Emosiku seperti tidak ingin pergi padahal aku sudah mengatakan apa yang ingin ku katakan selama ini pada mereka. Memuakkan sekali jika diingat, tapi sebisa mungkin aku harus meredam emosiku sendiri jika tidak hanya akan menghambat pekerjaanku. Ku tatap langit biru karena hari ini sangat cerah sudah dipastikan akan panas sampai sore, kain hijau milik keraton juga harus cepat dikembalikan. Aku segera bergegas pulang ke rumah untuk menjemur pakaian dan mencari kain hijau untuk segera dikembalikan.
Jalanan menuju keraton terasa ramai dari biasanya. Aku berjalan dengan cepat berharap agar cepat menyelesaikan pekerjaan kemudian pulang ke rumah untuk beristirahat. Namun, baru beberapa langkah, terdengar suara yang memanggil namaku daan aku bisa mengenalinya.
“Danastri,” itu suara Barga laki-laki yang selalu baik kepadaku terlihat dia tersenyum lebar dan sedikit dipaksakan., kata Atma dia menyukaiku dari kecil. Namun, aku tidak pernah menyukainya karena aku sudah menganggapnya sebagai teman dan kakak.
“Kamu akan pergi kemana? Biar aku antar,” ucapnya sambil menawarkan bangku belakang sepeda yang mana dia masih berada di atas sepedanya dengan kaki satu menyentuh tanah.
“Aku hanya ke keraton saja, tidak perlu mengantarku. Hari ini aku ingin berjalan-jalan,” ucapku. “Bukankah akan lebih cepat jika ku antar? Ada aku, Danastri. Aku akan mengantarmu kemanapun kamu pergi.” Selalu saja Barga seperti ini, akan memaksaku meskipun aku akan beralasan tetap saja dia akan memaksa.
“Terima kasih, Barga. Hanya saja aku ingin berjalan kaki, mungkin kamu bisa melakukan kegiatanmu yang lain,” tolakku dengan cepat sambil berharap dia akan mengiyakan ucapanku, tapi yang ada dia turun dari sepedanya.
“Kegiatanku hari ini adalah menemanimu.”
‘Gusti, kenapa hari ini orang-orang memancing emosiku’
“Ayo, Danastri jika kamu ingin berjalan aku juga akan berjalan saja. Nanti kalau Danastri lelah aku bisa menggunakan sepedaku,” ucap Barga sambil tersenyum manis dan dengan terpaksa aku tersenyum paksa. Aku tahu Barga adalah orang yang tidak suka penolakan, dan perlakuannya cukup membebaniku.
Sepanjang jalan Barga banyak sekali berbicara tentang dirinya dan kemenangannya dalam sabung ayam dengan desa lain. Dia juga menanyakan kenapa aku lebih suka berpergian dengan Atma dibandingkan dengan dirinya, bahkan Barga mengatakan bahwa Atma adalah laki-laki yang hanya sering bermain-main tidak pernah serius. Barga juga menyuruhku untuk menjauhi Atma.
“Percayalah denganku, Danastri. Lebih baik kamu bersamaku daripada Atma si tukang onar itu,” ucapnya dengan nada mengejek Atma.
“Berhenti mengatakan hal buruk tentang Atma, Barga. Aku sangat tidak suka mendengarnya,” sanggahku cepat.
“Tapi dia hanya bermain-main, aku dan dia berbeda, Danastri. Aku sungguh bisa menjagamu dengan baik.”
“Menjagaku? Aku bisa menjaga diriku dengan baik. Satu hal, Barga. Kamu tidak pernah menjagaku tapi kamu mengontrolku dalam segala hal.” Barga terlihat terkejut dan bingung dengan pernyataanku.
“Apa maksudmu?” tanyanya, aku menghela napas panjang “Berhenti bersikap seolah-olah dirimu peduli dan berkorban dihidupku, Barga. Jika kamu berpikir tidak mengontrol diriku, berhentilah untuk mengatur dan mengurusi hidupku,” jelasku dengan tangan menyilang di depan dada.
Ku pikir Barga akan pergi, nyatanya dia masih mengikuti dan membela dirinya. Benar-benar memuakan mendengarnya berbicara, sampai akhirnya aku sampai di keraton. Belum sempat aku membalas ucapannya yangseperti mencuci otakku untuk menjauhi keluarga Atma, tiba-tiba Mirah sudah memanggilku.
“Kalau begitu aku tunggu di sini ya, Danastri,” ucap Barga sambil menaruh sepedanya di pohon.
