Hari itu berjalan seperti biasa.
Pagi sampai sore diisi dengan kuliah dan tugas. Mereka mulai terbiasa tinggal di rumah itu—atau lebih tepatnya, berpura-pura terbiasa. --- Sore hari, menjelang magrib Zaki nyapu halaman depan sambil nyanyi-nyanyi lagu horor versi lucu. Tiara lagi ngeringin rambut pakai kipas. Anggi masak sayur bening. Raka di kamar, ngobrol video call dengan dosen pembimbing. Tiara: “Eh, kalian ngerasa gak sih? Udara di rumah ini makin lembab.” Zaki: (masih sambil nyapu) “Karena kita tinggalnya bukan di rumah... tapi di paru-paru rumah!” Anggi: “Aku serius. Jemuran aku dua hari gak kering.” Raka: (muncul dari kamar) “Kamar atas juga. Kayak ada air netes terus. Tapi gak tau dari mana.” Zaki: “Jangan-jangan ada bocor dari langit-langit. Atau dari... tandon atas?” (semua diam beberapa detik) --- Malam hari, pukul 22.15 Mereka ngumpul di ruang tengah sambil nonton film komedi. Tawa-tawa mengisi rumah. Untuk sesaat, rumah itu terasa hidup. Tapi tepat pukul 23.47... Suara dari kamar mandi. “Kreekk...” Seperti suara engsel pintu yang bergerak pelan. Tiara: (yang duduk paling dekat pintu kamar mandi) “Eh... denger gak barusan?” Zaki: (pause film) “Apa?” Tiara: “Kayak pintu kamar mandi gerak sendiri.” Raka: “Kita tutup tadi?” Anggi: “Kayaknya nutup, deh.” Mereka diam. Lalu terdengar “ceklek... ceklek...” Seperti gagang pintu kamar mandi dicoba dari dalam. Zaki: (pelan, setengah bercanda) “Gue sih gak kebelet pipis, kalo ada yang mau duluan, silakan…” Tiara: “Gak lucu, Zak…” Raka bangkit dan jalan pelan ke kamar mandi. Dipegangnya gagang pintu. Dingin. Dibuka perlahan… Kosong. Lampu mati. Tapi lantai... basah. Raka: “Kok kayak abis dipakai ya? Lantainya basah banget.” Anggi: “Aku terakhir mandi sore tadi. Habis itu gak ada yang masuk.” Tiara: “Bau sabunnya masih kecium... padahal udah lama.” Zaki: “Coba kita cek cermin... siapa tahu dia ninggalin pesan lagi. Wkwk.” Tiara: (langsung nyubit lengan Zaki) “Bacot lo…” --- Tengah malam – mereka kembali ke kamar Anggi tidur lebih awal. Raka dan Zaki masih di ruang tengah, bahas tugas. Pukul 01.52 Tiba-tiba... keran kamar mandi menyala sendiri. Suara air mengalir deras. Tiara yang mendengarnya pertama kali, keluar kamar. Tiara: (teriak pelan) “Kak... air nyala sendiri lagi!” Raka cepat-cepat ke kamar mandi. Keran terbuka penuh. Air mengucur deras. Tapi yang aneh… ada jejak kaki kecil basah di lantai. Menuju ke arah lorong. Zaki: (diam beberapa detik) “Ini bukan bekas kaki kita kan?” Raka: “Bukan. Ukurannya... kayak anak kecil.” Tiara: “Kak... ini serius... gue ngeri.” --- Dan di kamar Zaki... Saat dia kembali untuk tidur... Lemari bajunya terbuka sedikit. Dan di dalamnya... tergantung gaun putih kecil—yang dia yakin bukan miliknya. Zaki menutup pintu pelan. Mengunci. Lalu duduk di kasur, terdiam. --- Di kamar bawah Anggi bermimpi aneh. Ia berjalan di lorong rumah... ...tapi rumahnya tampak jauh lebih besar, seperti tak berujung. Dari kejauhan, terdengar