Share

Episode 6 Roman Arunika

Bu Rasmina tertawa pongah sambil menatap wajah kosong Nala. Ibu paruh baya itu bahkan tak menurunkan pandangan sombongnya sambil melipat tangan di depan ruangan crew centre. Entah apa alasannya cepat-cepat datang ke tempat kerja Shanala setelah mendapat info dari mantan suaminya. Mungkin untuk sekedar menengok putri bungsunya, atau hanya ingin menghancurkan kehidupan si bungsu yang tak pernah indah.

“Jangan di sini!” larang Nala dingin sambil berjalan keluar.

Niatnya mengusir sang ibu dari depan ruang crew centre agar mereka leluasa berdebat atau sekedar melepas emosi. Nala tak mau makin merusak namanya di tempat itu. Meski masih tinggi hati, bu Rasmina mengekori Nala. Mereka sampai di sebuah kafe bandara yang sepi dan sedikit temaram. Sepertinya suasana cocok untuk berdebat panas melepas “rindu pahit”.

“Mau apa, Bu?” Sapaan Shanala lebih kepada sebuah sindiran tajam. Apalagi mata sembabnya seolah badai yang siap menerjang siapa saja.

Bu Rasmina berdecak sombong. “Cih! Pantas kamu tak merangkak pulang, ternyata kamu udah jadi pramugari, to?” sindirnya sembari memandang Nala dari ujung kepala sampai kaki.

Mata Nala menajam. “Mau apa, Bu?” ulangnya tambah dingin.

“Hah, sombong benar kamu, ya! Udah enak hidupmu?” cetus judes Bu Rasmina. Jari runcingnya menunjuk mata Nala. Mulut tajam ibu paruh baya itu tak berhenti berceloteh dan semua kalimatnya bernada menyakitkan.

“Kalau bukan karena bapakmu yang bilang kamu di sini, aku juga nggak mau susah payah datang. Aku cuma minta tagihan perumahan atas namamu. Kamu masih numpang alamat rumahku,” ucap Bu Rasmi sombong. Rupanya niat kedatangannya adalah meminta uang atas tagihan yang sama sekali tak digunakan Nala.

Nala mendesis remeh. Dia membuang muka sambil menutup mulutnya dengan gulungan tangan. “Hanya karena itu ibu menemui saya yang sudah setahun diusir?” Suara Nala meninggi. Matanya melotot tajam pada sang ibu.

            Dia tak peduli dengan pandangan beberapa orang yang lalu lalang sambil menatap mereka. Nala teramat kacau hingga tak peduli sekitar karena perbincangan serius ini. Masalah yang dia hadapi ini cukup sensitif karena berhubungan dengan orang yang menoreh luka di hidup masa lalunya.

“Saya? Gaya bahasamu sok banget!” Suara Bu Rasmi tak kalah meninggi. Emosinya sudah menggumpal di ujung bibir, dan matanya sudah mendelik dengan sempurna. Dia tak menyangka si lemah Shanala mulai melawan.

“Saya bukan anak ibu lagi!” tegas Nala emosi sambil menunjuk dadanya kuat-kuat.

“Bagus, teruskan saja durhakamu itu!” sindir Bu Rasmi emosi. “Keras kepalamu itu nurun siapa? Bapakmu pasti!” tunjuknya kemudian.

Nala melengos agar tak kena tangan ibunya. Dia terlalu enggan menerima sentuhan apa pun dari sang ibu. Nala kemudian memicingkan matanya karena hatinya mulai sangsi. “Bapak yang mana, Bu? Kandung atau tiri? Bapak yang saya kenal selama ini bukan bapak kandung saya, bukan?” sindirnya sempurna.

Mata Bu Rasmi terpaku pada suatu titik, kemudian mulutnya terbuka dan mendesis, “sialan. “Kenapa dia harus membicarakan hal macam itu, hah!” bentaknya kuat.

Nala membusungkan dada. “Kenapa tidak? Seenggaknya saya tahu apa alasan Ibu membenci saya. Karena saya anak haram,” ucapnya berani.

“Diam kamu!” bentak Bu Rasmi keras hingga napasnya tersengal-sengal.

Nala tak gentar. Dia tetap menantang sang ibu dengan gelontoran-gelontoran kalimat penuh emosi yang tertahan dari masa lalu. “Sudah puaskah Ibu menemukan saya? Puaskah mempermalukan saya? Jika sudah, saya akan benar-benar keluar dari rumah itu!” tekadnya kuat dengan pandangan tajam tanpa gentar.

Bu Rasmi menggebrak meja hingga air di gelas tumpah sedikit. “Bagus, akan segera kutendang kamu dari KK!” timpal Bu Rasmi semangat walau pelayan kafe mulai berbisik-bisik tak nyaman.

Mereka duduk berhadapan, tapi tanpa saling melihat. Dengan napas yang sama-sama kembang kempis, keduanya masih berpikir kalimat apa yang perlu terlontar. Mengingat emosi masih menyelimuti atmosfer saat ini. “Kenapa Ibu sangat membenci saya? Bukankah saya terlahir dari cinta dan kebahagiaan Ibu?” Nala akhirnya angkat bicara setelah terdiam, dia menyindir sang ibu dengan sorot mata tajam.

Darah Bu Rasmi mendidih. Bibirnya gemetar hebat dengan hidung yang kembang kempis tak karuan. Seketika dia meraih gelas di hadapannya dan menyiramkannya pada Nala. “Kurang ajar kamu, anak bajingan!” umpat Bu Rasmi dengan suara tinggi.

            Kontan pelayan toko dan beberapa pengunjung kafe makin resah. Seketika mereka memanggil sekuriti bandara. Apalagi Nala diketahui merupakan pramugari salah satu maskapai nasional dari seragam di badannya. Dia berhak mendapat perlindungan dari tempatnya bekerja.

“Maaf, Bu. Silakan keluar dan jangan membuat keributan,” tegur sekuriti sekaligus mengusir Bu Rasmi. Badan ibu paruh baya itu dipapah erat oleh dua sekuriti.

“Lepasin saya!” ronta Bu Rasmi kuat hingga kedua lelaki tegap itu tak kuasa. Daripada mereka dianggap melecehkan perempuan.

