Kebohongan demi kebohongan mulai terkuak manakala suami Shanum melakukan perjalan dinas ke luar kota. Gandhi pamit satu minggu di sana, namun nyatanya hanya 3 hari saja ia habiskan untuk bekerja. Lalu, ke manakah ia menghabiskan sisa harinya?
View MoreRumah Kedua Suamiku
[Lihat ini, bagus sekali kan? Kamu dapat oleh-oleh apa dari suamimu, Shanum?]"Pesan dari Eva, calon istri dari teman sekantor suamiku sekaligus sahabatku di waktu SMA dulu. Ia memperlihatkan sebuah Bros motif pintu Aceh berwarna gold, manis sekali.Dahiku mengernyit untuk beberapa saat, bukan karena memandangi keindahan Bros itu. Tapi memikirkan tentang sejak kapan Irfan--tunangan Eva sudah kembali ke Medan sementara suamiku sama sekali belum pulang.Sepanjang ingatanku, Mas Gandhi dan Irfan memang diutus ke Aceh untuk menjadi perwakilan bagi kantor mereka selama seminggu. Namun baru tiga hari di sana, kenapa Eva sudah mendapatkan oleh-oleh?[Wah bagus sekali. Memangnya Irfan sudah pulang?] balasku untuk memastikan dugaanku.[Sudah. Dia sudah tiba sejak pagi dan sekarang sedang di rumahku mengantarkan oleh-oleh untuk kami sekeluarga. Kamu dapat oleh-oleh apa dari suamimu? Suami kamu sudah di rumah 'kan?]Aku tidak lagi membalas pesan dari Eva sebab tiba-tiba hatiku diserang rasa nyeri sekaligus penasaran. Jika Irfan sudah kembali, lalu ke mana suamiku? Bukankah seharusnya mereka juga pulang bersama-sama?Tiba-tiba ponsel yang masih dalam genggaman tanganku berdering. Tertera nama Eva di layarnya dan aku pun gegas menjawab panggilannya."Kok, gak jawab chat aku, sih?" tanya wanita itu dari seberang sana. Nada suaranya tidak seperti orang bertanya, namun terkesan menyelidik."Oh, uhm, maaf. Aku baru saja mau ngetik tapi kamu sudah menelepon," jawabku berkilah."Gandhi sudah pulang, 'kan? Kamu dapat oleh-oleh apa dari Aceh? Dapat Bros seperti punyaku juga 'kan? Karena Irfan bilang, mereka berbelanja bersama-sama di toko souvenir sebelum menuju bandara. Bahkan Gandhi belikan kamu banyak oleh-oleh dan makanan khas dari sana!" cecar Eva dan seketika membuat dadaku sesak. Bukan hanya kehabisan kata-kata, aku juga kehabisan ruang bagi oksigen untuk masuk ke paru-paru."Em iya, ya, Mas Gandhi sudah pulang. Udah, ya, nelponnya, ada tamu yang datang. Daahh!" ucapku berbohong menjadikan tamu sebagai alibi sebab tiba-tiba saja area wajahku memanas namun segera kutahan agar genangannya tidak tumpah.Ke mana perginya Mas Gandhi? Padahal baru saja ia menelponku dan mengatakan jika ia akan pulang empat hari lagi. Namun sejak pagi tadi, memang ada yang berbeda dari suamiku. Mas Ghandi tidak lagi membuat panggilan video setiap kali menghubungiku seperti di hari-hari sebelumnya. Dimana lelaki itu selalu menunjukkan setiap lokasi yang ia kunjungi di sana terutama saat singgah di Masjid Raya Baiturrahman yang menjadi kebanggan semua warga Aceh.Beberapa kali menelepon, ia hanya menggunakan panggilan biasa. Apa sebenarnya Mas Gandhi memang sudah pulang dan ia akan memberi kejutan padaku dan Melisa?Baiknya aku tunggu saja sampai sore ini. Barangkali Mas Gandhi masih singgah ke kantornya atau ke rumah mama dan akan tiba sebentar lagi.Akhirnya, aku lebih memilih mengalihkan pikiran buruk ini dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah dan merekap orderan yang masuk untuk beberapa hari ke depan.Selain menjadi ibu rumah tangga dan mengurus seorang putri yang sudah duduk di bangku Sekolah Dasar, aku juga memiliki