suara anak kecil menangis. Anggi (dalam mimpi): “Siapa di sana?” Tangisan itu berubah jadi tawa pelan. Lalu terdengar suara perempuan dewasa berbisik... > “Kita belum selesai, Anggi...” --- Rumah itu... mulai melemahkan mereka satu per satu. Pukul 02.25. Rumah kembali sepi. Tapi bukan sepi yang tenang. Lebih ke sepi yang… mencekam. Seperti rumah itu sedang mengamati. Dari balik pintu. Dari ujung lorong. Dari dalam cermin. Zaki belum tidur. Ia gelisah di kamarnya. Scroll HP pun rasanya gak fokus. Tiba-tiba... "Drap. Drap. Drap." Ada suara langkah pelan. Dari lantai bawah. Bukan langkah berat. Tapi... seperti kaki kecil tanpa alas. Jalan pelan-pelan... lalu berhenti. Zaki duduk tegak. Mematikan layar HP. Menajamkan telinga. Langkah itu terdengar lagi. Tapi kali ini... menuju tangga. Zaki: (pelan, ke diri sendiri) “Gue gak halu kan...?” Ia ambil headset, coba denger musik biar gak panik. Tapi baru nyetel lagu dua detik, HP-nya mati sendiri. Baterai masih 67%. --- Sementara di Kamar Tiara & Anggi Tiara gak bisa tidur. Ia tiduran sambil ngelamun, ngeliatin langit-langit. Tiara: (bisik pelan) “Gi... kamu tidur?” Anggi: (suara berat) “Hmm?” Tiara: “Perasaan rumah ini makin... sempit ya?” Anggi: “Hmm.” Tiara: (menoleh pelan) “Nggi? Lo kenapa?” Anggi diam. Ia duduk di ranjang, rambutnya berantakan, matanya sayu. Anggi: “Aku mimpi... tapi rasanya kayak nyata.” Tiara: “Mimpi apa?” Anggi: “Ada perempuan duduk di kamar mandi. Rambutnya panjang banget. Dia nyisir sambil nyanyi.” Tiara: (menelan ludah) “Terus?” Anggi: “Pas aku coba ngomong ke dia, dia berhenti nyisir. Lalu pelan-pelan... dia noleh.” Tiara: “Mukanya...?” Anggi: “Gak keliatan jelas. Tapi... ada darah di bibirnya.” Tiara: “Udahlah, Nggi. Gak usah cerita lagi.” Anggi: (masih ngelamun) “Dia bilang satu kalimat. ‘Satu udah kuambil. Yang lain nyusul...’” --- Pagi harinya Meja makan lebih sepi dari biasanya. Sarapan hanya roti tawar dan teh yang udah dingin. Tak ada yang banyak bicara. Raka: (perhatiin satu per satu) “Kalian semua mimpi buruk?” Zaki: (angsur duduk, lesu) “Enggak juga... cuma kebangun tengah malam. Denger suara.” Tiara: “Langkah?” Zaki: “Iya. Dari bawah. Terus naik. Terus hilang di depan kamar gue.” Anggi: (pelan, tanpa liat siapa-siapa) “Dia mulai mendekat...” Raka: (menatap Anggi) “Siapa, Nggii?” Anggi: (masih pelan) “Kamu nanti lihat juga, kok.” Zaki: (bisik ke Tiara) “Anggi kenapa?” Tiara: “Aku juga gak ngerti. Tapi dari kemarin dia kayak bukan dirinya.” Raka: “Mulai sekarang kita tidur bareng-bareng. Gak ada yang tidur sendirian.” Zaki: (senyum kecut) “Akhirnya... bonding ala rumah berhantu.” --- Tengah malam – jam 2 lewat 30 Lampu lorong kedap-kedip. Cermin di kamar mandi mulai berembun pelan, padahal gak ada yang mandi. Di permukaannya muncul tulisan samar: > “Aku belum selesai.” Keran menyala sendiri. Di dalam bak mandi, ada rambut hitam panjang yang tersangkut di saringan. Dan... suara tertawa lirih kembali terdengar. Kali