganti piyama menjadi dress biru tua selutut katun motif dandelion. Kugerai rapi rambut dengan jepit kecil di poni supaya tak mengganggu. Kuoles lipcream warna latte di bibir tipisku. Dua kali menyemprot parfum lili dan magnolia ke belakang telinga, lantas tersenyum kecil ke kaca. Bahagia rasanya. Hatiku berbunga-bunga wangi baunya.

            Namun, sebelum pergi harus kupastikan tak ada lampu yang menyala. Bagaimana kalau kabelnya korslet lalu kebakaran? Lalu, semua colokan sudah tercabut apa belum? Biasanya Mbak Astri paling suka colokin charge ponsel seharian. Bagaimana kalau memicu ledakan? Bisa jadi, ‘kan? Itu semua penting sih!

“Sempurna, semua udah aman,” gumamku sambil berjingkat pelan menuju kaca sekali lagi.

            Semua lubang kancing sudah tertutup, ‘kan? Jangan sampai aku lupa mengancingkan baju, bisa malu kalau dalamanku dilihat Mas Ganta nanti. Sudah, semua sudah sempurna. Aku siap bertemu dengan dunia cintaku sebentar lagi.

“Kutunggu di lobi, ya?” ucapnya pada panggilan telepon saat aku baru menyemprot tombol lift dengan alkohol.

Aku berdecak kecewa. “Jangan, Mas. Ada Captain ….” Suaraku tertahan gantung, dia tak boleh tahu hal ini.

“Memangnya kenapa?” tanyanya bingung.

“Aku nggak ikut makan bersama, alasan ngantuk. Masa iya aku turun, Mas?” ucapku berkelit.

“Oh santai aja, Na! Ini aku udah disapa Captain Markus,” ucapnya santai.

Captain!” sapanya dari seberang, pasti mereka sudah bertemu.

            Gawat, bagaimana kalau mereka membicarakanku? Kalau hubungan kami tercium bagaimana? Tunggu, bukankah rekan kerjaku rerata sudah tahu kalau Mas Ganta memang kekasihku. Ini sudah rahasia umum.

            Namun, aku tetap saja gugup saat akhirnya bertemu dengan Captain Markus dan Mas Ganta di dekat lobi. Dengan percaya dirinya, Captain Markus membuat sebuah percakapan saat melihat mukaku.

“Oh jadi nggak makan tadi karena mau jalan sama Ganta?” tanya sekaligus cibir Captain Markus dengan wajah tak enak.

Aku hanya menggangguk pelan penuh hormat, ingin sekali cepat pergi. “Mendadak, Captain,” jawabku pendek sambil menempatkan diri di sebelah Mas Ganta.

“Mereka emang pacaran, Captain,” ceplos Mbak Astri sambil tersenyum malu-malu menyembul dari arah belakang Captain Markus.

“Aih, nggak kok, Captain. Cuma dekat,” bantahku malu-malu dengan hati yang sudah eneg.

Mas Ganta hanya menatapku datar. Lantas beralih pada Captain Markus dengan wajah hangat. “Izin Capt, boleh saya ajak krunya, ya?” pintanya.

“Kamu rute mana? Kok bisa pas nginep di SBY juga?” tahan Captain Markus sepertinya tak suka aku pergi.

“Siap, besok saya ke Bali lanjut ke Sidney, Captain,” jawab Mas Ganta serius.

“Ya udah, jangan lama-lama, ya?” pesan Captain Markus sambil berlalu.

“Mbak, saya pergi, ya?” pamitku pada Mbak Vero yang melongo bingung akibat situasi.

Dia mengangguk kacau. “Eng … I – iya … hati-hati, ya?” ucapnya gagu.

            Mbak Vero memang supervisorku kali ini, tapi kemana pun aku pergi harus sepengetahuan Captain Markus juga. Risiko jadi junior ya begini, harus siap diatur dan tak punya privasi. Kecuali hubunganku dan Mas Ganta ini, kami masih sedikit menyamarkannya.

