Bab 7: Kejutan dari Ana
Pertengkaran dengan Mas Radit membawa emosi sampai rumah. Aku mencengkeram rambut dan terus mondar-mandir di ruang tamu.
Punya kakak kok sialan sekali. Istri dan anakku dia jadikan lelucon. Meski aku mencintai Ketrin, aku tak ikhlas kalau Ana menikah dengannya. Mana mungkin kubiarkan anakku memanggil ayah pada orang lain.
Aku menepuk-nepuk jidat. Ke mana lagi harus kucari Ana.
“Ustazah ... Ustazah ....” suara panggilan anak-anak terdengar ramai di depan rumah.
Aku segera menghampiri mereka. “Cari siapa kalian?”
“Ustazahnya belum pulang, Om?”
“Belum. Tidak ada Ustazah di sini.”
“Yaaah ....” Mereka mengeluh, lalu pergi meninggalkan halaman rumah.
“Ana...!” Aku menggaruk kepala agak kasar. “Semua orang mencarimu.”
*
Bulan berganti. Ana tak juga kembali. Ibu tetap sakit. Hubunganku dengan Mas Radit juga kurang baik. Aku tak memiliki keberanian untuk datang ke kampung Ana karena mereka pasti menolak kehadiranku.
Sedikit sekali yang kutahu tentang Ana. Selain tempat kajian yang sama dengan ibuku, aku tak tahu dia suka pergi ke mana lagi. Berhubung hanya masjid itu yang kutahu, maka setiap minggu aku datang ke sana untuk mencarinya.
Empat minggu berlalu, Ana tak juga muncul. Sepertinya dia sudah meninggalkan kota ini. Karena tak ingin membuang-buang waktu dengan terus datang ke kajian, maka kuminta saja bantuan anggota kajian ini untuk menghubungi jika dia melihat Ana. Aku menjanjikan sejumlah imbalan kalau dia bisa membantu.
“Kenapa sih kamu masih mencari Ana?” tanya Ketrin ketika kami sedang makan malam bersama.
“Ibu masih ingin menemuinya.” Tentu saja ini bukan karena Ibu semata. Melainkan karena ikatan pernikahan, dan juga bayi dalam kandungannya.
“Nanti juga reda sendiri. Harusnya kamu berpikir untuk segera menceraikannya dan merancang kehidupan sama aku, Sayang.” Ketrin memelas dengan sangat manja. Lucu sekali.
“Nanti, ya.” Aku berkata pelan.
“Oh iya, kamu kan bisa menceraikan dia dengan langsung bicara sama ayahnya kan? Secara agama akan jatuh talak kalian. Kalau kalian sudah pisah, aku yakin wanita kampungan itu akan menampakkan diri.”
“Tidak semudah itu. Ibu pasti makin parah kalau aku mengambil jalan seperti itu.”
Ketrin memutar bola mata. “Terus kapan dong ngurusin hidup kita, bosen deh.”
Aku menggenggam tangannya, “sabar, ya.”
“Sabar, sabar mulu. Bete!”
*
Tiga bulan setelah kepergian Ana, aku mendapat kabar kalau Ana kembali menghadiri kajian. Saat mendapat kabar itu, aku sedang jalan-jalan di mall bersama Ketrin.
“Ada yang melihat Ana.” Aku memasukkan ponsel kembali pada kantung celana.
“Yang bener?”
“Ya. Kamu lanjut sendiri, ya. Aku pergi dulu.” Aku mencoba melepaskan tangan Ketrin.
“Gak boleh!”
“Ini demi Ibu.”
“Aku ikut!”
“Ana tidak akan mau balik kalau aku datang sama kamu.”
“Aku gak akan ganggu.”
Aku mengangkat kedua tangan tanda penolakan. “Tidak untuk hari ini. Please, demi Ibu.”
Ketrin tampak cemberut. Aku buru-buru mengambi langkah mundur, lalu balik kanan dan berlari ke parkiran.
Sesaat kemudian, aku sudah ada di depan masjid tempat kajian berlangsung.
Masjid itu tidak terlalu besar. Parkirannya pun sempit. Namun peserta kajian tampak penuh. Beberapa kendaraan diparkir di bahu jalan yang memang sepi ini. Aku memarkirkan kendaraan di bahu jalan seperti yang lain. Duduk di dalam kendaraan sambil menunggu kajian selesai.
Dari pengeras suara, terdengar ustadznya sudah berdoa tanda kajian usai. Aku turun dari mobil dan mulai mencari-cari Ana di dekat gerbang.
“Ana sudah ke luar masjid.” Kabar dari orang suruhanku.
Aku berjingkit. Mencari keberadaan Ana. Hatiku cukup berdebar. Sudah sebesar apa perut Ana sekarang. Apa bayinya sehat?