Bu Rasmi menatap tajam punggung Nala yang menjauh pergi dan kemudian beralih pada sekuriti yang kelihatan kikuk. “Bukan main, ya, kamu! Memanfaatkan badan demi pekerjaan itu. Sudah berapa pilot yang tidur denganmu, Nduk? Nggak yakin kamu masuk dengan halal, apalagi dengan otakmu itu …,” racaunya ngawur setengah berteriak.

            Tak mau dipermalukan lagi, Nala berhenti dan berbalik menatap tajam ibunya. “Teruskan, Bu! Terus! Lampiaskan semua kebencian Ibu padaku! Mungkin sampai aku mati pun Ibu akan tetap membenciku. Kurasa mati lebih baik daripada hidup sedunia sama Ibu!” ucap Nala dengan mata menyala penuh air mata.

Nala meraih-raih tas kecil di bahunya. Tanpa melihat dia mengambil dompet panjang warna putihnya dan mendatangi sang ibu lagi. “Anggap saya tiada! Jangan datang lagi seperti ini, memalukan Ibu saja!” ucap Nala pelan dan dingin sambil melempar koin dan beberapa lembar uang dari dompetnya.

“Ini harga saya, terima kasih telah mengizinkan saya numpang rahim Ibu!” pungkasnya kemudian berbalik tanpa izin. Dia tak tahan lagi melihat wajah sang ibu yang terlihat kehilangan kata-kata.

            Shanala berlari cepat dengan mata berleleran, tanpa ragu dan menoleh. Dia takut sang ibu akan mendatanginya dari belakang, menjambak rambut dan menendang punggungnya. Ya, seperti masa kecilnya dulu. Nala hanya takut disakiti makin dalam lagi.

            Tanggal 5 Maret 2019 adalah hari yang buruk bagi Shanala, bukan? Hari macam apa ini, pikirnya. Dia rasa mungkin yang terburuk selama 19 tahun menghirup dunia. Nala rasa hidup tak lagi berguna. Ditinggal Ganta dan dipermalukan sang ibu untuk kesekian kalinya, apalagi ini di tempat kerja yang membuatnya bangga pada diri sendiri. Dia mulai menyerah atas hidup ini.

---

            Hari telah berganti pagi, pun dengan kalender yang menunjuk angka 6 bulan Maret tahun 2019. Pagi ini tak begitu cerah bagi Shanala meski matahari bersinar hangat dari ufuk timur. Semenjak pagi dia tak sesemangat biasanya. Dia tak lagi menyemprot parfum vanilla di kedua sisi telinganya. Bahkan, dia tak memakai pengharum apa pun di badannya.

Menurut Nala, aroma badannya mungkin akan mengganggu orang lain. Dia tak mau menyusahkan orang lain. Sebuah pemikiran aneh yang hanya akan muncul saat Nala kambuh. Saat dia merasa depresi, dia selalu berpikir aneh. Semacam menyakiti diri sendiri atau orang lain di sekitarnya. Apalagi situasi sekitar sedang tak bersahabat dengannya.

Nala merasa seisi dunia sedang membenci dan mengutukinya.

            Beda situasi saat dia berseragam atasan kebaya putih dan bawahan rok batik parang warna biru tosca. Dia sampai berkali-kali merapikan baju di depan kaca. Memeriksa ulang apa seragam kerjanya itu sudah sesuai dengan riasan mata dan wajahnya. Nala memeriksa hingga tujuh kali sebelum yakin. Ini sangat mengganggunya.

            Sama seperti dunia luar yang tak berhenti mengganggu Nala. Ingin hati menyelesaikan urusan dengan sang ibu, nyatanya tidak bisa. Ada yang merekam peristiwa memalukan di kafe bandara kemarin lalu diunggah ke media sosial. Tentu sudah menjadi konsumsi publik. Terkenal, tapi itu sesuatu yang buruk. Benar, video penganiayaan sang ibu kemarin menjadi terkenal di internet dalam waktu singkat.

            Mungkin itulah yang mendasari Nala dipanggil untuk kedua kalinya ke kantor di hari sepagi ini. Pasti untuk memberi penjelasan pada pimpinan terkait ulahnya yang tak berhenti-henti. Gadis itu sudah pasrah sepertinya. Dia hanya menurut saat disuruh datang ke kantor meski dengan sedikit sinis dan bentakan.

            Tanpa peduli hangatnya sinar matahari, roman Nala terlihat mendung. Apalagi dia tak lagi mempedulikan penampilan – hidupnya terasa tak berguna lagi. Padahal dia harus menghadapi wajah pimpinan dan juga sang ibu yang kebanyakan menatap angkuh. Beda dengan Vanya – yang ternyata ikut – yang terlihat merindukan sang adik. Mereka bertiga sudah ada di ruang bu Natalia siap dengan pendapat dan pemikiran masing-masing.

Beda dengan Vanya yang memang sejak awal sudah antusias untuk bertemu Nala. Dia menyambut Nala dan menghambur ke arahnya. “Ya Allah … adikku udah jadi pramugari. Kamu sungguh cantik, Nala,” puji Vanya bahagia.

Nala membuang mukanya ke arah yang lain. “Apa kabar, Mbak? Tidak bahagiakah ibu bersamamu? Kenapa masih mencariku?” sambutnya dingin.

Bu Rasmina merasa tersindir. Dengan langkah tegas dia mendatangi Nala yang baru saja menutup pintu, wajahnya mendidih. Namun, Nala hanya menyambutnya dengan wajah datar dan hampa. “Oh, nantang kamu, ya! Ini yang kamu sebut ibu ada di sini!” Bu Rasmina menunjuk dadanya emosi. Wajahnya tak pernah santai.

Vanya menengahi ibu dan adiknya dengan sabar. “Sudahlah, Bu. Yang tenang!” tegur Vanya tak suka lantas mengelus pundak sang adik. “Nala, maafin Ibu, ya!” pintanya lembut.

Bu Rasmina menarik tangan Vanya kasar hingga anak pertamanya itu berdiri tepat di sisinya. “Hei Nak, Ibu tak perlu meminta maafnya! Nggak perlu!” tegasnya tajam.

Pandangan Vanya pada sang ibu menajam. “Bu, sudahlah! Ibu sudah janji sama Vanya untuk nggak bikin keributan lagi. Kita udah cukup malu, Bu!” tegasnya berulang-ulang.

Bu Rasmina mengendur lantas duduk dengan napas tersengal-sengal. “Salahkan dia tuh!” Kemudian menunjuk Nala yang masih berdiri meski mulai gontai.

