"Mama ....!" Melisa melambai dari kejauhan, kemudian berlari ke arahku. Aku belum juga turun dari sepeda motorku tapi gadis berseragam batik itu sudah kelihatan tidak sabar.
Aku tersenyum menanggapinya, lalu menunggunya keluar dari pagar sekolah."Mama ... ayo kita belanja!" ujarnya begitu antusias. Pasalnya, besok adalah hari ulang tahun Melisa dan aku sudah berjanji untuk membelikannya kue bolu kesukaannya. Selain itu, kami harus membeli segala pernak pernik ulang tahun seperti topi, souvenir dan Snack untuk dibagikan pada teman-teman sekelasnya besok.Aku sudah mendapat izin dari wali kelasnya untuk membuat sedikit acara sebelum pulang besok. Biasanya anak-anak akan pulang lebih awal di hari jum'at.Seharusnya hal ini pun menjadi aktivitas yang menyenangkan bagiku tapi sejak mengetahui kebusukan Mas Gandhi, aku jadi kehilangan semangat. Melisa sudah mengingatkan ayahnya dari jauh-jauh hari agar ikut merayakan hari ulang tahunnya di sekolah besok. Tetapi karena Mas Gandhi harus menjalankan tugas di luar kota, akhirnya Melani terpaksa mengalah dan menelan pil kekecewaan.Hadiah berupa liburan ke Pulau Sabang yang dijanjikan Mas Gandhi pun tidak lagi aku harapkan. Ternyata lelaki itu sudah pulang tapi malah bermalam di rumah keduanya, rumah Safira. Betapa jahatnya ia padaku juga Melisa, ia mengorbankan hari bahagia anaknya demi acara baby shower gundiknya lusa. Aku tidak akan memaafkan sikap Mas Gandhi pada kami. Dia sungguh keterlaluan."Ma, Mama!" Suara Melisa menarikku dari angan tentang Mas Gandhi. Tangan anak berhijab merah itu naik turun di depan wajahku untuk menarik perhatianku. Aku sempat melamun tadi."Eh, iya, ayo, Sayang!" ucapku kikuk."Mama melamun, ya? Pasti mama kangen sama papa, kan? Aku juga, Ma. Tapi kan papa akan pulang hari Minggu nanti. Setelah itu, kita akan jalan-jalan ke pulau Sabang," tutur Safira menggodaku. Ya, biasanya aku akan sangat merindukan Mas Gandhi dan menantikan kepulangannya. Namun sekarang tidak lagi, aku kecewa berat."Iya, Sayang. Ayo naik!" ucapku sembari menelan ludah yang terasa kian pahit. Aku tidak tahu harus dengan cara seperti apa untuk menjelaskan pada Melisa nanti bahwa tidak akan ada rencana liburan itu. Jika pun terjadi, mungkin hanya kami berdua saja yang pergi.Aku memberikan sebuah helm kecil yang biasa dipakai oleh Melisa lalu memutar motor ke arah toko kue langgananku.Sesampainya di sana, aku membebaskan Melisa untuk memilih kue mana yang akan menjadi kue ulang tahunnya besok. Setelah mengelilingi semua etalase kaca, pilihan gadis kecil itu jatuh pada bolu bermotif Barbie yang dihiasi selai blueberry."Tolong antarkan ke SD IT Cahaya Ilmu besok, ya!" titahku pada salah satu pegawai di sana lalu mengeluarkan uang sesuai jumlah belanjaanku. Bukan hanya bolu itu, aku juga membeli banyak cup cake dan donat untuk dibagikan pada guru dan teman sekelas Melisa besok.Setelah keluar dari toko kue yang gedungnya bertingkat dua itu, aku dan Melisa kembali menaiki motor menuju mall untuk membeli perlengkapan lainnya. Kemudian kami makan siang di salah satu restoran di sebuah pusat perbelanjaan yang disebut dengan Binjai Super Mall."Kita makan di restoran itu saja, ya, Sayang!" ucapku sembari mengarahkan telunjuk pada restoran cepat saji yang berasal dari negeri Paman Sam tersebut.Melisa mengangguk, sebab restoran itu memang menyediakan makanan favoritnya, yaitu ayam dan kentang goreng.Sambil menenteng plastik belanjaan, aku menggandeng