“Tidak perlu, aku tidak ingin kamu menungguku. Terima kasih sudah menemaniku dan satu hal lagi jangan pernah menyuruhku menjauhi Atma karena Atma adalah orang yang sangat berarti dihidupku. Selagi tidak memiliki hubungan denganku berhenti mengatur hidupku,” ucapku dengan tegas dan berlalu begitu saja meskipun dapat ku lihat raut wajah Barga yang terkejut dengan ucapanku. Mungkin saja dia belum pernah melihatku seperti itu dan aku berharap dengan seperti ini dia menjadi tahu batasan denganku.
“Ada apa denganmu sampai berbicara seperti itu dengan Barga?” tanya Mirah menelisik raut wajahku.
“Tidak ada...dia menjelekkan Atma dan menyuruhku menjauhinya. Dia pikir dia siapa mengatur pertemananku dengan Atma,” jelasku dengan sedikit kesal.
“Benar juga ucapanmu, mungkin dia tidak ingin miliknya bersama orang lain.”
“Sejak kapan aku menjadi milik Barga!” Semua mata tertuju kepadaku karena tidak seharusnya aku meninggikan suaraku di wilayah ini, Mirah memukulku pelan dan menarikku berjalan cepat.
“Danastri apa kamu lupa sekarang ada di mana?” bisik Mirah sedikit takut, tentu saja aku tahu dan seharusnya aku tidak seperti itu, tapi ucapan Mirah membuatku kesal.
Tidak terlalu lama aku langsung keluar dari area keraton setelah mengembalikan selendang dan menerima upah. Saat itu aku berharap bahwa Mirah akan memanggilku kembali, tapi sialnya tidak karena mata kami telah bertemu dan dengan cepat ia mendekatiku. Ya, benar Barga menungguku dari tadi.
“Danastri, ayo naik sepeda denganku saja,” tawar Barga yang sudah lebih dulu naik ke sepeda.
“Tidak, terima kasih. Aku ingin sendirian sekarang, Barga,” tolakku cepat dan berharap jika Barga mengerti. Aku lebih dulu meninggalkan Barga yang ku dengar dari belakang masih meneriakkan namaku, tapi ku hiraukan.
Semakin lama Barga mempercepat laju sepedanya dan mencoba mengejarku membuatku semakin risih. Tanpa ku sadari langkah kakiku berpacu dengan cepat menghindari kejaran Barga yang memaksa untuk bersamannya dan tanpa memperhatikan ke depan aku menabrak punggung seseorang.
“Aduh, maaf Tuan aku tidak sengaja dan tidak memperhatikan sekitar dengan baik,” ucapku sambil beberapa kali meminta maaf. Namun, orang ini hanya diam saja sampai akhirnya aku berani menatap wajahnya.
Kini di depanku berdiri seorang pria dengan surjan cokelat dan blangkon yang tersemat sempurna di kepalanya. Wajahnya terlihat tegas dengan sorot tajam, tatapannya kepadaku seperti mengisyaratkan bahwa diriku tidak sepatutnya berani melihat wajahnya. Aku berharap dia akan memaafkanku dan mengizinkan diriku untuk pergi, tapi keheningan yang tercipat semakin membuatku tidak berkutik dari tempat meskipun aku sudah menunduk tetap saja aku merasa bahwa orang ini masih menatapku.
“Kamu yang menari di keraton tempo hari?” Suara itu sangat dalam dan menenangkan, tapi aku kesulitan menelan ludahku, dia mengingatku.
“I-iya, benar Raden,” jawabku sebisa mungkin tidak terlihat gugup. Kaningrat, dia benar orang yang dibicarakan sesaat sebelum aku tampil waktu itu. Raden Kaningrat merupakan keluarga bangsawan yang jarang sekali terlihat bahkan di luar lingkaran bangsawan. Tidak ada yang tahu kehidupannya seperti apa atau alasan dia bisa menonton pagelaran itu dan sekarag dia berada di sini, di depanku.
“Den, Raden Kaningrat anda baik-baik saja?” tanya seseorang yang baru saja kembali, sepertinya dia abdi dalem. “Kamu ini bagaimana tidak hati-hati melihat ada orang di sini?!” lanjutnya yang sedikit menggunakan nada tinggi saat berbicara denganku.
“Maaf saya tidak tahu, saya minta maaf,” ucapku sambil menatap orang yang bernama Kaningrat. Jujur saja aku sedikit gugup saat melihatnya karena dia adalah orang yang menontonku saat menari dan karena Mirah aku diam-diam memperhatikannya. Aku hanya ingin dia tidak mengingatku, tapi tidak mungkin.