ini... dua suara bersamaan. Satu suara perempuan... Satu lagi seperti anak kecil. Pukul 03.12. Anggi kembali terbangun. Tapi kali ini bukan karena suara. Melainkan... rasa dingin yang gak biasa. Ia menggigil di balik selimut meski jendela tertutup rapat. Tiara: (terbangun juga, lirih) “Nggi… kamu kenapa? Mukamu pucat banget.” Anggi: (gemetar) “Dia... duduk di kamar mandi. Masih nyisir rambutnya. Tapi kali ini, dia nengok. Dan... dia senyum.” Tiara: (menelan ludah) “Itu mimpi?” Anggi: (pelan, sambil pegang lengan Tiara) “Bukan. Aku bangun pas lihat itu.” --- Sementara di kamar Zaki Zaki masih belum tidur. Dia duduk di depan laptop, mencoba cari berita lama tentang rumah nomor tujuh. Zaki (membaca pelan): "—Pembantaian keluarga Pratama tahun 2014 masih menyisakan misteri. Empat korban ditemukan dalam kondisi mengenaskan setelah tetangga mencium bau menyengat—" Zaki: (mengerutkan dahi) “2014... berarti udah hampir 10 tahun.” Ia scroll lagi. Ada foto rumah itu dari luar. Sama persis. Tapi... ada yang ganjil. Di salah satu foto... tampak bayangan putih samar di jendela atas. Zaki: (pelan, menatap jendela kamarnya) “Jangan-jangan... itu jendela gue.” Dan saat itu juga... jendela kamarnya berembun dari dalam. Padahal AC mati. Udara luar panas. Zaki bangkit. Mendekat. Dari balik embun, ada bekas seperti sidik jari kecil yang digores pelan di kaca. Lalu... goresan itu membentuk huruf: > "Z" Zaki mundur perlahan. Deg-degan. Ia ambil hoodie-nya, keluar kamar, dan tidur di sofa ruang tengah. --- Kamar mandi Di dalam kamar mandi, air dari keran masih netes pelan. Cermin kini sudah penuh embun. Namun di tengahnya... samar-samar muncul wajah. Wajah perempuan. Rambut panjang menutupi mata. Wajahnya miring sedikit ke kiri. Bibirnya pecah-pecah. Dan suara lirih terdengar… > “Kalian sudah masuk rumah ini. Berarti kalian ikut cerita kami…” --- Pagi harinya… Semua berkumpul di meja makan. Wajah-wajah lelah, pucat, dan mata merah karena kurang tidur. Raka: “Gue rasa kita harus bicara. Serius.” Zaki: “Aku nemu artikel tentang rumah ini. Keluarga Pratama, kan?” Tiara: “Yang... anak gadisnya namanya Natasya?” Anggi: (tiba-tiba memotong, suaranya dingin) “Dia masih di sini.” Zaki: (pelan) “Lo... mimpi ya, Gi?” Anggi: “Dia gak suka kita tidur nyenyak.” Tiara: “Anggi, sadar. Lo kenapa sih?” Anggi: (tatapannya kosong) “Dia pengen dikenang. Dia gak pengen tragedi itu dilupain.” Raka: (menatap Anggi lama) “Nggi... lo butuh tidur. Gue temenin.” Anggi: (berdiri, nyengir pelan) “Enggak usah. Dia bilang... gue cukup kuat sekarang.” Anggi masuk kamar. Menutup pintu. Dan sejak saat itu, suasana rumah terasa jauh lebih berat. --- Malam berikutnya, semua pintu kamar terkunci sendiri. Keran menyala tanpa suara. TV hidup tanpa remote. Dan kamar mandi... kini memunculkan bau anyir yang tak bisa dijelaskan. Rumah nomor tujuh… resmi bangun dari tidur panjangnya. Dan keempat anak muda itu... sudah tak bisa mundur lagi.Langkah Zaki gontai saat ia