Sepulangnya dari rumah Laila, Nayra langsung banyak diam dan melamun. Albi belum menyadari sikap istrinya, dia begitu sibuk karena sedang menangani proyek besar di perusahaan. Bahkan beberapa hari ini Albi sering pulang telat, Nayra tidak banyak protes seperti biasanya. Karena Randi, sang asisten pribadi suaminya selalu memberi kabar pada Nayra itu pun atas perintah Albi yang tahu jika istrinya pasti akan terus bertanya.
Albi baru pulang, dia melihat istrinya sedang duduk di balkon kamar. Albi baru sadar jika sikap istrinya sekarang, Albi mendekat dan duduk di samping Nayra. Albi menatap Nayra dari samping, terlihat jika Nayra sedang melamun dan memikirkan sesuatu.
“Kenapa malam-malam seperti ini masih diluar?” tanya Albi.
“Mas, kapan kamu datang?” bukannya menjawab Nayra justru melontarkan kembali pertanyaan.
“Baru saja, kamu sedang memikirkan apa sehingga suami pulang saja tidak menyadari.”
“Tidak ada, mas.”
“Ada apa? Kenapa sepertinya kamu melamun terus, apa yang mengganggu pikiranmu, Nay? Biasanya kamu selalu mengatakan apapun yang mengganggu pikiranmu, kenapa sekarang kamu malah diam dan membuat aku cemas?” tanya Albi kembali.
“Aku ingin bertanya sama Mas, tapi aku harap Mas menjawabnya dengan jujur.”
Albi mengerutkan keningnya. “Kapan aku berbohong sama kamu, Nay? Rasanya aku selalu jujur sama kamu, tidak pernah ada yang ditutup-tutupi.”
“Jika penyebab kita belum punya anak adalah aku, apa Mas akan tetap bertahan sama aku?” tanya Nayra sambil menatap sedih suaminya.
“Apa maksud kamu bertanya seperti itu?”
“Aku hanya ingin memastikan saja, Mas. Apakah kamu akan tetap bersamaku walaupun kamu tahu jika aku yang bermasalah disini. Atau kamu akan mencari pengganti yang bisa memberikanmu keturunan?”
Albi menggelengkan kepalanya, tidak percaya dengan apa yang ditanyakan istrinya. “Kamu ini ngaco, Nay. Kenapa kamu berpikir sampai jauh seperti itu? Kita baru menikah dua tahun, kenapa kamu malah berpikir kalau aku akan mencari penggantimu?”
Albi berdiri, dia hendak melangkah dan pergi meninggalkan Nayra. Namun dengan cepat Nayra memeluk suaminya dari belakang. Nayra menangis tanpa suara, melihat reaksi suaminya yang seperti itu dia yakin jika suaminya akan bertahan dengannya. Albi mengusap tangan mungil Nayra yang melingkar di perutnya.
“Aku hanya takut jika aku tidak memberikanmu anak, maka kamu akan pergi dari aku, Mas. Maafkan ketakutanku yang membuat kamu tidak nyaman. Aku berjanji tidak akan bertanya seperti itu lagi.” Nayra kini terdengar menangis sesegukan. Albi membalikan tubuhnya dan memeluk Nayra dengan erat.
“Dengarkan aku! Aku tidak akan meninggalkan kamu begitu saja. Aku yang memilih kamu menjadi pendampingku dan memilih kamu sebagai pasangan hidupku. Jadi tidak mungkin aku meninggalkan kamu begitu saja gara-gara kita belum memiliki anak. Waktu kita masih panjang, mungkin sekarang belum saatnya. Tapi aku yakin suatu saat nanti kita akan memiliki anak, Tuhan akan memberikan kita keturunan. Jangan pernah mendengarkan aoanyang orang lain katakan, fokus pada kehidupan kita saja. Mengerti?”
Nayra mengangguk. “Iya, Mas. Aku mengerti dan tidak akan berpikir macam-macam lagi, maafkan aku yang justru berpikir terlalu jauh. Aku tidak akan berpikir macam-macam lagi. Tapi, jika suatu saat kamu berubah pikiran, beritahu aku terlebih dahulu supaya aku bisa mempersiapkan mentalku.”
“Sudah aku katakan, jangan pernah punya pikiran seperti itu. Aku tidak suka!” tegas Albi.
“Maaf.”
Albi tersenyum, dia lalu mendaratkan kecupan di bibir mungil istrinya. “Aku mau mandi dulu, seharian di luar membuat badanku lengket. Aku mandi dulu.”
Nayra mengangguk. “Aku siapkan pakaian mas.”
“Atau mau ikut mandi sekalian?” goda Albi.
“Astaga, aku sudah mandi dan tidak mau mandi lagi. Apalagi ini sudah malam, Mas.”
“Baiklah, padahal mandi malam pun jika bedua tidak akan terasa dingin,” celetuk Albi.
“Astaga! Mas Albian!” teriak Nayra sambil tersenyum. Sedangkan Albi sudah lari ke kamar mandi untuk melakukan ritual mandinya.
“Semoga kamu akan terus seperti ini, Mas. Semoga saat ibu bicara dan mengatakan tujuannya kamu akan menolak keras. Semoga kamu tidak terpengaruh sama ibu, aku selalu berdoa seperti itu. Tak lupa juga aku berdoa semoga secepatnya kita diberikan keturunan supaya kamu tidak lari dari aku suatu saat nanti. Aku masih ketakutan hal itu terjadi, Mas.” lirih Nayra sambil berjalan dan dengan cepat menyiapkan pakaian ganti suaminya.
Keesokan harinya Nayra bangun lebih cepat. Dia menyiapkan sarapan lalu segera mandi, setelah terlihat segar Nayra membangunkan suaminya. Dia melakukan itu karena tidak ingin terlihat kucel oleh suaminya. Sebisa mungkin dia akan tampil cantik dihadapan suaminya. Walaupun setiap hari dia selalu berpenampilan cantik dan rapi.
“Sayang, kamu mau kemana?” tanya Albi saat membuka matanya.
“Selamat pagi, Mas. Aku tidak akan kemana-mana, hanya ingin menyambut suami yang bangun tidur dengan kecantikanku saja,” jawab Nayra.
Albi tersenyum. “Kamu sudah cantik setiap hari, sayang. Tidak usah berdandan seperti ini, aku bahkan lebih suka ketika melihat wajah kamu yang baru bangun. Masih natural dan menggemaskan, apalagi setelah berolahraga malam.”
“Astaga, sejak kapan suamiku ini mesum?” ledek Nayra sambil terkekeh.
“Memang seperti itu kenyataannya, ekspresi kamu selalu terbayang-bayang ketika kita sedang-”
“Mas!” Nayra segera membekap mulut Albi dengan kedua tangannya.
Albi tersenyum. “Tidak akan ada yang mendengar, sayang.”
“Kamu ini, Mas.”
“Hari ini karena kamu sudah berpenampilan cantik dan rapi, maukah menemani suamimu ini ke kantor?” tanya Albi.
“Mas ajak aku ke kantor? Buat apa?”
“Supaya Mas bekerjanya lebih semangat lagi. Apalagi kalau liat kamu, pasti pekerjaan mas akan lebih cepat selesainya,” jawab Albi.
“Ish, bohong banget. Tapi … boleh juga deh aku ikut mas ke kantor. Sudah lama juga aku tidak ikut, kalau memang tidak akan mengganggu, aku ikut.”
“Kamu tunggu disini, nanti sekretaris Mas akan mengantar makanan dan minuman kesukaan kamu,” kata Albi yang saat itu sudah sampai di kantor, tepatnya di ruangannya.
“Oke.”
Sudah dua jam Nayra duduk di ruangan suaminya. Segala macam makanan sudah berpindah ke perutnya. Albi masih anteng dengan pekerjaan dan berkas-berkas yang masih menumpuk di mejanya. Sesekali Albi tersenyum melihat istrinya yang anteng dengan makanan dan minumannya.
“Sayang, Mas mau ke ruangan meeting dulu sebentar. Rendi sedang memimpin meeting tapi rasanya Mas ingin melihat perkembangannya.”
“Jangan lama-lama, sebentar lagi jam makan siang. Aku mau kita makan siang diluar,” jawab Nayra.
“Iya, kamu tunggu sebentar.”
Nayra menunggu sudah hampir satu jam, namun suaminya tak kunjung datang. Nayra mondar-mandir, melihat beberapa foto yang terpajang di meja Albi. Senyuman terus terukir di wajah cantik wanita yang baru berusia dua puluh enam tahun itu.
“Mas, kenapa lama sekali?” tanya Nayra tanpa melihat siapa yang membuka pintu ruangan suaminya. Posisi Nayra membelakangi pintu.
“Nayra, kenapa kamu ada di sini?” tanya Laila yang ternyata datang ke kantor suaminya.
“Ibu.”
“Astaga, mbak. Suami kerja aja mesti dibuntuti begitu. Apa Mas Albi gak risih?” sindir Aninda.
“Iya, seharusnya kamu diam di rumah dan tunggu suami pulang kerja aja. Daripada harus ikut ke kantor,” sahut Laila.
“Lalu ibu dan Anin ada kepentingan apa bertemu dengan Mas Albi?”
"Mas, tadi Aninda ada hubungi aku." "Tumben, ada apa?" tanya Albi yang merasa aneh. Pasalnya adik iparnya itu jarang sekali menghubungi istrinya. "Katanya ibu nyuruh kita untuk datang makan siang. Mau kesana, gak?" Albi menatap istrinya dengan lekat. "Apa kamu mau datang?" Nayra berpikir sejenak, dia merasa sudah lama juga tidak melihat mertuanya. "Boleh deh, udah lama juga nggak ketemu sama Mbak Kartika. Aku yakin, kalau mbak Kartika pasti ada di rumah ibu." "Iya sih. tapi-" Nayra mengerutkan keningnya, Nayra seperti melihat Albi yang mempunyai kekhawatiran. "Tapi apa, Mas?" "Tidak ada, lebih baik nanti saja ke rumah ibu nya. Aku ingin istirahat dirumah hari ini, menghabiskan waktu bersama istri tercintaku ini." Nayra lalu merentangkan tangannya, Albi yang mengerti langsung memasukan Nayra dalam pelukannya. "Malam siang berdua aja, ya?" Albi mengangguk sambil mengusap rambut panjang istrinya yang masih tergerai indah. Lalu mencium lembut pucuk kepala Nayra.
Nayra masih curiga dengan sikap suaminya yang terasa janggal. Suaminya seperti menyembunyikan sesuatu, namun dia tidak ingin terlalu menunjukan rasa ingin tahunya. Terlihat jika Albi sedang kecapean, sekarang dia tertidur dengan memeluk tubuh istrinya. Jawaban atas apa yang tadi Nayra tanyakan sangat tidak memuaskan. Jawaban Albi yang mengatakan jika alerginya kambuh membuat Nayra berpikir, jika memang alerginya kambuh, tidak mungkin hanya ada di leher bagian belakang saja. Mungkin saja akan menjalar ke seluruh tubuh. "Kenapa tidak tidur?" tanya Albi dengan nada serak. "Aku belum mengantuk, Mas. Kamu lanjut aja tidurnya," jawab Nayra sambil tersenyum. "Aku tahu, pasti kamu sedang memikirkan sesuatu, kan? apa karena tanda merah di badan ku yang membuat kamu tidak bisa tidur?" tanya Albi sambil mengubah posisinya menjadi duduk. "Kamu diam berarti memang benar, kamu masih kepikiran dengan apa yang terjadi di badanku." Albi menggenggam tangan Nayra. "Aku ingin kita saling p
Albi pulang dengan terlihat lelah sekali. Dia lalu mencari keberadaan istrinya, Albi memang tidak memberitahu jika dia akan segera pulang. Sebelumnya Albi mengatakan jika dia akan pulang malam atau besok, nyatanya, dia pulang lebih awal. Albi melakukan itu semua karena rasa bersama terhadap istrinya yang dia bohongi. "Sayang ... Mas pulang!" teriak Albi saat masuk ke kamar dimana Nayra tidur. Albi memang langsung ke rumah Mira saat itu. "Mas. Kok gak bilang kalau pulangnya lebih awal?" tanya Nayra sambil memeluk suaminya. "Iya, awalnya memang akan pulang malam nanti atau besok. Tapi karena pekerjaan sudah selesai, dan memang Mas juga udah rindu sama kamu, jadi Mas langsung pulang saja." Albi memeluk istrinya dengan erat. "Terima kasih. Sekarang mas istirahat dulu, aku mau ambilkan minum." Albi mempererat pelukannya. "Tidak usah, dari tadi Mas minum terus di mobil. Mas juga sudah makan, jadi mau rebahan sebentar sebelum mandi." "Baiklah kalau begitu," Nayra langsung m
"Suara siapa itu, Mas?" "Suara apa?" balik bertanya, Albi menatap Kharisma dengan tatapan tajam. "Tadi sepertinya ada yang menawarkan kamu kopi, suara perempuan dan memanggil kamu dengan sebutan Mas." "Itu ... itu pelayan hotel. Tadi Mas minta kopi dan baru saja diantarkan, rasanya Mas rindu kopi buatan kamu," jawab Albi sambil gelagapan. "Nanti kalau sudah pulang, aku akan buatkan kamu kopi yang banyak. Makanya cepat pulang," rengek Nayra. "Malam ini Mas pulang, tunggu saja ,ya." Kharisma menatap Albi dengan tatapan tidak suka. Apalagi ketika mendengar kalau Albi akan pulang malam ini juga, sungguh Kharisma dibuat kesal. Albi segera menutup sambungan telpon setelah beralasan akan meeting. Kharisma mendekat dan menatap Albi. "Aku tidak mau kamu pulang malam ini, Mas!" "Aku tidak suka diatur!" tegas Albi. "Tidak suka diatur! Jika aku sudah memutuskan sesuatu, maka tidak akan ada yang bisa membantahnya." "Oh ya? jika ibu yang minta?" tanya Kharisma. "Aku
Albi menatap tubuh Kharisma yang tanpa sehelai benangpun. Entah kenapa wajah Kharisma berubah menjadi Nayra, istrinya. Albi yang sudah terpengaruh oleh sesuatu yang Kharisma campurkan di minumannya justru membuat Albi hasrat yang begitu memuncak. Albi tidak bisa membedakan mana Kharisma dan mana Nayra saat ini. Albi memeluk Kharisma dengan erat. "Kamu kah ini, Nay. Maafkan aku," lirih Albi yang masih terdengar oleh Kharisma. Kharisma mencoba mendorong tubuh Albi, namun kekuatan Albi lebih kuat. Kharisma akhirnya dia ketika tangan Albi sudah bergerak menyentuh tubuhnya. Kharisma lalu terbuai oleh permainan tangan Albi yang sudah tidak tinggal diam. Albi yang sudah ingin menyalurkan h4sr4tnya langsung menggendong Kharisma dan dilempar istri keduanya itu keatas ranjang.Melihat Albi yang sudah terpancing membuat Kharisma tersenyum. Walaupun Kharisma mendengar Albi menyebut nama istri pertamanya, untuk sekarang tidak apa. Menurut Kharisma yang penting sekarang Albi mau menyentuhnya.
Malam semakin larut, udara dingin membuat siapa saja ingin masuk ke rumah dan berbaring dengan menyelimuti tubuh. dengan selimut. Begitu juga yng dilakukan Nayra malam ini ketika suaminya tidak ada. Dia berbaring dengan memeluk ujung selimut, perasaannya tidak enak dan terus tertuju pada suaminya. Entah kenapa ponsel Abi sama sekali belum bisa dihubungi. Nayra selalu berpikir positif, mungkin di sana Albi kesulitan signal. "Mas, ini sudah pukul satu malam tapi kamu sangat sulit sekali dihubungi. Aku benar-benar tidak enak hati, semoga kamu baik-baik saja, Mas." Nayra menatap langit-langit kamar yang sedang dia tempati. Saat lelah menatap ponsel yang tak kunjung ada balasan, Nayra akhirnya tertidur. Pagi menjelang, Nayra terbangun dan yang pertama kali dia lihat adalah ponselnya. Nayra tersenyum ketika sang suami membalas pesan darinya. Sungguh dia lega mendapat kabar jika Albi baik-baik saja. Albi mengatakan jika ponselnya kehabisan daya, akhirnya lupa untuk mencharge karena sibuk.