Home / Horor / Rumah nomer Tujuh / Malam yang Tak Lagi Sepi

Share

Malam yang Tak Lagi Sepi

Author: Kelaras ijo
last update Huling Na-update: 2025-07-03 22:06:52

Hari itu berjalan seperti biasa.

Pagi sampai sore diisi dengan kuliah dan tugas.

Mereka mulai terbiasa tinggal di rumah itu—atau lebih tepatnya, berpura-pura terbiasa.

---

Sore hari, menjelang magrib

Zaki nyapu halaman depan sambil nyanyi-nyanyi lagu horor versi lucu.

Tiara lagi ngeringin rambut pakai kipas.

Anggi masak sayur bening.

Raka di kamar, ngobrol video call dengan dosen pembimbing.

Tiara:

“Eh, kalian ngerasa gak sih? Udara di rumah ini makin lembab.”

Zaki: (masih sambil nyapu)

“Karena kita tinggalnya bukan di rumah... tapi di paru-paru rumah!”

Anggi:

“Aku serius. Jemuran aku dua hari gak kering.”

Raka: (muncul dari kamar)

“Kamar atas juga. Kayak ada air netes terus. Tapi gak tau dari mana.”

Zaki:

“Jangan-jangan ada bocor dari langit-langit. Atau dari... tandon atas?”

(semua diam beberapa detik)

---

Malam hari, pukul 22.15

Mereka ngumpul di ruang tengah sambil nonton film komedi.

Tawa-tawa mengisi rumah. Untuk sesaat, rumah itu terasa hidup.

Tapi tepat pukul 23.47...

Suara dari kamar mandi.

“Kreekk...”

Seperti suara engsel pintu yang bergerak pelan.

Tiara: (yang duduk paling dekat pintu kamar mandi)

“Eh... denger gak barusan?”

Zaki: (pause film)

“Apa?”

Tiara:

“Kayak pintu kamar mandi gerak sendiri.”

Raka:

“Kita tutup tadi?”

Anggi:

“Kayaknya nutup, deh.”

Mereka diam.

Lalu terdengar “ceklek... ceklek...”

Seperti gagang pintu kamar mandi dicoba dari dalam.

Zaki: (pelan, setengah bercanda)

“Gue sih gak kebelet pipis, kalo ada yang mau duluan, silakan…”

Tiara:

“Gak lucu, Zak…”

Raka bangkit dan jalan pelan ke kamar mandi.

Dipegangnya gagang pintu. Dingin.

Dibuka perlahan…

Kosong.

Lampu mati. Tapi lantai... basah.

Raka:

“Kok kayak abis dipakai ya? Lantainya basah banget.”

Anggi:

“Aku terakhir mandi sore tadi. Habis itu gak ada yang masuk.”

Tiara:

“Bau sabunnya masih kecium... padahal udah lama.”

Zaki:

“Coba kita cek cermin... siapa tahu dia ninggalin pesan lagi. Wkwk.”

Tiara: (langsung nyubit lengan Zaki)

“Bacot lo…”

---

Tengah malam – mereka kembali ke kamar

Anggi tidur lebih awal.

Raka dan Zaki masih di ruang tengah, bahas tugas.

Pukul 01.52

Tiba-tiba... keran kamar mandi menyala sendiri.

Suara air mengalir deras.

Tiara yang mendengarnya pertama kali, keluar kamar.

Tiara: (teriak pelan)

“Kak... air nyala sendiri lagi!”

Raka cepat-cepat ke kamar mandi.

Keran terbuka penuh. Air mengucur deras.

Tapi yang aneh… ada jejak kaki kecil basah di lantai.

Menuju ke arah lorong.

Zaki: (diam beberapa detik)

“Ini bukan bekas kaki kita kan?”

Raka:

“Bukan. Ukurannya... kayak anak kecil.”

Tiara:

“Kak... ini serius... gue ngeri.”

---

Dan di kamar Zaki...

Saat dia kembali untuk tidur...

Lemari bajunya terbuka sedikit.

Dan di dalamnya... tergantung gaun putih kecil—yang dia yakin bukan miliknya.

Zaki menutup pintu pelan.