“Semua memang salah saya, Bu!” ucap Nala datar tanpa menatap sang lawan bicara.

“Bisa kita bicara lebih baik lagi?” lerai Bu Natalia merasa tak dihargai.

Nala akhirnya lebih memilih duduk menghadap meja Bu Natalia. “Izin Bu, semua memang salah saya. Saya telah mencoreng nama perusahaan.”

Bu Natalia menatap Nala dan sang ibu bergantian dengan wajah kacau. “Lantas kenapa kamu tidak kapok mengulangi kesalahan, Mbak Nala? Teguran kemarin bukan bualan lho! Bahkan, pagi ini saya harus membacakan keputusan komite disiplin atas kasus dugaan perselingkuhanmu,” ceplos bu Natalia tajam.

“Kenapa kamu harus bertengkar dengan seragam itu, Mbak? Jujur saya kecewa padamu, saya sendiri yang memilihmu saat seleksi,” sesal Bu Natalia kemudian.

Nala hanya menunduk. Hidupnya makin tersudut hingga hanya bisa menelurkan beberapa bulir air dari matanya. Nala makin merasa tak berguna hingga hanya bisa meremas-remas ujung bajunya, seperti saat dia kalut selama ini.

“T – tunggu … dia jadi selingkuhan?” Bu Rasmina menunjuk lengan Nala lalu kembali emosi. Kali ini dia menjambak rambut Nala hingga sanggulnya berantakan. “Sudah kuduga kesuksesanmu itu dari cara nggak bener! Memalukan kamu, anak penuh dosa!” kutuknya diiringi desisan sakit Nala dan pekikan tidak suka Vanya.

            Nala memejamkan mata dari rasa sakit dan malu. Mungkin sudah jadi nasibnya dipermalukan ibu kandung seumur hidup seperti ini. Nala sungguh lelah dengan semua ini.

Bu Natalia menggebrak meja emosi. Dia bahkan sampai berdiri untuk menguasai situasi, menghadapi seorang ibu yang sedang main hakim sendiri. “Mohon tenang, Bu!” tegur Bu Natalia emosi karena beberapa awak kabin terlihat menguping dari kaca ruang itu.

“Bu, please!” mohon Vanya malu. Sementara itu, Nala kebanyakan bungkam.

Akhirnya, bu Rasmina melepas jambakannya dan membiarkan Nala kembali duduk dengan kusut di kursi. Matanya kosong dan bibirnya hanya bergetar kecil saat Bu Rasmina masih meracau tak jelas mengutuki Nala. Melihat situasi mulai redam, Bu Natalia membuka map di depannya. Napasnya ditarik panjang sebelum mengucap kalimat berat ini.

“Jadi, keputusan komdis adalah …,” Bu Natalia menghela napas beratnya lagi. “Pramugari atas nama Shanala Arunika No ID. 201901 dinyatakan bersalah dan mendapat hukuman grounded selama dua bulan. Penerbangan hari ini adalah last flight sebelum grounded.” Suara itu memukul telak hati Nala. Dia mendongak dan menatap Bu Natalia tidak percaya. Kedua matanya yang penuh air makin nanar tidak fokus.

“Tapi …,” Suara Nala bergetar. “Saya tidak bersalah, Bu. Sumpah!” belanya kuat-kuat.

“Captain Markuslah yang menggoda saya. Kenapa dia tidak dipermasalahkan di sini? Ini semua tidak adil!” protes Nala lagi dengan histeris.

“Ini sudah hukumanmu karena kualat sama ibu kandung!” vonis Bu Rasmina tak mau kalah dari sisi lain. Namun, Nala tak mau melihat wajah ibunya. Dia tetap menatap tajam ibu pimpinannya yang terlihat galau.

Bu Natalia meremas kedua tangannya. Matanya penuh sesal tak terucap. “Maaf Mbak, bukan hal itu yang membuat kamu dilarang terbang, melainkan viralnya video kemarin.” Bu Natalia terlihat sayang, Nala adalah awak kabin andalannya.

Nala mengendur dan menunduk hancur. “Bukankah saya cukup mengklarifikasi dan meminta maaf? Apakah ini terlalu tidak adil, Bu?” tanyanya sentimental.

“Maafkan saya, Mbak. Saya tidak bisa berbuat banyak. Mereka punya keputusan sendiri.” Bu Natalia berusaha meraih punggung tangan Nala yang dingin dan berkeringat.

            Shanala hanya bisa menunduk sambil merasakan dua buah air matanya menetes. Mungkin di balik keputusan ini adalah pihak yang berpengaruh besar, istri Captain Markus misalnya. Ya, mereka bukan orang sembarangan. Nasib pramugari tahun pertama – pegawai kontrak pula – pasti cuma seujung kuku bagi mereka.

Tawa sombong menggaung dari sisi yang lain. Dia terdengar bahagia sekali di atas penderitaan Nala. “Kasian deh. Sombong betul kemarin! Hei, Nduk, kamu lupa apa? Kartu keluargamu masih ikut aku! Aku masih wali hakimmu! Nggak malu apa sombong saat kamu masih numpang di rumahku!” Bu Rasmina makin menjadi.

“Ibu, udahlah,” lerai Vanya tak suka.

Nala akhirnya menatap ibunya dingin. Kakinya yang letih memilih mendatangi si ibu. “Puaskah, Bu?” sindir Nala dingin tanpa gentar. “Menghancurkan hidupku kayak gini, udah puas?” bentaknya dengan suara meninggi.

“Mbak Nala, mohon tenang! Anda menghargai saya atau tidak?” tegur Bu Natalia tegas.

Nala kembali memandang iba bu Natalia, masih dengan tangis sesenggukan. “Saya mohon maaf, Bu. Kali ini saja, izinkan saya mengeluarkan semua. Ini tertahan selama 19 tahun, Bu.”

“Aku,” Nala menunjuk dadanya keras. “Nggak pernah minta dilahirkan sama Ibu! Apalagi dari hasil hubungan haram macam itu! Ya, aku bukan anak Ibu dan bapak, ‘kan?” Nala tertawa pongah. Ekspresi yang aneh, saat mata menangis mulutnya justru tertawa lebar. Nala seperti manusia kurang waras saat ini.

