Share

Bab 4

Author: Petra Vie
last update Last Updated: 2025-03-10 11:52:23

        Emosiku seperti tidak ingin pergi padahal aku sudah mengatakan apa yang ingin ku katakan selama ini pada mereka. Memuakkan sekali jika diingat, tapi sebisa mungkin aku harus meredam emosiku sendiri jika tidak hanya akan menghambat pekerjaanku. Ku tatap langit biru karena hari ini sangat cerah sudah dipastikan akan panas sampai sore, kain hijau milik keraton juga harus cepat dikembalikan. Aku segera bergegas pulang ke rumah untuk menjemur pakaian dan mencari kain hijau untuk segera dikembalikan.

       Jalanan menuju keraton terasa ramai dari biasanya. Aku berjalan dengan cepat berharap agar cepat menyelesaikan pekerjaan kemudian pulang ke rumah untuk beristirahat. Namun, baru beberapa langkah, terdengar suara yang memanggil namaku daan aku bisa mengenalinya.

“Danastri,” itu suara Barga laki-laki yang selalu baik kepadaku terlihat dia tersenyum lebar dan sedikit dipaksakan., kata Atma dia menyukaiku dari kecil. Namun, aku tidak pernah menyukainya karena aku sudah menganggapnya sebagai teman dan kakak.

“Kamu akan pergi kemana? Biar aku antar,” ucapnya sambil menawarkan bangku belakang sepeda yang mana dia masih berada di atas sepedanya dengan kaki satu menyentuh tanah.

“Aku hanya ke keraton saja, tidak perlu mengantarku. Hari ini aku ingin berjalan-jalan,” ucapku. “Bukankah akan lebih cepat jika ku antar? Ada aku, Danastri. Aku akan mengantarmu kemanapun kamu pergi.” Selalu saja Barga seperti ini, akan memaksaku meskipun aku akan beralasan tetap saja dia akan memaksa.

“Terima kasih, Barga. Hanya saja aku ingin berjalan kaki, mungkin kamu bisa melakukan kegiatanmu yang lain,” tolakku dengan cepat sambil berharap dia akan mengiyakan ucapanku, tapi yang ada dia turun dari sepedanya.

“Kegiatanku hari ini adalah menemanimu.”

‘Gusti, kenapa hari ini orang-orang memancing emosiku’

“Ayo, Danastri jika kamu ingin berjalan aku juga akan berjalan saja. Nanti kalau Danastri lelah aku bisa menggunakan sepedaku,” ucap Barga sambil tersenyum manis dan dengan terpaksa aku tersenyum paksa. Aku tahu Barga adalah orang yang tidak suka penolakan, dan perlakuannya cukup membebaniku.

       Sepanjang jalan Barga banyak sekali berbicara tentang dirinya dan kemenangannya dalam sabung ayam dengan desa lain. Dia juga menanyakan kenapa aku lebih suka berpergian dengan Atma dibandingkan dengan dirinya, bahkan Barga mengatakan bahwa Atma adalah laki-laki yang hanya sering bermain-main tidak pernah serius. Barga juga menyuruhku untuk menjauhi Atma.

“Percayalah denganku, Danastri. Lebih baik kamu bersamaku daripada Atma si tukang onar itu,” ucapnya dengan nada mengejek Atma.

“Berhenti mengatakan hal buruk tentang Atma, Barga. Aku sangat tidak suka mendengarnya,” sanggahku cepat.

“Tapi dia hanya bermain-main, aku dan dia berbeda, Danastri. Aku sungguh bisa menjagamu dengan baik.”

“Menjagaku? Aku bisa menjaga diriku dengan baik. Satu hal, Barga. Kamu tidak pernah menjagaku tapi kamu mengontrolku dalam segala hal.” Barga terlihat terkejut dan bingung dengan pernyataanku.

“Apa maksudmu?” tanyanya, aku menghela napas panjang “Berhenti bersikap seolah-olah dirimu peduli dan berkorban dihidupku, Barga. Jika kamu berpikir tidak mengontrol diriku, berhentilah untuk mengatur dan mengurusi hidupku,” jelasku dengan tangan menyilang di depan dada.

      Ku pikir Barga akan pergi, nyatanya dia masih mengikuti dan membela dirinya. Benar-benar memuakan mendengarnya berbicara, sampai akhirnya aku sampai di keraton. Belum sempat aku membalas ucapannya yangseperti mencuci otakku untuk menjauhi keluarga Atma, tiba-tiba Mirah sudah memanggilku.

“Kalau begitu aku tunggu di sini ya, Danastri,” ucap Barga sambil menaruh sepedanya di pohon.

