Sore ini aku menikmati pemandangan belakang rumah, sawah yang terhampar luas warna kemerahan di langit sangat indah sekali, aku juga ditemani oleh Atma yang datang ke rumah. Hari ini benar-benar menguras energiku aku yang sedari tadi diam membuat Atma menyenggol lenganku dan menanyakan keadaanku. Atma dari tadi sibuk mengupasi buah untuk dia jadikan lotis.
“Makan ini, ada apa denganmu?” tanyanya sambil menyuapi mangga ke mulutku. “Hah...Barga, aku tidak tahu dengannya semakin lama semakin membuatku muak saja,” jawabku sambil memutar bola mataku malas.
“Aku akan menghajarnya nanti, pasti dia tidak suka aku ada di dekatmu, kan?” aku mengangguk, Atma dan Barga seringkali bertengkar mereka seperti Pakdhe Asmoro dan ayahnya Atma, Darmo.
“Tadi dia mengejarku padahal aku sudah memberi peringatan bahwa aku ingin sendiri, sampai akhirnya aku menabrak seseorang...”
“Siapa?” tanya Atma ingin tahu, tapi aku ragu-ragu untuk mengatakannya. “Danastri tidak ada rahasia di antara kita. Kamu sudah berjanji,” ucap Atma dengan penuh penekanan dan mendesakku untuk memberitahu.
“Oalah, dia akhir-akhir ini memang terlihat,” ucap Atma yang kembali sibuk mengunyah bengkoang di mulutnya setelah aku menceritakan bertemu dengan Kaningrat.
“Kamu mengetahuinya?” tanyaku yang penasaran, “Tentu saja, aku sering ke keraton mengirimkan beberapa barang ke sana.”
“Tapi apa kamu tahu rumor yang pernah beredar?” Aku mendekatkan diri ke Atma dan mengerutkan dahiku.
“Begini dulu ada rumor bahwa Raden Kaningrat pendiam karena tidak bisa berbicara. Tapi aku kemarin mendengarnya berbicara berarti gosip itu hanya kebohongan belaka,” ujar Atma sambil mengusap keringat di dahinya karena kepedesan.
“Aku baru tahu ada gosip seperti itu.”
“Tidak hanya itu, Raden Kaningrat selama ini memang tidak berada di keraton. Ku dengar dia diasingkan, entah karena apa aku juga tidak tahu, jadi banyak kegiatan yang tidak pernah dia ikuti. Hal ini membuat orang berpikir bahwa Raden Kaningrat tidak pantas untuk tinggal di istana keraton” tambah Atma membuatku bingung.
“Aneh sekali kehidupan para bangsawan itu, aku tidak bisa membayangkan diriku ada di sana.”
Atma menangguk setuju, tapi rumor yang beredar seperti dia tidak bisa bicara dan diasingkan cukup mengganggu pikiranku. Namun, dengan cepat aku mengalihkannya dengan berbicara hal lain dengan Atma. Setelah selesai menemaniku, Atma kembali pulang ke rumahnya. Seperti biasa suasana rumahku sangatlah sepi dan gelap dengan cepat aku mencari lampu penerang.
Sebelum tidur aku melihat apakah bahan makananku masih ada, tapi sialnya tinggal sedikit yang mana aku harus pergi ke pasar besok, sedangkan uangku hanya tinggal sedikit. Kehidupan yang sulit ini sangat menekanku, aku juga berpikir tidak selamanya harus bergantung pada keluarga Atma, tapi itu salah satu caranya agar bisa bertahan hidup. Tapi tiba-tiba aku teringat sesuatu. Benar, aku masih harus menagih hutang pada seseorang.
“Suci, Suci...” tidak ada orang yang menjawabnya.
“Suci!” teriakku karena kesal dia berbohong akan membayarku kemarin, nyatanya dia tidak ada di sini.
“Hey, di mana ibumu kenapa tidak ada?” tanyaku pada Bagus, anak laki-laki Suci yang terlihat berantakan dan sudah bermain kesana kemari.
“Di rumah,” jawabnya singkat. “Tolong panggilkan, aku ada urusan dengan ibumu,” ucapku mencoba bersabar dan anak itu masuk ke dalam rumah meninggalkan temannya di luar rumah. Setelah sekian lama menunggu akhirnya Suci keluar dengan wajah sedikit tidak enak.
“Ada apa ya, Nastri?” tanyanya sambil mengikat rambutnya, aku menghela napas panjang. “Uangku, aku ingin uangku kembali. Kamu berjanji akan mengembalikannya semalam, tapi nyatanya tidak.”
“Memangnya aku meminjam uang darimu?” tanyanya seperti tidak ada urusan denganku, “Lalu yang datang ke rumahku dua hari lalu sambil menangis itu siapa? Demitmu kah? Atau sukmamu berjalan-jalan?” tanyaku tidak ingin kalah.
“Aku tidak mengerti maksudmu Danastri, untuk apa aku meminjam uang darimu?” aku mengepalkan tanganku dan menghela napas lebih panjang.
“Suci...dengarkan aku, lebih baik kamu bayar utangmu itu atau aku akan berteriak bahwa kamu suka melayani orang putih itu,” ucapku sedikit berbisik diakhir kalimat membuat perempuan di depanku memucat.
“Ah, jika mereka tahu apalagi suamimu mungkin kamu akan diseret keluar dari rumah ini.” Terlihat Suci menegang dipandangi bahwa banyak sekali orang yang berlalu lalang di depan rumahnya termasuk anaknya.
“Ehem...ehem...”
“Baiklah, baiklah aku akan membayarnya tunggu sebentar, Danastri ku mohon.” Suci berlari ke dalam rumahnya cepat dan kembali membawakan uang.
“Itu...semua utangku sudah ku bayar, tolong Danastri jangan katakan pada siapapun,” pinta Suci sambil memegangi tanganku, sedangkan aku sibuk menghitung uang yang dia berikan.
“Eum...akan aku pikirkan lagi selagi kamu tidak mencari masalah denganku,” ucapku yang kemudian pergi meninggalkan dirinya sendiri.
Tidak butuh waktu lama aku membeli bahan makanan yang kubutuhkan sampai akhirnya salah satu bahan makanan menarik perhatianku. Ikan, sudah lama sekali aku tidak memakannya tanpa lama aku mendekati penjual ikan itu, Terjo namanya. Dia sedang sibuk mengipasi dagangannya agar tidak diserang lalat.
“Ehem...Pakdhe, ikan yang itu berapa harganya?” tanyaku sambil menunjuk ikan dari laut.
“10 keping logam,” jawabnya dengan santai sambil melihat sekitar dan menawari mereka untuk datang.
“Mahal sekali, apa tidak bisa dikurangi? Aku hanya punya 4 keping logam,” pintaku sambil memelas. Kepingan logam itu hanya tinggal beberapa karena aku sudah banyak berbelanja hari ini dan lagi harus berhemat sampai mendapat gaji berikutnya.
“Kalau begitu tidak usah makan ikan, kamu pikir mudah mencarinya di tengah laut,” jelasnya sedikit tidak suka mendapatkan penawaran.
“Pakdhe....”
“Tidak bisa.”
“Pakdhe....”
“Sudah kubilang tidak bisa, jika kamu mau cari saja sendiri di laut,” ujarnya setengah mengusirku. Aku menghela napas panjang, pikiranku makan ikan dengan nasi hangat ditambah sambal lalapan pasti enak sekali, tapi sayangnya keinginanku harus sirna.
“Aku ingin ikan itu berapa harganya?” tanya seseorang yang muncul di sampingku. “Oh, ini...murah saja, Den. Ini 20 keping logam,” jawabnya dengan penuh senyuman menawarkan dagangannya.
“Hah?” ucapku tidak percaya apa yang baru saja ku dengar dan mendapat lirikan tajam dari Terjo agar diam saja. Aku tahu siapa pria ini, dia menatapku sebentar dan berhasil membuatku menunduk merasa segan berani menatapnya.
Pria itu mengeluarkan sesuatu dari kantong surjan berwarna biru, aku dan Pakdhe Terjo sedikit menilik apakah dia benar-benar akan membeli ikan dengan harga yang sangat mahal. Namun, siapa sangka dia hanya memiliki 10 keping logam yang mana kepingan itu seharusnya bisa untuk membeli ikan.
“Sayang sekali, Raden anda tidak bisa membeli ikan saya. Kurang,” ucap Terjo yang tidak peduli dan memilih berbicara dengan Asih, penjual tempe.
“Pakdhe! Ini sungguh keterlaluan bagaimana bisa Pakdhe menjualnya denganku seharga 10 keping logam, tapi dengannya...maksudku dengan kalangan ningrat menjual seharga 20 keping logam. Wah, begitukah caramu mendapatkan uang?!” tanyaku yang tidak kusadari menggunakan nada tinggi dan menjadi pusat perhatian.
“Heh...wah, anak ini terlalu sering bermain dengan anak Darmo jadi ikut begajulan. Memangnya seperti ini caraku berjualan, kenapa kamu tidak suka? Pria ini memangnya keturunan ningrat? Jika benar seharusnya dia memiliki uang untuk membelinya. Dan lagi orang yang memakai surjan seperti ini belum tentu keturunan ningrat bisa saja dia hanya bangsawan biasa. Huh...” jelas Terjo membuatku hampir mengamuk.
“Kenapa kamu mau marah denganku? Sudah ku katakan jika kamu mau ambil saja di laut tidak akan ada yang memarahimu itupun kalo kamu bisa kembali dengan selamat,” tambahnya, sebelum aku mengeluarkan kata-kata pria itu sudah menarikku untuk pergi menjauh.
“Ku doakan ikanmu tidak ada yang membeli dan membusuk!” teriakku yang menendang tiang penyangga terpal dan membuatnya terjatuh menutupi dagangannya serta Terjo terjebak di dalam terpal.
“Danastri! Bocah edan! Kembali kemari!”
“Atma! Aku tidak ingin menikah denganmu, kita ini sahabat yang sudah seperti keluarga. Mana mungkin aku mau menikah denganmu, kamu tidak mungkin menyukaiku, kan?” panikku dan berhasil membuatnya tertawa senang.“Ibu...Ibu dengar Danastri tidak mau menikah denganku hahaha.”“Danastri, Masmu Atma hanya bercanda saja. Dia hanya menggodamu jangan terlalu dipikirkan,” ucap Terta, ibu Atma yang duduk mendekatiku. Atma memang dua tahun lebih tua dariku dan biasanya orang-orang di sekitar kami diusia seperti Atma sudah menikah. Namun, keluarga Atma membebaskan Atma untuk menikah umur berapa saja hanya saja pikiran Atma adalah dia tidak akan menikah sebelum aku menikah.“Ini kamu makan,” ucap Ibu Terta memberikan sepiring makanan berisi lauk, nasi, dan sayur untuk ku makan.“Atma berhentilah makan mangga, sehari ini kamu sudah makan mangga lima kali. Lihatlah mulutmu sudah penuh dengan sisa mangga,” tambahnya memperingati anak semata wayangnya itu.“Baru lima buah, masih ada delapa
Aku menghela napas panjang rasanya seperti bisa bernapas lega sekali akhirnya mereka percaya aku tidak melakukan hal buruk. Aku sangat senang sekali, besok bisa bekerja lagi. Namun, ada satu hal yang ku lupakan masalah baru.“Danastri!” teriaknya mendekatiku, “Sekarang bagaimana dengan semua manggaku? Aku sudah membantumu menyelesaikan masalahmu,” lanjutnya dengan suara emosi.“Memang Pakdhe yang harus bertanggungjawab dengan masalahku kemarin, jika saja Pakdhe tidak menyimpulkan sesuatu dengan cepat dan mengundang dukun beranak berandalan itu, mangga Pakdhe akan baik-baik saja,” jawabku cepat tidak ingin kalah.“Tap-““Dan tadi aku sudah mengajak Pakdhe dengan nada halus dan sopan, tapi Pakdhe sendiri tidak mau turun jika ku paksa. Pakdhe hanya akan sibuk panen mangga dan menanggapku tidak ada di sana,” lanjutku memotong ucapannya sebelum mengomel lebih jauh.“Tapi tetap saja caramu salah!”“Lalu caranya seperti apa?!” teriakku yang sedikit menantang, terlihat Pakdhe Asmoro terdiam ti
Hari ini sehari setelah kejadian Pakdhe Asmoro membawakan dukun beranak itu datang ke rumah, tersiar kabar yang entah-entah. Banyak orang yang beranggapan aku melakukan perbuatan tercela. Bahkan sekarang dihadapan teman-teman penari mereka menanyaiku macam-macam.“Buktikan jika tidak, Danastri...Kalau memang kamu melakukannya kamu harus mundur dari pekerjaan ini. Aku beri waktu sampai nanti siang datanglah ke pendopo putri!” perintah Manik yang tidak mengizinkanku untuk ikut menari. Ucapan Manik masih terngiang-ngiang di otakku, kehilangan pekerjaan yang benar-benar ku sukai sejak kecil bukanlah hal yang mudah. Hidupku hancur jika harus berhenti menjadi penari dan ini semua karena satu orang yang harus bertanggung jawab mengembalikan nama baikku di depan semua orang.“Pakdhe Asmoro!” teriakku di kebun belakang rumahnya yang membuatnya hampir terjatuh dari pohon mangga.
“A-anu...bukan begitu maksudku,” ucapku merasa malu dan bingung, “Jadi maksudmu Raden Kaningrat tidak tampan?!” tanya Wardi yang tidak terima.“Tentu saja dia tampan!” jawabku setengah berteriak dan membuat kami berdua melirik ke Kaningrat yang terdiam membeku dengan wajah merah sekali.“Ra-raden?” tanya Wardi sambil menggoyangkan tubuh Kaningrat, sedangkan aku yang panik langsung berdiri.“A-a...aku...pamit dulu, terima kasih banyak atas makannya,” pamitku yang berlari menyadari ucapanku tadi benar-benar tidak pantas untuk dikeluarkan. Aku berlari sejauh mungkin saat ini aku benar-benar malu mengingat ucapanku yang mengatakan bahwa Kaningrat sangat tampan di depan orangnya langsung. Semua ini karena Wardi yang menanyaiku macam-macam, entah perasaan apa saat ini jantungku rasanya aneh. Langkahku berhenti tidak jauh dari rumah, sem
Ku rebahkan diriku di atas ranjang setelah pulang dari sungai, pikiranku melayang cukup jauh untuk mencerna semua peristiwa hari ini. Seorang penari tiba-tiba makan bersama seorang ningrat dan cukup akrab untuk berbicara. Selama memikirkan itu semua tidak terasa mataku cukup berat sampai akhirnya terlelap untuk tidur. Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa meskipun sekarang saat pergi mencuci ke sungai mereka sudah tidak lagi mengejekku, kehidupanku cukup tenang selama seminggu ini tidak ada masalah sama sekali. Aku juga masih rutin datang ke keraton untuk latihan dan selama ini aku tidak pernah bertemu dengan Kaningrat, entah dia di mana mungkin saja sedang menikmati kehidupannya di luar keraton.“Kita istirahat sebentar!” perintah Manik setelah kami berlatih, aku merapikan kain selendangku.“Hah...aku cukup lelah, Danastri,” ucap Mirah yang duduk sambil mengipasi dirinya menggunakan selendang.“Aku pun,” ucapku yang kemudian beralih melihat sekitar sampai mataku mel
Sepanjang jalan aku masih mengomel sendiri karena tidak percaya apa yang terjadi sampai akhirnya seseorang muncul begitu saja di depanku, menatapku seperti aku melakukan kesalahan fatal. Aku mencoba mengingatnya sebentar dan astaga sejak tadi aku berjalan di depan seorang Raden.“Maaf...maafkan aku, Raden. Aku terlalu emosional dan lupa bahwa seharusnya aku tidak boleh lancang berjalan di depan, Raden. Sekali lagi tolong maafkan aku,” ucapku berkali-kali setelah menemukan Kaningrat berada di sana menatapku datar.“Raden seharusnya kita menghukum anak tidak tahu tata krama ini,” ujar abdi dalem yang sepertinya selalu bersamanya. Aku menunduk tidak berani menatap siapapun, sial. Hari ini benar sial, aku bisa dibawa ke keraton untuk diadili.“Raden,” Kaningrat mendekatiku dan dia mengeluarkan suara khas menahan tawa. Aku dan abdi dalem itu menatap satu sama lain karena mendengar Kaningrat sudah tidak bisa menahan suaranya lagi.“Raden Kaningrat anda tidak apa-apa? Maaf Raden saya tinggal