usaha dekorasi atau backdrop yang aku rintis sejak dua tahun lalu. Bermula dari permintaan seorang teman yang memohon untuk dibuatkan dekorasi di pesta ulang tahun anaknya, akhirnya aku memberanikan diri untuk melebarkan sayap di bidang tersebut. Apalagi semua orang kerap memuji hasil dekorasi-ku yang memang sudah tumbuh sejak aku duduk di bangku SMA.Tidak terlalu besar memang, hanya saja sejak aku mulai merintis usaha. Jasaku sudah digunakan sampai ratusan kali. Mulai dari acara ulang tahun, pertunangan, baby shower, aqiqah dan acara lainnya. Dan dari sini juga lah, aku bisa mempertebal isi rekeningku.Kebetulan orderan yang masuk untuk lusa adalah acara baby shower sekaligus tujuh bulanan seorang wanita bernama Safira. Ia memintaku untuk mendesain backdrop di rumahnya dengan nuansa berwarna biru dan putih. Namun sebelumnya, aku harus ke rumahnya terlebih dahulu untuk meninjau lokasi sekaligus pengambilan uang muka. Begitu lah sistem yang aku terapkan selama ini, karena aku tidak ingin merugi jika tiba-tiba pelanggan membatalkan orderan secara sepihak sementara aku sudah membatalkan orderan yang lain demi memenuhi pesanannya.Aku tidak memiliki banyak pekerja untuk membantuku. Hanya seorang supir yang akan mengangkat peralatan dekorasi, sementara untuk pengerjaan di lokasi, aku lakukan secara mandiri. Hanya sesekali meminta sepupuku jika kebetulan dalam satu hari, ada lebih dari satu orderan yang aku terima.Mumpung kepulangan Melisa sekitar dua jam lagi. Aku memanfaatkan waktu ku untuk singgah sebentar ke rumah pelanggan yang bernama Safira itu. Kebetulan alamatnya sejurus dengan sekolah Melisa. Di sebuah perumahan yang lumayan elit di sana.Aku berkendara dengan sepeda motor satu-satunya milikku sebab uang yang aku kumpulkan, belum cukup untuk membeli sebuah mobil. Satu-satunya mobil mewah yang menghuni garasi hanyalah milik Mas Gandhi sementara yang aku miliki, hanya mobil bak terbuka yang digunakan untuk mengangkat pernak-pernik dekorasi.Sesampainya di perumahan bernama Bukit Sentosa itu aku langsung menuju alamat yang dituliskan Safira. Rumah bertingkat dua nomor sembilan bercat ungu."Mbak Lisya, ya?" tanya seorang wanita yang kebetulan sedang duduk ngemil di teras depan rumahnya. Aku mengangguk, sebab aku memang selalu memperkenalkan diri sebagai Lisya bagi para pelanggan baru. Kebetulan Safira menghubungiku melalui WA setelah menemukan nomorku di I*******m. Aku memang menggunakan akun bernama "Sweet Decoration"."Iya, saya Lisya. Benar ini rumah Mbak Safira?" tanyaku sekali lagi. Wanita itu mengangguk lalu meminta seorang perempuan yang sepertinya pekerja di sana untuk membukakan pagar bagiku.Setelah itu, Safira mempersilahkan aku masuk dan menjamuku dengan berbagai kudapan ringan seperti keukarah, kembang loyang, pisang salai dan manisan pala yang kesemuanya adalah makanan khas Aceh.Aku sempat tersenyum membayangkan jika mungkin Mas Gandhi sebentar lagi akan pulang dan membawa semua makanan seperti ini ke rumah."Silahkan dicicipi, Mbak. Ini makanan khas Aceh semua karena suami saya baru saja pulang dari sana! Ada banyak di dapur, kalau Mbak mau, nanti saya bungkusin untuk dibawa pulang!" ujar wanita itu ramah. Safira memang terlihat sangat supel dan mudah akrab dengan orang lain. Selain itu, dia juga cantik namun agak centil."Oh, tidak usah. Suami saya juga sedang perjalanan pulang dari Aceh dan akan membawakan saya makanan dari sana!" tolakku