Mengunci.

Lalu duduk di kasur, terdiam.

---

Di kamar bawah

Anggi bermimpi aneh. Ia berjalan di lorong rumah...

...tapi rumahnya tampak jauh lebih besar, seperti tak berujung.

Dari kejauhan, terdengar suara anak kecil menangis.

Anggi (dalam mimpi):

“Siapa di sana?”

Tangisan itu berubah jadi tawa pelan.

Lalu terdengar suara perempuan dewasa berbisik...

> “Kita belum selesai, Anggi...”

---

Rumah itu... mulai melemahkan mereka satu per satu.

Pukul 02.25.

Rumah kembali sepi. Tapi bukan sepi yang tenang. Lebih ke sepi yang… mencekam.

Seperti rumah itu sedang mengamati.

Dari balik pintu. Dari ujung lorong. Dari dalam cermin.

Zaki belum tidur. Ia gelisah di kamarnya. Scroll HP pun rasanya gak fokus.

Tiba-tiba...

"Drap. Drap. Drap."

Ada suara langkah pelan. Dari lantai bawah.

Bukan langkah berat. Tapi... seperti kaki kecil tanpa alas.

Jalan pelan-pelan... lalu berhenti.

Zaki duduk tegak. Mematikan layar HP. Menajamkan telinga.

Langkah itu terdengar lagi.

Tapi kali ini... menuju tangga.

Zaki: (pelan, ke diri sendiri)

“Gue gak halu kan...?”

Ia ambil headset, coba denger musik biar gak panik. Tapi baru nyetel lagu dua detik, HP-nya mati sendiri.

Baterai masih 67%.

---

Sementara di Kamar Tiara & Anggi

Tiara gak bisa tidur. Ia tiduran sambil ngelamun, ngeliatin langit-langit.

Tiara: (bisik pelan)

“Gi... kamu tidur?”

Anggi: (suara berat)

“Hmm?”

Tiara:

“Perasaan rumah ini makin... sempit ya?”

Anggi:

“Hmm.”

Tiara: (menoleh pelan)

“Nggi? Lo kenapa?”

Anggi diam. Ia duduk di ranjang, rambutnya berantakan, matanya sayu.

Anggi:

“Aku mimpi... tapi rasanya kayak nyata.”

Tiara:

“Mimpi apa?”

Anggi:

“Ada perempuan duduk di kamar mandi. Rambutnya panjang banget. Dia nyisir sambil nyanyi.”

Tiara: (menelan ludah)

“Terus?”

Anggi:

“Pas aku coba ngomong ke dia, dia berhenti nyisir. Lalu pelan-pelan... dia noleh.”

Tiara:

“Mukanya...?”

Anggi:

“Gak keliatan jelas. Tapi... ada darah di bibirnya.”

Tiara:

“Udahlah, Nggi. Gak usah cerita lagi.”

Anggi: (masih ngelamun)

“Dia bilang satu kalimat. ‘Satu udah kuambil. Yang lain nyusul...’”

---

Pagi harinya

Meja makan lebih sepi dari biasanya.

Sarapan hanya roti tawar dan teh yang udah dingin. Tak ada yang banyak bicara.

Raka: (perhatiin satu per satu)

“Kalian semua mimpi buruk?”

Zaki: (angsur duduk, lesu)

“Enggak juga... cuma kebangun tengah malam. Denger suara.”

Tiara:

“Langkah?”

Zaki:

“Iya. Dari bawah. Terus naik. Terus hilang di depan kamar gue.”

Anggi: (pelan, tanpa liat siapa-siapa)

“Dia mulai mendekat...”

Raka: (menatap Anggi)

“Siapa, Nggii?”

Anggi: (masih pelan)

“Kamu nanti lihat juga, kok.”

Zaki: (bisik ke Tiara)

“Anggi kenapa?”

Tiara:

“Aku juga gak ngerti. Tapi dari kemarin dia kayak bukan dirinya.”

Raka:

“Mulai sekarang kita tidur bareng-bareng. Gak ada yang tidur sendirian.”

Zaki: (senyum kecut)

“Akhirnya... bonding ala rumah berhantu.”

