Share

Bab 7 Insiden di Jalanan

"Bisa kan ditransferkan sekarang?" ulangnya setelah tak kunjung mendapat sahutan dariku.

Tidak salah lagi, uang lima juta itu pasti akan dia gunakan untuk tambahan biaya dekorasi gundiknya. Safira pasti terus merengek padanya untuk mengabulkan semua keinginan wanita yang penuh dengan gengsi itu.

"Uang lima juta, untuk apa, Mas?" tanyaku berpura-pura terkejut. Mas Gandhi memang terbiasa menggunakan uangku tapi tidak pernah sampai sebanyak ini.

Lelaki itu kerap meminta bantuanku untuk sekedar mengisi bahan bakar mobilnya tapi tidak sampai jutaan. Paling tidak hanya dua ratus ribu dan polosnya aku karena tidak pernah pula menagih uang itu kembali. Jika aku tahu uang untuk membeli bahan bakar itu digunakannya untuk mendatangi Safira, maka akan aku bakar sekalian dia dengan mobilnya.

"Hhmm, untuk beli oleh-oleh buat kalian!" ujarnya setelah terdiam cukup lama.

Cih, oleh-oleh apa lagi yang dia maksud jika saat ini saja dia sudah kembali dari luar kota dan berada di kota yang sama denganku. Bukankah aku sudah mencicipi oleh-oleh yang dia beli di rumah Safira tadi?

"Oleh-oleh? Gak usah, Mas. Kamu gak perlu belikan oleh-oleh untuk kami. Asal kamu pulang dengan selamat, aku sudah senang! Lagipula, aku tidak punya uang sebanyak itu," ujarku beralasan.

"Hah? Masa' tidak ada!" ucapnya terkaget-kaget. Entah bagaimana ekspresi wajahnya di sana, pasti ia sedang kebingungan.

Laki-laki macam apa yang sudah menikah denganku ini. Dia sudah mengkhianati aku tapi malah meminta modal dariku untuk membahagiakan gundiknya.

"Kan sudah aku bilang, kalau aku tidak ada job sampai seminggu ini, Mas. Uang yang aku punya sudah habis untuk membeli perlengkapan ulang tahun Melisa besok dan uang yang tersisa untuk makan sehari-hari. Apa kamu lupa kalau kamu ke luar kota tanpa meninggalkan uang belanja di rumah?" ucapku menggerutu walau sebenarnya saldo di rekeningku cukup melimpah. Namun bukan hari ini saja, aku sudah merahasiakan hal itu sedari dulu.

Sebagai istri yang mandiri, aku tidak mau menunjukkan semua penghasilanku pada suami karena berdasarkan pengalaman orang terdahulu, suami akan semakin lepas tangan jika mengetahui istri punya banyak uang. Dan aku tidak salah melakukannya.

"Hanya lima juta, Sayang. Masa' kamu gak bisa usahain?" Bukannya menyadari kesalahannya, dia malah semakin memaksa.

"Beneran gak bisa. Lagipula untuk apa beli oleh-oleh jika malah memberatkan. Memangnya kamu mau bawa oleh-oleh apa dengan uang sebanyak itu?" cecarku. Aku semakin malas bicara padanya. Tak masalah jika Safira tidak jadi menggunakan jasaku, toh aku sudah menerima uang mukanya. Jika dibatalkan artinya uang itu akan hangus.

"Aku kan mau bikin kalian senang!" ucap Mas Gandhi terdengar putus asa. Dia mungkin telah kehabisan cara untuk membujukku.

"Sudah, Mas. Aku mau makan. Kamu pulang lah, tak perlu bawa oleh-oleh. Jangan memaksakan diri jika tidak mampu!"

Aku putus panggilan begitu saja karena aku sungguh merasa lapar. Cacing di perutku semakin berteriak hebat kala berbicara dengan pria itu. Rasa lapar ini membuatku semakin emosi. Untungnya, pramusaji sudah mengantar pesanan kami.

Ponselku terus berdering sesaat setelah panggilan dihentikan. Mas Gandhi terus menelponku dan akhirnya ia menyerah pada panggilan ketiga.

Memang seharusnya begitu. Dia tak pantas mendesak ku seperti ini. Ingin sekali ku maki dirinya agar lelaki itu sadar bahwa aku telah mengetahui semua kebusukannya. Aku jadi tak sabar menunggu lusa untuk menunjukkan permainanku padanya.

Nikmat sekali rasanya makan dalam keadaan lapar seperti ini. Nasi di piring kami sama-sama tandas tak bersisa. Mungkin setelah ini, kami akan terbiasa makan berdua saja tanpa kehadiran Mas Gandhi lagi.

Ya, akan ada banyak kebiasaan yang berubah kala semua kebenaran terungkap. Walau dia bersimpuh dan meminta maaf sekali pun. Namun semua tidak akan sama lagi.