halus. Bukankah begitu tadi yang dikatakan Eva? Irfan dan Mas Gandhi membeli banyak oleh-oleh makanan untuk dibawa pulang ke rumah.Usai mencicipi manisan pala, aku pun mulai menyurvei tempat yang akan dijadikan lokasi backdrop untuk acara lusa. Safira bilang, acaranya hanya dilangsungkan sederhana bersama keluarga besar dan sahabat saja sekaligus anak yatim yang akan diundang dari panti asuhan sehingga lokasi yang dipakai hanya lah ruang keluarga yang cukup besar dan menyatu dengan dapur yang juga cukup luas.Wanita itu membawaku ke ruang keluarga sembari mengelus-elus perut buncitnya. Dan alangkah terkejutnya aku ketika mendapati poto Mas Gandhi berjejer rapi di sana.Dukung cerbung ini dengan tekan subscribe agar kalian dapat pemberitahuan dari kelanjutan pada bab selanjutnya. Terima kasih ,🙏🙏Aku dan Bu Elfita menoleh menuju sumber suara. Kakiku sedikit berjengit saat mengetahui siapa lelaki yang memanggilku dengan begitu akrab. Senyuman manis ia tunjukkan pada kami berdua.Ia adalah Rozi. Lelaki itu tersenyum sambil mendekatiku yang masih berusaha menekan irama jantung yang tidak beraturan sebab tidak menyangka, jika aku akan bertemu dengannya untuk yang kesekian kali.Mau apa dia ke sini? "R-Rozi ...."Pria itu mendekat sambil membuka kaca mata hitamnya."Di mana Melisa? Aku membawa sesuatu untuknya," sosor pria itu yang kemudian mengambil posisi di antara aku dan Bu Elfita.Pria itu mengangguk sopan pada wali kelas Melisa yang nampak menyoroti kami secara bergantian. Wajah tampan yang dihiasi senyuman menawan itu sempat membuat Bu Elfita salah tingkah sebentar.Ya, kurasa perempuan mana yang tidak akan terpesona dengan penampilan paripurna yang dimiliki lelaki ini. Wajahnya yang tampan dengan gesture tubuh yang menawan membuat siapa saja enggan mengalihkan pandang dari
"Aku benci Mama, aku mau ikut papa saja. Mama jahat, mama kejam!"Tubuhku merosot di depan pintu kamar putriku. Buliran kristal jatuh membasahi pipi. Tidak ada yang sanggup aku lakukan untuk saat ini, kecuali hanya memukul-mukul daun pintu, berharap agar anak itu keluar lalu meminta maaf padaku. Sakit sekali. Kata-kata Melisa barusan seperti sebuah godam yang menghantam ulu hati. Aku bisa berdiri tegar ketika Mas Gandhi menyakiti hati ini dengan pengkhianatan yang ia lakukan, tetapi hati ini tidak bisa menahan sakitnya mendapat bentakan dari darah daging yang aku besarkan.Melisa ... kenapa anak itu ikut-ikutan menyakitihatiku? Padahal ia lah satu-satunya alasan untukku kuat dan tetap bertahan. Hampir setengah bulan ia menjalani hari tanpa sosok seorang ayah, hatinya jadi membatu. Bagaimana jika selamanya? Sudah menjadi hal yang lumrah jika seorang anak perempuan lebih lengket kepada ayahnya, dan hal itu terjadi pada Melisa.Ya Tuhan, apa salahku, kenapa putri yang aku didik sejak
Selepas kepergian dua orang yang merupakan suruhan rentenir tersebut, aku masuk ke dalam rumah dan menggeledah isi lemari. Ya, aku baru sadar bahwa laci di mana berkas-berkas penting itu tersimpan sudah tidak ada di tempatnya. Terlalu sibuk mengurus anak, suami, dan rumah membuatku tak pernah memeriksa berkas dan aset yang kupunya. Rasa percaya pada suami yang terlalu besar pun membuat aku tidak memiliki rasa curiga sama sekali."Keterlaluan sekali kamu, Mas. Kau gadaikan rumah ini demi perempuan matre itu!" desisku tak habis pikir. Tak ingatkah ia bagaimana perjuangan mendapatkan rumah ini dulu? Matanya sudah benar-benar dibutakan oleh nafsu dunia. Mas Gandhi bahkan tak ingat lagi bahwa ia masih punya Melisa di sini.Pikiran yang kalut membawa langkah kaki ini menuju sebuah meja kerja yang biasa digunakan mas Gandhi untuk duduk sembari menekuri layar laptop setiap malam. Meja itu telah aku kosongkan. Di atasnya kususun beberapa majalah dan katalog milikku. Sedetik kemudian aku bar
