“Maafkan ya, Three kadang terlalu panik untuk hal kecil” kata Six sambil tertawa kecil.
“Bukankah ia merepotkan” ucap Four ketus.
“Tidak juga, ia malah terlihat lucu”
Four menatap Six dengan tatapan tak percaya, “Bagian dari mana yang lucu? Ia mengikutimu ke sana kemari, mengajakmu bicara dengan wajahnya yang menyebalkan itu. Aku tak tahan denganya, bukankah ia lebih terlihat menjijikan?”
Six tersenyum, namun matanya menunjukkan kemarahan. “Kau banyak bicara ya ternyata, sebaiknya kau menutup mulutmu dan berhenti bicara buruk tentangnya”
Four mendengus, “Pantas saja kau dekat denganya, ternyata kau sama gilanya dengan gadis itu”
“Hahaha terimakasih atas pujianya” kata Six sambil tertawa lebar.
Pintu besar yang terbuat dari besi kini berada tepat didepan mereka. Setelah pintu yang terhubung dengan aula tadi, Six dan Four masih harus berjalan melewati lorong yang cukup panjang. Fungsi lorong ini untuk menyimpan berbagai keperluan Kerberos, seperti peralatan untuk membersihkan kotoranya, dan juga peralatan lainya yang tersusun rapi.
Six menoleh ke sana kemari, “Jadi, mana makanan untuk Kerberos?” tanya Six.
Four menyeringai dengan liciknya, “Oh, Three belum menceritakan semuanya padamu ya”
Six mengerutkan keningnya, “Sudah, dia sudah menjelaskan tentang Kerberos padaku. Memangnya kenapa?”
“Menurutmu apa makanan pokok untuk Kerberos?” tanya Four sambil memegang pintu besi didepanya.
“Daging?” kata Six bingggung.
“Yup benar sekali” kata Four sambil mendorong Six menuju ke pintu besi tersebut.
Angin berhembus kencang di belakangnya, didepanya padang rumput luas yang terbentang bermil mil luasnya. Dikejauhan ia bisa melihat seekor anjing besar menatapnya dengan tatapan yang tajam, air liur mengalir dari mulutnya. Ini jam makan untuknya, dengan cepat anjing tersebut berlari menuju pintu dimana Six sedang berdiri.
“Sampai jumpa Six” ucap Four. Pintu besi di belakangnya tertutup dengan cepatnya, meninggalkan Six sendiri dengan anjing besar didepanya. Terdengar suara pintu yang terkunsi dari dalam. Six menelan ludah, apa ini alasan kenapa Three ingin bertukar tugas denganya?.
Six terpojok, tubuhnya sudah menempel dengan pintu. Tak ada tempat sembunyi untuknya, tinggal beberapa langkah lagi sebelum Kerberos benar benar dekat denganya. Six memutar otaknya dengan cepat memikirkan hal apa yang harus ia lakukan, apa yang kira kira Three lakukan ketika memberi makan Kerberos?. Gadis itu sudah bertahan disini tiga tahun lamanya, tentu saja ia juga kebagian memberi makan Kerberos.
Kerberos berjalan semakin dekat menuju tempat Six berdiri, ia menggeram dengan kencangnya. Tiga kepalanya menunjukkan sikap yang tak bersahabat. Six berusaha berdiri dengan tegak, padahal sejak tadi kakinya bergetar hebat.
“Hei anjing manis, kau lapar ya?”
***
Aku menggosok mataku tak percaya, seorang anak lelaki dengan rambut panjang yang menutupi wajahnya keluar dari pintu menuju ke tempat Kerberos. Apa tugas mereka sudah selesai? cepat juga ya, pikirku dalam hati. Aku saja belum selesai menyapu semua bagian aula.
Aku menatap ke arah Four dan seperti biasa, ia memalingkan wajahnya dariku. Sudah ku duga ia tak akan bersikap baik padaku. Four berjalan melewatiku tanpa mengatakan sepatah katapun, dan tentu saja aku juga enggan berbicara denganya. Aku melanjutkan pekerjaanku menyapu. Tunggu sebentar, seketika perhatianku tertuju ke arah pintu tempat Four keluar. Dimana Six?