“Kenapa sekarang meminta kontribusi dariku? Jangankan dibesarkan, minta lahir dari Ibu saja aku nggak pernah!” ujarnya tajam. Mulut tipisnya tiada henti bercerocos. Semua emosi yang ditahan-tahan meledak jua.

Hanya bisa membuat Bu Rasmina terhenyak, sesaat kemudian matanya menajam karena tak terima dengan perlawanan Nala. Sampai kapan jua Nala tak boleh menang melawan kehendaknya. “Kamu kok kurang ajar? Mau kuhajar kamu!”

Bu Rasmina mendatangi Nala bak seorang macan hendak menerkam mangsanya. Tak kendur, Nala justru melawan. Dia merasa hidupnya tak bernilai lagi, hingga mati pun sudah siap.

“Iya, bunuh saja aku, Bu! Sini, cekik!” Nala meletakkan tangan ibunya di leher.

“Ya Allah, Nala! Ibu!” lerai Vanya malu kembali meletakkan badannya di antara sang ibu dan adiknya. “Sudahlah, sudah! Hentikan semua ini!”

            Bisikan dari luar itu makin seru. Lagi-lagi, Nala jadi bahan pembicaraan utama di kalangan awak kabin. Tak ada hentinya cobaan menerpa gadis cantik itu. Bahkan, sebuah suara pukulan membuat mereka makin seru berbisik dari luar, ada beberapa mulut yang terpekik kaget bukan main. Tentu saja akibat sebuah insiden, Nala baru ditampar ibunya dua kali di pipi.

            Di dalam ruang, semua terhenyak pada pemandangan Bu Rasmina yang masih mengacungkan tangannya di depan wajah Nala. Sementara itu, Nala sudah berdiri miring dengan satu tangan di pipinya dan satu tangan berpegangan pada kursi. Air matanya tak terbendung lagi. Mukanya merah padam menahan sakit dan malu luar biasa.

“Terima kasih Bu Natalia. Saya undur diri,” pamit Nala dingin sambil menyentuh pipinya.

Dia beringsut dan berhenti sebentar di depan ibunya. “Terima kasih atas kasih sayang Ibu yang menyakitkan!” pungkas Nala sambil beranjak pergi.

            Nala keluar dari ruangan. Memecah kerumunan yang membicarakannya. Dia tak peduli lagi, seolah telinganya tuli matanya buta. Dia hanya perlu bertahan sebentar sebelum menjalani last flight. Setelah ini dia harus bertahan dengan hukuman dua bulan tidak terbang. Entah mampu atau tidak, pertahanan Nala terlalu lemah.

            Selemah cara memandangnya pada lelaki itu. Ada Ganta yang sedang memandangnya kacau di dekat tangga pusat kru kabin. Mereka bertukar pandang dengan Nala yang kebanyakan tidak fokus. Kakinya yang gontai mendatangi posisi Ganta berdiri.

“Kita perlu bicara,” ajak Nala dingin.

Ganta menurut dan mengikutinya tanpa banyak kata. Rasa-rasanya banyak kesalahan yang perlu diluruskan. Dan benar saja, saat sampai di lorong yang sepi, dia menahan tangan Nala. “Kamu nggak apa?” tanyanya aneh.

Nala menampik tangan Ganta keras. “Apa ini, Mas? Peduli?” sindir Nala.

Dia duduk di kursi kayu dengan lemas. “Di antara kita tak ada lagi rasa peduli, bukan?” sambung Nala.

“Nala …,” panggil Ganta ragu sambil jongkok di hadapan Nala. “Maaf … karena sudah memukulmu kemarin,” sesalnya terbata-bata sembari terus menahan wajah Nala yang melengos.

Nala kemudian memandang Ganta lurus. “Ada angin apa tiba-tiba membahas itu, Mas?”

Ganta terlihat ragu dan gulana. Entah apa dia harus jujur atau bagaimana tentang peristiwa kemarin. Dia menggosok hidungnya gusar berulang-ulang. “Aku hanya sedang emosi kemarin. Maaf kalau aku mempermainkanmu, sebenarnya aku ada … taruhan bersama teman-temanku. Jika aku bisa mendapatkan ciumanmu, aku dapat 100 dolar,” jelas Ganta gamblang.

Nala memandang Ganta tak percaya. “Apa aku semurahan itu, Mas? Apa aku semalang itu?” tanyanya gemetaran. Hatinya yang hancur makin lebur saja.

“Maaf …,” desah Ganta tanpa berani menatap Nala lagi.

“Tidak, jangan ucapkan apa pun!” bentak Nala keras. “Kamu sadar nggak sih lagi nyakitin aku?” Dia bahkan menggedor dadanya penuh emosi.

“Iya maka dari itu aku minta …,” Ganta berusaha meraih simpati Nala dengan berusaha memegang tangannya.

Nala tetap kuat menampik sentuhan Ganta yang terasa makin menjijikkan. “Tidak, jangan meminta maaf dan sejenisnya karena aku tak bisa memaafkan kamu!” Nala makin menangis. “Apa aku nggak pantas jadi manusia, hingga hidup seperti ini?” sindirnya dengan mata setengah memicing.

“Katanya kamu peduli sama aku! Katanya kamu cinta!” Nala memandang Ganta tajam. “Kenapa, Mas …?”

“Nala, aku …,” ucap Ganta yang tak pernah tuntas.

“Nggak,” Nala menutup kedua telinganya. “Aku nggak perlu penjelasan apa pun lagi. Aku nggak pernah maafin kamu, Mas! Selamanya! Kamu dan ibu adalah deretan orang yang akan selalu mengingatku kelak!” tegas Nala penuh penekanan.

            Nala berjalan pergi meninggalkan Ganta yang termangu kosong. Lelaki itu tak bisa menyusul Nala yang entah pergi ke kamar mandi atau di sudut apron bandara. Nala hanya ingin menenangkan diri, setidaknya untuk last flight nanti malam ke Jayapura. Dia harus lolos medical check-up demi penerbangan kesayangannya itu. Ya, pekerjaan kesukaan yang akan dilepasnya sebentar lagi.

“Aku sayang banget sama dunia ini, tapi kenapa mereka tetap menendangku? Kenapa aku lahir ke dunia ini hanya untuk menderita?” batin Nala sambil mengelus foto di ponselnya.

