Aku duduk di sofa sambil melipat tangan. Kaki terjulur ke atas meja. Di depan sana televisi menyiarkan pertandingan bola. Akalku bukan terletak pada si bundar yang melambung-lambung, tetapi pada rumah ini yang kehilangan warnanya.
Setahun berlalu, ternyata Ana sudah menguasai rumah ini, sehingga pada saat dia pergi rumah ini terasa aneh. Jika aku pulang kerja, Ana biasanya langsung mencium tangan. Dia akan mengambil sepatu yang baru kulepas asal dan menyimpannya di tempat khusus. Setelahnya aku akan duduk di kursi ini, lalu Ana akan melepas kaus kakiku sambil duduk di lantai.
Dia akan bertanya. “Mas Adrian mau makan dulu atau mandi dulu. Ana sudah masak dan Ana sudah siapkan air hangat kalau Mas mandi.”
“Dari jam berapa kamu masak air?” Air panas di rumahku mati jadi harus merebus dulu kalau mau mandi dengan air panas. Aku tidak pernah bilang jam berapa akan pulang. Kadang kemalaman karena jalan dengan Ketrin dulu. Kalau tiap aku pulang air hangat sudah tersedia pastinya dia merebus sebelum kedatanganku.
“Ana menyiapkan air dari jam yang seharusnya Mas pulang.”
“Jangan terlalu boros bahan bakar.”
Ana sedikit menunduk dan senyumnya terulas. “Kalau begitu Mas mandi saja dulu,” seru wanita yang sorot matanya bening itu.
Ingatanku meloncat pada perkataan Mas Radit. “Kamu pikir kamu akan bahagia kalau menikah dengan Ketrin. Pegang ucapanku, kamu tidak akan bahagia."
Ketrin tentu tidak akan mau berlutut di depanku apa lagi sampai membukakan kaus kaki. Tapi apa masalahnya? Aku bukan pria yang haus kehormatan. Ini bukan tentang Ketrin atau Ana. Ini tentang ibuku, dan anak yang ada di perut Ana.
*
Setiap minggu aku menengok Ibu. Tidak ada perubahan yang baik, Ibu masih tetap sakit dan hanya bisa berbaring. Makan, minum, mandi, dan buang air diurus oleh Mbak Yuri. Keadaan ibu yang sering mengamuk juga tak ayal membuat Mbak Yuri semakin pusing.
Kebetulan sekali kedatanganku berbarengan dengan Mas Radit. Kami berkumpul dulu untuk memusyawarahkan kondisi Ibu.
“Kamu cari Ana gak sih sebetulnya? Mbak curiga kamu pacaran terus sama Ketrin!” tuding Mbak Yuri.
“Aku cari, Mbak. Aku selalu cari dia kok setiap ada waktu.”
“Halah, bisa cari ke mana sih kamu?” Mas Radit terdengar menyepelekan.
Aku melengos. Setiap sore aku kadang jalan-jalan untuk mencari Ana. “Ya harus bagaimana lagi, memang dia tak mau kutemui.”
“Kamu itu gak ada ikhtiarnya, Adrian. Gak ada simpatinya lihat Ibu seperti itu.”
“Simpati bagaimana lagi sih? Aku selalu ke sini tiap ada waktu.”
“Ibu itu butuh Ana bukan butuh kamu!” Mas Radit menunjuk tepat di depan mataku.
“Sudah jangan bertengkar. Pertengkaran kalian tidak akan menyelesaikan.”
“Muak aku lihat muka dia!” Mas Radit melengos. “Tak ada simpatinya sama sekali.” Mas Radit mengulangi kalimat yang sama.
Aku diam saja karena tidak mau memperkeruh keadaan.
“Aku sudah datang ke kampung Ana.” Mas Radit kembali bicara.
Aku menegakkan punggung, cukup kaget dengan perkataannya.
“Ngapain Mas Radit ke kampung Ana?”
“Aku cari dia lah. Kenapa? Kamu gak berani kan?” Mas Radit semakin menantang.
“Terus bagaimana?” Mbak Yuri memotong.
Mas Radit kembali mereda emosinya. “Ana tidak ada di kampungnya. Ibu-bapaknya sudah tahu di mana keberadaan Ana tapi tidak mau memberitahuku.”
“Kamu sudah jelaskan kondisi Ibu?”
“Ya, mereka mengerti. Ana bilang dia sudah memaafkan Ibu. Ana tidak akan mau datang karena ....” Mas Radit melihatku. “Ketrin selalu menemani Adrian!”
“Fitnah apa lagi itu?”
