Tidak terasa dua minggu sangatlah cepat sekali, hari ini adalah hari pagelaran seni yang diadakan di Kraton. Kain berwarna hijau yang terlilit di pinggang ini milik Kraton yang dipinjami selama pagelaran. Jujur saja aku sedikit takut apabila melakukan kesalahan apalagi yang datang kali ini adalah tamu-tamu penting untuk Kraton dari keluarga bangsawan kelas atas sampai menengah, dan juga para tamu Belanda itu juga turut menyaksikan acara ini.
Berulang kali aku mencoba menarik napas agar lebih tenang begitu juga dengan penari yang lainnya sama gugupnya. Bahkan mereka masih sempat-sempatnya membicarakan para bangsawan yang hadir kali ini, aku mencoba untuk tidak terlalu mendengarnya hanya saja pembicaraan itu tetap sampai ke telingaku.
“Kalian tahu...” Juminten mengawali pembicaraan itu dan tanpa lama mereka mendekat. “Ku dengar salah satu pangeran yang terkenal pendiam dan jarang terlihat itu juga datang kemari.”
“Ah, benar Raden Kaningrat ada di sini. Sebenarnya aku sempat melihatnya tadi,” tambah Diah semakin membuat mereka penasaran.
“Bagaimana dia?” tanya Suri yang mewakili mereka dan aku sedikit ingin tahu. “Dia sungguh sangat tampan, badannya yang tegap, cara bicaranya lalu suaranya yang sangat....”
“Bisakah kalian berhenti menggosip, sudah waktunya kita tampil. Anak-anak ini,” ucap Manik memberikan perintah untuk segera keluar.
“Ayo, Danastri,” ucap Ani menyadarkanku agar juga segera keluar.
Riuh suara para penonton dan tepuk tangan dari orang-orang kelas atas ini menyambut kehadiran kami dalam menarikan tarian Semang. Sepanjang acara semua terlihat menyukai tarian kami, tetapi aku melihat seseorang yang memadangku dengan tatapan mata yang aneh apakah aku terlihat tidak berbeda di sini, lalu ku singkikan pikiranku itu. Meski begitu aku tetap harus fokus dengan tarian kali ini, setidaknya dalam acara ini riuh tepuk tangan bisa membayar hasil jerih payah kami. Alunan gamelan sudah berhenti sebagai pengiring bahwa tarian kami sudah selesai dan kini aku sudah berada di belakang panggung. Rasanya begitu lega apabila sudah menyelesaikan tarian persembahan seperti ini.
“Danastri, apa kamu melihat laki-laki yang menggunakan surjan berwarna coklat tadi?” tanya Mirah yang duduk di sebelahku dan kupastikan pembicaraan ini akan panjang.
“Tidak tahu, aku tidak terlalu memedulikan karena banyak sekali orang yang hadir. Tidak mungkin aku fokus satu orang saja,” jelasku sambil membenarkan ikatan kain selendangku yang sedikit renggang.
“Ish, ada Danastri dia sangat tampan. Tidak mungkin jika kamu tidak memerhatikannya sebentar saja,” sanggah Mirah yang memaksaku untuk mengakui bahwa aku melihatnya.
“Memangnya kenapa?” tanyaku sambil menghela napas. “Hehehe dia sangat tampan sekali,” jawab Mirah menggebu-gebu.
“Semua laki-laki yang kamu temui akan kamu bicarakan tampan, Mirah. Jadi aku tidak kaget dengan ucapanmu.”
“Kali ini berbeda, kemarilah ayo kita lihat. Apa mungkin dia yang bernama Raden Kaningrat ya?” tanya Mirah dan tiba-tiba menarikku tanganku dengan cepat berjalan untuk mengintip area penonton. “Lihat dia ada di sana.” Tunjuk Mirah pada orang yang mengenakan pakaian surjan coklat dan blangkon khas Yogyakarta sedang menikmati acara campursari.
“Mirah, kemarilah sebentar!” panggil Inah meminta Mirah untuk datang kepadanya. “Haish, aku sedang menikmati wajah tampannya. Sekarang kamu percaya dia tampan, kan Danastri?”
“Mirah!”
“Iya, aku datang. Nikmati waktumu Danastri, aku harus pergi dulu,” ucap Mirah yang kemudian berlalu.
“Dia memang tampan, tapi terlihat dingin.” Ucapanku seakan terdengar olehnya yang mana kala itu manik mata kami bertemu dengan cepat aku melihat ke arah lain dan pergi. Rasanya seperti tertangkap basah melihat laki-laki itu dan baru kusadari ternyata dia adalah laki-laki yang dari tadi menatapku dengan tatapan aneh saat aku menari.
Suara tawa para perempuan bersanding dengan gemericik air sungai. Ya benar kami semua sedang mencuci baju di sungai dan kegiatan ini hampir setiap hari dilakukan. Aku hanya terfokus pada cucianku yang sudah hampir selesai. Namun, seperti biasa kebiasaan mereka tidak akan puas kalau belum menjadikanku bahan gunjingan. Aku juga mendengar hal-hal seperti ini hampir setiap hari.
