Home / Rumah Tangga / Rujak Pedas di Muka Istriku / Bab 7: Kejutan dari Ana

Share

Bab 7: Kejutan dari Ana

Author: Nendia
last update Last Updated: 2025-04-17 04:10:00

Bab 7: Kejutan dari Ana

Pertengkaran dengan Mas Radit membawa emosi sampai rumah. Aku mencengkeram rambut dan terus mondar-mandir di ruang tamu.

Punya kakak kok sialan sekali. Istri dan anakku dia jadikan lelucon. Meski aku mencintai Ketrin, aku tak ikhlas kalau Ana menikah dengannya. Mana mungkin kubiarkan anakku memanggil ayah pada orang lain.

Aku menepuk-nepuk jidat. Ke mana lagi harus kucari Ana.

“Ustazah ... Ustazah ....” suara panggilan anak-anak terdengar ramai di depan rumah.

Aku segera menghampiri mereka. “Cari siapa kalian?”

“Ustazahnya belum pulang, Om?”

“Belum. Tidak ada Ustazah di sini.”

“Yaaah ....” Mereka mengeluh, lalu pergi meninggalkan halaman rumah.

“Ana...!” Aku menggaruk kepala agak kasar. “Semua orang mencarimu.”

*

Bulan berganti. Ana tak juga kembali. Ibu tetap sakit. Hubunganku dengan Mas Radit juga kurang baik. Aku tak memiliki keberanian untuk datang ke kampung Ana karena mereka pasti menolak kehadiranku.

Sedikit sekali yang kutahu tentang Ana. Selain tempat kajian yang sama dengan ibuku, aku tak tahu dia suka pergi ke mana lagi. Berhubung hanya masjid itu yang kutahu, maka setiap minggu aku datang ke sana untuk mencarinya.

Empat minggu berlalu, Ana tak juga muncul. Sepertinya dia sudah meninggalkan kota ini. Karena tak ingin membuang-buang waktu dengan terus datang ke kajian, maka kuminta saja bantuan anggota kajian ini untuk menghubungi jika dia melihat Ana. Aku menjanjikan sejumlah imbalan kalau dia bisa membantu.

“Kenapa sih kamu masih mencari Ana?” tanya Ketrin ketika kami sedang makan malam bersama.

“Ibu masih ingin menemuinya.” Tentu saja ini bukan karena Ibu semata. Melainkan karena ikatan pernikahan, dan juga bayi dalam kandungannya.

“Nanti juga reda sendiri. Harusnya kamu berpikir untuk segera menceraikannya dan merancang kehidupan sama aku, Sayang.” Ketrin memelas dengan sangat manja. Lucu sekali.

“Nanti, ya.” Aku berkata pelan.

“Oh iya, kamu kan bisa menceraikan dia dengan langsung bicara sama ayahnya kan? Secara agama akan jatuh talak kalian. Kalau kalian sudah pisah, aku yakin wanita kampungan itu akan menampakkan diri.”

“Tidak semudah itu. Ibu pasti makin parah kalau aku mengambil jalan seperti itu.”

Ketrin memutar bola mata. “Terus kapan dong ngurusin hidup kita, bosen deh.”

Aku menggenggam tangannya, “sabar, ya.”

“Sabar, sabar mulu. Bete!”

*

Tiga bulan setelah kepergian Ana, aku mendapat kabar kalau Ana kembali menghadiri kajian. Saat mendapat kabar itu, aku sedang jalan-jalan di mall bersama Ketrin.

“Ada yang melihat Ana.” Aku memasukkan ponsel kembali pada kantung celana.

“Yang bener?”

“Ya. Kamu lanjut sendiri, ya. Aku pergi dulu.” Aku mencoba melepaskan tangan Ketrin.

“Gak boleh!”

“Ini demi Ibu.”

“Aku ikut!”

“Ana tidak akan mau balik kalau aku datang sama kamu.”

“Aku gak akan ganggu.”

