Share

Malam Pertama

Saat berkeliling butik, aku memilih untuk menyelinap dan memilih lingerie. Dalam imajinasi liar yang aku punya, pernah terlintas di pikiran untuk memakainya di depan lelaki yang tepat. 

Aku membeli dalam jumlah banyak, aneka model dan warna. Sengaja untuk kado juga, karena aku ingat Zanna.

Aku merasa lucu, membayangkan Arkana melihat Zanna memakai benda kurang bahan ini di depannya. Memang, kepribadian Zanna berbanding terbalik denganku. Mungkin saja Arkana akan terkejut melihatnya, lalu lupa diri dan takluk pada pesona saudari kembarku itu.

Gegas, aku beranjak ke bagian lain dalam butik. Aku melihat sepatu boots dan segera mencobanya. Setelah puas berbelanja, aku memindai sekeliling, mencari Bram. Ternyata sedang sibuk dengan ponselnya.

"Honey, aku sudah selesai belanja." 

"Wait a minute, Sir." Bram mengeluarkan dompet dan meraih sebuah kartu, "pakai ini, Babe." 

Aku mengecup pipinya sekilas sebagai ucapan terima kasih dan melenggang menuju kasir.

Tak lupa aku meminta mereka untuk membungkus beberapa lingerie pilihan untuk Zanna. Aku bahkan sempat menuliskan sebaris kalimat nakal untuk menggodanya.

Aku menghampiri Bram yang masih terlihat sibuk dengan ponselnya. Kuletakkan sepuluh kantong belanja, lalu meraih ponsel dan berjalan menjauh.

"Anya, tolong dengarkan aku! Besok, kamu harus datang ke penjahit gaun pengantin untuk fitting. Jangan banyak bicara, agar Arkana tak curiga." Aku menghela napas, "oh, ayolah! Lakukan ini demi cintamu, Anya. Aku sudah mengalah untuk kebahagiaanmu, oke?" 

Zanna masih saja mengutarakan keraguannya. Ck, dasar keras kepala! Aku bahkan harus mengajarinya detil tentang apa yang boleh dan tidak boleh ia lakukan. Gadis manja itu memang takut mengambil keputusan. Selalu aku yang harus menegaskan dan memberinya saran. 

"Aku tidak mau kamu gagal. Berjuanglah untuk cintamu, Anya! Aku akan ke Singapura selama tiga hari bersama Bram. I'm gonna miss you, Twin. Love you. Bye." 

Aku sengaja memutuskan sambungan telepon karena ia mulai merengek di ujung pembicaraan. Rasa takut, gelisah, dan hal remeh lainnya mendominasi perasaan, keluhnya.

Ah, bukannya untuk memiliki seseorang yang kita cintai sepenuh jiwa, harus ada perjuangan dan pengorbanan yang sepadan?

Bram merangkul pinggulku. "Kamu habis nelepon siapa, hmm?" 

"Anya, my twin. Bolehkah kita pergi untuk makan, lagi? Rasanya aku masih lapar, Hon." 

"Boleh. Sebentar, aku bawa semua belanjaannya." Bram berbalik, mengambil kembali semua kantong yang tadi kuletakkan di sofa. 

Kami menuju sebuah restoran yang menjual steak daging paling enak di kota ini. Biasanya aku jarang makan nasi pada malam hari. Namun, kali ini aku justru memilih menu komplit. Bram sampai tertawa melihatku kalap memesan menu.

"Sepertinya suasana hatimu cukup baik, Babe. Apa kabar saudari kembarmu?" 

"Besok, dia akan menggantikan aku untuk fitting gaun pengantin. Satu bulan kemudian, pernikahan akan digelar." 

"Aku tidak menyangka kamu segila ini, Sayang. Anehnya, aku justru takluk dalam kegilaanmu di hari pertama kita saling mengenal." 

Aku tertawa kecil. "Ya, kamu rela menukar tiket kelas bisnis hanya karena ingin duduk di sebelahku."

Padahal saat itu aku justru ingin mengejar kekasih yang sedang merajuk, sambungku dalam hati. 

"Mata berwarna hazel ini yang membiusku, Babe. Ada pesona tersendiri di sana. Aku tidak pernah jatuh cinta pada pandangan pertama. Menikah juga tidak pernah terlintas di benakku. Denganmu, semua berubah." 

Aku tersanjung. Kesan pertama yang kusimpulkan tentang lelaki bermata elang ini, dia adalah seorang Don Juan. Lelaki yang doyan main perempuan dan mematahkan hati. Bahkan Zanna juga berpikir hal yang sama, saat aku menunjukkan foto kami berdua di Bali. 

Mungkin hal itu juga yang membuatku ingin menaklukkannya kemarin. Ingin bermalam dan melanggar batas di ranjangnya. Ternyata dia justru menawarkan pernikahan, menyelamatkan aku dari dosa. 

"Hon, Arkana itu cinta matinya Anya. Mana mungkin aku tega melihatnya menangis di hari pernikahan kami. Sementara aku tidak pernah tertarik pada lelaki lempeng kayak Arkana."

"Lalu lelaki seperti apa yang menarik hati kamu, hm?" 

