Di ruangan Albi, Nayra terus terdiam. Dia seolah hanyut dengan apa yang sedang dia pikirkan. Nayra yakin, kedatangan ibu mertua dan adik iparnya itu untuk menjalankan apa yang sudah mereka rencanakan. Sungguh tidak habis pikir, adik iparnya dengan sangat tega ingin memisahkan dia dengan Albi.
“Nay, jika suamimu sedang bekerja, jangan kamu ganggu dia. Seharusnya kamu diam saja di rumah dan tunggu dia pulang. Kamu seperti tidak punya kerjaan lain saja,” ucap Laila. “Lantas ibu dan Aninda ada kepentingan apa ke kantor?” tanya Nayra kembali. “Wajar saja jika ibu berkunjung ke kantor. Secara, ibu adalah pemilik perusahaan ini. Ibu berhak jika memang ingin keluar masuk kantor. Ibu ingin melihat perkembangan perusahaan sekarang seperti apa,” jawab Laila sambil menatap Nayra. “Iya, kenapa mbak Nayra justru bertanya seperti itu? Jika memang ibu mau datang kapan saja, bukannya itu tidak jadi masalah?” tanya Aninda yang justru membuat suasana di ruangan itu semakin memanas. “Iya saya mengerti, Bu. Nayra hanya bertanya saja, jika memang ada keperluan lain juga tidak apa-apa.” Nayra duduk dengan tenang, tapi percayalah hatinya tidak tenang karena dia tahu apa yang nanti akan ibu mertuanya katakan pada suaminya. “Sekalian ibu juga mau ajak Albi untuk makan siang, kebetulan Aninda ingin makan di sebuah restoran yang baru beberapa hari buka. Ibu jadi ingin mampir karena apa yang dirasa Aninda enak, pasti tidak akan salah. Selera kita memang sama,” celetuk Laila dengan mengusap tangan Aninda. “Iya, Nayra juga rasa ibu dan Anin memang sangat cocok. Nayra juga pikir selera kalian pasti sama, ternyata benar,” jawab Nayra sambil tersenyum. Padahal Nayra tersenyum seolah mengejek kedua wanita yang ada di hadapannya. Albian yang mendapat kabar jika ibunya datang dan sedang berada diruang nya langsung menyudahi meeting. Dia takut jika ibunya membuat sang istri menangis lagi, bukan tidak percaya pada ibunya. Hanya saja selama ini jika Nayra sudah bertemu dengan ibu dan adik iparnya, maka ujungnya sang istri pasti menangis. “Ibu, tumben datang ke kantor gak bilang Albi dulu.” “Memangnya kenapa? Ibu ingin mengunjungi anak ibu, tiba-tiba pengen ke kantor. Tidak harus bilang sama kamu dulu, ini juga perusahaan ibu,” jawab Laila. “Tidak, bukan begitu, Bu. Jika Albi tahu ibu akan datang, mungkin Albi akan menunda meeting hari ini. Jadi ibu tidak harus menunggu seperti ini.” “Sudahlah, ibu hanya mampir dan ingin mengajak kamu makan siang bersama. Tapi, kenapa Nayra ikut kamu ke kantor. Tumben sekali,” celetuk Laila sambil menatap menantu keduanya. Albi menghela nafas panjang. “Albi yang mengajak Nayra ke kantor, kasian dia dirumah gak ada kerjaan. Jadi, Albi ajak Nayra saja.” “Kenapa gak ikut kerja aja sama kamu? Dia bisa menjadi sekretaris disini dan tidak akan buang-buang waktu jika ikut tanpa melakukan apapun.” “Bu!” panggil Albi seolah ingin ibunya menghentikan ucapannya. “Memangnya kenapa? Apa yang ibu katakan memang benar, Nayra belum punya anak dan pasti memiliki banyak waktu. Setidaknya dia bisa menghasilkan uang sendiri, bukannya itu lebih bagus? Ibu juga dulu begitu, menunggu ibu hamil, ibu meminta pada ayahmu untuk menjadikan ibu sekretarisnya.” Albi hanya bisa menatap istrinya, Nayra diam tanpa menjawab apa yang dikatakan mertuanya. Suasana di ruangan Albi semakin memanas, Laila yang terus bicara tak pantas membuat Nayra ingin sekali pulang. Melihat istrinya yang diam dan tidak banyak bicara membuat Albi khawatir. Albi mendekat dan menatap istrinya seolah mengatakan jika semua akan baik-baik saja. “Kalau memang ada