            Akhirnya, kami berhasil keluar hotel meski diikuti wajah kecewa dari Captain Markus. Tak peduli dan lebih memilih mengekor langkah cepat Mas Ganta. Dia mengutak-atik ponselnya sambil sesekali melirikku. Aroma tubuhnya yang wangi membuatku makin rindu, tapi malu-malu untuk sekedar membalas lirikannya.

            Terdiam aku sambil mengikutinya masuk ke sebuah Avanza hitam yang berhenti di depan hotel. Taksi online pesanannya ini entah akan membawa kami ke mana.

“Kita mau ke mana, Mas?” tanyaku pelan sambil membuka pintu Avanza yang dipesan Mas Ganta.

“Keliling Surabaya, ya? Biasalah ngabisin waktu lihat senja,” ajaknya sambil menatapku aneh.

            Wajar, langkahku masih tertahan karena tanganku sedang mengusap kursi mobil dengan tisu basah antibakteri. Seperti kebiasaanku selama ini. Bisa jadi bekasnya orang, ‘kan? Kalau orangnya sehat nggak masalah, kalau penyakitan gimana?

“Mulai lagi deh anehnya,” cibir Mas Ganta masih tak terima kebiasaanku.

Dia saja belum bisa mentolerir kebiasaan anehku kok, bagaimana bisa aku jujur atas semua? Bisa pingsan berdiri dia jika tahu berantakannya hidupku.

Aku nyengir sambil membentuk Namaste di dada. “Udah kebiasaan, Mas. Maaf …,” ucapku.

“Kalau dilihat driver-nya gimana?” Mas Ganta menunjuk jok depan dengan suara pelan.

“Nggak lihat kok,” tepisku polos.

“Aneh banget deh kamu, untung cantik,” ceplosnya cuek sambil memainkan ponsel.

            Aku hanya mesem kalem tanpa menjawabnya. Kemudian duduk di sebelahnya yang terlihat cuek. Dia selalu tampan dalam balutan kaos biru berkerah dan celana jins. Masalah yang barusan, tak mengapa jika Mas Ganta belum bisa menerimaku. Mungkin seiring waktu dia akan mengerti.

            Bahwa aku adalah penderita OCD, sebuah gangguan kepribadian.

            Perjalanan kami sampai akhirnya di sebuah rumah makan seafood di pinggiran Kenjeran. Aku memesan ikan asam manis dan dia memesan kepiting lada hitam. Kami makan dengan lahap – walau sesekali aku masih berpikir makanan ini bersih atau tidak. Kusamarkan dengan memandang wajah gantengnya. Sampai pada sebuah getaran halus mampir ke saku celana.

“Ya halo, Mbak,” kataku serius pada panggilan telepon Mbak Vero saat sedang makan bersama Mas Ganta.

Sorry, Na, gue ganggu. Bukan ingin gue, tapi kapiten minta lo balik jam tujuh,” ucap Mbak Vero tak enak.

Wajahku kecut, aku sedikit membelakangi mas Ganta. “Kok gitu kenapa, Mbak?” bisikku mulai tak suka.

Mas Ganta mencolek lenganku. “Kenapa, Na?” bisiknya yang kubalas gelengan.

“Ya udah nanti aku balik jam setengah tujuh malam, Mbak,” putusku pelan.

Mas Ganta menelisik wajahku. “Kamu disuruh balik?” Aku menggangguk.

Dia membanting sendoknya hingga berdenting. “Asli ya itu kapiten, sirik amat sih? Ini udah dua kali dia recokin kita, Nala,” ujarnya emosi.

“Ya mungkin emang beliau taat aturan, Mas,” tepisku sambil memasukkan ponsel ke saku lagi.

“Kayak nggak suka gitu kita pacaran,” balasnya masih emosi.        

Kusenggol lengannya kecil. “Sabar, Mas. Udah makan aja. Setengah jam lagi harus balik,” ajakku tenang.

“Terus membuang pemandangan senja seindah ini!” Dia menunjuk langit dengan wajah tegang. Mas Ganta sampai menahan tanganku dengan wajah merah padam.

            Aduh, mana dia belum cuci tangan habis pegang uang.