tangan Melisa menuju kursi kosong di pojok ruangan. Lalu menghampiri seorang pelayan untuk menulis pesanan.Suasana di tempat ini begitu ramai karena memang bertepatan dengan jam makan siang. Sehingga kami harus menunggu pesanan datang lebih lama dari biasanya. Sembari menghilangkan rasa bosan, Melisa memintaku untuk menghubungi Mas Gandhi yang ia sangka masih berada di luar kota."Tekan yang ini kan, Ma?" tanya Melisa sembari menunjuk pada gambar kamera video di layar. Meski usianya sudah tujuh tahun, tapi aku tak pernah mengizinkan Melisa untuk bermain ponsel sehingga yang ia ketahui hanya bagaimana caranya melakukan panggilan video whatssApp. Itu pun karena aku sudah mencarikan kontak Mas Gandhi di layar."Iya, Sayang!" Aku mengangguk lalu terdengar suara berdering dari panggilan yang tidak kunjung diangkat."Apa papa sibuk, ya? Biasanya juga istirahat kalau jam segini," celetuk Melisa setelah melakukan dua panggilan yang tak kunjung terjawab.Bocah itu mendengkus, lalu meletakkan ponselku begitu saja di meja. Selain lelah, ia juga terlihat kecewa.Ya, mana berani Mas Gandhi menjawab panggilan video sebab sudah bukan di luar kota lagi. Sikapnya ini semakin menguatkan dugaanku bahwa Mas Gandhi memang sedang menipu kami.Tak lama, ada panggilan masuk dan itu dari Mas Gandhi. Aku tersenyum kecut kala menyadari yang masuk hanya sekedar panggilan biasa."Papa, ya, Ma?" ujar Melisa terlihat bersemangat. Gadis itu mengambil ponselku lalu menekan bagian hijau di layar."Halo ... Papa Papa!" seru Melisa sambil menyipitkan mata ke arah layar. Aku tersenyum melihat tingkahnya lalu memberi kode agar menempelkan ponsel ke telinga."Papa, kenapa bukan panggilan video? Aku mau lihat wajah papa," rengek Melisa sebab biasanya itu lah yang Mas Gandhi lakukan jika menghubungi kami. Melisa tidak puas jika tidak melihat wajah lelaki kesayangannya itu.Entah apa jawaban pria itu namun Melisa tampak menganggukkan kepalanya. Mereka terlibat perbincangan ringan sebelum akhirnya Melisa menyerahkan ponsel itu kepadaku.Aku kembali menelan ludah yang bahkan kian detik terasa semakin pahit. Menyaksikan betapa akrabnya Melisa dengan Mas Gandhi membuat batin ini menjadi tersiksa."Ini mama, Pa!" ujar anak itu, aku menyambut ponsel yang di layarnya masih terpampang wajah kami bertiga sebagai Poto profilnya, manis sekali. Padahal di balik itu ada racun yang sedang ia tutupi.Mas Gandhi pasti meminta Melisa untuk menyerahkan ponsel ini karena ingin bicara denganku."Iya, ada apa, Mas?" ucapku malas. Aku sungguh tidak ingin lagi bicara padanya namun demi semua rencana yang sudah aku pikirkan, aku terpaksa harus bersikap biasa agar dia tidak curiga."Sayang, apa kamu dapat job untuk lusa?" ucapnya tiba-tiba tanpa basa-basi terlebih dahulu.Aku tahu, Mas Gandhi pasti ingin memastikan jika gundiknya itu tidak menggunakan jasa dekorasi-ku.Aku menyunggingkan sebuah senyum sarkas. Kamu kalah cepat, Mas. Aku sudah tahu semuanya, batinku geram."Tidak ada, Mas. Aku kosong selama seminggu ini," ujarku berbohong. Biar saja ia merasa semua aman agar aku semakin leluasa mengejutkan mereka nanti."Oh, syukurlah!" ucapnya spontan."Memangnya kenapa, Mas? Kamu marah kalau aku gak dapat job dan hanya meminta uang dari kamu?" ucapku sedikit menyindirnya. Bukankah itu yang dia katakan pada Safira? Aku hanya wanita yang hanya tahu menghabiskan uang suami."E-enggak, bukan begitu, Sayang! Mas justru kasihan lihat kamu harus terus