“Danastri, apa yang kamu lakukan di sini?!” teriaknya yang baru saja sampai di depanku. Barga turun dari sepedanya dan menatap tidak suka dengan Kaningrat. Di saat seperti ini kenapa Barga masih mengikutiku.
“Jadi namamu Danastri?”
“Siapa dia Danastri? Dan dia ingin apa darimu?” tanya Barga yang membuatku menghela napas panjang. Belum sempat aku menjawab pertanyaan Barga, Kaningrat sudah lebih dulu melangkah mendekati Barga.
“Bukan urusanmu,” ucapnya dengan santai sedikit merendahkan Barga, sedangkan laki-laki itu sudah menahan emosi karena Barga paling tidak suka dihina apalagi oleh kelas ningrat seperti ini.
“Aku minta maaf, Raden...Izinkan saya pulang,” ucapku dengan harap tidak memperpanjang masalah siang ini. Tapi pikiran apa yang di otak Barga yang menahan lenganku, “Pulang denganku, Danastri.” Suranya seperti memberikan perintah yang tidak bisa ku tolak.
“Lepaskan aku, Barga. Aku bisa pulang sendiri!” Tiba-tiba sebuah genggaman lain menarikku lembut, membebaskanku dari Barga.
“Jangan memaksanya,” ucap Kaningrat dengan suara datar. “Bukan urusanmu,” bantah Barga tidak suka kegiatannya diinterupsi dan kemudian memilih untuk pergi. Aku mengambil kesempatan itu untuk menjauh, aku tidak tahu apakah aku bersyukur sudah dibantu atau khawatir bahwa terlalu menarik perhatian.
“Terima kasih, Raden,” ucapku meskipun tidak berani menatap wajahnya. Kaningrat menatapku sebentar, dan berlalu begitu saja tanpa kata.
“Lain kali hati-hati, kamu tahu dia itu siapa kan? Dasar!” ucap abdi dalem yang bersamanya dan pergi menyusul Kaningrat.
“Atma! Aku tidak ingin menikah denganmu, kita ini sahabat yang sudah seperti keluarga. Mana mungkin aku mau menikah denganmu, kamu tidak mungkin menyukaiku, kan?” panikku dan berhasil membuatnya tertawa senang.“Ibu...Ibu dengar Danastri tidak mau menikah denganku hahaha.”“Danastri, Masmu Atma hanya bercanda saja. Dia hanya menggodamu jangan terlalu dipikirkan,” ucap Terta, ibu Atma yang duduk mendekatiku. Atma memang dua tahun lebih tua dariku dan biasanya orang-orang di sekitar kami diusia seperti Atma sudah menikah. Namun, keluarga Atma membebaskan Atma untuk menikah umur berapa saja hanya saja pikiran Atma adalah dia tidak akan menikah sebelum aku menikah.“Ini kamu makan,” ucap Ibu Terta memberikan sepiring makanan berisi lauk, nasi, dan sayur untuk ku makan.“Atma berhentilah makan mangga, sehari ini kamu sudah makan mangga lima kali. Lihatlah mulutmu sudah penuh dengan sisa mangga,” tambahnya memperingati anak semata wayangnya itu.“Baru lima buah, masih ada delapa
Aku menghela napas panjang rasanya seperti bisa bernapas lega sekali akhirnya mereka percaya aku tidak melakukan hal buruk. Aku sangat senang sekali, besok bisa bekerja lagi. Namun, ada satu hal yang ku lupakan masalah baru.“Danastri!” teriaknya mendekatiku, “Sekarang bagaimana dengan semua manggaku? Aku sudah membantumu menyelesaikan masalahmu,” lanjutnya dengan suara emosi.“Memang Pakdhe yang harus bertanggungjawab dengan masalahku kemarin, jika saja Pakdhe tidak menyimpulkan sesuatu dengan cepat dan mengundang dukun beranak berandalan itu, mangga Pakdhe akan baik-baik saja,” jawabku cepat tidak ingin kalah.“Tap-““Dan tadi aku sudah mengajak Pakdhe dengan nada halus dan sopan, tapi Pakdhe sendiri tidak mau turun jika ku paksa. Pakdhe hanya akan sibuk panen mangga dan menanggapku tidak ada di sana,” lanjutku memotong ucapannya sebelum mengomel lebih jauh.“Tapi tetap saja caramu salah!”“Lalu caranya seperti apa?!” teriakku yang sedikit menantang, terlihat Pakdhe Asmoro terdiam ti
Hari ini sehari setelah kejadian Pakdhe Asmoro membawakan dukun beranak itu datang ke rumah, tersiar kabar yang entah-entah. Banyak orang yang beranggapan aku melakukan perbuatan tercela. Bahkan sekarang dihadapan teman-teman penari mereka menanyaiku macam-macam.“Buktikan jika tidak, Danastri...Kalau memang kamu melakukannya kamu harus mundur dari pekerjaan ini. Aku beri waktu sampai nanti siang datanglah ke pendopo putri!” perintah Manik yang tidak mengizinkanku untuk ikut menari. Ucapan Manik masih terngiang-ngiang di otakku, kehilangan pekerjaan yang benar-benar ku sukai sejak kecil bukanlah hal yang mudah. Hidupku hancur jika harus berhenti menjadi penari dan ini semua karena satu orang yang harus bertanggung jawab mengembalikan nama baikku di depan semua orang.“Pakdhe Asmoro!” teriakku di kebun belakang rumahnya yang membuatnya hampir terjatuh dari pohon mangga.
“A-anu...bukan begitu maksudku,” ucapku merasa malu dan bingung, “Jadi maksudmu Raden Kaningrat tidak tampan?!” tanya Wardi yang tidak terima.“Tentu saja dia tampan!” jawabku setengah berteriak dan membuat kami berdua melirik ke Kaningrat yang terdiam membeku dengan wajah merah sekali.“Ra-raden?” tanya Wardi sambil menggoyangkan tubuh Kaningrat, sedangkan aku yang panik langsung berdiri.“A-a...aku...pamit dulu, terima kasih banyak atas makannya,” pamitku yang berlari menyadari ucapanku tadi benar-benar tidak pantas untuk dikeluarkan. Aku berlari sejauh mungkin saat ini aku benar-benar malu mengingat ucapanku yang mengatakan bahwa Kaningrat sangat tampan di depan orangnya langsung. Semua ini karena Wardi yang menanyaiku macam-macam, entah perasaan apa saat ini jantungku rasanya aneh. Langkahku berhenti tidak jauh dari rumah, sem
Ku rebahkan diriku di atas ranjang setelah pulang dari sungai, pikiranku melayang cukup jauh untuk mencerna semua peristiwa hari ini. Seorang penari tiba-tiba makan bersama seorang ningrat dan cukup akrab untuk berbicara. Selama memikirkan itu semua tidak terasa mataku cukup berat sampai akhirnya terlelap untuk tidur. Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa meskipun sekarang saat pergi mencuci ke sungai mereka sudah tidak lagi mengejekku, kehidupanku cukup tenang selama seminggu ini tidak ada masalah sama sekali. Aku juga masih rutin datang ke keraton untuk latihan dan selama ini aku tidak pernah bertemu dengan Kaningrat, entah dia di mana mungkin saja sedang menikmati kehidupannya di luar keraton.“Kita istirahat sebentar!” perintah Manik setelah kami berlatih, aku merapikan kain selendangku.“Hah...aku cukup lelah, Danastri,” ucap Mirah yang duduk sambil mengipasi dirinya menggunakan selendang.“Aku pun,” ucapku yang kemudian beralih melihat sekitar sampai mataku mel
Sepanjang jalan aku masih mengomel sendiri karena tidak percaya apa yang terjadi sampai akhirnya seseorang muncul begitu saja di depanku, menatapku seperti aku melakukan kesalahan fatal. Aku mencoba mengingatnya sebentar dan astaga sejak tadi aku berjalan di depan seorang Raden.“Maaf...maafkan aku, Raden. Aku terlalu emosional dan lupa bahwa seharusnya aku tidak boleh lancang berjalan di depan, Raden. Sekali lagi tolong maafkan aku,” ucapku berkali-kali setelah menemukan Kaningrat berada di sana menatapku datar.“Raden seharusnya kita menghukum anak tidak tahu tata krama ini,” ujar abdi dalem yang sepertinya selalu bersamanya. Aku menunduk tidak berani menatap siapapun, sial. Hari ini benar sial, aku bisa dibawa ke keraton untuk diadili.“Raden,” Kaningrat mendekatiku dan dia mengeluarkan suara khas menahan tawa. Aku dan abdi dalem itu menatap satu sama lain karena mendengar Kaningrat sudah tidak bisa menahan suaranya lagi.“Raden Kaningrat anda tidak apa-apa? Maaf Raden saya tinggal