Aku kembali memacu motorku di jalanan menuju sekolah tempat Melisa menuntut ilmu dua tahun ini. Gadis kesayanganku itu pasti sudah menungguku di dekat pintu gerbang sekolahnya.
Ah ... aku tidak bisa menjelaskan betapa hancurnya perasaan ini kala menyadari rumah tangga ini tidak baik-baik saja. Entah seperti apa reaksi Melisa nanti jika mengetahui bahwa kedua orang tuanya mungkin tidak akan bisa bersama lagi. Aku sungguh tidak sudi meneruskan pernikahan ini.Sebagai istri, aku masih bisa bertahan ketika ujian ekonomi terus menghampiri. Namun tidak pada ujian orang ketiga. Tidak ada kompensasi untuk pengkhiantan.Dulu, aku tetap setia mendampingi Mas Gandhi meski ia tidak bisa menghasilkan lebih dari tiga juta setiap bulannya karena posisinya hanya sebagai karyawan biasa, sementara kebutuhan hidup kian hari kian sulit. Melisa sudah mulai sekolah dan punya banyak keinginan. Aku sampai harus berjualan online demi menopang kehidupan di kota ini namun sering kehabisan modal demi mencukupi ongkos minyak motor Mas Gandhi.Hingga akhirnya aku mulai merintis bisnis dekorasi, itu pun dengan pinjamam modal dari ibuku. Sejak saat itu lah hidup ini tidak begitu kekurangan apalagi Mas Gandhi mulai naik jabatan dan mendapat gaji lebih besar dari sebelumnya.Mengingat itu semua membuatku sangat menyesali sikap Mas Gandhi yang seakan lupa pada daratan. Kupikir masa lalu yang suram mampu membuat otaknya berpikir seribu kali sebelum bermain curang. Nyatanya, baru dua tahun mencicipi manisnya kesuksesan, ia sudah berani memiliki wanita lain.Tak terasa, air mata telah merembes sepanjang jalan hingga sedikit mengaburkan pandanganku. Aku mengerjap beberapa kali agar pandangan yang agak buram berubah sedikit terang karena aku tidak ingin terjadi suatu insiden di jalanan.Aku sampai harus menepi untuk sekedar menahan laju air mata yang seakan tidak ingin berhenti keluar. Entahlah, kenapa aku bisa jadi cengeng seperti ini. Padahal dalam tangis ini, aku sesekali tertawa merutuki kebodohan Mas Gandhi.Seperti inikah rasanya patah hati? Ketika rumah tangga yang kuanggap syurga ternyata malah menyimpan neraka.Aku pikir Mas Gandhi cukup setia karena aku tidak pernah menemukan hal janggal pada dirinya. Ia bahkan pulang setiap malam dan tidak pernah pergi ketika weekend. Entah bagaimana caranya menyambangi wanita simpanannya itu selama ini, sehingga aku sama sekali tidak menaruh curiga sedikit pun padanya.Siapa sangka kepergian Mas Gandhi kemarin malah menjadi jalan untuk membuka tabir yang selama ini ia tutupi. Aku masih ingat betul ketika harus melepaskannya pergi demi tugas kemarin. ***Senin pagi ...."Jadi, satu Minggu, ya, Mas?" tanyaku pada Mas Gandhi yang sedang duduk di bibir ranjang sembari memakai sepatu hitamnya.Pria yang sebentar lagi hendak berangkat ke Aceh itu memandangku dengan senyuman yang mengembang."Iya, Sayang. Satu Minggu!" ucapnya sekali lagi.Aku sebenarnya tidak keberatan untuk melepas Mas Gandhi pergi ke luar kota apalagi untuk urusan pekerjaan. Aku dan Melisa terbiasa di rumah berdua jika Mas Gandhi memang harus diutus bosnya untuk mewakili perusahaan demi menghadiri acara di suatu tempat. Tapi itu hanya sesekali, kepergiannya dapat dihitung oleh jari.Hanya saja, satu Minggu itu terlalu lama bagiku. Karena ketika ia diutus ke Batam dan Padang, suamiku hanya menghabiskan waktu selama tiga hari saja di sana. Padahal jarak kedua kota itu lebih jauh dari pada kota yang akan menjadi tujuan suamiku hari ini.Aku tertunduk lesu sambil menekuk wajahku. Pasalnya, empat hari lagi adalah hari ulang tahun Melisa dan kami berencana akan merayakannya di sekolah. Melisa ingin agar hari jadinya itu dirayakan bersama teman sekelasnya dan dihadiri oleh