“Tidak perlu, aku tidak ingin kamu menungguku. Terima kasih sudah menemaniku dan satu hal lagi jangan pernah menyuruhku menjauhi Atma karena Atma adalah orang yang sangat berarti dihidupku. Selagi tidak memiliki hubungan denganku berhenti mengatur hidupku,” ucapku dengan tegas dan berlalu begitu saja meskipun dapat ku lihat raut wajah Barga yang terkejut dengan ucapanku. Mungkin saja dia belum pernah melihatku seperti itu dan aku berharap dengan seperti ini dia menjadi tahu batasan denganku.

“Ada apa denganmu sampai berbicara seperti itu dengan Barga?” tanya Mirah menelisik raut wajahku.

“Tidak ada...dia menjelekkan Atma dan menyuruhku menjauhinya. Dia pikir dia siapa mengatur pertemananku dengan Atma,” jelasku dengan sedikit kesal.

“Benar juga ucapanmu, mungkin dia tidak ingin miliknya bersama orang lain.”

“Sejak kapan aku menjadi milik Barga!” Semua mata tertuju kepadaku karena tidak seharusnya aku meninggikan suaraku di wilayah ini, Mirah memukulku pelan dan menarikku berjalan cepat.

“Danastri apa kamu lupa sekarang ada di mana?” bisik Mirah sedikit takut, tentu saja aku tahu dan seharusnya aku tidak seperti itu, tapi ucapan Mirah membuatku kesal.

Tidak terlalu lama aku langsung keluar dari area keraton setelah mengembalikan selendang dan menerima upah. Saat itu aku berharap bahwa Mirah akan memanggilku kembali, tapi sialnya tidak karena mata kami telah bertemu dan dengan cepat ia mendekatiku. Ya, benar Barga menungguku dari tadi.

“Danastri, ayo naik sepeda denganku saja,” tawar Barga yang sudah lebih dulu naik ke sepeda.

“Tidak, terima kasih. Aku ingin sendirian sekarang, Barga,” tolakku cepat dan berharap jika Barga mengerti. Aku lebih dulu meninggalkan Barga yang ku dengar dari belakang masih meneriakkan namaku, tapi ku hiraukan.

Semakin lama Barga mempercepat laju sepedanya dan mencoba mengejarku membuatku semakin risih. Tanpa ku sadari langkah kakiku berpacu dengan cepat menghindari kejaran Barga yang memaksa untuk bersamannya dan tanpa memperhatikan ke depan aku menabrak punggung seseorang.

“Aduh, maaf Tuan aku tidak sengaja dan tidak memperhatikan sekitar dengan baik,” ucapku sambil beberapa kali meminta maaf. Namun, orang ini hanya diam saja sampai akhirnya aku berani menatap wajahnya.

            Kini di depanku berdiri seorang pria dengan surjan cokelat dan blangkon yang tersemat sempurna di kepalanya. Wajahnya terlihat tegas dengan sorot tajam, tatapannya kepadaku seperti mengisyaratkan bahwa diriku tidak sepatutnya berani melihat wajahnya. Aku berharap dia akan memaafkanku dan mengizinkan diriku untuk pergi, tapi keheningan yang tercipat semakin membuatku tidak berkutik dari tempat meskipun aku sudah menunduk tetap saja aku merasa bahwa orang ini masih menatapku.

“Kamu yang menari di keraton tempo hari?” Suara itu sangat dalam dan menenangkan, tapi aku kesulitan menelan ludahku, dia mengingatku.

“I-iya, benar Raden,” jawabku sebisa mungkin tidak terlihat gugup. Kaningrat, dia benar orang yang dibicarakan sesaat sebelum aku tampil waktu itu. Raden Kaningrat merupakan keluarga bangsawan yang jarang sekali terlihat bahkan di luar lingkaran bangsawan. Tidak ada yang tahu kehidupannya seperti apa atau alasan dia bisa menonton pagelaran itu dan sekarag dia berada di sini, di depanku.

“Den, Raden Kaningrat anda baik-baik saja?” tanya seseorang yang baru saja kembali, sepertinya dia abdi dalem. “Kamu ini bagaimana tidak hati-hati melihat ada orang di sini?!” lanjutnya yang sedikit menggunakan nada tinggi saat berbicara denganku.

“Maaf saya tidak tahu, saya minta maaf,” ucapku sambil menatap orang yang bernama Kaningrat. Jujur saja aku sedikit gugup saat melihatnya karena dia adalah orang yang menontonku saat menari dan karena Mirah aku diam-diam memperhatikannya. Aku hanya ingin dia tidak mengingatku, tapi tidak mungkin.

“Danastri, apa yang kamu lakukan di sini?!” teriaknya yang baru saja sampai di depanku. Barga turun dari sepedanya dan menatap tidak suka dengan Kaningrat. Di saat seperti ini kenapa Barga masih mengikutiku.