            Waktu berjalan dengan cepat hingga sekarang dia sudah ada di pesawat dan memulai pekerjaan terakhirnya. Dia sedang bersandar lemas di pintu lavatory pesawat setelah selesai melakukan persiapan sebelum terbang. Air matanya kadung tak terbendung saat melihat dan mengenang suasana di dalam pesawat.

Apalagi saat memandang potret saat dia tersenyum manis ke kamera bersama para pramugari, rekan dan seniornya. Nala ingat betul itu terbang perdananya. Sangat menyenangkan, sebab semua orang menyukainya. Meski penuh debar, tapi Nala meninggalkan kesan yang baik pada jajaran awak kabin seniornya. Semenjak saat itu mereka menyukai Nala. Tak seperti hari ini, berbalik begitu saja.

“Aku nggak mau dipecat ….” Tangisnya kembali luruh saat berkaca di lavatory NA 677 tujuan Jayapura transit Ujung Pandang.

            Dia telah bersiap untuk terbang terakhirnya sebelum dihukum. Entah apa yang akan dijalaninya setelah ini. Mungkin dia harus mencari pekerjaan lain supaya tak mengais makanan sisa. Mungkin last flight ini ditujukan untuk memberinya pesangon sebelum dipecat. Bisa saja, ‘kan, setelah dihukum dua bulan Nala dipecat.

“Ini semua nggak adil,” gumamnya sambil berusaha meredakan tangisnya. Tangannya meremas pojokan sink dengan frustrasi.

            Dia menatap ke dalam kaca. Menatap kecewa pada polesan maskara di bulu mata panjangnya yang selalu luntur. Bagaimana tidak, matanya terlalu basah oleh air kesedihan. Riasannya tak pernah menempel dengan sempurna.

Maka dengan sisa tenaga dan semangat ditambah tangan yang sedikit bergetar, Nala memutuskan untuk merias diri. Dia menyemprot dua kali parfum vanilla di belakang telinganya. Parfum kesukaan Jihan dulu, tapi jadi kesukaannya semenjak bekerja. Menurut Nala aroma itu membuatnya tenang. Nala juga memperbaiki polesan riasan di wajah sembabnya tanpa banyak ekspresi.

            Berusaha tenang walau hatinya hancur seperti ledakan bintang.

---

“Terlalu indah dilupakan. Terlalu sedih dikenangkan. Setelah aku jauh berjalan dan kau kutinggalkan. Betapa hatiku bersedih mengenang kasih dan sayangmu. Setulus pesanmu kepadaku. Engkau ‘kan menunggu. Andaikan kau datang kembali. Jawaban apa yang kuberi. Adakah jalan yang kau temui. Untuk kita kembali lagi.” (Andaikan Kau Datang Kembali – Koes Plus/Ruth Sahanaya)

            Lelaki itu memasang headset di kedua telinga setelah melepas helm antigravitasi miliknya. Kakinya yang jenjang berjalan tegap walau baru saja melakukan manuver di atas langit Magetan. Adrenalinnya yang terpacu perlahan tenang setelah dapat asupan lagu lawas itu. Itu adalah kiatnya dapat ketenangan. Ketenangan adalah modal utamanya untuk mengendarai alutsista ratusan miliar rupiah itu.

            Dia bernama Kavalery Kartiko Lazuardi, 29 tahun. Anak seorang sersan TNI-AD, tapi profesinya seorang tentara Angkatan Udara. Tak main-main, Kava – biasa dia disapa – adalah seorang fighter. Fighter adalah sebutan pilot F-16 Falcon, nickname-nya E-77. Eagle-77 disematkan komandan saat dia bergabung dengan Lanud Iswahjudi, Magetan. Lettu Pnb Kavalery Kartiko ‘E-77’ Lazuardi sekaligus menjadi callsign-nya pada setiap penugasan udara.

            Lelaki murah senyum itu adalah sosok religius. Hatinya selalu tunduk pada semua aturan Tuhan dan agamanya. Kehadirannya di dunia ini selalu memberi manfaat bagi sekitar. Menjadi tentara – khususnya pilot tempur – adalah upayanya untuk menjadi manusia yang berguna. Dia ingin memaknai arti kehidupan dalam setiap penugasan dan penerbangannya. Oleh karena itu, lagu lawas tadi menjadi lagu favoritnya karena mengingatkan Kava pada Tuhan.

            Kava adalah pemuda yang tak banyak tingkah. Dia supel pada rekan, loyal pada atasan. Selalu terbaik dalam tes psikologi rutin oleh dokter penerbang satuannya. Dia juga kebanggaan keluarganya di Papua sana. Tindak tanduknya terjaga dan kalem, beda saat mengendarai jet tempur, cadas. Dia biasa menukik, terbang bebas bak elang siap menerkam mangsa.

            Dia penyuka fajar dan arunika, sinar matahari yang hangat. Biasanya jadi teman saat berlari atau pembinaan fisik atau mungkin saat latihan terbang pagi. Baginya sinar mentari pagi adalah anugerah Tuhan tiada terkira. Alangkah bersyukurnya bila bertemu matahari pagi setiap hari, tanda dia masih diberi kesempatan hidup. Ya, Kava adalah pemuda yang sederhana.

Dia tak suka kemewahan kendati tunggangan ratusan miliar, sebab sadar semua hanya titipan.

Hidupnya bersahaja seperti tentara pada umumnya. Tunggangan di asrama cuma sepeda motor matic biasa, bukan mobil mahal. Rumah dinasnya juga sederhana, minim barang mewah. Isinya cuma barang yang berdaya guna. Bagi Kava tidak perlu mengkoleksi sesuatu secara berlebihan.

Meski hidup sederhana, wajah jangan ditanya. Kava sebenarnya lebih cocok jadi model papan atas daripada tentara. Tinggi 180 senti berat 78 kg, ideal dan atletis. Menurutnya, perut berlemak tak nyaman untuk duduk di kokpit F-16 yang sempit. Mata sipit turunan sang ibu, kulit putih, hidung mancung, dan potongan rambut ala side swept undercut. Dia selalu memukau mata kaum hawa di mana saja.

Sayangnya, Kava masih betah melajang karena terlalu cinta terbang. Seusai terbang dia lebih suka ngendon di hanggar bersama para rekannya. Seperti saat ini, dia menghampiri adik asuhnya dengan wajah ceria. Mereka duduk bersama memandang jet tempur Hawk yang diparkir sembari mengunyah kacang bawang ramai-ramai.