bekerja. Tapi syukur lah kalau dalam seminggu ini tidak ada job, kamu bisa santai di rumah sambil nonton film India, bukan?" selorohnya terdengar menjengkelkan. Kalau dia sungguh kasihan, dia tidak mungkin sampai tega menduakan aku. Dasar buaya darat, sok perhatian padahal takut ketahuan.Aku bekerja keras demi kebahagiaan keluarga ini tapi dia malah bekerja demi membahagiakan perempuan lain."Tidak perlu sedih, Mas. Kamu tahu kan bahwa kita memang harus bekerja keras. Aku bekerja demi kalian dan kau pun bekerja demi ... kami," ucapku terputus dan ragu. Kurasakan netra ini mengembun namun aku segera menetralisir perasaan agar Melisa yang tengah memperhatikan aku tidak curiga.Aku harus kuat di depan Melisa juga Mas Gandhi nanti. Aku harus membuktikan bahwa aku tetap bisa berdiri tegak tanpa lelaki itu lagi."Iya, Sayang. Kalau begitu, Mas boleh pinjam uang lima juta kan?" celetuknya tiba-tiba.Aku dan Bu Elfita menoleh menuju sumber suara. Kakiku sedikit berjengit saat mengetahui siapa lelaki yang memanggilku dengan begitu akrab. Senyuman manis ia tunjukkan pada kami berdua.Ia adalah Rozi. Lelaki itu tersenyum sambil mendekatiku yang masih berusaha menekan irama jantung yang tidak beraturan sebab tidak menyangka, jika aku akan bertemu dengannya untuk yang kesekian kali.Mau apa dia ke sini? "R-Rozi ...."Pria itu mendekat sambil membuka kaca mata hitamnya."Di mana Melisa? Aku membawa sesuatu untuknya," sosor pria itu yang kemudian mengambil posisi di antara aku dan Bu Elfita.Pria itu mengangguk sopan pada wali kelas Melisa yang nampak menyoroti kami secara bergantian. Wajah tampan yang dihiasi senyuman menawan itu sempat membuat Bu Elfita salah tingkah sebentar.Ya, kurasa perempuan mana yang tidak akan terpesona dengan penampilan paripurna yang dimiliki lelaki ini. Wajahnya yang tampan dengan gesture tubuh yang menawan membuat siapa saja enggan mengalihkan pandang dari
"Aku benci Mama, aku mau ikut papa saja. Mama jahat, mama kejam!"Tubuhku merosot di depan pintu kamar putriku. Buliran kristal jatuh membasahi pipi. Tidak ada yang sanggup aku lakukan untuk saat ini, kecuali hanya memukul-mukul daun pintu, berharap agar anak itu keluar lalu meminta maaf padaku. Sakit sekali. Kata-kata Melisa barusan seperti sebuah godam yang menghantam ulu hati. Aku bisa berdiri tegar ketika Mas Gandhi menyakiti hati ini dengan pengkhianatan yang ia lakukan, tetapi hati ini tidak bisa menahan sakitnya mendapat bentakan dari darah daging yang aku besarkan.Melisa ... kenapa anak itu ikut-ikutan menyakitihatiku? Padahal ia lah satu-satunya alasan untukku kuat dan tetap bertahan. Hampir setengah bulan ia menjalani hari tanpa sosok seorang ayah, hatinya jadi membatu. Bagaimana jika selamanya? Sudah menjadi hal yang lumrah jika seorang anak perempuan lebih lengket kepada ayahnya, dan hal itu terjadi pada Melisa.Ya Tuhan, apa salahku, kenapa putri yang aku didik sejak
Selepas kepergian dua orang yang merupakan suruhan rentenir tersebut, aku masuk ke dalam rumah dan menggeledah isi lemari. Ya, aku baru sadar bahwa laci di mana berkas-berkas penting itu tersimpan sudah tidak ada di tempatnya. Terlalu sibuk mengurus anak, suami, dan rumah membuatku tak pernah memeriksa berkas dan aset yang kupunya. Rasa percaya pada suami yang terlalu besar pun membuat aku tidak memiliki rasa curiga sama sekali."Keterlaluan sekali kamu, Mas. Kau gadaikan rumah ini demi perempuan matre itu!" desisku tak habis pikir. Tak ingatkah ia bagaimana perjuangan mendapatkan rumah ini dulu? Matanya sudah benar-benar dibutakan oleh nafsu dunia. Mas Gandhi bahkan tak ingat lagi bahwa ia masih punya Melisa di sini.Pikiran yang kalut membawa langkah kaki ini menuju sebuah meja kerja yang biasa digunakan mas Gandhi untuk duduk sembari menekuri layar laptop setiap malam. Meja itu telah aku kosongkan. Di atasnya kususun beberapa majalah dan katalog milikku. Sedetik kemudian aku bar
