Share

Kelopak 2 | Arka dan Sekolah Baru

Canggung sekali usai aku dan Kak Vigo makan berdua semalam. Ucapankulah yang berperan besar. Soal Kak Vigo yang baru mau menatapku setelah sekian lama.

Bodoh sekali, ya, aku berkata begitu? Aku juga tak habis pikir dengan diriku sendiri.

Kecanggungan yang dimulai semalam pun terus bertahan hingga pagi ini. Saat Kak Vigo duduk di sisiku ketika sarapan.

"Papa sama Fafa pergi naik apa ke sekolah?" Kak Vigo buka suara seraya mengolesi rotinya dengan selai coklat. Aneh. Seingatku Kak Vigo tak suka selai coklat.

"Pinjam motor Pak Kusno sebentar," jawab Papa yang baru saja tiba dan menempati kursinya.

"Mama mana?" tanyaku.

"Lagi mandiin Yugo sama Yugi," sahut Papa.

Aku terkejut saat Kak Vigo tiba-tiba meletakan setangkup roti yang baru ia beri selai di piringku. Aku pun segera menoleh, dan menemukan kakak laki-lakiku itu sudah sibuk mengolesi roti lain dengan selain kacang kesukaannya.

Seraya menggigit roti pemberian Kak Vigo, sebuah pertanyaan menghampiri benakku.

"Kalo Mama kerja, Papa sibuk ngurusin ladang dan cari pinjeman buat modal, aku sekolah, Kakak kuliah, terus Si Kembar sama siapa?"

"Hari ini sama Papa dulu. Sekalian ngurusin proposal pengajuan pinjaman. Sore ini mungkin Miss Zia sudah datang."

"Miss Zia? Aku kira Papa udah pecat dia."

Miss Zia adalah pengasuh dua adik kembarku sejak mereka berusia empat tahun dan bersiap masuk TK tahun depan. Aku sendiri kurang suka pada Miss Zia. Bukannya apa-apa, namun terkadang aku merasa wanita itu mencoba merayu Papa ketika Mama sedang tak ada. Apalagi Miss Zia masih muda (sekitar pertengah dua puluh) dan cantik pula.

"Ya, enggaklah. Gak ada alasan buat Papa pecat dia. Kerjanya bagus dan Yugo-Yugi juga sayang sama dia."

"Tapi kan bayaran Miss Zia mahal, Pa," Kak Vigo ikut bicara. "Kenapa gak cari pengasuh yang bayarannya lebih murah aja? Yang lebih sesuai buat keadaan keuangan kita sekarang. Apalagi kita cuma bergantung sama ladang lavender yang gak seberapa luas itu."

"Miss Zia mahal juga sepadan sama keterampilannya. Dan terutama adik-adik kalian sudah nyaman sama Miss Zia."

"Mama setuju?" tanyaku curiga. Entah ini hanya perasaanku saja atau memang Papa keukeuh sekali ingin mempertahankan Miss Zia.

"Setuju."

"Terus nanti Miss Zia pulang-perginya gimana? Ongkos taksi ke sini pasti mahal banget. Memang dia mau?"

"Miss Zia akan tinggal di sini."

***

Aku menatap sekolahan baruku dengan tak percaya. Sederhana sekali.

Berbeda sekali dengan sekolah lamaku yang terdiri dari lima tingkat dengan pila-pilar besar nan megah menopangnya. Sedang sekolah baru ini banya berupa lahan kotak yang dikelilingi ruang kelas beratap seng dengan sejumlah murid yang minimalis.

Aku tak masalah. Sama sekali tak ada maksud merendahkan. Hanya saja, aku baru tahu bila ada sekolah sesederhana ini. Maklum, dari kecil aku sekolah di sekolah internasional karena ekonomi keluargaku sangat baik. Papaku pengusaha properti yang sukses sedang mamaku saya orang jaksa senior. Dan ini adalah pertama kalinya usaha papaku jatuh begitu rendah hingga keadaan ekonomi kami terperosok jauh.

Hari ini aku tak langsung mulai bersekolah, hanya mengikuti proses regristrasi murid pindahan saja. Jadi tak bituh waktu lama aku sudah akan beranjak pulang dengan Papa. Namun, baru di tengah jalan menuju parkiran, Papa mengeluh ingin buang air.

"Fa, Papa ke toilet sebentar, ya? Udah kebelet."

Aku hanya mengangguk dan memilik menunggu di bawah naungan atap parkiran.

Namun aku segera menyesali keputusan itu saat sebuah motor melaju cepat ke arahku. Bahkan ban motornya sudah menyentuh sedikit betisku.

Aku menghembuskan napas panjang dan bergetar ketika motor itu berhenti tepat sebelum menggilasku. Lega luar biasa.

"Maaf, maaf," ujur pemilik motor yang segera turun. Begitu terburunya, ia bahkan tak sempat melepaskan helm. Meski begitu aku tahu dia laki-laku melihat seragam yang dikenakannya.

"Gak pa-pa, kan?"

Aku mengangguk, masih gemetar.

"Beneran gak pa-pa?" ulang laki-laki tersebut.

"Iya."

"Maaf banget, aku tadi lagi gak fokus. Jadi gak lihat ada kamu di sini."

"Iya, gak pa-pa," balasku. "Aku cuma kaget doang, kok. Gak pa-pa."

Awalnya aku ingin marah-marah, namun karena laki-laki itu terdengar sangat merasa bersalah, aku jadi mengurungkan niatku. Lagi pula aku tak apa-apa. Hanya sedikit kotor di bagian betis yang dicium ban motor.

Aku sedang membungkuk mencoba membersihkan betisku, ketika tiba-tiba sebuah tangan terulur bersama selipat sapu tangan.

"Pakek ini," ucap laki-laki itu. "Bersih, kok."

Dengan ragu aku mengambilnya dan mulai membersikan lututku. Tak lama, aku sudah berdiri dengan lurus kembali. Dan kudapati helm sudah tak lagi menutupi wajah laki-laki yang nyaris menabrakku itu.

Kesan pertamaku padanya agak aneh. Aku merasa tidak asing dengan wajahnya. Seolah aku pernah melihat mata tajam, bentuk hidung, dan bibir penuh seperti itu sebelumnya. Tapi aku tak ingat di mana.

"Nih." Aku mengembalikan sapu tangannya yang kini bernoda tanah basah. "Makasih."

Laki-laki itu tersenyum. "Aku yang makasih kamu gak marah-marah."

"Tadinya aku mau marah, cuma karena kamu langsung minta maaf dan aku juga gak pa-pa, ya udah."

"Em...." Laki-laki itu mengulum bibir, napaknya kebingungan menanggapi kejujurabku. "Kamu bukan murid sini, kan?" tanyanya kemudian. Tampaknya baru menyadari jika seraga kami berbeda.

"Aku murid baru."

"Oh gitu. Kenalin, aku Arka." Laki-laki itu mengulurkan tangan kanannya. "Kamu...?"

Dengan sopan aku menyambut tangannya. "Zlaffa."

"Zela..."

Aku tersenyum. Sudah tak heran ketika ada orang yang kesulitan menyebut namaku.

"Zlaffa," ulangku. "Panggil Fafa aja biar gampang."

"Kelas berapa?" tanya Arka ketika tautan kami telah buyar.

"Dua belas."

"Sama. IPA atau IPS?" Arka lanjut bertanya.

"IPS 2," balasku.

"Sekelas, dong," ucapa Arka. Senyumnya melebar, dan aku merasa kian familier padanya.

Caranya tersenyum mengingatkanku pada... Aku?

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status