“Izin, cerah ni, Bang!” ganggu Letda Afandi ceria.

Kava menepuk pundak juniornya dengan ramah. “Iyalah, cuti di-acc kok,” kelakar Kava riang.

“Siap, bagaimana tidak acc, yang mengajukan kesayangan danlanud, ciyeh!” timpal Afandi lagi. Kali ini dia melempar si kakak asuh kesayangan dengan kulit kacang.

Kava hanya tergelak riang. Sembari mengunyah kacang, dia terus saja berceloteh. “Bukan, Desuh. Sa ini su dua tahun tra pulang!” belanya dalam dialek Papua yang kental.

            Bertahun-tahun tinggal di Jawa tak bisa melunturkan budaya Papua yang mengalir di darah Kava. Bapak Jawa, Ibu Manado, tapi Kava kelahiran Jayapura. Membuatnya belajar multibudaya sehingga hatinya kaya akan toleransi.

“Mantaps, Abang mau nikahkah?” ceplos Afandi yang membuat Kava tercenung. Dia berpikir celetukan Afandi mirip sang ibu, sering sekali menyuruhnya menikah lewat kode-kode.

“Nikah sama mbakmu bolehkah?” balas Kava seru sambil meneguk air putih gelasan dan melepas headset-nya.

Afandi berubah kikuk. Dia menggaruk kepala belakangnya hingga panas. Apa jadinya kalau primadona skuadron menikahi kakaknya yang lajang itu? “Waduh, izin mbak saya bisa klepek-klepek ini kalau dengar. Pilot jet tempur yang ngomong gitu! Izin Bang, kalau berkenan bolehkah ke rumah,” oceh Afandi seru setengah menggoda Kava. Lantas keduanya terbahak ceria.

            Benar kata Afandi, malam ini Kava akan berangkat ke Jayapura. Bertemu kedua orang tua yang telah lama merindukannya. Dua tahun tak jumpa karena Kava sibuk terbang, mengikuti banyak tes dan ujian, hingga sekarang tergabung menjadi pilot tempur di skuadron itu.

            Rasa-rasanya dia perlu memecah celengan rindu pada kedua orang tua yang tak berhenti merindukannya. Tak berhenti mendoakannya siang dan malam hingga Kava sampai seperti ini. Bahkan, kedua orang tuanya mencetak baliho besar di depan rumah, memajang Kava dalam balutan G-Suit alias pakaian antigravitasi pilot jet tempur. Mereka teramat bangga.

            Maka di tanggal 6 Maret 2019 ini saat sore menjelang, berangkatlah dia ke Jakarta menumpang Hercules rekannya. NA 677 tujuan Jayapura transit di Ujung Pandang adalah nomor penerbangan di boarding pass-nya. Pria itu semringah karena sebentar lagi menikmati masakan sang mamak plus omelan ributnya.

Tak hanya itu bayangan danau Sentani favoritnya sudah menari riang di benaknya. Alangkah menyenangkan kalau sudah membayangkan membakar ikan bersama rekan masa kecil di tepi Sentani. Membayangkan makan daging ikan yang segar dipadu dengan angin danau yang semilir membuat Kava melamun saat berjalan di garbarata menuju pesawat yang akan dinaikinya.

Tanpa sadar wajah menyenangkannya itu terlihat oleh pramugari yang menyambut di pintu masuk. “Selamat malam, Pak! 24A, ya? Silakan ke belakang belok kiri,” sapa sang pramugari dengan senyum hangat nan ramah.

            Kava terpana. Dia hanya bisa melongo dua detik saat memandang wajah pemilik senyum itu. Senyuman pramugari cantik berkebaya putih dan tosca itu seolah hanya untuknya.

Entah demi apa, di jam selarut ini – pukul 01.30 dini hari – dia malah terpana pada perempuan asing itu. Bahkan, sampai berjalan di aisle Kava sesekali masih menoleh ke arah pramugari cantik yang masih berdiri di ambang pintu menyambut penumpang yang mengantuk itu. Dia masih tersenyum ramah sambil melipat kedua tangannya ke dada. Tak ada lelah meski sebagian penumpang hanya menanggapinya dengan cuek.

Sampai duduk di kursi, Kava masih memikirkan pramugari cantik tadi. Dia merasa ada yang aneh dan unik dari wajahnya. Mulutnya tersenyum ramah, memancarkan kehangatan. Namun, entah kenapa kesedihan memancar kuat dari sorot matanya. Seolah dia berusaha menutupinya dengan riasan, tapi Kava tetap menangkapnya.

            Cukup mengaduk hati Kava di waktu seunik ini.

            Mungkin cuma perasaan Kava, tapi pria itu terus saja memandangi roman Shanala, nama awak kabin itu. Akhirnya, memang Kava berhasil membaca nameplat Nala saat gadis itu berjalan melewatinya di lorong kabin. Termasuk saat Nala mengecek kompartemen kabin di atas kepala Kava untuk beberapa kali. Tak hanya itu, Kava juga melihat Nala melap meja kecil di seat yang kosong berkali-kali.

Menurut Kava yang sudah hapal dengan aktivitas penerbangan, kegiatan itu tak lazim dilakukan saat boarding – harusnya saat pre-flight tadi. Namun, entah kenapa Nala terus melakukannya? Kava mulai berpikir itu aneh, tapi menarik hatinya untuk terus penasaran.

Ekor matanya tiada henti mengikuti gerak-gerik Nala, termasuk saat gadis itu kembali mendekat sambil membawa sebuah nampan. “Selamat malam, silakan permennya, Pak!” tawarnya ramah dengan gestur halus.

“Terima kasih,” Kava mengambil dua bungkus permen sambil membaca lagi nameplat gadis itu.

Shanala,” teriak hatinya. Dan lagi, Kava memandanginya tanpa jeda. Setiap tingkah Nala mulai menarik dan berhasil membuatnya melongo.

Pun saat Nala sudah berlalu ke row di depannya, Kava masih memandang tubuh tinggi kurus gadis itu. Dia berjalan pelan, anggun, dan penuh kehati-hatian. Padahal pesawat sudah mulai pushback dan taxi ke runway, tentu menimbulkan guncangan kecil. Kava memandanginya sampai habis, sampai Nala duduk di jumpseat galley depan. Hatinya makin terjebak dalam penasaran.

Nama yang bagus,” pujinya dalam hati lagi.

