Beranda / Horor / Rumah nomer Tujuh / Diam yang Menggigit

Share

Diam yang Menggigit

Penulis: Kelaras ijo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-04 07:48:18

Sudah lima malam berlalu sejak mereka menempati rumah itu.

Awalnya semua terasa biasa.

Tapi kini... keempatnya tak lagi saling menertawakan gangguan yang datang.

Karena malam demi malam... tidur mereka makin pendek.

Dan sunyi rumah itu, perlahan berubah jadi sesuatu yang menggigit.

Senyap... tapi mengiris dari dalam.

---

Anggi mulai sering diam.

Ia tak banyak bicara sejak malam keempat.

Bangun pagi dengan mata sembab, duduk lama di dapur tanpa sarapan, dan menatap kosong ke arah jendela.

Tangannya kadang bergerak sendiri. Menggambar sesuatu di kertas—selalu wajah perempuan berambut panjang, dengan mata yang hitam dan besar.

Kadang wajah itu menangis. Kadang tersenyum miring.

Tapi selalu dengan latar gelap dan coretan bertuliskan satu nama:

"Tasya."

---

Zaki mulai menghindari kamar mandi.

Setiap kali mendekat, ia merasa dadanya sesak, dan bau air yang menyengat seperti membusuk.

Ia mencoba menyiram lantai kamar mandi dengan pewangi, tapi baunya tak pernah hilang.

Air di dalam bak kini
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Rumah nomer Tujuh   meja ke enam 3

    Langkah Zaki gontai saat ia melangkah mundur, melewati lorong yang seolah makin sempit. Jantungnya berdentum tak beraturan, udara di sekeliling seperti menghisap oksigen dari paru-parunya. Tapi satu hal terus ia genggam: Kunci. Kunci itu masih ada di sakunya. Dan entah kenapa, meskipun semuanya terasa tidak nyata, besi dingin itu membuatnya tetap waras. Tetap sadar. Ia menggeret tubuhnya menuju pintu depan. Pintu itu kini terbuka sedikit—seolah rumah itu ingin memberinya kesempatan. Kesempatan terakhir. Dan Zaki, dengan seluruh tenaga terakhir yang tersisa, melangkah keluar. Begitu kakinya melewati ambang pintu—udara kembali. Suara hujan terdengar lagi. Cahaya lampu jalan menyala temaram. Dan ketika ia menoleh… rumah nomor tujuh berdiri tenang di belakangnya. Gelap. Kosong. Tak ada yang mengejar. Tak ada jeritan. Hanya keheningan… yang seperti menunggu giliran. Zaki menarik napas panjang, lalu melempar kunci itu ke selokan. > “Simpan rahasia ini, dan jangan pernah bu

  • Rumah nomer Tujuh   meja ke enam 2

    Zaki memejamkan mata. Tarikan napasnya berat. Dada seperti diikat tali yang makin lama makin kencang. Ia tahu, begitu melewati ambang ruang makan itu, tidak ada jalan mundur. Tidak akan ada pintu keluar seperti sebelumnya. Tapi langkahnya terus maju. Tangannya menyentuh kursi kosong keenam—dingin, seolah baru ditinggalkan. Bayangan Tiara seakan masih duduk di situ, tersenyum kecil, menatap ke arah sudut ruangan tempat dulu ibunya berdiri. Zaki menelan ludah. Matanya menyapu sekeliling. Dinding rumah kini penuh dengan simbol. Bukan coretan biasa. Tapi bentuk-bentuk aneh, yang terlihat berbeda tergantung dari sudut mana dilihat. Dan di langit-langit… Ada sesuatu merayap. Perlahan. Halus. Meneteskan sesuatu yang hitam dan kental seperti oli bekas. Zaki mundur satu langkah. BRAK! Pintu di belakangnya menutup sendiri. Terkunci. Tapi Zaki tidak lari. Ia tahu ini akan terjadi. Dari kantong jaketnya, ia mengeluarkan sesuatu. Kunci. Bukan kunci rumah. Tapi kunci dari kotak besi

  • Rumah nomer Tujuh   Meja Keenam

    Zaki tidak tidur sejak malam itu.Matanya sembab, tubuhnya kurus, pikirannya mulai kabur. Tapi satu hal ia jaga mati-matian: kesadaran.Setiap malam pukul 03:33, rumah itu datang. Kadang lewat mimpi. Kadang lewat suara dari balik lemari. Bahkan pernah muncul di layar mati televisi—lorong rumah nomor tujuh perlahan terbuka, memantulkan cahaya samar dan bayangan meja makan.Namun Zaki tak pernah membalas panggilan itu. Ia hanya duduk, terjaga, menatap jam dengan tubuh menggigil, menghitung detik sampai rumah itu pergi.Tapi ia tahu, rumah itu makin dekat.Makin melekat.Makin menjadi bagian dari dirinya sendiri.---Hari itu, Zaki berjalan di pasar tradisional, mencoba mengalihkan pikiran. Tapi setiap orang yang lewat menatapnya aneh. Beberapa bahkan seperti berbisik satu sama lain.Di depan sebuah kios kaca, ia terdiam.PANTULAN DIRINYA… duduk di meja makan.Padahal ia berdiri.Zaki menjerit, memukul kaca, tapi pantulan itu tetap duduk. Tetap menatapnya. Di belakangnya—Tiara berdiri de

  • Rumah nomer Tujuh   Rumah yang Lengkap

    Zaki tidak bergerak. Ia hanya berdiri mematung di tengah kontrakan yang dingin dan sunyi. Pintu terbuka setengah, lorong gelap rumah nomor tujuh menganga seperti perut makhluk yang lapar.Dan di ujung lorong itu… Tiara berdiri.Rambutnya tergerai basah, wajahnya pucat, dan matanya tak lagi membawa kehidupan yang dikenalnya. Tapi yang paling membuat jantung Zaki nyaris berhenti—senyumnya.Senyum yang dulu hangat, kini tampak asing. Dingin. Seperti seseorang yang mengingat bagaimana caranya tersenyum, tapi lupa maknanya.> “Pulang, Zak…”“Di sini gak sakit lagi. Gak ada mimpi buruk lagi. Di sini kita bisa bareng terus…”Suara itu milik Tiara—tapi juga bukan. Ada gema aneh dalam ucapannya, seperti suara yang diulang dari mulut banyak orang.Zaki mundur satu langkah, tangannya gemetar hebat. “Kau… bukan Tiara.”Tiara tidak bergerak. Ia hanya berdiri di sana, di balik lorong. Di belakangnya, Zaki bisa melihat meja makan rumah nomor tujuh, kini lengkap. Lima kursi. Lima piring. Lima sosok d

  • Rumah nomer Tujuh   Pilihan Rumah

    Pintu itu menganga lebar, memperlihatkan lorong rumah nomor tujuh yang berdenyut seperti organ hidup. Udara yang keluar dari dalamnya dingin dan lembap, membawa aroma besi dan busuk yang langsung memenuhi seluruh kontrakan. Zaki dan Tiara berdiri mematung, saling menggenggam tangan sekuat tenaga. Tiara bisa merasakan kuku Zaki menancap di kulitnya, tapi ia tak mengeluh. Dari dalam lorong, Raka muncul perlahan, wajahnya pucat dengan mata kosong yang berkilau samar. > “Rumah sudah memilih…” Di belakangnya, Anggi merayap di dinding, gerakannya patah-patah, kepalanya miring 90 derajat, tersenyum lebar hingga pipinya robek. > “Satu untuk tinggal… satu untuk bebas…” Tiara merasakan tarikan kuat di dadanya, seperti ada kait tak terlihat yang mencengkeram jantungnya dan menariknya ke dalam lorong. Ia menjerit, berusaha bertahan, tapi tubuhnya mulai terangkat dari lantai. “Tiara! Nggak!” Zaki menariknya dengan segenap tenaga, namun udara di sekeliling mereka berubah padat, seolah rumah

  • Rumah nomer Tujuh   Harga Kebebasan

    Sejak malam mereka lolos, hidup Zaki dan Tiara tidak pernah lagi sama. Mereka mungkin sudah jauh dari gang itu, tapi bayangan rumah nomor tujuh selalu mengikuti—dalam mimpi, dalam pantulan kaca, bahkan di keramaian kota. Zaki mulai memperhatikan sesuatu yang aneh: setiap jam 03:33, ponselnya bergetar meski sudah mati total. Ketika ia menyalakannya, layar hanya menunjukkan satu pesan yang sama: > “Lengkapi rumah ini.” Tiara lebih buruk lagi. Ia sering terbangun dengan bekas tangan kecil berwarna hitam di lengan dan lehernya. Setiap kali ia mencuci bekas itu, muncul lagi di malam berikutnya. Pada hari ketiga setelah mereka lolos, Tiara duduk di ruang tamu kontrakan Zaki, wajahnya pucat. “Zak… aku nggak bisa tidur. Setiap kali merem, aku balik ke rumah itu. Raka dan Anggi ada di sana… mereka nggak pernah ngomong apa-apa, cuma nungguin aku duduk bareng mereka di meja makan.” Zaki memegang kepalanya, frustrasi. “Ini nggak mungkin terus kayak gini, Ti. Kita udah keluar. Seharusnya ini

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status