sesuatu yang ingin ibu sampaikan, kita bicarakan di rumah. Albi akan mengantarkan Nayra pulang, untuk makan siang bersama, Albi rasa Albi akan makan siang di rumah saja bersama dengan istri Albi.” Laila langsung menatap putranya. “Ibu sudah jauh-jauh datang ke kantor, masa kamu mau tinggal begitu saja, Albi?” “Mas Albi, ada yang ingin ibu sampaikan. Jadi-” “Tidak, seperti yang Albi katakan. Albi akan mengantarkan Nayra pulang, kita bisa bicara nanti jika sudah sampai rumah. Atau kalau memang itu sangat penting, Albi akan datang ke rumah ibu setelah jam makan siang selesai,” sahut Albi yang sengaja memotong ucapan adik iparnya itu. Aninda langsung cemberut, dia tidak menyangka kalau kakak iparnya akan membela istrinya. Dia pikir Albi akan menuruti dan langsung menyetujui apa yang mertuanya katakan. Sekarang Albi malah pergi dan mengantarkan Nayra. “Sebenarnya, apa yang ingin ibu bicarakan sama kamu ya, Mas?” tanya Nayra yang kebetulan sudah berada di mobil bersama dengan Albi. “Mas juga tidak tahu, Sayang. Mungkin ada sangkut pautnya dengan perusahaan, tidak biasanya ibu datang langsung ke kantor jika tidak ada hal yang sangat penting.” “Katanya tadi hal pentingnya ingin mengajak makan siang bersama, itu juga pasti karena Aninda yang minta. Astaga, kenapa dia selalu membuat aku kesal sih, Mas? Kenapa juga Rafael suka dan menikahi wanita seperti itu?” celetuk Nayra yang membuat Albi tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Sudahlah, hanya Rafael yang tahu.” Akhirnya Albi dan Nayra makan siang dirumah, sebelumnya Nayra meminta art untuk menyiapkan makan siang. Jadi, saat mereka telah sampai, keduanya langsung makan siang bersama. Saat sedang makan, Nayra jadi teringat apa yang sudah direncanakan mertua dan iparnya. Sungguh semua itu membuat kepalanya pusing. “Mas!” panggil Nayra. “Iya, ada apa?” tanya Albi sambil menatap istrinya. “Apapun yang terjadi, berjanjilah untuk tidak meninggalkan aku.” Albi menyimpan sendok yang sedang dia pegang. Dia menatap dengan lekat wanita yang sudah dinikahi selama dua tahun itu. Sikap dan perkataan Nayra membuat Albi bingung. “Apa yang kamu katakan, sayang? Kenapa berpikir jauh sekali?” “Aku hanya ingin kamu berjanji untuk tidak meninggalkan aku.” “Sayang, aku tidak suka ketika kamu berpikir hal yang tidak pernah aku pikirkan. Pikiran kamu itu sangat dan bahkan terlalu jauh, semua itu tidak ada dalam pikiranku sama sekali. Jadi stop berpikir yang aneh-aneh!” kata Albi dengan tegas. Nayra mengangguk, dia lalu melanjutkan makan siangnya. Siang ini Albi justru menyuapi sang istri, dia ingin membuktikan jika apa yang istrinya takutkan tidak akan pernah terjadi. Sore harinya, Albi mendatangi rumah Laila. Albi penasaran dengan apa yang akan dibicarakan oleh orang tuanya. Tidak biasanya Laila datang tanpa memberitahunya. Dia segera ke taman belakang setelah salah satu art mengatakan jika ibunya berada di taman belakang bersama dengan Aninda. “Bu!” panggil Albi. Senyuman terbit di bibir Laila ketika melihat putranya datang. “Kamu sudah datang, Nak.” “Iya, sesuai dengan apa yang aku katakan tadi. Ada apa ibu datang ke kantor?” tanya Albi yang langsung pada intinya. “Ibu hanya ingin bertemu dengan kamu saja, Nak. Ibu juga ingin melihat perubahan perusahaan. Ternyata banyak sekali yang berubah, ibu bangga sama kamu.” “Terima kasih, Bu. Tapi memang itu sudah menjadi tugas Albi, semua ini karena amanat dari ayah.” Albi duduk disamping Laila, sementara Aninda duduk di hadapan keduanya. “Tapi Bu, Albi tidak suka mendengar ibu selalu memojokan Nayra. Walaupun