Seusai kepergian mama, aku lantas memesan taksi sebab waktu sudah menunjukkan pukul 12.30. Aku harus segera pergi untuk menyusul Melisa di sekolahnya. Sambil menunggu taksi yang aku pesan tiba, aku pergunakan waktuku untuk mengeluarkan barang-barang Mas Gandhi yang kukemas tadi dan meletakkannya di depan pintu. Jika pria itu datang, ia bisa langsung mengambil semuanya tanpa harus menungguku kembali.Rupanya tak lama setelah itu, Mas Gandhi menghubungiku melalui panggilan video. Aku yang sudah bertekad untuk tidak ingin membicarakan apapun lagi segera memblokir kontaknya agar ia tak bisa lagi menghubungiku.Tak berselang lama, muncul pula panggilan masuk dari Kak Duma. Aku tersentak, sebab baru terpikir tentang bagaimana nasibnya setelah aku tinggal pergi dari acara baby shower Safira tadi.[Oh, jadi begitu, ya, Kak? Kasihan sekali dia, ya!] ucapku setelah Kak Duma menjelaskan apa yang terjadi seusai kepergianku.Safira mendapat banyak cemoohan dari para tamu undangan yang datang ke r
Plak, Plak!Sebagai istri yang selalu patuh, aku tak pernah berani melakukan ini sebelumnya. Sekedar memukul nyamuk di pipinya pun aku tak sanggup. Tetapi apa balasan yang ia berikan atas baktiku ini? Ia malah menghadiahi luka batin yang mungkin tak akan bisa sembuh."Shanum!" sentaknya dengan mata yang memerah. Pria itu berhasil memegangi pergelangan tanganku tetapi aku lekas menepisnya. Jijik sekali rasanya disentuh oleh pria ini lagi."Lepaskan!" Aku mendorong bahunya hingga Mas Gandhi mundur beberapa langkah ke belakang. Tak ingin menyerah begitu saja, ia berlari ke hadapanku untuk mencegah langkah kakiku. "Mau apa lagi?" hardikku. Hatiku yang panas semakin terbakar oleh tingkahnya yang terus saja menghalangi kepergianku. "Jangan pergi, Shanum. Aku akan jelaskan semuanya!" rengeknya memelas iba dariku. "Tidak ada yang perlu dijelaskan, Mas. Karena semuanya sudah sangat jelas. Kau punya perempuan lain selain aku dan kau akan memiliki dua anak sebentar lagi! Jadi, urus saja istr
"S-shanum!" ucap Mas Gandhi kaget. Jarak kami tidak terlalu jauh, sehingga aku masih bisa mendengar suara Mas Gandhi dan bisa melihat bagaimana raut wajah yang pias itu.Mas Ghandi melihatku seperti melihat hantu. Bibirnya bergerak ingin mengucapkan sesuatu namun urung dilakukan karena Safira telah memotong ucapannya."Shanum? Mbak Lisya?!" Safira kaget. Ia masih mengenaliku sebagai Lisya--pemilik dekorasi yang ia pakai jasanya.Mata Safira tak bisa diam, ia menatap aku dan Mas Gandhi bergantian dengan sorot tajam penuh tanda tanya."Jadi, itu istrimu, Mas?" Safira menyentak lengan Mas Gandhi, tetapi yang ditanya hanya diam tak bersuara."Ya, Safira. Aku Alisya Shanum, pemilik sweet decoration sekaligus istri dari lelaki yang kau sebut sebagai suami," ucapku karena Mas Gandhi urung berkata apapun. Lelaki pengkhianat itu pasti masih shock berat.Aku menjelaskan dengan tatapan yang lurus pada wanita itu. Safira terperangah dengan mulut yang terbuka lebar.Sama halnya Mas Gandhi, Safira
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments