Share

Bab 3

Briella dan Zayden berjalan sekitar dua puluh menit dan akhirnya sampai di rumah mereka. Briella menyewa rumah seluas 60 meter persegi yang berada di sebuah lingkungan tua.

"Zayden, nonton televisi dulu, ya. Mama mau ganti baju."

Briella segera masuk ke kamar tidur, bersandar ke pintu dan membungkuk dalam-dalam. Dia menutupi wajahnya, tidak mampu lagi menahan emosinya dan menangis tanpa suara.

Saat ini, dia merasa sedih, takut, terhina dan tidak berdaya. Semua itu mengungkungnya seakan ingin melahapnya tanpa sisa. Martabat yang dia junjung tinggi selama ini ternyata sangat rapuh.

Setelah cukup lama melampiaskan emosinya, Briella keluar dari kamar seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bersiap untuk memasak.

"Kenapa mata Mama merah?"

"Bulu mata Mama masuk ke mata. Karena dikucek terlalu keras, jadi merah begini."

Zayden tidak mengatakan apa pun lagi, tetapi dalam hati dia merasa sedih.

Dia tahu kalau ibunya berbohong.

Namun, Zayden tahu kalau saat ini ibunya lebih ingin melihatnya berpura-pura tidak tahu.

"Huh."

Zayden mengalihkan pandangannya dan tatapannya tertuju pada Valerio yang sedang diwawancarai di saluran ekonomi.

Dia menatap wajah yang memiliki kemiripan tujuh puluh persen dengannya. Dia mengusap dagunya dan mulai tenggelam dalam lamunannya.

Dalam hati, dia merasa kalau hal ini sangat luar biasa. Dia sangat mirip dengan pria itu. Mungkinkah pria itu ayahnya?

Akan sangat bagus jika kemungkinan itu memang benar. Pasti tidak akan ada lagi yang berani menggertak mama.

Pikiran ini seperti benih kecil yang tertanam di dalam hati kecilnya. Untuk pertama kalinya, dia memiliki keinginan untuk mencari papanya.

Ponsel di atas meja berdering. Zayden melihat layar ponsel dan tertulis nama Pak Valerio.

"Mama, ada telepon dari bos Mama."

Briella menyeka tangannya dan mengambil ponselnya. Dia berjalan ke balkon dan menutup pintu balkon rapat-rapat.

"Di mana?" Suara rendah dan memikat Valerio terdengar di telinganya.

"Rumah."

"Kirim alamatnya."

"Kenapa?"

"Kangen."

Briella tertawa pelan, tatapannya tampak dingin.

Kangen dari mana?

"Pak Valerio mau menjemputku?"

"Ya. Dandan yang cantik. Pakai gaun merah yang punggungnya terbuka itu."

"Ya."

Setelah selesai bersiap, Briella berjalan keluar dari rumah. Sebuah mobil Maybach terparkir di pinggir jalan yang sempit. Mobil itu terlihat tidak cocok dengan lingkungan yang bau selokan dan penuh debu kotor.

Kening Valerio berkerut ketika Briella masuk ke dalam mobil.

"Kamu tinggal di sini?"

"Ya. Lebih dekat kalau ke kantor. Aku menunggu uang perpisahan dari Pak Valerio biar bisa beli rumah yang lebih besar."

Valerio menoleh dan mengamati wajah kecil Briella yang cantik.

Apa wanita ini bersama dengannya hanya demi uang?

Kenapa wanita ini tidak mencoba bergantung kepadanya agar bisa menikmati semua kekayaan dan kemuliaan yang bisa dia berikan? Sebaliknya, wanita ini sangat tidak sabar ingin mengakhiri hubungan ini.

Dia tidak bisa memahami Briella.

Namun, hubungan mereka akan segera berakhir, jadi tidak perlu menebak-nebak.

Dia memberikan sebuah dokumen kepada Briella, kemudian tangannya beralih ke kemudi dan menyalakan mobil.

"Ini informasi tentang Pak Sony. Pelajari dulu. Tugasmu malam ini adalah mendapatkannya."

Mata indah Briella terlihat terkejut. Dia mengira kalau Valerio mengajaknya keluar karena ingin bermain-main dengannya.

"Kamu ingin aku menemani pria lain?"

"Aku juga di sana. Ini perjamuan biasa, cuma ngobrol dan minum."

"Ya."

Briella mengiakan. Dia menggenggam semprotan cabai yang selalu dia bawa di dalam tasnya.

Mungkin Valerio sudah bosan dengannya, jadi pria itu berencana memberikannya kepada orang lain.

Sekilas Valerio melihat tangan Briella meraba sesuatu di dalam tasnya. Dia terus menatapnya karena penasaran. Namun, tatapannya tidak sengaja melihat memar di pergelangan tangan Briella.

Cit ....

Mobil direm dengan mendadak dan berhenti di pinggir jalan.

Briella terpental ke depan karena tidak siap. Valerio mengulurkan tangannya untuk melindungi kepala Briella sedangkan tangan satunya memegang pergelangan tangan Briella.

Briella terlihat bingung. Dia masih belum mengerti apa yang terjadi, tetapi sudah dihadapkan dengan omelan Valerio.

"Ini kenapa?"

"Bertengkar."

"Jangan bohong."

"Di kompleks ada ibu-ibu menyebalkan yang menarik dan menuduhku mencuri. Tapi aku nggak mencuri, jadi aku melawan."

"Kamu nangis?"

Valerio mengangkat dagu Briella dengan jarinya yang lentik. Alas bedak yang Briella gunakan tidak bisa menutupi matanya yang sembap.

Tatapan Valerio terlihat dingin. Briella sudah bersamanya selama lima tahun, tetapi dia belum pernah melihat wanita itu meneteskan air mata untuknya.

Kecuali masalah ranjang.

Namun, dia menangis sampai matanya bengkak karena bertengkar dengan orang asing?

Apa-apaan ini, Briella!

"Apa Pak Valerio kasihan padaku? Terima kasih karena sudah peduli."

Briella berterima kasih dari lubuk hatinya yang paling dalam.

"Bisakah kamu hidup setelah kita berpisah?"

"Haha."

Briella hanya tertawa dan tidak menjawab pertanyaannya.

Bukan hanya bertahan hidup, dia juga bisa menghidupi anaknya. Hal ini sama sekali tidak perlu dikhawatirkan.

Valerio mencoba mengujinya, tetapi wanita ini berhasil mengelak.

Valerio menjadi tidak senang, suasana di sekitarnya berubah suram. Keduanya tidak ada yang berbicara sampai mobil mereka tiba di tempat hiburan paling mewah di Kota Karu.

Valerio membawa Briella ke ruang pribadi terbesar di tempat hiburan itu.

Begitu mereka masuk, seorang pria botak berbadan gemuk berjalan mendekati Briella. Tatapannya sangat lekat dan cabul.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status