kedua orang tuanya tentunya.Seakan mengerti arti dari kegundahan ku. Mas Gandhi lalu memegangi kedua bahuku dan menatapku dengan tatapan hangat dan penuh cinta."Shanum, gak apa-apa, kan? Demi pekerjaanku. Aku janji akan membawamu dan Melisa liburan ke Pulau Sabang sebagai ganti hari ulang tahunnya!" bujuknya dengan suara lembut nan berkharisma. Aku yang awalnya tertunduk langsung mengangkat kepala dan tersenyum kala nama pulau impianku itu disebutkan.Bagaimana tidak? Aku sudah lama berangan-angan untuk mengunjungi pulau indah di ujung Indonesia itu. Bermalam di sebuah resort yang terletak di bibir pantai dengan pemandangan air laut yang jernih lalu mengunjungi tugu kilometer nol Indonesia dan berpoto di sana kemudian mengunggahnya di akun media sosial.Semua teman-temanku sudah pernah ke sana, dan kurasa, tinggal aku sendiri lah yang belum pernah menginjakkan kaki ke pulau indah itu. Padahal jarak kota Binjai tempatku tinggal tidak lah terlalu jauh ke sana. Hanya membutuhkan waktu selama satu jam lebih dari jalur udara lalu menyebrang beberapa jam menuju pulau impian itu. Namun keinginan yang sudah aku cetuskan sejak dua tahun lalu itu tak kunjung terlaksana sebab Mas Gandhi selalu sibuk dengan urusan pekerjaan.Aku pun tidak pula menuntutnya karena kurasa karir Mas Ghandi memang harus diutamakan. Setelah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang bergerak di bidang jasa itu, akhirnya suamiku dinobatkan menjadi kepala kantor untuk cabang kota Binjai.Sudah dua tahun ini Mas Ghandi mengkonsentrasikan diri dengan jabatan barunya dan selama dua tahun ini pula ia berhasil mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Sehingga kerja kerasnya itu menghasilkan sebuah rumah tua dengan halaman yang cukup luas yang kini telah aku renovasi dengan gaya modern dan sebuah kendaraan roda empat dengan merk ternama. Bisa dikatakan jika hidup kami jauh lebih baik ketimbang tahu-tahun sebelumnya yang hanya mengontrak di rumah sederhana dalam gang sempit."Benaran, Mas? Yeiy ... terima kasih, ya, Mas. Semoga pekerjaanmu lancar dan kamu pulang tepat waktu," uraiku dengan senyum yang terus melengkung. Lelaki kesayanganku itu pun mengecup keningku beberapa kali hingga aku terbuai beberapa saat lamanya.Jika begini, aku tidak akan merasa keberatan lagi. Aku rela menunggunya dan tidak pula mempermasalahkan kepergiannya yang agak lama. Biarlah Melisa menjadi urusanku, anak itu pasti mengerti tentang kesibukan ayahnya dan tak kalah bahagia jika hadiah hari jadinya di tahun ini adalah liburan ke Pulau Sabang.Aku lantas mengantar Mas Gandhi sampai ke depan pintu sambil terus bergelayut manja di lengan kekarnya.Mas Gandhi dan temannya akan berangkat menuju bendara terlebih dahulu barulah naik pesawat dengan tujuan Banda Aceh."Kamu jaga diri dan Melisa baik-baik. Mas akan sering menghubungi kalian setiap kali ada waktu senggang nanti," ucap suamiku sebelum masuk ke dalam mobilnya. Ia memelukku sekali lagi setelah aku mencium lembut punggung tangannya.Mas Ghandi masuk ke dalam mobil dan kendaraan roda empat itu pun menjauh hingga hilang dari pandanganku."Mama ....!" Melisa melambai dari kejauhan, kemudian berlari ke arahku. Aku belum juga turun dari sepeda motorku tapi gadis berseragam batik itu sudah kelihatan tidak sabar.Aku tersenyum menanggapinya, lalu menunggunya keluar dari pagar sekolah."Mama ... ayo kita belanja!" ujarnya begitu antusias. Pasalnya, besok adalah hari ulang tahun Melisa dan aku sudah berjanji untuk membelikannya kue bolu kesukaannya. Selain itu, kami harus membeli segala pernak pernik ulang tahun seperti topi, souvenir dan Snack untuk dibagikan pada teman-teman sekelasnya besok. Aku sudah mendapat izin dari wali kelasnya untuk membuat sedikit acara sebelum pulang besok. Biasanya anak-anak akan pulang lebih awal di hari jum'at.Seharusnya hal ini pun menjadi aktivitas yang menyenangkan bagiku tapi sejak mengetahui kebusukan Mas Gandhi, aku jadi kehilangan semangat. Melisa sudah mengingatkan ayahnya dari jauh-jauh hari agar ikut merayakan hari ulang tahunnya di sekolah besok. Tetapi karena Mas Gandhi harus men
