Share

Masa Kecil : Benda Pelindung Diri

“Selamat malam para pendengar setia Radio Gordan FM, kembali lagi dengan saya, Rizki Alamsyah dalam siaran ‘Cerita Misteri' . Pada malam jum'at kali ini, cerita akan berasal dari salah satu rumah di daerah Bandung Timur. Bersama kami, telah hadir Bapak Farhan selaku pemilik rumah dan juga Pak Haji Asep sebagai tetangga sekaligus saksi dari beberapa kejadian misteri di rumah ini. “

Suara sang penyiar yang cukup familiar di telingaku terdengar lebih bagus saat mendengarkannya langsung. Sebenarnya, sesekali aku pernah mendengar siaran ini bersama mang Danu tetapi tak pernah selesai karena takut. Aku tak menyangka kalau saat ini rumahku sendirilah yang akan diangkat ceritanya.

“Bu, aku kaya lihat teh Nining di luar,” bisikku pada ibu di sebelahku.

“Mungkin kamu salah lihat, Nak. Ibu sudah sms bu Popon untuk menjaga adik-adikmu. Kamu jangan berisik, ya? Banyak berdoa saat siaran berlangsung,” tegas ibu.

Setengah jam berlalu ayah sudah menceritakan semua kejadian janggal yang kami alami. Lelaki yang mereka sebut Kyai Usman itu hanya diam dan sesekali menebarkan pandangan ke ssekeliling rumah tanpa kata. Persis seperti yang Pak haji Asep lakukan beberapa waktu lalu. Selang beberapa lama kemudian, ia dipersilahkan berbicara oleh sang penyiar.

“Saya rasa, apapun yang terjadi di rumah ini tidak ada hubungannya dengan sang pemilik asli alias almarhum Pak Sutrisno,” jelas Kyai Usman.

“Apa maksudnya, Pak Kyai?” tanya ayah.

“Rumah ini merupakan portal atau jalur utama berbagai macam makhluk yang datang dan pergi berlalu-lalang dari sana,”

Seketika kami tersentak. Bukan tanpa alasan, Kyai Usman berbicara seperti itu seraya mengarahkan tangannya ke belakang alias ke rumah pak Darman yang sedang dibangun.

“La-lu, apakah semua makhluk itu berniat jahat pada kami?” tanya ayah resah.

“Kalau sampai di tahap jahat dan menyakiti mungkin tidak. Ada beberapa yang jahil lalu pergi hanya sekedar lewat. Namun, ada satu hal yang saya khawatirkan, saya sudah berdiskusi sebelumnya dengan Pak Asep .... Saya persilahkan beliau yang menjelaskan.”

“Hatur nuhun, Pak Usman. Jadi, aya hiji makhluk yang pada awalnya hanya jahil. Tapi, karena ada ketertarikan dengan sesuatu di sini, dia sering kembali dan datang hanya untuk berdiam diri di sini.”

Jantungku berdegup kencang mendengar ucapan pak Asep. Ibu menggenggam erat tanganku saat mendengar itu. Rasanya, aku sudah tak mau tinggal di sini lagi untuk sedetik saja. Atmosfer ruangan yang tadinya biasa saja, kini jadi terasa sesak dan panas.

“Ibu, bagaimana ini?!” bisikku pada ibu ketakutan.

“Ssttt …. tenang Sayang, tenang. Ingat pesan Ibu, berdoalah yang terbaik.”

Ibu menenangkanku walaupun aku tau ia sangat khawatir dengan situasi seperti ini. Waktu menujukkan sudah larut malam dan aku lumayan mengantuk. Namun, aku sangat kasihan melihat ibu, perempuan seorang diri di sini. Jadi, aku memutuskan untuk menemaninya sampai acara selesai.

“Apakah ada hal yang sebaiknya kami lakukan, Kyai, Pak Asep?” tanya ayah penuh harap.

“Sebaiknya kita mengadakan pengajian rutin setidaknya selama tujuh hari berturut-turut. Sembari melakukan pengajian, Pak Asep akan mencari tau lebih lanjut tentang rumah Pak Darman,” jawab Kyai Usman.

Akhirnya, acara pun selesai. Para kru membereskan peralatan dan berbincang-bincang satu sama lain. Setelah diberi wejangan sesuai arahan Kyai Usman dan pak Asep, orang tuaku sepakat menjalaninya mulai besok.

“Pak Farhan, saya ingin menanyakan sesuatu. Tapi, mohon maaf kalau ini sifatnya sedikit pribadi namun penting untuk diketahui karena berhubungan dengan rumah ini. Apakah Bapak atau istri Bapak memiliki benda pelindung diri atau semacam jimat?” tanya Kyai Usman pada ayah.

