Share

Bab 5 Pamit Pergi

Aku kembali memacu motorku di jalanan menuju sekolah tempat Melisa menuntut ilmu dua tahun ini. Gadis kesayanganku itu pasti sudah menungguku di dekat pintu gerbang sekolahnya.

Ah ... aku tidak bisa menjelaskan betapa hancurnya perasaan ini kala menyadari rumah tangga ini tidak baik-baik saja. Entah seperti apa reaksi Melisa nanti jika mengetahui bahwa kedua orang tuanya mungkin tidak akan bisa bersama lagi. Aku sungguh tidak sudi meneruskan pernikahan ini.

Sebagai istri, aku masih bisa bertahan ketika ujian ekonomi terus menghampiri. Namun tidak pada ujian orang ketiga. Tidak ada kompensasi untuk pengkhiantan.

Dulu, aku tetap setia mendampingi Mas Gandhi meski ia tidak bisa menghasilkan lebih dari tiga juta setiap bulannya karena posisinya hanya sebagai karyawan biasa, sementara kebutuhan hidup kian hari kian sulit. Melisa sudah mulai sekolah dan punya banyak keinginan. Aku sampai harus berjualan online demi menopang kehidupan di kota ini namun sering kehabisan modal demi mencukupi ongkos minyak motor Mas Gandhi.

Hingga akhirnya aku mulai merintis bisnis dekorasi, itu pun dengan pinjamam modal dari ibuku. Sejak saat itu lah hidup ini tidak begitu kekurangan apalagi Mas Gandhi mulai naik jabatan dan mendapat gaji lebih besar dari sebelumnya.

Mengingat itu semua membuatku sangat menyesali sikap Mas Gandhi yang seakan lupa pada daratan. Kupikir masa lalu yang suram mampu membuat otaknya berpikir seribu kali sebelum bermain curang. Nyatanya, baru dua tahun mencicipi manisnya kesuksesan, ia sudah berani memiliki wanita lain.

Tak terasa, air mata telah merembes sepanjang jalan hingga sedikit mengaburkan pandanganku. Aku mengerjap beberapa kali agar pandangan yang agak buram berubah sedikit terang karena aku tidak ingin terjadi suatu insiden di jalanan.

Aku sampai harus menepi untuk sekedar menahan laju air mata yang seakan tidak ingin berhenti keluar. Entahlah, kenapa aku bisa jadi cengeng seperti ini. Padahal dalam tangis ini, aku sesekali tertawa merutuki kebodohan Mas Gandhi.

Seperti inikah rasanya patah hati? Ketika rumah tangga yang kuanggap syurga ternyata malah menyimpan neraka.

Aku pikir Mas Gandhi cukup setia karena aku tidak pernah menemukan hal janggal pada dirinya. Ia bahkan pulang setiap malam dan tidak pernah pergi ketika weekend. Entah bagaimana caranya menyambangi wanita simpanannya itu selama ini, sehingga aku sama sekali tidak menaruh curiga sedikit pun padanya.

Siapa sangka kepergian Mas Gandhi kemarin malah menjadi jalan untuk membuka tabir yang selama ini ia tutupi. Aku masih ingat betul ketika harus melepaskannya pergi demi tugas kemarin.

***

Senin pagi ....

"Jadi, satu Minggu, ya, Mas?" tanyaku pada Mas Gandhi yang sedang duduk di bibir ranjang sembari memakai sepatu hitamnya.

Pria yang sebentar lagi hendak berangkat ke Aceh itu memandangku dengan senyuman yang mengembang.

"Iya, Sayang. Satu Minggu!" ucapnya sekali lagi.

Aku sebenarnya tidak keberatan untuk melepas Mas Gandhi pergi ke luar kota apalagi untuk urusan pekerjaan. Aku dan Melisa terbiasa di rumah berdua jika Mas Gandhi memang harus diutus bosnya untuk mewakili perusahaan demi menghadiri acara di suatu tempat. Tapi itu hanya sesekali, kepergiannya dapat dihitung oleh jari.