            Dia penasaran, tapi terlalu ragu untuk sekedar menyapa atau melempar senyum pada Nala yang wajahnya datar. Saat pesawat sudah mengudara, Nala dan rekannya mulai membagikan snack. Lagi, Kava memandang Nala yang berjalan sambil sesekali membenarkan isi pocket seat. Yang menurut Kava aneh, padahal isi kantong itu sudah rapi, tapi kenapa Nala ingin terus merapikannya? Lagipula tadi juga sudah dicek. Kenapa harus dirapikan lagi?

“Kok aku keingat Aryo, ya?” Kava membatin rekannya yang tidak terbang lagi karena gangguan OCD.

“Tingkah Mbak ini mirip dengan Aryo,” gumamnya lirih kemudian sambil mencubit-cubit kecil ujung dagunya.

            Terjawab kenapa dia terus penasaran pada Nala, semua karena tingkahnya. Aktivitas berulang, kadang sedikit kikuk jika berdekatan dengan orang lain, suka bebersih – beberapa kali Nala terlihat menyemprot alkohol pada tangannya setelah kontak dengan orang lain. itu sudah cukup memberi bukti. Kava yakin gadis itu tidak senormal manusia pada umumnya.

            Mungkin karena itulah, Kava memberanikan diri mengajak Nala berbicara saat mereka transit di Ujung Pandang. Saat penumpang lain turun ke waiting room, Kava memilih ngendon di pesawat, mengamati Nala yang merapikan seat dan bantal-bantal hingga sangat rapi susunannya. Dia juga terlihat menjimpit tisu dengan ujung kuku lantas sibuk ngeloyor ke lavatory dan menyemprot tangannya berkali-kali dengan alkohol.

“Takut kotor, Mbak?” sapa Kava agak kikuk saat Nala duduk santai di kursi lontar. Dia sendirian tak berkawan, tapi tidak membuat Kava berhenti salah tingkah. Mungkin karena jarang kontak dengan lawan jenis.

Nala melirik Kava tipis. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyanya pelan. Wajah letih terlihat karena ini masih pagi buta pukul 3 WITA.

“Oh, nggak,” Kava menggeleng. “Cuma Mbak ini mirip rekan saya,” ujarnya kemudian.

Nala memandang Kava lurus. “Maksudnya, Pak?” tanyanya dengan mata bingung.

“Maaf-maaf kalau tersinggung.” Kava membentuk dua tangannya di dada dengan suara tak enak, tapi terus saja ingin bertanya pada Nala yang mulai merengut. “Mbak sangat suka bersih, ya?” ceplosnya setengah hati.

Bibir Nala mengerucut. Dia sedikit membelakangi Kava dengan berdiri dan menata rak tisu. “Apa salahnya sih, Pak?” tanggap Nala ketus, hatinya sedang tak enak.

“Eng … Mbak …,” gumam Kava tak terlanjutkan karena Nala ngeloyor menghindarinya.

“Permisi,” pamitnya dingin sambil berjalan di aisle dengan cepat.

            Dasar lelaki mata keranjang, pikir Nala kesal.

            Kava melipat bibirnya. Sesekali menggaruk pelipisnya sambil celingukan. Benar saja memang beberapa penumpang memandanginya aneh, seperti pada lelaki mata keranjang yang gagal menggoda perempuan begitulah. Pada dasarnya dia tak pandai bersikap di depan lawan jenis, jatuhnya kaku. Mungkin karena pria itu lebih suka menaklukkan impian dibanding wanita. Bisa jadi, ‘kan?

            Maka kali ini dia memutuskan untuk punya pekerjaan rumah baru. Menaklukkan Nala untuk mengenalnya lebih jauh. Mungkin karena Nala terlalu sayang untuk dilewatkan. Menurut Kava, senyum gadis itu sehangat fajar yang disukainya. Walau tadi ketus, tapi ada yang tak beres dari gadis itu.

            Pesawat akan kembali mengudara menuju Jayapura setelah selesai transit selama sejam. Kali ini Nala kembali berjalan tenang di lorong setelah sempat istiharat sejenak di penerbangan panjang ini. Dia harus memeriksa satu persatu penumpang sebelum take-off. Hati gadis itu tak kunjung tenang karena ada salah satu penumpang yang sangat mengganggunya. Tiada henti penumpang itu meminta ini dan itu, seolah meminta perhatian dari perempuan yang sedang tak enak hati macam dirinya.

“Mbak,” panggil Kava yang membuat Nala menoleh. “Boleh minta air putih?” pintanya ragu.

            Kava pikir mungkin sapaan yang kali ini sedikit bersahabat.

Tanpa memandang wajah Kava, Nala hanya mengangguk. “Tunggu bentar,” jawab Nala judes sambil berjalan ke arah kokpit.

Tak berapa lama kemudian, datanglah permintaan Kava yang diantar Nala tanpa banyak kalimat. Dia berlalu lagi, dan membuat Kava tak gentar. Justru semangat tentaranya makin membara.

“Mbak, saya minta kopi, ya?” pinta Kava pada Nala yang sibuk lalu lalang. Permintaan itu memecah wajah datar Nala. Kali ini dia terlihat bersungut-sungut sembari menghela napas panjang saat menatap Kava.

“Baik, Pak!” jawabnya pendek dan dingin.

Cukup semenit, permintaan Kava datang dan Nala kembali berlalu tanpa banyak ekspresi.

Tetap tak menyerah, Kava makin menjadi-jadi untuk mendapatkan perhatian Nala. “Mbak, ada selimut nggak?” pinta Kava untuk sekian kalinya saat Nala lewat sambil membawa air sanitizer. Wajahnya tetap cuek seperti tadi. Dan memang gadis itu hanya diam sambil berlalu. Membuat wajah Kava pias, menahan hebatnya debaran di dada.

Tak lama kemudian, datangnya pramugari tapi bukan Nala. Dia memberikan pesanan Kava dengan wajah dingin. Mungkin Nala bilang penumpang satu ini sangat mengganggunya sedari tadi.

“Silakan Pak,” ucap Pramugari Ina begitu saja yang datang agak lama.

            Kava bertanya-tanya, semudah itukah Nala menghindar? Apa Nala merasa tidak nyaman dengan kelakuannya? Ternyata tidak, Nala tidak menghindar, melainkan sedang terlibat keributan dengan salah satu penumpang di baris depan saat proses taxi, saat pesawat berjalan menuju runway persiapan terbang.