Seusai kepergian mama, aku lantas memesan taksi sebab waktu sudah menunjukkan pukul 12.30. Aku harus segera pergi untuk menyusul Melisa di sekolahnya. Sambil menunggu taksi yang aku pesan tiba, aku pergunakan waktuku untuk mengeluarkan barang-barang Mas Gandhi yang kukemas tadi dan meletakkannya di depan pintu. Jika pria itu datang, ia bisa langsung mengambil semuanya tanpa harus menungguku kembali.Rupanya tak lama setelah itu, Mas Gandhi menghubungiku melalui panggilan video. Aku yang sudah bertekad untuk tidak ingin membicarakan apapun lagi segera memblokir kontaknya agar ia tak bisa lagi menghubungiku.Tak berselang lama, muncul pula panggilan masuk dari Kak Duma. Aku tersentak, sebab baru terpikir tentang bagaimana nasibnya setelah aku tinggal pergi dari acara baby shower Safira tadi.[Oh, jadi begitu, ya, Kak? Kasihan sekali dia, ya!] ucapku setelah Kak Duma menjelaskan apa yang terjadi seusai kepergianku.Safira mendapat banyak cemoohan dari para tamu undangan yang datang ke r
Plak, Plak!Sebagai istri yang selalu patuh, aku tak pernah berani melakukan ini sebelumnya. Sekedar memukul nyamuk di pipinya pun aku tak sanggup. Tetapi apa balasan yang ia berikan atas baktiku ini? Ia malah menghadiahi luka batin yang mungkin tak akan bisa sembuh."Shanum!" sentaknya dengan mata yang memerah. Pria itu berhasil memegangi pergelangan tanganku tetapi aku lekas menepisnya. Jijik sekali rasanya disentuh oleh pria ini lagi."Lepaskan!" Aku mendorong bahunya hingga Mas Gandhi mundur beberapa langkah ke belakang. Tak ingin menyerah begitu saja, ia berlari ke hadapanku untuk mencegah langkah kakiku. "Mau apa lagi?" hardikku. Hatiku yang panas semakin terbakar oleh tingkahnya yang terus saja menghalangi kepergianku. "Jangan pergi, Shanum. Aku akan jelaskan semuanya!" rengeknya memelas iba dariku. "Tidak ada yang perlu dijelaskan, Mas. Karena semuanya sudah sangat jelas. Kau punya perempuan lain selain aku dan kau akan memiliki dua anak sebentar lagi! Jadi, urus saja istr
"S-shanum!" ucap Mas Gandhi kaget. Jarak kami tidak terlalu jauh, sehingga aku masih bisa mendengar suara Mas Gandhi dan bisa melihat bagaimana raut wajah yang pias itu.Mas Ghandi melihatku seperti melihat hantu. Bibirnya bergerak ingin mengucapkan sesuatu namun urung dilakukan karena Safira telah memotong ucapannya."Shanum? Mbak Lisya?!" Safira kaget. Ia masih mengenaliku sebagai Lisya--pemilik dekorasi yang ia pakai jasanya.Mata Safira tak bisa diam, ia menatap aku dan Mas Gandhi bergantian dengan sorot tajam penuh tanda tanya."Jadi, itu istrimu, Mas?" Safira menyentak lengan Mas Gandhi, tetapi yang ditanya hanya diam tak bersuara."Ya, Safira. Aku Alisya Shanum, pemilik sweet decoration sekaligus istri dari lelaki yang kau sebut sebagai suami," ucapku karena Mas Gandhi urung berkata apapun. Lelaki pengkhianat itu pasti masih shock berat.Aku menjelaskan dengan tatapan yang lurus pada wanita itu. Safira terperangah dengan mulut yang terbuka lebar.Sama halnya Mas Gandhi, Safira