"Bisa kan ditransferkan sekarang?" ulangnya setelah tak kunjung mendapat sahutan dariku.Tidak salah lagi, uang lima juta itu pasti akan dia gunakan untuk tambahan biaya dekorasi gundiknya. Safira pasti terus merengek padanya untuk mengabulkan semua keinginan wanita yang penuh dengan gengsi itu."Uang lima juta, untuk apa, Mas?" tanyaku berpura-pura terkejut. Mas Gandhi memang terbiasa menggunakan uangku tapi tidak pernah sampai sebanyak ini. Lelaki itu kerap meminta bantuanku untuk sekedar mengisi bahan bakar mobilnya tapi tidak sampai jutaan. Paling tidak hanya dua ratus ribu dan polosnya aku karena tidak pernah pula menagih uang itu kembali. Jika aku tahu uang untuk membeli bahan bakar itu digunakannya untuk mendatangi Safira, maka akan aku bakar sekalian dia dengan mobilnya."Hhmm, untuk beli oleh-oleh buat kalian!" ujarnya setelah terdiam cukup lama. Cih, oleh-oleh apa lagi yang dia maksud jika saat ini saja dia sudah kembali dari luar kota dan berada di kota yang sama denganku
Lelaki yang tidak aku tahu asal usulnya itu lantas mendekat pada Melisa kala menyadari buah hatiku itu menangis karena benda yang sudah berserakan dan tidak lagi berbentuk itu. Semua pernak-pernik ulang tahunnya sudah tidak layak pakai."Cup cup cup anak cantik, maaf ya, Om tidak sengaja! Kamu mau ulang tahun, ya?" Lelaki itu berjongkok untuk mensejajarkan diri dengan putriku. Ia mengusap air bening yang berjatuhan dari sudut netra Melisa.Bukan hanya anak itu, aku juga merasakan kesedihan yang sama. Bahkan aku lelah. Aku dan Melisa sudah mengitari mall, mengantri dan bersusah payah membawa semuanya namun harus berakhir seperti ini. Rasanya aku pun ingin menangis tetapi malu pada pria di depanku."Iya, Om. Aku mau rayain ulang tahunku di sekolah besok. Tapi semuanya sudah rusak, huaaa!" Melisa menangis semakin kencang. Harapannya untuk merayakan ulang tahun yang berkesan bersama teman-teman sekelasnya pupus sudah. Yang tertinggal hanya kue tanpa kemeriahan yang lain."Maafin Om, ya, S
Untuk pertama kalinya aku membentak dan bicara sekeras ini pada Melisa. Ia pasti sangat terkejut dengan sikapku yang dianggap telah berubah kasar padanya.Aku sungguh dilema. Kurasa hari terberat dalam hidupku selama berumah tangga adalah hari ini. Bahkan ini lebih berat dari pada ketika aku kebingungan saat beras dan gas habis secara bersamaan. Atau ketika tak bisa beli baju lebaran.Mengetahui Mas Gandhi telah membagi cinta dan materi dengan wanita bernama Safira membuatku jadi hampir setengah gila. Sakit karena materi itu bisa digantikan. Tapi jika sakit karena patah hati rasanya tak ada ganti. Walau Mas Gandhi akan datang dan membawa seribu maaf untukku. Itu tidak akan cukup mengobati luka menganga akibat menikamku dari belakang.Sakit, benci dan sedih membaur ke dasar jiwa sehingga aku tak bisa mengendalikan emosi. Aku malah melampiaskannya pada Melisa dengan bentakan kasar dan menyakitkan. Bukannya merasa puas. Aku sungguh merasa semakin bersalah.Kulihat Melisa masih tertunduk