“Menurut peraturan keselamatan penerbangan, ponsel harus dimatikan saat take-off, Pak!” ujar Nala tegas.

Penumpang itu melotot. “Saya ini pejabat! Orang penting, mana bisa sembarangan mematikan HP!” elaknya sambil membusungkan dada dan berkacak pinggang.

“Mohon maaf, Bapak. Sebentar saja, kami mohon. Demi keselamatan kita semua,” ucap Nala berusaha sabar dengan wajah lembut.

“Ah pramugari ini, macam sok tahu ka!” Si penumpang makin nyolot.

“Bapak, kami mohon untuk mematikan ponsel, sebentar saja!” ulang Nala masih sabar.

Si penumpang yang tidak sabar. Kali ini matanya makin memerah penuh amarah. Posisi tubuhnya makin condong ke tempat Nala berdiri. Tanpa menunggu waktu lama, tangan besar itu melambai kuat pada wajah Nala.

            Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Nala. Saking kerasnya, Nala sampai menoleh ke samping. Gadis itu tertegun, tak percaya dengan apa yang dialaminya. Pipinya kini terasa mati rasa saking panasnya. Pun dengan Kava yang langsung mendidih melihat kekerasan yang terjadi pada perempuan cantik – yang membuatnya penasaran itu.

            Supervisor penerbangan tak tinggal diam. Dia mengontak Captain pesawat untuk holding dan memanggil staf darat. Penumpang barbar itu dikeluarkan dari pesawat dengan mulut penuh serapah. Tak peduli, daripada membuat gaduh lebih baik disuruh turun, pikir Captain. Toh dia yang salah.

            Bagaimana dengan Nala? Dia tersenyum sok kuat sambil menahan tangis dan memegangi pipinya. Dia bahkan menolak saat akan dipapah salah satu penumpang. Kakinya lemas, jalannya gontai. Rambutnya yang digelung rapi sedikit berantakan karena dia harus menunduk melewati penumpang yang memandangnya iba. Sekali lagi, dia hidup dari iba. Sekali lagi, dia dipermalukan.

            Apa sebegitu tak berharganya hidup Nala? Hingga semua orang dengan mudahnya meletakkan tangan di tubuhnya – sang ibu, sang mantan kekasih, dan penumpang yang tak dikenalnya barusan.

            Saat sampai di seat 24A, Nala melirik lelaki berseragam loreng dengan dua balok hitam di lehernya itu. Langkahnya berhenti karena di depan Nala ada penumpang yang hendak lewat di lorong. Mereka kemudian beradu pandang sejenak. Lelaki putih bernama Kava itu juga sedang memandangnya lekat, seperti ingin merengkuh atau apa. Lelaki yang matanya sedang berair itu tak berhenti menatapnya. Mata mereka bertaut cukup lama, tiga detik, tapi membuat Kava penasaran berjam-jam.

“Apa kamu sedang meminta tolong? Apa kamu tak apa-apa?”

Sayangnya, suara hati Kava yang berteriak keras itu tak sampai didengar Nala. Gadis itu hanya berlari kecil menuju ruang belakang pesawat. Sedangkan, Kava hanya bisa memandang punggung gadis ramping yang sepertinya butuh pertolongan itu. Dengan sejuta pertanyaan memenuhi benak, ingin sekali Kava memanggil namanya.

“Kamu bertindak kuat dan seolah tak ada apa pun, tapi matamu tidak. Sebenarnya kamu kenapa, Shanala?” batin Kava menyeruak hebat.

            Akan tetapi, lelaki itu harus mengubur dalam-dalam penasarannya sebab Nala tak kunjung berjalan di aisle lagi. Dia tak kunjung muncul lagi untuk sekedar meredakan rasa penasaran Kava dan mungkin penumpang lain yang mulai berbisik-bisik. Entah menenangkan diri atau apa, Kava ingin memeriksanya. Namun, berhubung penumpang di sebelahnya mulai lelap, dia urung.

            Di sisi yang lain. ada seorang gadis yang pipinya memerah sedang menangis di dalam kamar mandi kecil pesawat. Dia menyalakan air kemudian membasahi tisu. Tisu itu ditempelkannya pada bekas tamparan di pipi yang masih merah. Bukan hanya sakit pipi, tapi juga sakit hati.

“It’s okay, Nala! Kamu pasti bisa!” Nala terus berusaha menyemangati dirinya sendiri. Walau kesannya memaksa, Nala hanya ingin mengumpulkan sisa tenaganya.

Namun, lagi-lagi beban hidup yang makin berat membuat Nala terseok. Kali ini dia tak sanggup membendung tangisnya karena mengingat nasib yang tak pernah bersahabat dengannya. Nala menangis kuat hingga berjongkok di bawah sink kecil. Dia meremas-remas gagang pintu lavatory sembari menahan suara deru tangisnya. Tetap ingin menyembunyikan kesedihan di balik deru mesin jet.

Tangisnya makin terasa menyakitkan. “Apa salahku, Tuhan? Aku sudah capek. Hidup macam apa ini?” Nala mengutuki wajahnya sendiri di depan kaca.

“Shanala, are you okay?” ketuk Reswari, seniornya dengan wajah cemas dari luar pintu.

“Apa ini benar peduli atau sekedar manner?” batin Nala gamang.

Shanala membuka pintu lavatory sedikit dan mengeluarkan jempolnya. Tanda dia baik-baik saja, walau tidak benar. Di balik pintu, tangisnya tak berhenti. Dia bahkan sampai menggigit gulungan tangannya agar tak sampai terisak.

“Bahkan, aku kini tak bisa membedakan mana yang tulus dan tidak. Aku mulai tak percaya bahwa aku ini benar manusia atau cuma gumpalan dosa. Sepertinya hidupku tak lagi berarti, tak berguna lagi,” kutuknya lagi pada diri sendiri setelah menepi kembali di dalam lavatory.

            Batin Shanala berteriak keras ingin keluar dari kekacauan ini. Kata orang, pelangi akan muncul sesudah badai. Nyatanya, badai itu berjalan kian panjang, seperti tak ada batas. Entah sampai kapan Shanala akan bertahan di atas kedua kakinya. Sepertinya kesadaran itu mulai limbung. Dia tak lagi sanggup menatap lampu lavatory, dunia terasa gelap.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status