Aku mengangkat kedua tangan tanda penolakan. “Tidak untuk hari ini. Please, demi Ibu.”

Ketrin tampak cemberut. Aku buru-buru mengambi langkah mundur, lalu balik kanan dan berlari ke parkiran.

Sesaat kemudian, aku sudah ada di depan masjid tempat kajian berlangsung.

Masjid itu tidak terlalu besar. Parkirannya pun sempit. Namun peserta kajian tampak penuh. Beberapa kendaraan diparkir di bahu jalan yang memang sepi ini. Aku memarkirkan kendaraan di bahu jalan seperti yang lain. Duduk di dalam kendaraan sambil menunggu kajian selesai.

Dari pengeras suara, terdengar ustadznya sudah berdoa tanda kajian usai. Aku turun dari mobil dan mulai mencari-cari Ana di dekat gerbang.

“Ana sudah ke luar masjid.” Kabar dari orang suruhanku.

Aku berjingkit. Mencari keberadaan Ana. Hatiku cukup berdebar. Sudah sebesar apa perut Ana sekarang. Apa bayinya sehat?

Aku mengernyit mempertajam pandangan. Ada hal yang terasa cukup janggal. Aku merasa melihat Ketrin dan Ana berjalan bersama. Setelah kupastikan dengan memangkas jarak, ternyata benar saja Ketrin ada di sana. Dia masih menggunakan pakaian yang tadi, hanya dibalut blazer dan selendang.

“Itu dia Mas Adrian.” Ketrin menarik Ana hingga sampai di hadapanku.

“Mas, Adrian.” Ana berseru lirih. 

“Ana?” Dada ini seperti tersentak memanggil nama itu di depan orangnya. Masih kuingat rujak yang memenuhi mukanya malam itu.

Mataku turun melihat perut Ana. Dia agak buncit, kehamilannya pasti sudah menginjak 7 bulan. Apa bayinya sudah bergerak?

“Ya, kan? Sudah kubilang kalau kami semakin bahagia tanpa kehadiranmu.” Ketrin tiba-tiba memeluk lenganku dengan sangat erat sampai aku kesulitan melepasnya.

“Syukurlah kalau kalian bahagia,” kata Ana dengan sangat dingin.

“Ibu mau ketemu sama kamu, Ana. Kamu sudah membuat Ibu sekarat, kamu harus bertanggung jawab.”

“Ana...!” Suara laki-laki dari belakang membuat aku dan Ketrin menengok. Kami sangat kaget karena yang ada di sana adalah Pak Rafasya, CEO perusahaan kami. Pria berpakaian kasual itu berdiri di depan gerbang masjid. Sekitar tiga meter jaraknya dari kami.

“Bukan saya yang harus bertanggung jawab atas kondisi Ibu. Permisi.” Ana beranjak pergi. Dia menghampiri Pak Rafasya.

“Kamu sudah selesai?” Pertanyaan Pak Rafasya masih bisa kudengar.

“Sudah, Mas.”

Mas?

Pak Rafasya membawa Ana menuju mobilnya. Sebuah rolls royce yang terparkir di bahu jalan. Pak Rafasya bahkan membukakan pintunya untuk Ana. Ana masuk mobil dan mereka pun pergi.

“Oh, ya, ampun. Aku gak salah lihat yang barusan kan?” Ketrin mengipas matanya.

“Itu beneran Pak Rafasya? CEO kita bukan sih?” Menepuk menepuk dadaku.

“Ya, itu Pak Rafa.”

“Kenapa dia bisa sama si cewek kampung sialan itu sih?”

Aku juga mempertanyakan hal yang sama.