melangkah mundur, melewati lorong yang seolah makin sempit. Jantungnya berdentum tak beraturan, udara di sekeliling seperti menghisap oksigen dari paru-parunya. Tapi satu hal terus ia genggam: Kunci. Kunci itu masih ada di sakunya. Dan entah kenapa, meskipun semuanya terasa tidak nyata, besi dingin itu membuatnya tetap waras. Tetap sadar. Ia menggeret tubuhnya menuju pintu depan. Pintu itu kini terbuka sedikit—seolah rumah itu ingin memberinya kesempatan. Kesempatan terakhir. Dan Zaki, dengan seluruh tenaga terakhir yang tersisa, melangkah keluar. Begitu kakinya melewati ambang pintu—udara kembali. Suara hujan terdengar lagi. Cahaya lampu jalan menyala temaram. Dan ketika ia menoleh… rumah nomor tujuh berdiri tenang di belakangnya. Gelap. Kosong. Tak ada yang mengejar. Tak ada jeritan. Hanya keheningan… yang seperti menunggu giliran. Zaki menarik napas panjang, lalu melempar kunci itu ke selokan. > “Simpan rahasia ini, dan jangan pernah bu
Zaki memejamkan mata. Tarikan napasnya berat. Dada seperti diikat tali yang makin lama makin kencang. Ia tahu, begitu melewati ambang ruang makan itu, tidak ada jalan mundur. Tidak akan ada pintu keluar seperti sebelumnya. Tapi langkahnya terus maju. Tangannya menyentuh kursi kosong keenam—dingin, seolah baru ditinggalkan. Bayangan Tiara seakan masih duduk di situ, tersenyum kecil, menatap ke arah sudut ruangan tempat dulu ibunya berdiri. Zaki menelan ludah. Matanya menyapu sekeliling. Dinding rumah kini penuh dengan simbol. Bukan coretan biasa. Tapi bentuk-bentuk aneh, yang terlihat berbeda tergantung dari sudut mana dilihat. Dan di langit-langit… Ada sesuatu merayap. Perlahan. Halus. Meneteskan sesuatu yang hitam dan kental seperti oli bekas. Zaki mundur satu langkah. BRAK! Pintu di belakangnya menutup sendiri. Terkunci. Tapi Zaki tidak lari. Ia tahu ini akan terjadi. Dari kantong jaketnya, ia mengeluarkan sesuatu. Kunci. Bukan kunci rumah. Tapi kunci dari kotak besi
Zaki tidak tidur sejak malam itu.Matanya sembab, tubuhnya kurus, pikirannya mulai kabur. Tapi satu hal ia jaga mati-matian: kesadaran.Setiap malam pukul 03:33, rumah itu datang. Kadang lewat mimpi. Kadang lewat suara dari balik lemari. Bahkan pernah muncul di layar mati televisi—lorong rumah nomor tujuh perlahan terbuka, memantulkan cahaya samar dan bayangan meja makan.Namun Zaki tak pernah membalas panggilan itu. Ia hanya duduk, terjaga, menatap jam dengan tubuh menggigil, menghitung detik sampai rumah itu pergi.Tapi ia tahu, rumah itu makin dekat.Makin melekat.Makin menjadi bagian dari dirinya sendiri.---Hari itu, Zaki berjalan di pasar tradisional, mencoba mengalihkan pikiran. Tapi setiap orang yang lewat menatapnya aneh. Beberapa bahkan seperti berbisik satu sama lain.Di depan sebuah kios kaca, ia terdiam.PANTULAN DIRINYA… duduk di meja makan.Padahal ia berdiri.Zaki menjerit, memukul kaca, tapi pantulan itu tetap duduk. Tetap menatapnya. Di belakangnya—Tiara berdiri de