Kutatap langit yang jingga. “Udahlah Mas, nggak apa-apa. Udah satu setengah jam kita bersama, ‘kan?” tanyaku pelan. Aku bangkit dari meja makan dan berjalan menuju pagar restoran yang berbatasan langsung dengan pantai berbatu.

Mas Ganta menahan tubuhku dengan tubuh tinggi besarnya. Dia menempelkan dagunya pada pundakku. Secara tidak langsung dia memelukku dari belakang. Maaf, bukannya tidak suka, aku hanya tidak nyaman dengan kontak fisik.

“Besok aku ke LN, kamu mau apa?” tanyanya lirih di dekat telingaku.

Membuatku langsung beringsut ke sisi lain dengan gerakan halus. Meredakan jantungku yang tegang. “Nggak ada, yang penting Mas selalu selamat,” ucapku tak berani memandangnya. Selalu kikuk dan tidak nyaman kalau dia sudah mulai mendekati dan mengajak kontak fisik.

“Lihat aku, Nala!” suruhnya sambil celingukan dan menjangkau wajahku.

Aku terus menunduk, tapi dia berhasil menangkap wajah tak nyamanku. “Apa sih?” ucapku pelan dan malu-malu.

“Aku minta bekal darimu,” ucapnya sambil mendekati wajahku.

            Sudah kuduga. Dia pasti ingin mengecupku barang sekecup dua kecup. Kenapa suasana kafe ini sepi, sih? Sehingga dia mudah mencari kesempatan dalam kesempitan. Aku tak suka kontak fisik.

“May I kiss your lips, ya?” bisiknya lembut dengan aroma kepiting saos padang menari di hidungku.

Aku menggeleng ragu. “Mas Ganta belum gosok gigi, bau makanan,” tepisku polos.

Dia memandangku lurus. “Jangan bilang kalau aku harus gosok gigi sebelum cium kamu, ya!” ucapnya tak percaya.

“Iya,” jawabku pendek dan menatapnya gusar.

Dia mengacak rambutnya. “Auw, Nala! Kamu bikin aku depresi!”

            Hem, apa Mas Ganta paham benar rasanya depresi? Sepertiku ini?

“Mas, kayaknya aku harus balik!” Kusodorkan ponsel yang menyala menampakkan nama Captain Markus.

Kali ini aku bersyukur karena kapten pesawat ini meneleponku. Dia menelepon di saat yang tepat sehingga aku bisa menghindar dari kontak fisik. Semoga saja bisa. Aku bisa bebas berkasih mesra tanpa perlu menyentuh kulitnya. Ya, apa itu aneh?

“Dia lagi!” tudingnya frustrasi. “Selalu aja gagal setiap minta bekal. Kenapa sih, Na? Dia suka kamu kali!” tuduhnya dengan suara meninggi.

Kali ini sebuah tuduhan, yang sangat benar. Kalau dia sampai tahu, tamatlah riwayatku.

“Dia suka kamu, ‘kan?” desaknya lagi sambil berkacak pinggang.

Kubalas dengan eseman lembut sambil menyentuh lengan bajunya. “Yang penting aku cinta sama Mas Ganta.”

“Hah,” dia menghela napasnya berusaha sabar. “Sama, aku juga cinta sama kamu, Shanala. Cantikku,” rayunya mulai membelai pipiku lembut.

            Oh tidak! Hentikan, dia hendak mendekati bibirku! Please, aku nggak suka kontak fisik. Gimana cara bilangnya sih?

“Mas,” tahanku pada dadanya yang membuat makin kesal. “Please, kita balik aja, ya! Aku masih junior, nggak mau kena omel!” tepisku yang disambut oleh dia yang melengos frustrasi.

“Ya udah, bisa apa!” bentaknya pada udara sambil mengacak-acak rambut rapi dengan satu tangannya yang masih di pinggang. Dia tampak sangat sakit kepala.

Maafkan aku, Mas Ganta! Kali ini aku berhasil terselamatkan lagi dari yang namanya kontak fisik dua sejoli yang sedang berpacaran. Sungguh, tak bisakah adegan itu di-skip saja? Aku capek steril kulit terus menerus. Bagaimana kalau dia punya penyakit mulut yang menular? Itu mengerikan!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status