“Itu yang mereka katakan. Ana sudah tenang dengan kehidupan barunya. Ibu dan Bapaknya sudah mengikhlaskan jika pernikahan kalian akan berakhir.”
“Tetap saja seharusnya ibu bisa ketemu sama Ana.” Mbak Yuri tampak kecewa.
“Kamu dong harus datang ke sana. Setidaknya bujuk mertua. Bersujud minta maaf sudah menyakiti anaknya. Bukan jadi pengecut!”
Rahangku mengeras. Tangan mengepal panas. Kalau dia bukan kakakku pasti sudah kuberi pelajaran atas mulut lancangnya.
“Kenapa? Tidak terima? Sudah lah, Adrian. Kalau kamu tidak mau sama Ana, biar dia buat aku saja. Anakmu biar aku yang urus.”
Dadaku panas dan seperti meledak. Aku mencengkeram kerah baju Mas Radit. Tanganku mengepal siap menghajarnya. Mbak Yuri segera menahanku.
“Kurang ajar kamu, Radit! Dari dulu kamu memang selalu iri dengan apa yang kumiliki!”
“Apa masalahnya?”
“Dia istriku! Anak dalam kandungannya anakku.”
Mas Radit tersenyum miring. Dia memaksa aku melepas cengkeraman di kerah bajunya. “Baru sadar kamu, ha? Baru sadar kalau anak dan istri itu puncak harga diri laki-laki. Kalau anak dan istrimu dilecehkan, maka harga dirimu di sini.” Mas Radit menunjuk ke bawah. “Di bawah telapak kaki.”
Mas Radit berdiri. “Kalau kau tidak bisa membahagiakan Ana, biar aku yang membahagiakannya. Camkan itu!” Mas Radit menunjuk ke arah mukaku sambil berjalan pergi.
Bersambung ....
Bab 45. Rujak PedasSesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan. Ayat itu diulang dua kali. Salah satu guruku pernah bilang, diulanginya ayat itu memiliki makna kalau setelah kesulitan kita akan mendapat kebahagiaan yang berlipat.Ayat itu dari Allah—yang menciptakan kehidupan ini, tapi aku pernah ada di titik ragu. Seolah masalahku tak ada akhirnya. Sekarang, aku hanya bisa tersenyum melihat ujian yang sangat berat itu. Ini bukan hanya tentang aku, bahkan kisah para penghuni yayasan pun sama. Banyak yang datang dalam keadaan menangis, dan sekarang mereka bisa tertawa.Aku pernah mengharapkan Mas Adrian mencintaiku, setelah aku ikhlas melepaskannya dan tak berharap lagi, aku malah mendapatkannya sekarang. Suamiku tak pernah melewatkan satu hari pun tanpa mengatakan cinta atau sayang.“Sayang celana dalam yang ini kekecilan.”Aku sedang mencari pakaian untuk pergi siang ini, jadi tak melihat apa maksudnya. Aku sudah tahu pasti bercanda. Mem
Bab 44: LoveAna selalu memimpikan tanah suci. Hatinya selalu sedih setiap kali melihat teman-temannya yang bisa umroh. Rindu tak terhingga Ana pada tempat itu. Minimal sekali seumur hidup, Ana ingin sekali menginjakkan kaki di sana. Haji mungkin sulit digapai, kalau tahun ini daftar, entah kapan dapat giliran. Minimal umroh saja dulu. Ana sangat ingin melihat rumah Allah, juga persinggahan terakhir Baginda Nabi.Hari ini, suaminya, memberikan hadiah tiket haji. Ana tidak bisa menahan tangis. Hatinya penuh syukur. Dari milyaran manusia, Ana terpilih untuk menyempurnakan agamanya tahun ini.Rafasya mendekati wanita yang baru saja sujud syukur dan langsung melantunkan doa itu. Rafasya duduk di samping Ana. Mengusap pucuk kepala istrinya. Rafasya merasa tak pernah melihat Ana sebahagia ini. Hati Rafasya ikut hangat.Ana meraih tangan Rafasya. Diciumnya punggung tangan dan telapak suaminya berkali-kali. "Terima kasih, Mas. Terima kasih." Tatapan Ana berkaca-kaca.Rafasya mengangguk dan te