“Hei!” panggilku kepadanya, tapi anak itu tak berhenti sama sekali.
“Dimana Six?” tanyaku sambil berlari ke arahnya, menghentikan langkahnya yang sejak tadi tetap pada ritme yang sama.
Four mengempaskan tanganku cepat, seringai terukir di wajahnya. “Kira kira dimana ya?”
Mataku membulat, “Kau gila” bentakku sambil berlari menuju pintu tempat Kerberos berada. Sapu yang tadinya ku pegang terhempas tak tahu kemana arahnya. Pikiranku campur aduk, mengutuk diriku sendiri karena meninggalkan Six sendirian dengan orang asing. Padahal aku sendiri yang berkata jangan percaya pada orang lain.
Aku berlari seperti orang kesetanan. Aku berusaha membuka pintu besi di depanku dengan cepat. Pintu ini terkunci? Mataku memerah marah, Four sudah keterlaluan. Ia pasti melampiaskan rasa tidak sukanya padaku kepada Six.
Bau darah menyengat begitu aku membuka pintu besi didepanku, darah bercecer dimana mana. Mataku meneliti, Six tak ada dimanapun. Yang kulihat hanyalah Kerberos yang duduk membelakangiku, sepertinya ia belum menyadari keberadaanku. Mataku memerah, Ku ambil penggaruk daun yang tersampir di samping pintu, otakku mulai tak berjalan dengan normal. Aku baru saja mendapatkan teman, dan makhluk besar didepanku baru saja merebutnya. Aku tak peduli jika penggaruk daun ini tak memberikan dampak besar pada Kerberos, tapi aku tak bisa membiarkannya begitu saja.
Aku menganggkat penggaruk daun dan mengarahkan bagian runcingnya ke arah Kerberos, air mataku jatuh. Aku tak bisa menahanya lagi.
“Three?”
Seketika pergerakanku terhenti, aku menatap tak percaya. Six berdiri tegak di depan Kerberos, ia masih hidup.
Aku menurunkan penggaruk daun di tanganku, air mataku mengalir deras “Kau..”
Di saat yang sangat menyentuh itu, tiba tiba salah satu kepala Kerberos menoleh ke arahku. Ia menatapku dengan mata laparnya, sekujur tubuhku menggigil. Aku berdiri tepat dibelakangnya, jarak ini cukup untuk membuatnya memakanku dalam sekali lahap.
Aku melangkah mundur perlahan, kakiku bergetar hebat. Aku berusaha sekeras mungkin menggerakan kakiku untuk berjalan menjauh. Splash… sebuah cairan terpercik ke arahku, aku menyentuh wajahku yang terkena percikan cairan tersebut. Darah?
Sebelum salah satu kepala Kerberos menggigitku, Six terlebih dulu memelukku dan menggiringku keluar. Kreek… akhirnya pintu di belakang kami tertutup rapat. Kakiku yang sejak tadi berusaha bertahan akhirnya roboh juga, nafasku naik turun. Tadi benar benar menyeramkan.
“Kau tak apa?” tanya Six kepadaku.
“Aku tak –“ perkataanku terhenti, tubuhku membeku seketika. “Lihat dirimu!” bentakku keras, tenaga yang tadinya menghilang langsung pulih begitu melihat keadaan Six. Bagaimana bisa aku tak menyadari hal ini sedari tadi?
Lengan kiri dan bahu kanan Six terluka parah, darah mengalir deras darinya. Pakaianya bahkan terobek karena gigitan Kerberos yang kuat, dan apa yang baru saja ia katakan padaku?
Aku menarik tangan kanannya, “Kita pergi dari sini!”
Kami berjalan melewati aula tempatku bertugas, aku tak memedulikan tugasku yang belum selesai dan juga darah Six yang mengotori lantai setiap kali kali kami berjalan. Pikiranku dipenuhi untuk segera kembali ke basecamp, luka Six terlalu besar jika tak segera mengobatinya. Ia bisa mati karena kekurangan darah.