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 17b: Ancaman

    “Kenapa kamu harus beli lagi peralatan bayi? Padahal kita punya banyak.”“Ini pemberian kakaknya suamiku, Mbak.”“Lucu-lucu sekali. Dia lebih baik dari pada suamimu.”Ana mengusap pakaian kecil itu. “Iya ya, Mbak, lucu.” Ana sudah tak sabar memakaikan baju itu pada bayi kecilnya. Terbayang mengusap pipi lembut dan tangannya yang mungil.“Mbak pasti kesulitan tanpa adanya kamu.”“Masih banyak yang lain, Mbak.”“Urusan administrasi Mbak cuma percaya sama kamu. Kamu teliti dan rapi.”“Pasti yang lain ada yang lebih baik dari Ana. Hanya belum ketemu saja.”“Kamu gak akan balik lagi setelah lahiran?”“Belum tahu, Mbak. Mungkin Ana akan tinggal di kampung sampai anak Ana besar.”“Gugatan kamu?”Ana terdiam. Gugatan itu masih ditahan Radit karena Adrian berjanji akan berubah. “Ana belum tahu kelanjutannya.”Minggu terakhir Ana di Jakarta. Dia pergi ke rumah Diana, mengajar Kaidan dan Nadhifa sebagaimana biasanya. Ana pamitan pada seluruh anggota keluarga sebelum pulang. Ini hari terakhir dia

  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 17a: Ancaman

    Bab 17: AncamanKetrin melihat kepergian Adrian dengan sangat kesal. Dia mengentakkan kaki. Ketrin yakin kalau Adrian akan kembali menemui Ana. Adrian bahkan tidak mengantarkan Ketrin sampai masuk rumah. Padahal luka Ketrin masih basah. Ketrin sangat kesal.Ketrin menelepon Adrian berkali-kali, tapi Adrian tidak mengangkat teleponnya. Ratusan chat Ketrin kirimkan, tapi diabaikan juga. Dari pesan bernada manja sampai yang mengancam, tak ada satu pun yang ditanggapi Adrian.Esoknya, Ketrin menunggu Adrian di lobi. Dia langsung mengejar begitu Adrian tiba.“Kamu ke mana sih? Dari semalam aku hubungi gak dibales. Aku sampe gak tidur.”“Kita harus putus, Ketrin.” Andrian bicara tanpa berhenti jalan.Ketrin terperangah. “Apa?”“Ana menggugat cerai. Aku tidak bisa berpisah dengan Ana. Jadi kita putus.”“Enggak, Adrian, kamu gak bisa kayak gini.”Adrian berhenti sejenak. “Aku sekarang sadar, hanya istri dan anak yang sekarang harus aku prioritaskan. Aku gak bisa hidup tanpa mereka. Tolong kam

  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 16.b: Gugatan

    “Mau apa kalian ke sini?” Adrian menatap Ana. Dadanya mendadak panas dan bergejolak.“Kami mau memeriksa kehamilan Ana. Bagaimana denganmu?” seru Radit dengan ekspresi songong. Dia menunjuk Adrian dengan muka.“Memeriksa kehamilan dengan orang lain?” Adrian masih menyudutkan Ana.“Bagaimana lagi. Suaminya lupa tanggung jawab.”Adrian melengos. “Jangan menjadi setan dalam rumah tangga kami, Mas!”“Setan?” Radit tersenyum mencibir. Matanya memandang lekat pada tangan Ketrin yang memeluk lengan Adrian dengan erat. “Itu apa?”Adrian buru-buru melepaskan tangan Ketrin.“Tidak perlu begitu. Santai saja. Kami sudah lihat kok. Yang gue tanya, tangan dia kenapa?”“Bukan urusan kamu!” Ketrin menyalak.Radit menggeleng pelan. “Harga dirimu tak setinggi nada bicaramu.” Radit menengok pada Ana. “Ayo, Ana!”Wanita yang sejak tadi diam itu mengekor pada Radit. Dia berusaha abai pada Adrian dan Ketrin.“Begini perilaku wanita yang dibangga-banggakan Ibu? Katanya soleha, tapi berani jalan sama laki-la