“Jadi namamu Danastri?”

“Siapa dia Danastri? Dan dia ingin apa darimu?” tanya Barga yang membuatku menghela napas panjang. Belum sempat aku menjawab pertanyaan Barga, Kaningrat sudah lebih dulu melangkah mendekati Barga.

“Bukan urusanmu,” ucapnya dengan santai sedikit merendahkan Barga, sedangkan laki-laki itu sudah menahan emosi karena Barga paling tidak suka dihina apalagi oleh kelas ningrat seperti ini.

“Aku minta maaf, Raden...Izinkan saya pulang,” ucapku dengan harap tidak memperpanjang masalah siang ini. Tapi pikiran apa yang di otak Barga yang menahan lenganku, “Pulang denganku, Danastri.” Suranya seperti memberikan perintah yang tidak bisa ku tolak.

“Lepaskan aku, Barga. Aku bisa pulang sendiri!” Tiba-tiba sebuah genggaman lain menarikku lembut, membebaskanku dari Barga.

“Jangan memaksanya,” ucap Kaningrat dengan suara datar. “Bukan urusanmu,” bantah Barga tidak suka kegiatannya diinterupsi dan kemudian memilih untuk pergi. Aku mengambil kesempatan itu untuk menjauh, aku tidak tahu apakah aku bersyukur sudah dibantu atau khawatir bahwa terlalu menarik perhatian.

“Terima kasih, Raden,” ucapku meskipun tidak berani menatap wajahnya. Kaningrat menatapku sebentar, dan berlalu begitu saja tanpa kata.

“Lain kali hati-hati, kamu tahu dia itu siapa kan? Dasar!” ucap abdi dalem yang bersamanya dan pergi menyusul Kaningrat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Romansa Rapshodi   BAB 29

    Aku tidak tahu sejak kapan, hanya saja kini rumahku menjadi perkumpulan ketiga orang ini, Atma, Barga, dan Manik. Setelah ku ingat-ingat dulu Atma sering sekali bertengkar dengan Barga dan menyuruhku menjauhinya, tapi lihat kini mereka berteman seperti tidak pernah melempari jagung satu sama lain.“Jadi Danastri, apa kamu ikut dengan kami?” tanya Barga setelah menghidupkan rokoknya.“Pergi kemana?”“Tentu saja, pasar malam!” seru Atma antusias sambil melirik ke Manik.“Ayo, Danastri. Akan sangat menyenangkan jika kita pergi bersama,” pinta Manik memohon.“Atma, ini semua akal-akalanmu, kan? Agar kamu bisa pergi bersama Manik,” ucapku sambil menyipitkan mata dan Atma bersiul-siul menatap pintu luar.“Danastri, aku sudah lama sekali tidak pergi denganmu...aku janji akan membelikan apapun yang kamu mau,” tawar Barga yang tetap saja tidak menarik dimataku, dia pikir aku perempuan yang hanya ingin uangnya.“Ayo, Danastri. Tidak mungkin kamu tega membiarkanku bersama dua laki-laki kurang wa

  • Romansa Rapshodi   BAB 28

    Mataku menemukan wanita menggunakan pakaian berwarna putih bersama salah satu dayang keraton, semua yang ada di keraton terlihat lebih indah saat ada wanita itu mungkin dia salah satu alasan raja berani memperjuangkan cintanya. Selir Kahiyang. Dia tesenyum lembut menatapku dan mendekatiku, rasanya aku tidak sudi memberikan hormat pada orang ini setelah mendengar semua cerita kebenaran tentang orang tuaku.“Namamu tadi siapa? Aku sedikit lupa,” tanya Selir Kahiyang setelah berada di depanku, aku tidak mau melihat wajahnya benar-benar tidak sudi melihatnya.“Da-Danastri.”“Kamu tumbuh dengan baik dan mirip sekali dengan Kinasih, sangat cantik,” pujinya yang memegang daguku dengan cepat aku langsung bersimpuh memberikan hormat.“Maaf, saya belum memberikan salam. Perkenalkan saya Danastri penari keraton bersama Manik,” ujarku yang sepertinya orang itu cukup terkejut dengan reaksiku langsung menjauhinya.“Berdirilah, Danastri. Aku hanya ingin melihatmu,” ujarnya dan dengan berat hati aku