“Aw..” Six meringis pelan. Refleks aku menghentikan langkahku, genggaman tanganku terlepas. Apa aku terlalu kencang menariknya?, pikirku.
Aku menatap kearahnya, tanpa sadar air mata mengalir lagi dari mataku. Entah sejak kapan aku menjadi secengeng ini.
“Jangan menangis, aku tak apa” ujarnya pelan.
Perkataanya justru membuat air mataku semakin deras, “Berhenti berbicara seperti itu” ucapku lirih
Dengan ragu aku memegang tanganya lagi, “Kita harus segera mengobati lukamu, ikuti aku”
Six tersenyum, ia menggenggam tangaku erat. “Aku tak selemah itu, kau bisa menggenggam tanganku. Hanya saja jangan berjalan terlalu kencang, aku tak bisa menyamai langkahmu”
Aku membuka pintu ruangan dengan lambang angka enam di atasnya, “Kau tunggu disini” ucapku sambil buru buru berjalan menuju ke ruanganku. Ku buka kotak yang ku sembunyikan selama ini. Basecamp zero tak memiliki fasilitas pengobatan seperti tempat lainya, karena itu aku mengambil inisiatif untuk mencuri beberapa saat jadwal penjualan berlangsung. Kami didisplay di pasar yang cukup besar, dan dalam perjalanan menuju pusat pasar, terdapat banyak pedagag yang memaparkan jualanya tanpa penjagaan yang ketat.
Aku mengambil salep untuk menyembuhkan luka dalam kotak persembunyianku. Sejujurnya aku tak begitu yakin apakah obat ini akan berfungsi dengan baik, aku tak pernah menggunakanya untuk mengobati lukaku. Selama ini jika luka yang aku dapat masih bisa di tahan, aku memilih untuk membiarkanya sembuh sendiri tanpa memberikan obat sedikitpun. Bisa dibilang aku merasa sayang untuk menggunakan obat ini. Jadwal penjualan hanya dilakukan 6 bulan sekali, dan jika aku terlalu sering mencuri, para penjual itu bisa saja menyadariku.
Six terduduk lemas di dalam ruanganya, nafasnya terdengar pelan. Ia menutup matanya untuk mengurangi rasa sakit yang ada. Aku mengambil kain seadanya yang ku dapat dari tempat sampah budak dengan rank yang lebih tinggi, mereka memiliki fasilitas yang lebih memadai. Darah Six masih mengalir dengan derasnya, bajunya yang tadinya berwarna coklat kini telah menghitam karena darah.
Oh iya.. air. Aku baru ingat luka miliknya belum ku bersihkan. Nampan makan milikku yang tergeletak di atas karpet usang milikku dengan cepat berpindah ke tanganku, aku berlari menuju kamar mandi yang di sediakan diujung basecamp. Para penjaga tak suka jika kami bau, jadi fasilitas seperti ini masih mereka berikan kepada kami walaupun kami harus berbagi hanya dengan satu kamar mandi.
Aku mengisi nampan milikku dengan air, karena bentuknya yang tak terlalu cekung. Aku hanya bisa mendapatkan sedikit air, tak ada wadah lain yang bisa ku gunakan selain nampan makanku. Sebisa mungkin aku berjalan tanpa meneteskan air sedikitpun. Begitu sampai di ruangan milik Six, ku basuh lukanya dengan air perlahan. Ia meringis, aku tahu ini pasti sangat sakit.
“Tahan sebentar ya” kataku pelan. Tanganku bergerak dengan telaten membersihkan luka miliknya, begitu bersih aku mengoleskan obat yang tadi ku bawa dan membalutnya dengan kain seadanya. Aku menghela nafas lega, untung saja tangan dan bahu miliknya masih utuh. Anehnya, kerberos hanya menggigitnya tanpa menarik daging miliknya. Padahal biasanya ia akan langsung memakan makanan yang ku berikan, apa yang sebenarnya terjadi disana?.