bagaimanapun Nayra adalah istri Albi, dia juga menantu ibu.” “Tapi Nak, apa yang ibu katakan memang benar. Jika Nayra merasa suntuk seharian di rumah, kenapa dia tidak ikut bekerja saja dengan kamu? Aninda saja saat belum hamil dia tetap bekerja menjadi seorang model, masa Nayra tidak mau.” “Tapi semua ini memang Albi yang minta. Albi minta Nayra berhenti bekerja dan tidak usah melakukan apapun, kegiatan apapun diluar rumah. Tugas Nayra hanya melayani aku dan menunggu aku pulang, itu sudah sangat cukup untuk aku, Bu.” Albi mencoba untuk membela istrinya. “Astaga! Terserah kamu saja, Albi. Ibu hanya memberi saran padamu, jika memang tidak kamu terima juga tidak masalah.” “Baiklah, apa yang ingin ibu bicarakan sama aku?” “Ibu ingin sekali memiliki cucu dari kamu, tapi sampai saat ini belum juga terwujud. Ibu yang sudah tua ini merasa ada yang kurang, apa kamu tidak ingin anakmu kelak melihat neneknya? Apa kamu tidak ingin jika nanti anakmu tidak bisa main dengan ibu?” tanya Laila yang sudah mulai memainkan drama. “Lalu aku harus bagaimana, Bu? Tuhan belum mengijinkan aku mempunyai anak.” “Nak, bagaimana jika kamu menikah lagi? Ibu yakin semua permasalahan itu ada pada Nayra.” tanya Laila dengan semangat. “Apa?”"Mas, tadi Aninda ada hubungi aku." "Tumben, ada apa?" tanya Albi yang merasa aneh. Pasalnya adik iparnya itu jarang sekali menghubungi istrinya. "Katanya ibu nyuruh kita untuk datang makan siang. Mau kesana, gak?" Albi menatap istrinya dengan lekat. "Apa kamu mau datang?" Nayra berpikir sejenak, dia merasa sudah lama juga tidak melihat mertuanya. "Boleh deh, udah lama juga nggak ketemu sama Mbak Kartika. Aku yakin, kalau mbak Kartika pasti ada di rumah ibu." "Iya sih. tapi-" Nayra mengerutkan keningnya, Nayra seperti melihat Albi yang mempunyai kekhawatiran. "Tapi apa, Mas?" "Tidak ada, lebih baik nanti saja ke rumah ibu nya. Aku ingin istirahat dirumah hari ini, menghabiskan waktu bersama istri tercintaku ini." Nayra lalu merentangkan tangannya, Albi yang mengerti langsung memasukan Nayra dalam pelukannya. "Malam siang berdua aja, ya?" Albi mengangguk sambil mengusap rambut panjang istrinya yang masih tergerai indah. Lalu mencium lembut pucuk kepala Nayra.
Nayra masih curiga dengan sikap suaminya yang terasa janggal. Suaminya seperti menyembunyikan sesuatu, namun dia tidak ingin terlalu menunjukan rasa ingin tahunya. Terlihat jika Albi sedang kecapean, sekarang dia tertidur dengan memeluk tubuh istrinya. Jawaban atas apa yang tadi Nayra tanyakan sangat tidak memuaskan. Jawaban Albi yang mengatakan jika alerginya kambuh membuat Nayra berpikir, jika memang alerginya kambuh, tidak mungkin hanya ada di leher bagian belakang saja. Mungkin saja akan menjalar ke seluruh tubuh. "Kenapa tidak tidur?" tanya Albi dengan nada serak. "Aku belum mengantuk, Mas. Kamu lanjut aja tidurnya," jawab Nayra sambil tersenyum. "Aku tahu, pasti kamu sedang memikirkan sesuatu, kan? apa karena tanda merah di badan ku yang membuat kamu tidak bisa tidur?" tanya Albi sambil mengubah posisinya menjadi duduk. "Kamu diam berarti memang benar, kamu masih kepikiran dengan apa yang terjadi di badanku." Albi menggenggam tangan Nayra. "Aku ingin kita saling p