---

Tengah malam – jam 2 lewat 30

Lampu lorong kedap-kedip.

Cermin di kamar mandi mulai berembun pelan, padahal gak ada yang mandi.

Di permukaannya muncul tulisan samar:

> “Aku belum selesai.”

Keran menyala sendiri.

Di dalam bak mandi, ada rambut hitam panjang yang tersangkut di saringan.

Dan... suara tertawa lirih kembali terdengar.

Kali ini... dua suara bersamaan.

Satu suara perempuan...

Satu lagi seperti anak kecil.

Pukul 03.12.

Anggi kembali terbangun. Tapi kali ini bukan karena suara.

Melainkan... rasa dingin yang gak biasa.

Ia menggigil di balik selimut meski jendela tertutup rapat.

Tiara: (terbangun juga, lirih)

“Nggi… kamu kenapa? Mukamu pucat banget.”

Anggi: (gemetar)

“Dia... duduk di kamar mandi. Masih nyisir rambutnya. Tapi kali ini, dia nengok. Dan... dia senyum.”

Tiara: (menelan ludah)

“Itu mimpi?”

Anggi: (pelan, sambil pegang lengan Tiara)

“Bukan. Aku bangun pas lihat itu.”

---

Sementara di kamar Zaki

Zaki masih belum tidur. Dia duduk di depan laptop, mencoba cari berita lama tentang rumah nomor tujuh.

Zaki (membaca pelan):

"—Pembantaian keluarga Pratama tahun 2014 masih menyisakan misteri. Empat korban ditemukan dalam kondisi mengenaskan setelah tetangga mencium bau menyengat—"

Zaki: (mengerutkan dahi)

“2014... berarti udah hampir 10 tahun.”

Ia scroll lagi.

Ada foto rumah itu dari luar. Sama persis.

Tapi... ada yang ganjil.

Di salah satu foto... tampak bayangan putih samar di jendela atas.

Zaki: (pelan, menatap jendela kamarnya)

“Jangan-jangan... itu jendela gue.”

Dan saat itu juga...

jendela kamarnya berembun dari dalam.

Padahal AC mati. Udara luar panas.

Zaki bangkit. Mendekat.

Dari balik embun, ada bekas seperti sidik jari kecil yang digores pelan di kaca.

Lalu... goresan itu membentuk huruf:

> "Z"

Zaki mundur perlahan. Deg-degan.

Ia ambil hoodie-nya, keluar kamar, dan tidur di sofa ruang tengah.

---

Kamar mandi

Di dalam kamar mandi, air dari keran masih netes pelan.

Cermin kini sudah penuh embun.

Namun di tengahnya... samar-samar muncul wajah.

Wajah perempuan.

Rambut panjang menutupi mata.

Wajahnya miring sedikit ke kiri. Bibirnya pecah-pecah.

Dan suara lirih terdengar…

> “Kalian sudah masuk rumah ini. Berarti kalian ikut cerita kami…”

---

Pagi harinya…

Semua berkumpul di meja makan. Wajah-wajah lelah, pucat, dan mata merah karena kurang tidur.

Raka:

“Gue rasa kita harus bicara. Serius.”

Zaki:

“Aku nemu artikel tentang rumah ini. Keluarga Pratama, kan?”

Tiara:

“Yang... anak gadisnya namanya Natasya?”

Anggi: (tiba-tiba memotong, suaranya dingin)

“Dia masih di sini.”

Zaki: (pelan)

“Lo... mimpi ya, Gi?”

Anggi:

“Dia gak suka kita tidur nyenyak.”

Tiara:

“Anggi, sadar. Lo kenapa sih?”

Anggi: (tatapannya kosong)

“Dia pengen dikenang. Dia gak pengen tragedi itu dilupain.”

Raka: (menatap Anggi lama)

“Nggi... lo butuh tidur. Gue temenin.”

Anggi: (berdiri, nyengir pelan)

“Enggak usah. Dia bilang... gue cukup kuat sekarang.”

Anggi masuk kamar. Menutup pintu.

Dan sejak saat itu, suasana rumah terasa jauh lebih berat.