Ruangan milik Six masih kosong, tak ada apapun yang bisa di jadikanya alas untuk tidur. Nafas Six mulai berhembus secara teratur, sepertinya pedagang yang menjual obat ini tak berbohong tentang manfaatnya. Ku maklumi tempat tersebut memang ramai, tapi begitu aku melihat obatnya secara langsung entah kenapa kurang meyakinkanku.
Six mengigau pelan, aku tak tahu apa yang dikatakanya. Alis miliknya berkerut, dari wajahnya aku bisa melihat ia sedang bertarung dengan rasa sakit. Aku berjalan mengambil karpet dari sel kamarku, menggeretnya menuju ke ruangan milik Six.
“Tidurlah disini” kataku sambil menggerakkanya untuk merebahkan diri di atas karpet, memang tak seberapa, tapi ini lebih baik dari pada tubuhnya langsung merebah diatas lantai semen yang dingin dan kotor.
Aku duduk terdiam di sampingnya, tanganku ku kaitkan satu sama lain. Ku pejamkan mataku, “Kumohon, selamatkan dia”
Aku mengerjapkan mataku, ah… bosannya hanya berdiam diri seperti ini. Jika ku hitung dari pergantian cahaya malam dan siang dari celah kecil di ruangan ini, sepertinya ini sudah 3 hari sejak kepergianku dari pusat penjualan. Kabar baiknya aku masih hidup dan sangat sehat, bagaimana tidak, Ai memenuhi semua kebutuhan ku. Bahkan lebih dari bagaimana The Strary memperlakukan ku dulu. Lama kelamaan aku merasa seperti hewan ternak dalam program penggemukan. Selama ini juga aku berusaha menggali informasi tentang tempat ini dan juga tentang tuan yang membeliku. Dan untuk kabar buruknya, aku masih terperangkap disini. Ai hanya melepaskan rantai leherku saat aku hendak pergi ke kamar mandi, selain itu gadis kecil dengan manik kuning itu tak melepaskannya. Dan lagi, ia selalu memonitoriku 24/7 setiap saatnya.“Ai…” panggilku kepada gadis itu.Ai hanya menoleh sebentar lalu kembali dengan kesibukannya membuat sebuah boneka dari jerami.“Ai&
‘Apa aku sudah mati?’ ucapku dalam hati, perlahan aku mencoba menggerakkan tangan dan kakiku. Aman, tubuhku masih tersambung dengan baik. Rupanya para penjaga The Strary memberikanku obat tidur, padahal selama proses pembelian aku diam dan tak melakukan sesuatu yang mencurigakan. Sepertinya mereka masih merasa khawatir jika aku memiliki rencana lain.“Pstt… hei kau yang disana.” Sebuah suara berbisik ke arahku. Aku terdiam kaku, menimbang nimbang apakah lebih baik aku membuka mataku atau berpura pura tidur saja terus.Klotak.. sebuah kepingan krikil mendarat tepat di wajahku. Aku mengaduh pelan, dengan terpaksa ku buka mataku. Cahaya yang tiba tiba masuk itu membuat mataku menyipit silau.‘Dimana ini?’ batinku, aku memedarkan pandanganku ke sekeliling. Ruangan berukuran 3 x 4 itu dipenuhi dengan jerami, sisanya kosong. Tak ada barang – barang yang mencurigakan, sejauh ini aman. Atapnya yang memiliki sedikit celah
Aku berdiri menghadap nampan makanku sekali lagi, memastikan apakah aku siap untuk menghadapi medan perang dihadapanku. Hari ini adalah jadwal penjualan tak terasa 6 bulan sudah berlalu dan kini kami dihadapkan dengan hari yang paling mendebarkan dalam setahun. Dan untuk rencana pertemananku dengan Lexa, jangan ditanya lagi, semua tak berjalan mulus. Ketika aku sudah hendak membuka sedikit hatiku untuknya, ia malah mati matian menyimpan Six untuk dirinya sendiri. Sedangkan lelaki itu selalu memaklumi perilaku manja dari sang gadis.“Apa kau siap?” tanya seorang lelaki dengan mata coklat dan rambut hitam legam diambang pintuku. Aku mengangguk siap.“Tentu” jawabku pendek.Wajahku kini sudah dipenuhi lebam, seperti biasa aku selalu berusaha tampil seburuk mungkin di hari penjualan.Tak butuh waktu lama kereta yang mengangkut para budak The Strary berhenti, kami digiring menuju pusat jual beli seperti biasanya. Menjajalk