Hanya saja, satu Minggu itu terlalu lama bagiku. Karena ketika ia diutus ke Batam dan Padang, suamiku hanya menghabiskan waktu selama tiga hari saja di sana. Padahal jarak kedua kota itu lebih jauh dari pada kota yang akan menjadi tujuan suamiku hari ini.

Aku tertunduk lesu sambil menekuk wajahku. Pasalnya, empat hari lagi adalah hari ulang tahun Melisa dan kami berencana akan merayakannya di sekolah. Melisa ingin agar hari jadinya itu dirayakan bersama teman sekelasnya dan dihadiri oleh kedua orang tuanya tentunya.

Seakan mengerti arti dari kegundahan ku. Mas Gandhi lalu memegangi kedua bahuku dan menatapku dengan tatapan hangat dan penuh cinta.

"Shanum, gak apa-apa, kan? Demi pekerjaanku. Aku janji akan membawamu dan Melisa liburan ke Pulau Sabang sebagai ganti hari ulang tahunnya!" bujuknya dengan suara lembut nan berkharisma. Aku yang awalnya tertunduk langsung mengangkat kepala dan tersenyum kala nama pulau impianku itu disebutkan.

Bagaimana tidak? Aku sudah lama berangan-angan untuk mengunjungi pulau indah di ujung Indonesia itu. Bermalam di sebuah resort yang terletak di bibir pantai dengan pemandangan air laut yang jernih lalu mengunjungi tugu kilometer nol Indonesia dan berpoto di sana kemudian mengunggahnya di akun media sosial.

Semua teman-temanku sudah pernah ke sana, dan kurasa, tinggal aku sendiri lah yang belum pernah menginjakkan kaki ke pulau indah itu. Padahal jarak kota Binjai tempatku tinggal tidak lah terlalu jauh ke sana. Hanya membutuhkan waktu selama satu jam lebih dari jalur udara lalu menyebrang beberapa jam menuju pulau impian itu. Namun keinginan yang sudah aku cetuskan sejak dua tahun lalu itu tak kunjung terlaksana sebab Mas Gandhi selalu sibuk dengan urusan pekerjaan.

Aku pun tidak pula menuntutnya karena kurasa karir Mas Ghandi memang harus diutamakan. Setelah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang bergerak di bidang jasa itu, akhirnya suamiku dinobatkan menjadi kepala kantor untuk cabang kota Binjai.

Sudah dua tahun ini Mas Ghandi mengkonsentrasikan diri dengan jabatan barunya dan selama dua tahun ini pula ia berhasil mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Sehingga kerja kerasnya itu menghasilkan sebuah rumah tua dengan halaman yang cukup luas yang kini telah aku renovasi dengan gaya modern dan sebuah kendaraan roda empat dengan merk ternama. Bisa dikatakan jika hidup kami jauh lebih baik ketimbang tahu-tahun sebelumnya yang hanya mengontrak di rumah sederhana dalam gang sempit.

"Benaran, Mas? Yeiy ... terima kasih, ya, Mas. Semoga pekerjaanmu lancar dan kamu pulang tepat waktu," uraiku dengan senyum yang terus melengkung. Lelaki kesayanganku itu pun mengecup keningku beberapa kali hingga aku terbuai beberapa saat lamanya.

Jika begini, aku tidak akan merasa keberatan lagi. Aku rela menunggunya dan tidak pula mempermasalahkan kepergiannya yang agak lama. Biarlah Melisa menjadi urusanku, anak itu pasti mengerti tentang kesibukan ayahnya dan tak kalah bahagia jika hadiah hari jadinya di tahun ini adalah liburan ke Pulau Sabang.

Aku lantas mengantar Mas Gandhi sampai ke depan pintu sambil terus bergelayut manja di lengan kekarnya.

Mas Gandhi dan temannya akan berangkat menuju bendara terlebih dahulu barulah naik pesawat dengan tujuan Banda Aceh.

"Kamu jaga diri dan Melisa baik-baik. Mas akan sering menghubungi kalian setiap kali ada waktu senggang nanti," ucap suamiku sebelum masuk ke dalam mobilnya. Ia memelukku sekali lagi setelah aku mencium lembut punggung tangannya.

Mas Ghandi masuk ke dalam mobil dan kendaraan roda empat itu pun menjauh hingga hilang dari pandanganku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status