  • Romansa Rapshodi   BAB 27

    Sesaat setelah aku selesai menjemur pakaian di luar, aku dikejutkan oleh Manik yang menungguku tidak jauh dari tempatku. Wajahnya yang entah menurutku setelah pertengkaranku dengan Ambar dan Suci, wajah Manik lebih lembut atau mungkin karena hubungannya kembali membaik dengan Atma.“Ayo, Danastri,” ajaknya, “Kemana, Manik?” tanyaku yang ku dapati wajahnya sedikit was-was.“Keraton.”“Untuk apa aku kesana? Aku sudah mengatakan padamu tidak akan kembali ke sana,” tolakku yang langsung ingin masuk rumah, tapi tertahan karena lenganku dipegang dengan erat.“Aku tahu...tapi bukan untuk menari melainkan undangan perjamuan dari Ratu.”Mataku membulat sempurna benar-benar enggan untuk pergi, “Tidak, aku tidak mau,” tolakku keras.“Danastri, kamu tidak bisa menolaknya. Kita hanya makan setelah itu pulang,” jelas Manik sambil menyeretku untuk mengikutinya, tapi aku masih kekeuh dengan pendapatku.“Aku tidak mau, Manik. Lepaskan aku!”Manik berhenti dan menatapku sepenuhnya menemukan wajahku yan

  • Romansa Rapshodi   BAB 26

    Kakikku rasanya terpaku di bumi tidak bisa ku gerakkan, aliran darahku seperti memompa lebih cepat. Dadaku sangat sakit mengingat semua cerita kebenaran tentang keluargaku dan kini penyebab dari masalah ini semua ada di sini di dekatku. Derap langkahnya semakin mendekat, tapi sialnya sangat sial kakikku tidak bisa bergerak. Ku tundukkan leherku dan berusaha sekuat tenaga agar bisa menggerakan kakiku untuk cepat pergi.“Danastri, ada apa?” tanyanya yang mencoba memegang lenganku, “Jangan sentuh aku!” teriakku yang mana dia bisa melihat pelupuk mataku menggenang air dan pergi begitu saja.“A-astaga ada apa dengan anak itu, Raden?” tanya Wardi yang sama terkejutnya mendapati aku seperti itu. Di satu sisi Raden Kaningrat merasa ada yang tidak beres denganku. Malam hari saat aku tertidur aku bermimpi bertemu bapak dan ibu, di sana kami sedang berada di rumah yang mungkin milik keluarga bapak dulu. Suasananya sangat hangat, aku bisa mengetahui wajah bapak meskipun d

  • Romansa Rapshodi   BAB 25

    Hari-hari berikutnya aku menikmati hidupku sebagai orang yang sudah tidak bekerja di sanggar tari, keputusan itu akhirnya diizinkan oleh keluarga Atma mereka membiarkanku untuk menenangkan diri. Dan pekerjaanku sekarang membantu bapak mengurusi pasokan pangan terkadang membantu ibu membatik untuk di jual di pasar atau dikirim ke tengkulak untuk dijual kembali.“Danastri.” Suaranya membuatku menoleh setelah menyerahkan kain batik pesanan ke pasar dan dengan cepat aku belari menjauhi orang tersebut yang terlihat bingung mendapati reaksiku tidak seperti biasanya.“Danastri ada apa?” tanya Atma yang tidak jauh denganku melihatku sudah berlari pulang, tidak lama matanya berhasil menemukan seseorang yang dia kenal. Wajahnya sangat sumringah mendapati seseorang mendekatinya dengan cepat.“Ma-”“Atma, apa yang sebenarnya terjadi? Sudah dua minggu ini Danastri tidak datang ke sanggar. Apa dia masih sakit?” tanya Manik tecetak jelas di wajahnya penuh kekhawatiran. Tangan kanannya penuh membawa

  • Romansa Rapshodi   BAB 24

    Sayup-sayup aku bisa mendengar suara anak-anak sedang bermain di luar, dunia yang sangat berbeda denganku saat ini. Air mataku yang tak kunjung berhenti, dan rasa buah-buah ini seperti hilang dari indera perasaku bahkan tenggorokanku masih tercekat karena emosiku sendiri. Ku letakkan pisang yang tidak bisa ku telan lagi dan aku mulai membenci buah pisang tanpa alasan jelas.“Kadang kita diberikan hal-hal yang tidak bisa kita ketahui alasannya, kamu hanya bisa memilih, Danastri,” ucap Pakdhe Asmoro lebih lembut dari biasanya. “Hidup dengan perasaan menerima dan memaafkan mereka atau mengisinya dengan dendam serta amarah...pilihlah itu Danastri untuk kehidupanmu sendiri,” lanjutnya yang membuatku kesal.“Bagaimana bisa aku hidup seperti itu? Setelah semua yang terjadi dan aku baru mengetahuinya setelah usia 24 tahun, aku harus bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, Pakdhe.”“Kehilangan orang yang bahkan belum pernah ku temuin karena perbuatan orang lain, sangatlah menyakitkan, Pakdhe.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status