Aku membuka mataku perlahan, sinar matahari dari celah dinding menerangi ruangan. Kreek.. Suara pintu besi terdengar dari sebrang. Six terlihat sedang berjalan perlahan meninggalkan kamarnya.Aku menaikkan sebelah alisku, “Mau kemana kau?”“AH!” Six melonjak kaget.“Apa? Tingkahmu seperti maling yang ketahuan ingin mencuri saja”. Aku mengubah posisiku menjadi duduk, ini lebih baik.“Hm, itu..”. Six berusaha memutar otaknya, mencari alasan yang cukup untuk meyakinkanku.Aku mencium bau bau mencurigakan darinya, “Tak apa katakan saja kemana kau akan pergi” kataku dengan nada sebaik mungkin.“Mm.. itu.. sepertinya seorang penjaga sel memanggilku tadi, jadi, aku pergi dulu ya”“Oh, sepertinya” kataku dengan nada sinis sambil berjalan mendekati ambang pintu.Aku melirik jam dinding yang berada di tengah basecamp.“Memangnya ada orang yang akan memanggilmu sepagi ini?”Six menggaruk tengkuknya yang tak gatal, keringat dingin mengalir dari tu
“Jadi, apa yang kau lakukan disini?” tanyaku. Setelah puas tertawa karena kejadian yang tak terduga itu, kini aku dan Six berjalan beriringan menuju basecamp. Akhir akhir ini ras manusia kekurangan orang. Pertama karena posisi Four kosong dan yang kedua karena laki laki disampingku ini dengan menyebalkanya terbebas dari tugas, sehingga kami, budak yang tersisa harus menutupi pekerjaan mereka sebisa mungkin. Jika hal ini terus berlanjut sepertinya salah satu dari kami akan berakhir di mulut Karberos, mati karena kelelahan. Six memalingkan wajahnya, “Hm, hanya kebetulan lewat itu saja” Aku memincingkan mata jahil, “Bilang saja kau mencariku” “Siapa yang mencarimu! Kebetulan saja kita bertemu dilorong tadi, kau terlalu percaya diri” Aku tertawa puas, “Apa apaan itu, kau berbohong dengan sangat buruk! Kemana kau akan pergi melewati tempat itu hah? Aula? Atau jangan jangan.. kau diam diam ingin pergi mengunjungi kamar para penjaga se
“Six… Six!!” “Apa?” kata Six kesal. “Kenapa kau mengacuhkanku lagi?” kata Lexa sambil menggembungkan mulutnya. “Sudahlah, bukan hal penting. Lagipula kenapa kau masih mengikutiku?” Lexa mengayun ayunkan tanganya, “Hm, kenapa ya?.. aku juga tak tahu” “Kalau bukan bersamamu, siapa lagi yang bisa ku ajak bermain?” sambungnya. Six menghela nafas panjang, “Kau tak lihat ada banyak orang yang ingin mendekatimu? Mereka selalu saja memandang kearahmu dimanapun kau pergi” Lexa tersenyum palsu, “Hahaha, sepertinya aku kurang memperhatikan. Oh ya, kita mau pergi kemana?” Seketika Six menghentikan langkahnya. “Kenapa berhenti?” tanya Lexa sambil memiringkan wajahnya. “Kau bahkan tak tahu kemana aku akan pergi. Ah, sudahlah. Berdebat denganmu hanya akan menghabiskan waktuku” kata Six sambil Kembali melangkahkan kakinya. Kedekatan Lexa dengan Six benar benar mengubah segalanya. Anak emas seperti Lexa akan mend