Bab 43: Sujud SyukurUlang tahun Kaidan dan Nadhifa hanya beda dua minggu saja. Adik kakak yang terpaut dua tahun itu merayakan ulang tahunnya bersama. Mereka mengadakan syukuran bersama yatim piatu dan semua penghuni yayasan. Diadakan makan-makan dan aneka hiburan anak-anak.Malamnya Ana memberikan hadiah. Sebuah CD pemberian Diana. Mereka menonton CD itu bersama-sama sambil berbaring di atas kasur. Di kamar Rafasya.Pada rekaman itu, Diana mengucapkan selamat ulang tahun untuk Kaidan dan Nadhifa. Selamat untuk ulang tahun hari ini dan ulang tahun yang selanjutnya. Diana berharap anak-anaknya kelak menjadi anak-anak yang bermanfaat bagi banyak orang.Rekaman itu diambil ketika Diana sudah sangat lemah. Diana mungkin sedang menahan kesakitan hari itu, tapi bibirnya tetap tersenyum seraya menyampaikan beberapa pesan. Pesan seorang ibu yang berharap anaknya sukses menjalani kehidupan di dunia yang fana ini.Semua orang meneteskan air mata. Rafasya mengusap kepala Kaidan yang sedang mena
Bab 42: Kita SekarangSentuhan semalam seperti sebuah klarifikasi bahwa rumah tangga kami bukan rumah tangga yang aneh, melainkan rumah tangga pada umumnya. Ketika kami berjalan-jalan menyusuri Tokyo, aku tak segan menautkan tangan pada lengannya saat menyeberang. Atau ketika berbelanja, aku berani melingkarkan tangan di pinggang Mas Rafa saat dia memilih boneka kokeshi.“Umma suka yang mana?” Mas Rafa melirik.“Untuk di mana?”“Meja kantor.”“Umma suka yang ini.” Aku menunjuk boneka kayu dengan bentuk tubuh yang bulat dan kepala besar yang ada di tangan kanan Mas Rafa. Mas Rafa setuju dan langsung membayarnya.Setelah belanja bermacam oleh-oleh, dan makan, Mas Rafasya pamit pergi sebentar. Katanya dia ada urusan. Aku dan anak-anak dipinta menunggu di restoran. Mas Rafasya kembali sekitar 15 menit kemudian. Dia menjinjing paper bag yang berisi sebuah kotak.“Apa itu, Papa?” tanya Nadhifa.“Bukan apa-apa.”“Aku mau lihat.”“Ini hanya kado untuk teman Papa.”“Aku mau lihat!”“Tidak bole
Bab 41: Malam PertamaAku baru tahu kalau jatuh cinta itu sangat indah. Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan yang seperti ini sebelumnya. Pagi, ketika aku bertemu tatap dengan Mas Rafasya, pipiku langsung menghangat. Aku tak kuasa memandangnya. Aku lebih banyak menunduk.Kaidan dan Nadhifa kujadikan sebagai pengalihan atas grogiku. Aku fokus pada mereka meski hati rasanya ketar-ketir.Aku tak tahu apa yang Mas Rafasya pikirkan. Mungkin sebuah kecupan hal biasa baginya. Beliau terbentuk dari lingkungan yang heterogen. Mungkin saja mewajarkan hal itu. Mas Rafa terlihat biasa saja, tidak nampak grogi atau sungkan."Umma, hari ini kita pindah ke Kyoto," katanya sambil duduk dan memakai kaus kaki.Aku sangat senang setiap kali Mas Rafa memanggilku Umma. Aku selalu merasa diakui."Di sana ada apa, Mas?""Di sana banyak kuil dan kastel yang memukau. Banyak tempat indah untuk berfoto.""Terus ke Disneylandnya kapan? Anak-anak katanya mau ke Disneyland.""Habis dari Kyoto kita ke Tokyo."Har
Bab 40: Sebuah KecupanKami berangkat menuju Jepang. Sepanjang perjalanan Mas Rafasya banyak menerima telepon. Meski tak bicara, aku tahu pasti ada masalah. Mungkin ada hubungannya dengan kejadian semalam.Ketika menunggu penerbangan, aku menyempatkan untuk bertanya.“Kenapa kita mendadak pergi, Mas. Ini tidak ada hubungannya sama kejadian semalam kan?”Pria yang sedang menatap ponsel itu langsung menengok padaku. “Freyza yang menyabotaseku semalam.”Aku mengingat nama itu. Semalam kami berkenalan dan dia terlihat tidak menyukaiku.“Menyabotase bagaimana?”“Dia yang mengunciku semalam dan meminta MC memanggilmu.”“Aku tidak masalah kok, Mas. Acara semalam berhasil kan? Mas yang bilang sendiri tak mau aku disepelekan Ayah. Semoga saja kejadian semalam bisa membuat ayah berubah.”“Aku tidak akan memaafkan mereka hanya karena kamu berhasil. Bagaimana kalau kamu tidak bisa membawa presentasi semalam? Aku sangat panik takut kamu malu dan malah nangis di sana. Mas tidak bisa membayangkan ka