Albi pulang dengan terlihat lelah sekali. Dia lalu mencari keberadaan istrinya, Albi memang tidak memberitahu jika dia akan segera pulang. Sebelumnya Albi mengatakan jika dia akan pulang malam atau besok, nyatanya, dia pulang lebih awal. Albi melakukan itu semua karena rasa bersama terhadap istrinya yang dia bohongi. "Sayang ... Mas pulang!" teriak Albi saat masuk ke kamar dimana Nayra tidur. Albi memang langsung ke rumah Mira saat itu. "Mas. Kok gak bilang kalau pulangnya lebih awal?" tanya Nayra sambil memeluk suaminya. "Iya, awalnya memang akan pulang malam nanti atau besok. Tapi karena pekerjaan sudah selesai, dan memang Mas juga udah rindu sama kamu, jadi Mas langsung pulang saja." Albi memeluk istrinya dengan erat. "Terima kasih. Sekarang mas istirahat dulu, aku mau ambilkan minum." Albi mempererat pelukannya. "Tidak usah, dari tadi Mas minum terus di mobil. Mas juga sudah makan, jadi mau rebahan sebentar sebelum mandi." "Baiklah kalau begitu," Nayra langsung m
"Suara siapa itu, Mas?" "Suara apa?" balik bertanya, Albi menatap Kharisma dengan tatapan tajam. "Tadi sepertinya ada yang menawarkan kamu kopi, suara perempuan dan memanggil kamu dengan sebutan Mas." "Itu ... itu pelayan hotel. Tadi Mas minta kopi dan baru saja diantarkan, rasanya Mas rindu kopi buatan kamu," jawab Albi sambil gelagapan. "Nanti kalau sudah pulang, aku akan buatkan kamu kopi yang banyak. Makanya cepat pulang," rengek Nayra. "Malam ini Mas pulang, tunggu saja ,ya." Kharisma menatap Albi dengan tatapan tidak suka. Apalagi ketika mendengar kalau Albi akan pulang malam ini juga, sungguh Kharisma dibuat kesal. Albi segera menutup sambungan telpon setelah beralasan akan meeting. Kharisma mendekat dan menatap Albi. "Aku tidak mau kamu pulang malam ini, Mas!" "Aku tidak suka diatur!" tegas Albi. "Tidak suka diatur! Jika aku sudah memutuskan sesuatu, maka tidak akan ada yang bisa membantahnya." "Oh ya? jika ibu yang minta?" tanya Kharisma. "Aku
Albi menatap tubuh Kharisma yang tanpa sehelai benangpun. Entah kenapa wajah Kharisma berubah menjadi Nayra, istrinya. Albi yang sudah terpengaruh oleh sesuatu yang Kharisma campurkan di minumannya justru membuat Albi hasrat yang begitu memuncak. Albi tidak bisa membedakan mana Kharisma dan mana Nayra saat ini. Albi memeluk Kharisma dengan erat. "Kamu kah ini, Nay. Maafkan aku," lirih Albi yang masih terdengar oleh Kharisma. Kharisma mencoba mendorong tubuh Albi, namun kekuatan Albi lebih kuat. Kharisma akhirnya dia ketika tangan Albi sudah bergerak menyentuh tubuhnya. Kharisma lalu terbuai oleh permainan tangan Albi yang sudah tidak tinggal diam. Albi yang sudah ingin menyalurkan h4sr4tnya langsung menggendong Kharisma dan dilempar istri keduanya itu keatas ranjang.Melihat Albi yang sudah terpancing membuat Kharisma tersenyum. Walaupun Kharisma mendengar Albi menyebut nama istri pertamanya, untuk sekarang tidak apa. Menurut Kharisma yang penting sekarang Albi mau menyentuhnya.
Malam semakin larut, udara dingin membuat siapa saja ingin masuk ke rumah dan berbaring dengan menyelimuti tubuh. dengan selimut. Begitu juga yng dilakukan Nayra malam ini ketika suaminya tidak ada. Dia berbaring dengan memeluk ujung selimut, perasaannya tidak enak dan terus tertuju pada suaminya. Entah kenapa ponsel Abi sama sekali belum bisa dihubungi. Nayra selalu berpikir positif, mungkin di sana Albi kesulitan signal. "Mas, ini sudah pukul satu malam tapi kamu sangat sulit sekali dihubungi. Aku benar-benar tidak enak hati, semoga kamu baik-baik saja, Mas." Nayra menatap langit-langit kamar yang sedang dia tempati. Saat lelah menatap ponsel yang tak kunjung ada balasan, Nayra akhirnya tertidur. Pagi menjelang, Nayra terbangun dan yang pertama kali dia lihat adalah ponselnya. Nayra tersenyum ketika sang suami membalas pesan darinya. Sungguh dia lega mendapat kabar jika Albi baik-baik saja. Albi mengatakan jika ponselnya kehabisan daya, akhirnya lupa untuk mencharge karena sibuk.