“Hei, Danastri kamu tidak malu diseusia kami hanya kamu yang belum menikah?” tanya Ambar, gadis yang selalu menanyakan pertanyaan sama membuatku muak mendengarnya. Aku berusaha untuk tidak terpancing oleh ucapannya.
“Betul, lihatlah kami sudah punya pasangan, sedangkan kamu masih sendirian sampai sekarang. Kasihan sekali, pasti orang tuanya menyesal punya anak sepertinya,” sindir Riani sambil menggosok baju.
“Mungkin tidak ada yang mau dengannya, bisa saja dia akan dinikahkan dengan kuda milik bapaknya Atma,” tambah Suci yang didukung oleh suara tawa orang-orang di sana.
“Atau sebenarnya dia tidak ada jodoh.” Suara tawa semakin menggelegar di sungai pagi ini, tapi aku tidak ambil pusing karena sudah selesai aku naik lebih dulu.
“Sepertinya dia akan pulang sambil menangis di kamarnya sendirian karena tidak ada orang yang bisa berbagi keluh kesah dengannya,” ucap Ambar menaikkan pakaiannya yang sudah bersih di pinggir sungai dengan cepat ku tendang ke arah sungai.
“Danastri! Dasar gila cuciannku–” belum sempat Ambar menyelesaikan kalimatnya aku lebih dulu memotongnya.
Aku menatapnya dengan tajam. “Iya aku memang gila, tapi aku tidak seperti kalian. Kalian hanyalah perempuan yang tidak bahagia pernikahannya dan mengatakan gadis yang belum menikah ini itu nyatanya kalian masih ingin belum menikah,” ucapku dengan nada tinggi dan kulihat mereka membantu Ambar mengambil pakaian yang hanyut.
“Memangnya hal yang kamu lakukan ini benar sampai harus menendang pakaian yang sudah selesai ku cuci?!” teriak Ambar yang kini masih di bawah dengan emosi sambil mengepalkan tangannya dan terlihatnya dadanya naik turun karena emosi.
“Lalu apa yang kamu lakukan juga benar selalu menghakimiku karena belum menikah? Memangnya hidupku sepenting itu untuk kalian? Jujur saja kalian tidak bahagia, kan?”
“Danastri!”
“Apa?! Berhenti menggangguku Suci padahal kemarin sore kamu memohon meminjam uang padaku dan kamu Riani ingatlah setiap malam kamu selalu menangis dan itu berisik sekali! Satu hal lagi Ambar, aku tahu kamu tidak pernah menyukai Darno karena orang yang kamu suka adalah Atma, tapi sayang sekali Atma tidak suka denganmu!” Teriakku yang semakin emosi dan tidak ingin kalah.
“Dan untuk kalian yang ikut tertawa kalian sangat menyedihkan sampai harus mencari hiburan sampah dari pembicaraan ini,” tambahku yang ku tatap mereka dengan mata khas orang marah. Dan tanpa lama aku pergi meninggalkan mereka yang menyumpahiku dengan perasaan kesal. Untuk pertama kalinya, aku mengatakan semua yang ingin ku katakan sejak lama.
“Ada apa, Den?” tanyanya yang kebingungan dengan orang di sampingnya tertawa sambil memegangi perut.
“Tidak apa-apa, gadis itu sangat berani sekali. Sangat menarik,” ucapnya sambil tersenyum.
“Atma! Aku tidak ingin menikah denganmu, kita ini sahabat yang sudah seperti keluarga. Mana mungkin aku mau menikah denganmu, kamu tidak mungkin menyukaiku, kan?” panikku dan berhasil membuatnya tertawa senang.“Ibu...Ibu dengar Danastri tidak mau menikah denganku hahaha.”“Danastri, Masmu Atma hanya bercanda saja. Dia hanya menggodamu jangan terlalu dipikirkan,” ucap Terta, ibu Atma yang duduk mendekatiku. Atma memang dua tahun lebih tua dariku dan biasanya orang-orang di sekitar kami diusia seperti Atma sudah menikah. Namun, keluarga Atma membebaskan Atma untuk menikah umur berapa saja hanya saja pikiran Atma adalah dia tidak akan menikah sebelum aku menikah.“Ini kamu makan,” ucap Ibu Terta memberikan sepiring makanan berisi lauk, nasi, dan sayur untuk ku makan.“Atma berhentilah makan mangga, sehari ini kamu sudah makan mangga lima kali. Lihatlah mulutmu sudah penuh dengan sisa mangga,” tambahnya memperingati anak semata wayangnya itu.“Baru lima buah, masih ada delapa