---

Malam berikutnya, semua pintu kamar terkunci sendiri.

Keran menyala tanpa suara. TV hidup tanpa remote.

Dan kamar mandi... kini memunculkan bau anyir yang tak bisa dijelaskan.

Rumah nomor tujuh… resmi bangun dari tidur panjangnya.

Dan keempat anak muda itu...

sudah tak bisa mundur lagi.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Rumah nomer Tujuh   Rumah yang Memilih

    Lorong yang terbuka di depan mereka tampak berdenyut, dindingnya seperti daging hidup yang mengisap cahaya dari senter Zaki. Di balik lorong, terdengar suara tangisan Kevin yang bergema panjang, bercampur bisikan-bisikan yang saling bertindihan: > “Masuklah… di sini kalian lengkap… di sini kalian pulang…” Zaki menarik Tiara mendekat, napasnya berat. “Ti, kalau kita masuk ke sana, mungkin nggak ada jalan balik.” Tiara menggenggam tangannya erat. “Zak, kalau kita tetap di sini, rumah ini bakal ngambil kita semua. Kita harus ambil risiko.” Dari belakang mereka, suara langkah kaki mendekat. Raka berdiri di ujung lorong, wajahnya pucat, mata merah berair. “Jangan lawan rumah ini. Semakin kalian melawan, semakin dia lapar…” > “Raka, ikut kami keluar!” Zaki berteriak, suaranya bergetar. Raka tersenyum samar, ada sedih di sana. “Aku nggak bisa. Aku udah jadi bagian dari rumah ini. Tapi kalian masih bisa keluar… kalau ada yang tinggal di sini sebagai gantinya.” --- Tiba-tiba, Anggi m

  • Rumah nomer Tujuh   Panggilan balik

    Sejak malam terakhir itu, hidup Zaki terasa seperti menunggu sesuatu yang tak bisa dihindari. Setiap hari seperti berjalan di pinggir jurang; setiap malam, rumah nomor tujuh memanggilnya. Ia duduk di kamar kontrakannya, dikelilingi peta dan coretan di dinding: semua tentang lokasi rumah itu, struktur lantai, bahkan catatan tentang apa yang dia ingat dari malam mengerikan tersebut. Tapi semakin ia mencoba memahami, semakin pusing kepalanya — seolah rumah itu sendiri berubah setiap kali ia mengingatnya. Di meja, ponselnya bergetar. Pesan masuk. > Tiara: “Aku nggak bisa terus begini, Zak. Semalam Anggi duduk di ujung ranjangku lagi. Dia bilang kalau kita nggak balik, mereka bakal datang jemput kita sendiri.” Zaki mengetik cepat: > “Aku juga diganggu. Kita harus balik, Ti. Nggak ada jalan lain.” Balasan datang hampir instan: > “Kapan?” Zaki terdiam sejenak, lalu menulis: > “Besok malam.” --- Hari berikutnya terasa panjang. Zaki menghabiskan waktunya membeli perlengkapan seada

  • Rumah nomer Tujuh   Bekas Luka yang Mengikut.

    Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kota baru tempat Zaki tinggal. Sudah tiga bulan sejak malam itu, tapi tidur nyenyak jadi sesuatu yang asing. Ia sering terbangun basah kuyup keringat, seolah baru saja berlari dari sesuatu yang tidak bisa dilihat. Di kamar kontrakannya, ia menatap cermin. Matanya merah, wajahnya pucat. Setiap kali ia menutup mata, ia kembali berada di ruang tengah rumah nomor tujuh. Raka berdiri di ambang pintu, memanggil namanya tanpa suara. --- Tiara menjalani terapi di rumah sakit jiwa. Psikiaternya mencatat, “Subjek sering berbicara dengan entitas yang tidak terlihat. Mengaku mendengar suara ‘Raka’ setiap malam.” Malam itu, perawat mendapati Tiara duduk di pojok kamar, menggambar. Puluhan lembar kertas memenuhi lantai — semua gambar denah rumah nomor tujuh, detail demi detail, lengkap hingga goresan kecil di dinding. “Tiara?” Tiara mengangkat kepalanya. “Dia belum selesai di sana. Dia masih butuh kita…” --- Zaki mencoba mengabaikan semuanya. I