Zaki tidak bergerak. Ia hanya berdiri mematung di tengah kontrakan yang dingin dan sunyi. Pintu terbuka setengah, lorong gelap rumah nomor tujuh menganga seperti perut makhluk yang lapar.Dan di ujung lorong itu… Tiara berdiri.Rambutnya tergerai basah, wajahnya pucat, dan matanya tak lagi membawa kehidupan yang dikenalnya. Tapi yang paling membuat jantung Zaki nyaris berhenti—senyumnya.Senyum yang dulu hangat, kini tampak asing. Dingin. Seperti seseorang yang mengingat bagaimana caranya tersenyum, tapi lupa maknanya.> “Pulang, Zak…”“Di sini gak sakit lagi. Gak ada mimpi buruk lagi. Di sini kita bisa bareng terus…”Suara itu milik Tiara—tapi juga bukan. Ada gema aneh dalam ucapannya, seperti suara yang diulang dari mulut banyak orang.Zaki mundur satu langkah, tangannya gemetar hebat. “Kau… bukan Tiara.”Tiara tidak bergerak. Ia hanya berdiri di sana, di balik lorong. Di belakangnya, Zaki bisa melihat meja makan rumah nomor tujuh, kini lengkap. Lima kursi. Lima piring. Lima sosok d
Pintu itu menganga lebar, memperlihatkan lorong rumah nomor tujuh yang berdenyut seperti organ hidup. Udara yang keluar dari dalamnya dingin dan lembap, membawa aroma besi dan busuk yang langsung memenuhi seluruh kontrakan. Zaki dan Tiara berdiri mematung, saling menggenggam tangan sekuat tenaga. Tiara bisa merasakan kuku Zaki menancap di kulitnya, tapi ia tak mengeluh. Dari dalam lorong, Raka muncul perlahan, wajahnya pucat dengan mata kosong yang berkilau samar. > “Rumah sudah memilih…” Di belakangnya, Anggi merayap di dinding, gerakannya patah-patah, kepalanya miring 90 derajat, tersenyum lebar hingga pipinya robek. > “Satu untuk tinggal… satu untuk bebas…” Tiara merasakan tarikan kuat di dadanya, seperti ada kait tak terlihat yang mencengkeram jantungnya dan menariknya ke dalam lorong. Ia menjerit, berusaha bertahan, tapi tubuhnya mulai terangkat dari lantai. “Tiara! Nggak!” Zaki menariknya dengan segenap tenaga, namun udara di sekeliling mereka berubah padat, seolah rumah
Sejak malam mereka lolos, hidup Zaki dan Tiara tidak pernah lagi sama. Mereka mungkin sudah jauh dari gang itu, tapi bayangan rumah nomor tujuh selalu mengikuti—dalam mimpi, dalam pantulan kaca, bahkan di keramaian kota. Zaki mulai memperhatikan sesuatu yang aneh: setiap jam 03:33, ponselnya bergetar meski sudah mati total. Ketika ia menyalakannya, layar hanya menunjukkan satu pesan yang sama: > “Lengkapi rumah ini.” Tiara lebih buruk lagi. Ia sering terbangun dengan bekas tangan kecil berwarna hitam di lengan dan lehernya. Setiap kali ia mencuci bekas itu, muncul lagi di malam berikutnya. Pada hari ketiga setelah mereka lolos, Tiara duduk di ruang tamu kontrakan Zaki, wajahnya pucat. “Zak… aku nggak bisa tidur. Setiap kali merem, aku balik ke rumah itu. Raka dan Anggi ada di sana… mereka nggak pernah ngomong apa-apa, cuma nungguin aku duduk bareng mereka di meja makan.” Zaki memegang kepalanya, frustrasi. “Ini nggak mungkin terus kayak gini, Ti. Kita udah keluar. Seharusnya ini