Selesai makan, aku dan Melisa lalu keluar mall untuk menempuh perjalan pulang. Barang belanjaan yang banyak cukup menyulitkan aku untuk berkendara. Semua barang aku letakkan di depan karena Melisa harus tetap berpegangan di pinggangku. Dengan bismillah, aku mulai mengemudikan motor di tengah keramaian kota.

Melisa yang lelah dan kekenyangan sepertinya sudah mulai diserang rasa kantuk. Apalagi jam segini merupakan jam tidur siangnya setiap hari. Untungnya aku punya belt khusus untuk berkendara sepeda motor sehingga meskipun mengantuk, Melisa tetap aman duduk di belakangku. Sesekali aku akan memanggil namanya untuk menyadarkan anak itu agar tidak terlalu lelap dalam tidurnya.

Perjalanan ini terasa semakin berat karena selain barang bawaan yang cukup banyak, panas mentari terasa begitu terik hingga menembus sampai ke dalam tulang. Aku jadi menggerutu dalam hati kala mengingat betapa nyamannya hidup Safira yang difasilitasi sebuah mobil oleh Mas Gandhi.

Jika aku punya mobil maka aku dan Melisa tidak akan kepanasan seperti ini setiap hari. Bahkan aku tidak perlu khawatir jika Melisa tertidur selama perjalanan. Anak gadisku ini akan tetap nyaman sampai kembali ke rumah.

Aku sungguh tidak bisa terima dengan semua ketidak adilan yang dilakuan Mas Gandhi. Padahal jika dilihat, aku lah yang paling membutuhkan mobil bukan pelakor berwajah tua itu.

Ketika di perempatan yang agak sunyi dan dipenuhi pepohonan, aku hendak membelok ke area tempat tinggalku. Namun aku kesulitan untuk mengendalikan stang motor karena penuhnya barang bawaan di depanku. Aku berhasil membelok namun sayangnya aku malah kehilangan kendali dan menabrak seorang pengendara motor sport di hadapanku.

Braakk!

Aku dan sepeda motorku terjatuh setelah menabrak bagian belakang motor sport itu. Posisi kami terjatuh ke sebelah kanan bersamaan barang belanjaan yang turut terlempar ke aspal dan dan sebagian tertimpa body motor. Untungnya, sebelah tungkaiku dapat sedikit menopang bobot kendaraan matic ini sehingga Melisa yang duduk di belakangku tidak sempat terjatuh ke aspal. Ia tetap bersandar di balik punggungku. Anak itu hanya berteriak kaget karena semua terjadi begitu cepat.

Aku lantas melepaskan belt yang menyatu antara Melisa dan perutku. Lalu memeluk Melisa yang tampak shock dan ketakutan.

"Maaf, Pak. Saya tidak sengaja, saya akan mengganti rugi kerusakan pada sepeda motor Bapak!" ucapku pada pria berjaket hitam di hadapanku. Pakaiannya yang serba hitam membuatku menjadi gugup dan ketakutan. Dia mungkin seorang preman jalanan yang sepertinya tidak terima dan ingin memarahiku.

Lelaki itu masih belum merespon. Ia lebih memilih turun dan menghampiriku. Karena kejadian ini mengakibatkan lampu belakang motornya pecah dan rusak. Itu lah sebabnya aku berinisiatif untuk meminta maaf terlebih dahulu dan akan mengganti kerugian yang ia alami.

Sementara kulihat tidak ada kerusakan yang berarti pada sepeda motorku. Hanya bagian sebelah kanan yang sedikit lecet karena berciuman dengan aspal.

Lelaki itu semakin mendekat, tubuh tinggi dengan langkah tegap itu sukses membuat nyaliku menciut. Preman jalanan di kota ini terkenal bengis, mereka tidak akan peduli meski berurusan dengan wanita sekalipun. Jika mereka tidak senang, mereka akan membalas hingga puas.

Ah ... Kenapa aku sial sekali hari ini. Berbagai masalah datang secara beruntun seperti bom waktu yang diledakkan tanpa aba-aba.

"Tidak apa-apa, Mbak. Saya yang seharusnya minta maaf karena saya tadi tiba-tiba ngerem mendadak," ujar pria yang tidak kelihatan wajahnya karena mengenakan penutup kepala dan masker. Aku sedikit terkejut kala mendengar suaranya. Terdengar tenang dan kharismatik, bukan seperti suara para preman kebanyakan yang terdengar bengis dan kasar.

"Ti-tidak, Pak. Saya lah yang salah karena membawa terlalu banyak barang bawaan. Maafkan saya, Pak. Saya akan mengganti rugi semuanya!" ujarku menekan rasa takut yang mulai hilang karena suara yang menghanyutkan itu.

Sepertinya pria ini bukan preman, hanya penampilannya saja yang mirip seorang preman karena menaiki motor sport dan berpakaian serba hitam.

"Mama ... lihat itu, Ma. Semuanya sudah rusak, bagaimana ini, Ma? Huuaaaa!"

Tiba-tiba Melisa menangis saat melihat pernak pernik ulang tahunnya rusak akibat terlindas sebuah mobil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status