  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 16a: Gugatan

    Bab 16: GugatanPilihan Ana tidak bisa ditawar lagi. Dia tetap ingin mengajukan gugatan cerai. Radit sempat memohon setidaknya tunggu sampai anak mereka lahir. Siapa tahu Adrian akan berubah setelah melihat anak mereka. Tapi Ana kukuh pada pendiriannya.Radit memberi Ana pengacara. Radit menemani Ana di setiap prosesnya. Ana mengurai semua masalah dalam rumah tangga, pengacara memberi catatan-catatan penting, Radit ikut menyimak.Di pertemuan ke dua, surat yang akan diajukan ke pengadilan itu sudah jadi. Pengacara menyerahkannya pada Ana untuk dibaca ulang.“Apa harus sekarang Ana? Apa tidak tunggu saja?”“Aku mau sekarang, Mas.”“Baiklah, biar Mas serahkan ini pada Adrian. Semoga saja Adrian berpikir ulang.”Ana diam saja. Kesehatannya seperti tidak baik. Radit melihat Ana terlalu lesu dan tak bersemangat.“Kamu sudah punya perlengkapan bayi, An?”“Banyak milik yayasan.”“Begitu ya.” Radit melihat-lihat sekeliling, lalu bertanya kembali. “Kamu punya waktu tidak, Ana. Mas butuh bantua

  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 15b. Restu Ibu

    “Maksudmu?”“Aku akan membawa Ana pulang. Aku akan memperbaiki hubunganku dengan Ana.”Ketrin terperangah. Dia tak percaya dengan apa yang dikatakan Adrian.“Apa itu demi Ibu. Biar Ana bisa ngurus Ibu?”“Bukan. Ini demi anak kami. Aku tidak mau kehilangan anak yang dikandung Ana.”“Kamu tidak mendengarkanku ya? Bisa jadi dia bukan anak kamu.”“Waktu yang akan menjawabnya. Lihat saja nanti anak Ana mirip siapa. Pak Rafasya punya darah blasteran, keturunannya tidak seperti warga asli. Dan yang jelas aku tidak mau menyesal.”Ketrin merasa napasnya jadi berat. “Jadi kamu mau meninggalkan aku?”“Aku akan menikahimu nanti setelah hubunganku dengan Ana membaik.”“Aku mau dijadikan istri kedua?" Ketrin melotot tidak terima. “Keterlaluan kamu, Mas!” Ketrin menggebrak meja hingga membuat semua mata melihat ke sana.“Sabar dulu, Ketrin. Dengar aku.” Adrian berbisik. Malu dilihat orang.“Aku tidak mau mendengar lagi. Kamu cuma punya satu pilihan, yaitu menikahiku. Aku sudah menunggu lama. Kalau k

  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 15a: Restu Ibu

    Bab 15: Restu IbuAna meninggalkan Adrian. Dia meminta sekuriti mengusir Adrian dari yayasan. Adrian buru-buru menghadang dan berlutut di hadapan Ana."Aku berani bersumpah akan mencintaimu dan anak kita, Ana. Mas akan adil.""Tidak perlu, Mas. Mas fokus saja pada Ketrin, tidak perlu memikirkanku. Jadikan dia wanita satu-satunya untuk Mas Adrian.""Ana, kamu mengandung anak kita.""Anak ini akan tetap menjadi anak Mas Adrian meski kita tak bersama lagi. Terima kasih tawarannya tapi aku tidak berminat." Ana menjauh. Adrian dihadang sekuriti."Ana, apa kamu mengharamkan poligami? Kamu tukang ngaji harusnya tidak menolak poligami."Ana menahan langkah dan menengok sesaat. "Aku tidak menolak poligami. Aku menolak meneruskan rumah tangga denganmu." Ana masuk rumah."Ana! Ana!"Pluk! Tongkat sekuriti memukul bokong Adrian."Aw!" Adrian menutup bokongnya dengan telapak tangan."Jangan buat keributan di sini. Pergi sana!"Pluk! Sekuriti melayangkan pukulan berikutnya.“Aw!”“Pergi cepat!”Adr