Aku menghela napas panjang rasanya seperti bisa bernapas lega sekali akhirnya mereka percaya aku tidak melakukan hal buruk. Aku sangat senang sekali, besok bisa bekerja lagi. Namun, ada satu hal yang ku lupakan masalah baru.“Danastri!” teriaknya mendekatiku, “Sekarang bagaimana dengan semua manggaku? Aku sudah membantumu menyelesaikan masalahmu,” lanjutnya dengan suara emosi.“Memang Pakdhe yang harus bertanggungjawab dengan masalahku kemarin, jika saja Pakdhe tidak menyimpulkan sesuatu dengan cepat dan mengundang dukun beranak berandalan itu, mangga Pakdhe akan baik-baik saja,” jawabku cepat tidak ingin kalah.“Tap-““Dan tadi aku sudah mengajak Pakdhe dengan nada halus dan sopan, tapi Pakdhe sendiri tidak mau turun jika ku paksa. Pakdhe hanya akan sibuk panen mangga dan menanggapku tidak ada di sana,” lanjutku memotong ucapannya sebelum mengomel lebih jauh.“Tapi tetap saja caramu salah!”“Lalu caranya seperti apa?!” teriakku yang sedikit menantang, terlihat Pakdhe Asmoro terdiam ti
Hari ini sehari setelah kejadian Pakdhe Asmoro membawakan dukun beranak itu datang ke rumah, tersiar kabar yang entah-entah. Banyak orang yang beranggapan aku melakukan perbuatan tercela. Bahkan sekarang dihadapan teman-teman penari mereka menanyaiku macam-macam.“Buktikan jika tidak, Danastri...Kalau memang kamu melakukannya kamu harus mundur dari pekerjaan ini. Aku beri waktu sampai nanti siang datanglah ke pendopo putri!” perintah Manik yang tidak mengizinkanku untuk ikut menari. Ucapan Manik masih terngiang-ngiang di otakku, kehilangan pekerjaan yang benar-benar ku sukai sejak kecil bukanlah hal yang mudah. Hidupku hancur jika harus berhenti menjadi penari dan ini semua karena satu orang yang harus bertanggung jawab mengembalikan nama baikku di depan semua orang.“Pakdhe Asmoro!” teriakku di kebun belakang rumahnya yang membuatnya hampir terjatuh dari pohon mangga.
“A-anu...bukan begitu maksudku,” ucapku merasa malu dan bingung, “Jadi maksudmu Raden Kaningrat tidak tampan?!” tanya Wardi yang tidak terima.“Tentu saja dia tampan!” jawabku setengah berteriak dan membuat kami berdua melirik ke Kaningrat yang terdiam membeku dengan wajah merah sekali.“Ra-raden?” tanya Wardi sambil menggoyangkan tubuh Kaningrat, sedangkan aku yang panik langsung berdiri.“A-a...aku...pamit dulu, terima kasih banyak atas makannya,” pamitku yang berlari menyadari ucapanku tadi benar-benar tidak pantas untuk dikeluarkan. Aku berlari sejauh mungkin saat ini aku benar-benar malu mengingat ucapanku yang mengatakan bahwa Kaningrat sangat tampan di depan orangnya langsung. Semua ini karena Wardi yang menanyaiku macam-macam, entah perasaan apa saat ini jantungku rasanya aneh. Langkahku berhenti tidak jauh dari rumah, sem
Ku rebahkan diriku di atas ranjang setelah pulang dari sungai, pikiranku melayang cukup jauh untuk mencerna semua peristiwa hari ini. Seorang penari tiba-tiba makan bersama seorang ningrat dan cukup akrab untuk berbicara. Selama memikirkan itu semua tidak terasa mataku cukup berat sampai akhirnya terlelap untuk tidur. Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa meskipun sekarang saat pergi mencuci ke sungai mereka sudah tidak lagi mengejekku, kehidupanku cukup tenang selama seminggu ini tidak ada masalah sama sekali. Aku juga masih rutin datang ke keraton untuk latihan dan selama ini aku tidak pernah bertemu dengan Kaningrat, entah dia di mana mungkin saja sedang menikmati kehidupannya di luar keraton.“Kita istirahat sebentar!” perintah Manik setelah kami berlatih, aku merapikan kain selendangku.“Hah...aku cukup lelah, Danastri,” ucap Mirah yang duduk sambil mengipasi dirinya menggunakan selendang.“Aku pun,” ucapku yang kemudian beralih melihat sekitar sampai mataku mel
Sepanjang jalan aku masih mengomel sendiri karena tidak percaya apa yang terjadi sampai akhirnya seseorang muncul begitu saja di depanku, menatapku seperti aku melakukan kesalahan fatal. Aku mencoba mengingatnya sebentar dan astaga sejak tadi aku berjalan di depan seorang Raden.“Maaf...maafkan aku, Raden. Aku terlalu emosional dan lupa bahwa seharusnya aku tidak boleh lancang berjalan di depan, Raden. Sekali lagi tolong maafkan aku,” ucapku berkali-kali setelah menemukan Kaningrat berada di sana menatapku datar.“Raden seharusnya kita menghukum anak tidak tahu tata krama ini,” ujar abdi dalem yang sepertinya selalu bersamanya. Aku menunduk tidak berani menatap siapapun, sial. Hari ini benar sial, aku bisa dibawa ke keraton untuk diadili.“Raden,” Kaningrat mendekatiku dan dia mengeluarkan suara khas menahan tawa. Aku dan abdi dalem itu menatap satu sama lain karena mendengar Kaningrat sudah tidak bisa menahan suaranya lagi.“Raden Kaningrat anda tidak apa-apa? Maaf Raden saya tinggal