Rumah Kedua SuamikuSetelah sedikit berbasa-basi. Akhirnya, kami pun saling memperkenalkan diri. Sesuai dugaanku. Ternyata Rozi bukan lah orang sembarangan. Dia adalah seorang direktur dari sebuah perusahaan asuransi di Jakarta dan ke sini untuk melaksanakan tugasnya, yaitu mengunjungi anak cabang dari perusahaannya untuk memeriksa kinerja para karyawan serta keuangan di sana.Apalagi ada laporan jika di beberapa anak perusahaannya mengalami ketimpangan dalam masalah keuangan.Kebetulan semalam dia memang terburu-buru. Rozi yang biasanya ke mana-mana mengendarai mobil, menjadi kaku saat harus mengendarai sepeda motor di jalanan beraspal. Tapi kali ini dia datang mengendarai mobi ditemani sang sopir.Rozi mengaku padaku bahwa dia adalah seorang duda yang ditinggal mati oleh anak dan istrinya. Istrinya meninggal ketika melahirkan anak pertama mereka sedangkan putrinya menyusul sebelas bulan setelahnya. Dan ketika melihat Melisa. Pria itu langsung teringat akan mendiang putrinya. Apa lag
"Wah ... mama cantik sekali!" puji Melisa saat memindai penampilan baruku. Aku baru selesai mengambil tiga paket perawatan sekaligus. Rambut, wajah dan badan di salon terpercaya di kota ini. Walau harus merogoh kocek yang cukup dalam. Namun usahaku ini tidak sia-sia. Aku tampil glow up dengan kulit yang lebih cerah dan bersih.Rambutku yang ikal telah mendapat perawatan keratin sehingga tampil lurus dan bersinar."Beneran?" godaku lagi pada Puteri semata wayangku. Melisa kubawa juga ke salon untuk menemaniku karena aku tak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah. Anak itu menungguku di tempat bermain khusus anak yang memang disediakan oleh pihak salon."Benar, Ma. Mama cantik sekali," celotehnya dengan tatapan kagum melihat tampilan ibunya. Senyum merekah tak lepas dari wajahku sedari tadi, karena sejak mematut diri di cermin, aku menyadari bahwa aku masih sangat cantik dan memikat.Aku masih lebih cantik ketimbang Safira yang pandai berpoles make up itu.Setelah melakukan semua pe
Tiba lah hari yang aku tunggu-tunggu. Di mana aku telah mempersiapkan kejutan istimewa untuk Safira dan juga Mas Gandhi. Aku akan menjadikan kejutan manis ini sebagai hadiah spesial di hari bahagia mereka. Mereka tak akan bisa melupakan momen itu sampai kapan pun. Bahkan kejutan ini akan menjadi mimpi buruk di setiap malam keduanya."Belajar yang benar ya, Sayang. Mama sudah penuhi janji untuk merayakan ulang tahunmu bersama teman-teman. Jadi, kamu gak boleh bikin Mama kecewa!" ujarku pada Melisa di sela acara sarapan kami.Anak gadisku itu tersenyum riang dan mengangguk mengiyakan. Melisa terlihat sangat bahagia hari ini. Selain karena pesta ulang tahunnya yang berjalan sempurna, juga karena ia tahu bahwa papanya akan pulang dari luar kota besok. Akan tetapi, sebelum Mas Gandhi menginjakkan kaki di rumah ini. Aku akan lebih dahulu mengejutkannya sehingga kakinya itu akan merasa berat untuk datang ke rumah yang sudah ia tinggalkan selama sepekan ini. Biar saja ia tak kembali ke sini
"S-shanum!" ucap Mas Gandhi kaget. Jarak kami tidak terlalu jauh, sehingga aku masih bisa mendengar suara Mas Gandhi dan bisa melihat bagaimana raut wajah yang pias itu.Mas Ghandi melihatku seperti melihat hantu. Bibirnya bergerak ingin mengucapkan sesuatu namun urung dilakukan karena Safira telah memotong ucapannya."Shanum? Mbak Lisya?!" Safira kaget. Ia masih mengenaliku sebagai Lisya--pemilik dekorasi yang ia pakai jasanya.Mata Safira tak bisa diam, ia menatap aku dan Mas Gandhi bergantian dengan sorot tajam penuh tanda tanya."Jadi, itu istrimu, Mas?" Safira menyentak lengan Mas Gandhi, tetapi yang ditanya hanya diam tak bersuara."Ya, Safira. Aku Alisya Shanum, pemilik sweet decoration sekaligus istri dari lelaki yang kau sebut sebagai suami," ucapku karena Mas Gandhi urung berkata apapun. Lelaki pengkhianat itu pasti masih shock berat.Aku menjelaskan dengan tatapan yang lurus pada wanita itu. Safira terperangah dengan mulut yang terbuka lebar.Sama halnya Mas Gandhi, Safira