  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 14b

    Adrian teringat Ana yang memakai pakaian dinas. Adrian melotot kaget sekaligus suka, tapi saat itu dia malah mengingat Ketrin. Adrian merasa mengkhianati Ketrin. Hingga yang keluar dari bibir Adrian bukanlah pujian, melainkan makian“Kamu memakai baju apa? Jelek sekali. Tidak perlu bersikap seperti pelacur di hadapanku karena aku tidak akan tertarik.”Lain pula ketika Ana memakai rok mini dan atasan seksi. “Apa begitu cara berpakaian wanita yang ke mana-mana pakai kerudung panjang? Sangat tak pantas sekali.” Adrian mencaci Ana karena takut jatuh cinta. Kalau Adrian sampai jatuh hati pada Ana, Ketrin akan sakit hati. Begitu pikirnya.Adrian selalu menghindar saat berpapasan. Dia tidak pernah benar-benar memandang Ana secara utuh. Pria itu lebih nyaman menghabiskan waktu di kamar dan chatan dengan Ketrin tanpa harus melihat Ana. Semua itu dia lakukan agar tidak jatuh cinta.Sesungguhnya, selama setahun ini Adrian juga merasa tersiksa. Dia pernah berjanji tidak akan menyakiti Ketrin. Adr

  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 14. Poligami

    Bab 14: Poligami (PoV Author)Adrian meninggalkan Radit dengan bibir yang sobek dan lebam di beberapa bagian. Dia berjalan menjauh dari gudang produksi dengan penuh emosi. Sementara Radit dibantu oleh para karyawannya untuk duduk.Para karyawan sudah siap membantu saat bos mereka dipukuli, tapi Radit memberi kode penolakan agar para karyawan tak ikut campur. Radit menerima semua pukulan tanpa perlawanan. Radit hanya ingin adiknya segera sadar.Radit pernah menikah dengan seorang wanita karier. Sandrina bahkan lebih baik perangainya dibanding Ketrin. Cara berpakaian Sandrina juga tidak semewah Ketrin. Awal menikah baik-baik saja, apa lagi pernikahan itu memang didasari karena cinta.Sandrina selalu mengeluh kalau ada di rumah. Setiap kali beres-beres dia akan mengomel karena merasa tenaganya diforsir. Sandrina merasa posisinya setara dengan suami, sama-sama mencari nafkah, tapi Sandrina punya tanggung jawab lebih yaitu mengurus rumah. Apa lagi setelah hamil dan melahirkan, Sandrina sem

  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 13.b

    Minggu berikutnya. Aku kembali menunggu Ana di depan masjid. Aku tak yakin dia akan kembali. Tapi usaha saja.Ana ternyata datang. Aku segera menghampirinya. Menangkap tangan wanita yang buru-buru mau kabur ini."Tunggu, Ana!""Ada apa lagi sih, Mas. Mau pamer kebahagiaan lagi?"“Ayo kita pulang!”“Pulang? Sejak kapan aku punya tempat di rumah itu?”“Mas minta maaf, Ana. Mas hanya emosi malam itu.” Aku tidak mengerti perasaanku, tapi rumah itu harus diisi kembali oleh Ana. Rumahku terlalu sepi tanpa Ana.“Tapi perbuatan Mas Adrian membuat aku mengerti kalau Mas Adrian tidak akan pernah mencintaiku dan bayi yang aku kandung.” Ana selalu bilang ‘Ana’ pada dirinya sendiri. Sekarang dia menyebut ‘aku’ seolah menunjukkan kalau aku bukan orang terdekatnya lagi.“Itu tidak benar, Ana.”“Itu artinya Mas mencintaiku?”Aku terdiam. Bimbang.“Aku tahu jawabannya. Mas Adrian hanya minta aku kembali untuk Ibu kan? Agar aku bisa menemani Ibunya Mas Adrian. Maaf, Mas. Aku tidak bisa.” Ana kembali be

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status