Aku mengernyit mempertajam pandangan. Ada hal yang terasa cukup janggal. Aku merasa melihat Ketrin dan Ana berjalan bersama. Setelah kupastikan dengan memangkas jarak, ternyata benar saja Ketrin ada di sana. Dia masih menggunakan pakaian yang tadi, hanya dibalut blazer dan selendang.
“Itu dia Mas Adrian.” Ketrin menarik Ana hingga sampai di hadapanku.
“Mas, Adrian.” Ana berseru lirih.
“Ana?” Dada ini seperti tersentak memanggil nama itu di depan orangnya. Masih kuingat rujak yang memenuhi mukanya malam itu.
Mataku turun melihat perut Ana. Dia agak buncit, kehamilannya pasti sudah menginjak 7 bulan. Apa bayinya sudah bergerak?
“Ya, kan? Sudah kubilang kalau kami semakin bahagia tanpa kehadiranmu.” Ketrin tiba-tiba memeluk lenganku dengan sangat erat sampai aku kesulitan melepasnya.
“Syukurlah kalau kalian bahagia,” kata Ana dengan sangat dingin.
“Ibu mau ketemu sama kamu, Ana. Kamu sudah membuat Ibu sekarat, kamu harus bertanggung jawab.”
“Ana...!” Suara laki-laki dari belakang membuat aku dan Ketrin menengok. Kami sangat kaget karena yang ada di sana adalah Pak Rafasya, CEO perusahaan kami. Pria berpakaian kasual itu berdiri di depan gerbang masjid. Sekitar tiga meter jaraknya dari kami.
“Bukan saya yang harus bertanggung jawab atas kondisi Ibu. Permisi.” Ana beranjak pergi. Dia menghampiri Pak Rafasya.
“Kamu sudah selesai?” Pertanyaan Pak Rafasya masih bisa kudengar.
“Sudah, Mas.”
Mas?
Pak Rafasya membawa Ana menuju mobilnya. Sebuah rolls royce yang terparkir di bahu jalan. Pak Rafasya bahkan membukakan pintunya untuk Ana. Ana masuk mobil dan mereka pun pergi.
“Oh, ya, ampun. Aku gak salah lihat yang barusan kan?” Ketrin mengipas matanya.
“Itu beneran Pak Rafasya? CEO kita bukan sih?” Menepuk menepuk dadaku.
“Ya, itu Pak Rafa.”
“Kenapa dia bisa sama si cewek kampung sialan itu sih?”
Aku juga mempertanyakan hal yang sama.
Bersambung ....
Bab 45. Rujak PedasSesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan. Ayat itu diulang dua kali. Salah satu guruku pernah bilang, diulanginya ayat itu memiliki makna kalau setelah kesulitan kita akan mendapat kebahagiaan yang berlipat.Ayat itu dari Allah—yang menciptakan kehidupan ini, tapi aku pernah ada di titik ragu. Seolah masalahku tak ada akhirnya. Sekarang, aku hanya bisa tersenyum melihat ujian yang sangat berat itu. Ini bukan hanya tentang aku, bahkan kisah para penghuni yayasan pun sama. Banyak yang datang dalam keadaan menangis, dan sekarang mereka bisa tertawa.Aku pernah mengharapkan Mas Adrian mencintaiku, setelah aku ikhlas melepaskannya dan tak berharap lagi, aku malah mendapatkannya sekarang. Suamiku tak pernah melewatkan satu hari pun tanpa mengatakan cinta atau sayang.“Sayang celana dalam yang ini kekecilan.”Aku sedang mencari pakaian untuk pergi siang ini, jadi tak melihat apa maksudnya. Aku sudah tahu pasti bercanda. Mem
Bab 44: LoveAna selalu memimpikan tanah suci. Hatinya selalu sedih setiap kali melihat teman-temannya yang bisa umroh. Rindu tak terhingga Ana pada tempat itu. Minimal sekali seumur hidup, Ana ingin sekali menginjakkan kaki di sana. Haji mungkin sulit digapai, kalau tahun ini daftar, entah kapan dapat giliran. Minimal umroh saja dulu. Ana sangat ingin melihat rumah Allah, juga persinggahan terakhir Baginda Nabi.Hari ini, suaminya, memberikan hadiah tiket haji. Ana tidak bisa menahan tangis. Hatinya penuh syukur. Dari milyaran manusia, Ana terpilih untuk menyempurnakan agamanya tahun ini.Rafasya mendekati wanita yang baru saja sujud syukur dan langsung melantunkan doa itu. Rafasya duduk di samping Ana. Mengusap pucuk kepala istrinya. Rafasya merasa tak pernah melihat Ana sebahagia ini. Hati Rafasya ikut hangat.Ana meraih tangan Rafasya. Diciumnya punggung tangan dan telapak suaminya berkali-kali. "Terima kasih, Mas. Terima kasih." Tatapan Ana berkaca-kaca.Rafasya mengangguk dan te