“Sama sekali tidak, Kyai. Kalau boleh jujur, saya tidak berani mencoba hal-hal seperti itu apalagi menggunakannya. Me-memangnya kenapa, Pak?” ujar ayah penasaran.

“Begini, hal semacam ini memang sudah lumrah dan masih banyak orang yang memercayainya. Menurut penglihatan batin saya, sosok yang saya sebutkan saat siaran tadi berasal dan tinggal dari sebuah jimat.”

“Ya Allah ….”

Tubuh ayah melemas, ia lalu menyandarkan bahunya di sofa seperti sudah tak mampu mendengar lagi sesuatu yang aneh tentang di rumah ini.

“Sing sabar, Farhan. Didinya kudu apal oge, makhluk eta teh can lila tinggal di dieu.”

Meskipun pak haji Asep sudah menjelaskan kalau sosok itu belum lama tinggal di sini, namun ayah masih tetap terkulai lemas dengan tatapan kosong tanpa merespon.

“Memangnya, seperti apa rupa jimat itu, Pak?” celetukku asal bertanya pada pak Asep.

“Beda-beda, Neng. Ada berupa bagian dari dari tubuh hewan seperti, kumis atau kuku. Atau, sesuatu yang dibungkus dengan kain yang tak lazim bentuknya. Kurang lebih siga kitu, Neng.”

“Oh, kalau ada sesuatu yang kecil dibalut dengan kain hitam berbentuk kotak, itu jimat, bukan?”

Suasana menjadi hening seketika. Nampaknya, aku salah memberikan pertanyaan karena seisi ruangan kini melihatku dengan wajah heran. Aku yang bingung merapatkan badan pada ibu karena malu.

“Da-Dara, di mana kamu melihat benda seperti itu?” ucap ayah menegakkan kembali tubuhnya.

Sekilas, aku memang pernah melihat benda itu. Namun, aku tak tau kalau itulah yang dinamakan jimat walaupun benda itu tak berbentuk seperti benda biasa. Di satu waktu, saat aku bermain di kamar teh Nining, ia sedang menelepon ibunya dengan bahasa sunda yang tak ku pahami. Ditengah percakapan keduanya, terdengar teh Nining menyelipkan kata ‘jimat’ sambil memegang barang tersebut.

“Yah, tunggu. Biar Ibu yang bicara dengan Dara.”

Aku menceritakan semuanya pada ibu sesuai dengan ingatanku tadi. Aku berharap pernyataanku ini tak akan menambah masalah nantinya.

“Lalu, apakah kamu tau dimana teh Nining menyimpannya?” tanya ibu pelan.

“A-aku nggak tau persis, Bu. Karena saat itu aku sedang bermain boneka bersama Tasya di kamar teh Nining,” jelasku.

“Baiklah, terima kasih, Sayang. Kamu anak pintar dan pemberani.”

“Ibu, memangnya jimat itu apa? Apakah berbahaya?” tanyaku penasaran.

“Ibu tidak bisa menjelaskan sekarang, Nak. Nanti akan ibu jelaskan di waktu yang tepat. Ngomong-ngomong, kamu belum ngantuk? Ayo tidur, ibu antarkan ke rumah Bu Popon.”

“Belum, Bu. Aku mau menemani Ibu saja. Lagi pula, besok libur sekolah.”

Ibu lantas melanjutkan berdiskusi dengan Ayah dan yang lainnya tentang informasi yang kuberikan tadi. Entah mengapa, tiba-tiba rasa takut menghampiriku ketika mengingat teh Nining. Sampai saat ini, ia masih saja mondar mandir mengintip kami dari kejauhan dengan gelisah.

“Ibu tunggu di sini saja biar Ayah, Kyai Usman dan Pak Asep yang cari ke kamar Nining. Kalau memang tidak ada, kita ajak ngobrol Nining baik-baik,” ujar ayah pada ibu.

Aku sangat bingung mengapa anak kecil sepertiku diperbolehkan ikut melihat kegiatan ini. Ditambah lagi, Kyai Usman selalu melirik padaku tanpa kata yang membuatku sangat risih.

Ayah, Kyai Usman dan pak Asep bergegas menuju kamar teh Nining. Sebelum sampai ke sana, tiba-tiba Kyai Usman menghampiriku.

“Neng Dara, bukan suatu kebetulan kamu bisa menyaksikan kegiatan ini. Saya yakin, suatu saat, kamu yang akan membuka semua misteri dan menyelamatkan keluargamu. Untuk saat ini, biarlah semua masih menjadi pertanyaan di benakmu. Nanti juga kau akan paham ….”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Robi Erik
ko gabisa ngebuka selanjutnya gagal trs
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status