  • Rumah nomer Tujuh   Satu untuk Bertahan

    Jam menunjukkan 03:43… tapi rasanya waktu tak bergerak.Udara makin berat, seperti paru-paru dipenuhi lumpur.Langkah mereka makin berat, bukan karena lelah —tapi karena rumah ini menolak mereka untuk tetap manusia.Raka berdiri di tengah ruang.Tapi bukan Raka lagi.Tubuhnya masih utuh. Tapi yang bicara… bukan dia.> “Rumah ini ingin ditemani.Dan kalian semua asing.Kecuali aku.”Tiara berbisik ke Zaki, “Kita harus kunci dia. Kita harus tahan dia… sebelum dia—”BRAK!!Raka melompat ke arah mereka.Mata hitamnya bersinar.Senyumnya miring.Ia bergerak seperti orang kaku — cepat, patah-patah.Zaki menarik Tiara ke dapur, mengunci pintu dari dalam.“Gimana bisa dia secepat itu?!”Tiara terduduk di lantai, gemetar.“Kita harus keluar dari rumah ini... atau kita bakal jadi kayak dia!”Anggi masih di ruang tengah. Ia berdiri membatu di pojok ruangan.Raka — atau roh yang menguasainya — tidak menyentuh Anggi.Malah... mendekat, dan berbisik ke telinganya.> “Kamu gak perlu takut. Mereka

  • Rumah nomer Tujuh   Kita Bukan Lagi Diri Kita

    Langit belum menunjukkan tanda pagi, meskipun jam dinding menunjuk pukul 03.15.Hujan masih turun, tapi kini tanpa suara.Rumah itu seperti mengurung dunia mereka dalam satu dimensi terkutuk —sunyi, hampa, dan terlalu sempurna untuk disebut dunia nyata.Zaki duduk membelakangi jendela, memeluk lutut, tubuhnya berkeringat dingin meski suhu turun drastis.Matanya terbuka lebar, tapi kosong.Tangannya terus menggambar pola-pola aneh di lantai dengan ujung pisau dapur.Melingkar. Runcing. Seperti simbol-simbol kuno yang tak ia mengerti.Tiara mulai bicara sendiri.Kalimatnya pendek, pelan, dan berulang.“Jangan buka pintunya… jangan buka pintunya… dia belum siap…”Raka berdiri terpaku di depan cermin kamar.Refleksinya... tidak bergerak bersamaan.Saat ia memiringkan kepala, bayangannya tertinggal.Matanya merah. Tapi hanya di dalam pantulan.Anggi?Sudah sejak satu jam lalu ia bicara dengan udara kosong.Katanya, sedang menemani “Kevin” bermain kartu di pojok ruang tengah.> “Dia menang

  • Rumah nomer Tujuh   Malam yang Menolak Tidur

    Jam di dinding menunjukkan pukul 11 malam.Hujan turun deras sejak magrib tadi. Suara rintiknya menghantam genteng seperti derap langkah kaki seribu orang.Di ruang tengah, mereka berempat duduk melingkar tanpa banyak bicara.TV mati. HP mati. Sinyal lenyap. Listrik kadang nyala, kadang meredup sendiri.Rumah itu terasa hidup. Tapi napasnya… berat.Tiara bersandar di tembok, memeluk bantal. Wajahnya lelah.Zaki menempelkan telinga ke lantai, katanya dia bisa dengar suara langkah dari bawah.Anggi memandangi langit-langit tanpa ekspresi.Dan Raka, duduk paling ujung, menatap pintu kamar mandi yang setengah terbuka.Lalu tiba-tiba, suara tawa kecil terdengar dari lorong.Tawa anak kecil. Lembut. Seperti sedang bermain kejar-kejaran.Tiara menutup telinganya.“Udah cukup... gue gak mau lagi denger itu...”Zaki berdiri, memegang pisau.“Kalo mereka pikir kita bakal diem aja... gue bakal tunjukin gue gak takut!”Dia melangkah ke lorong. Lampu berkedip pelan.Langkahnya menggema, padahal di

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status