Bab 43: Sujud SyukurUlang tahun Kaidan dan Nadhifa hanya beda dua minggu saja. Adik kakak yang terpaut dua tahun itu merayakan ulang tahunnya bersama. Mereka mengadakan syukuran bersama yatim piatu dan semua penghuni yayasan. Diadakan makan-makan dan aneka hiburan anak-anak.Malamnya Ana memberikan hadiah. Sebuah CD pemberian Diana. Mereka menonton CD itu bersama-sama sambil berbaring di atas kasur. Di kamar Rafasya.Pada rekaman itu, Diana mengucapkan selamat ulang tahun untuk Kaidan dan Nadhifa. Selamat untuk ulang tahun hari ini dan ulang tahun yang selanjutnya. Diana berharap anak-anaknya kelak menjadi anak-anak yang bermanfaat bagi banyak orang.Rekaman itu diambil ketika Diana sudah sangat lemah. Diana mungkin sedang menahan kesakitan hari itu, tapi bibirnya tetap tersenyum seraya menyampaikan beberapa pesan. Pesan seorang ibu yang berharap anaknya sukses menjalani kehidupan di dunia yang fana ini.Semua orang meneteskan air mata. Rafasya mengusap kepala Kaidan yang sedang mena
Bab 42: Kita SekarangSentuhan semalam seperti sebuah klarifikasi bahwa rumah tangga kami bukan rumah tangga yang aneh, melainkan rumah tangga pada umumnya. Ketika kami berjalan-jalan menyusuri Tokyo, aku tak segan menautkan tangan pada lengannya saat menyeberang. Atau ketika berbelanja, aku berani melingkarkan tangan di pinggang Mas Rafa saat dia memilih boneka kokeshi.“Umma suka yang mana?” Mas Rafa melirik.“Untuk di mana?”“Meja kantor.”“Umma suka yang ini.” Aku menunjuk boneka kayu dengan bentuk tubuh yang bulat dan kepala besar yang ada di tangan kanan Mas Rafa. Mas Rafa setuju dan langsung membayarnya.Setelah belanja bermacam oleh-oleh, dan makan, Mas Rafasya pamit pergi sebentar. Katanya dia ada urusan. Aku dan anak-anak dipinta menunggu di restoran. Mas Rafasya kembali sekitar 15 menit kemudian. Dia menjinjing paper bag yang berisi sebuah kotak.“Apa itu, Papa?” tanya Nadhifa.“Bukan apa-apa.”“Aku mau lihat.”“Ini hanya kado untuk teman Papa.”“Aku mau lihat!”“Tidak bole
Bab 41: Malam PertamaAku baru tahu kalau jatuh cinta itu sangat indah. Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan yang seperti ini sebelumnya. Pagi, ketika aku bertemu tatap dengan Mas Rafasya, pipiku langsung menghangat. Aku tak kuasa memandangnya. Aku lebih banyak menunduk.Kaidan dan Nadhifa kujadikan sebagai pengalihan atas grogiku. Aku fokus pada mereka meski hati rasanya ketar-ketir.Aku tak tahu apa yang Mas Rafasya pikirkan. Mungkin sebuah kecupan hal biasa baginya. Beliau terbentuk dari lingkungan yang heterogen. Mungkin saja mewajarkan hal itu. Mas Rafa terlihat biasa saja, tidak nampak grogi atau sungkan."Umma, hari ini kita pindah ke Kyoto," katanya sambil duduk dan memakai kaus kaki.Aku sangat senang setiap kali Mas Rafa memanggilku Umma. Aku selalu merasa diakui."Di sana ada apa, Mas?""Di sana banyak kuil dan kastel yang memukau. Banyak tempat indah untuk berfoto.""Terus ke Disneylandnya kapan? Anak-anak katanya mau ke Disneyland.""Habis dari Kyoto kita ke Tokyo."Har
Bab 40: Sebuah KecupanKami berangkat menuju Jepang. Sepanjang perjalanan Mas Rafasya banyak menerima telepon. Meski tak bicara, aku tahu pasti ada masalah. Mungkin ada hubungannya dengan kejadian semalam.Ketika menunggu penerbangan, aku menyempatkan untuk bertanya.“Kenapa kita mendadak pergi, Mas. Ini tidak ada hubungannya sama kejadian semalam kan?”Pria yang sedang menatap ponsel itu langsung menengok padaku. “Freyza yang menyabotaseku semalam.”Aku mengingat nama itu. Semalam kami berkenalan dan dia terlihat tidak menyukaiku.“Menyabotase bagaimana?”“Dia yang mengunciku semalam dan meminta MC memanggilmu.”“Aku tidak masalah kok, Mas. Acara semalam berhasil kan? Mas yang bilang sendiri tak mau aku disepelekan Ayah. Semoga saja kejadian semalam bisa membuat ayah berubah.”“Aku tidak akan memaafkan mereka hanya karena kamu berhasil. Bagaimana kalau kamu tidak bisa membawa presentasi semalam? Aku sangat panik takut kamu malu dan malah nangis di sana. Mas tidak bisa membayangkan ka