"Tidak ada lagi setelah melihatmu pertama kali di bandara, Hon. Kamu terlanjur mematahkan sayapku. Aku juga tak bisa lagi jelalatan," keluhku.

"Hei, Nyonya Bram Orlando, jangan pernah berpikir untuk berpaling. Aku tidak akan pernah melepaskan kamu!" ancamnya. Mata elangnya terlihat sangat serius.

Bukannya takut, aku justru tergelak dan meremas tangannya. "Aku sudah  menjadi milikmu seutuhnya, Hon. Apalagi yang harus diragukan?" 

Bram tersenyum. "Baiklah, Babe. Kita harus pulang dan segera istirahat. Besok ada tender penting yang harus aku menangkan." 

🌹🌹

"Hon, apa yang harus aku persiapkan dalam koper kamu?" 

Aku bingung di depan lemari pakaian miliknya. Semua berderet rapi dan tertata dengan baik. Sesaat, timbul rasa rindu akan suasana kamar  beraroma strawberry milikku.

Bram masuk dan menghampiri aku. "Ah, ya. Aku masih punya beberapa potong pakaian bersih dalam koper. Lupa mengeluarkannya sepulang dari Taiwan minggu lalu. Kamu tidak perlu melakukan apa-apa. Ambil saja koper kosong di ruang sebelah, isi dengan barang belanjaan kami tadi." 

"Baik, Bos." 

Aku bergegas menuju tempat yang dia maksud. Ada sebuah box berwarna  pink yang menarik perhatian, letaknya persis di belakang koper. Ada keinginan untuk membongkar, tetapi urung. Aku takut dianggap lancang. 

Aku menarik koper, duduk bersila dan mulai menyusun beberapa potong pakaian. Menyelipkan tiga pasang lingerie berbeda warna, di tumpukan paling bawah. 

"Sudah selesai, Babe?" Bram ikut bersila di sampingku.

Untungnya aku sudah selesai menyelipkan benda itu. Aku tersenyum manis seraya mengancingkan koper. 

Kami bangkit dan berjalan menuju tempat tidur. Aku meringkuk dalam selimut, sedikit aneh karena terbiasa tidur memeluk guling. 

"Kenapa, Babe?" 

"Aku ... biasa tidur memeluk guling, Hon. Lampu juga redup. Kalo terang gini, aku gak bisa bobok," rengekku.

Bram turun dan menekan tombol lampu redup. 

"Satu masalah selesai. Untuk guling, kamu bisa memelukku sepanjang malam," goda Bram.

Aku tersenyum. Bau tembakau yang tersisa di tubuh, menandakan dia sempat menyelinap untuk merokok di balkon. 

"Ah, satu hal, Babe. Aku terbiasa tidur tanpa memakai baju." Bram spontan membuka kaosnya dan melemparnya asal.

Aku spontan melongo. 

"Come and hug me, Sweety." Bram mengedipkan sebelah mata.

Aku menyusup di dada bidangnya. Apa mungkin sanggup memejamkan mata jika detak jantungnya seperti irama yang mengajak berdansa. 

"Tenang saja, Babe. Malam ini kamu aman. Aku butuh tenaga ekstra untuk memenangkan tender besok. Aku sudah memenangkan satu hal yang paling berharga, ini, sedang ada dalam pelukan." 

Mungkin dia memang bukan Don Juan, tapi ucapannya seperti lelaki yang sudah lihai menaklukkan hati perempuan.

Tentu saja dia bisa tidur nyenyak karena sudah menguasaiku dua babak tadi. Sekarang masalahnya, apa aku bisa tidur nyenyak dengan segala pesona maskulin yang tersaji lezat di depan mata? 

Perlahan aku mendengar suara dengkuran halus dari Bram. Aku mengambil kesempatan untuk menjelajahi tiap jengkal tubuhnya. Mengagumi keindahan yang diciptakan Tuhan yang dilimpahkan untuk dia. 

Hah, otakku benar-benar sudah tercemar sejak dia membuka kaosnya tadi. Otot bisep, trisep juga perutnya terlihat sangat menggiurkan. Aku mendesah, menahan gejolak ambigu yang naik ke permukaan.

Untungnya kami sudah dalam ikatan pernikahan yang halal. Tak terbayangkan jika aku melakukannya di luar ikatan pernikahan, terlalu beresiko.

Jika aku mengingat kembali, perkenalan kami memang tergolong singkat. Siang itu di Bali, dia harus menghadiri meeting dan kembali ke Jakarta keesokan harinya.

Tak menyangka setelah meeting, dia malah datang ke hotel tempatku menginap dan ikut memesan kamar bersebelahan. 

Tiga hari dia menemaniku tanpa pernah sekali pun melanggar batas kesopanan. Bertukar cerita tentang apa saja. Mati-matian aku menahan diri untuk tidak terlihat sangat tertarik padanya, bersikap jinak-jinak merpati. 

Semuanya berubah seusai makan malam di hari terakhir kami di Bali, di depan pintu kamarku, dia mendekap lalu melumat bibirku. Aku anggap itu sebagai tanda bahwa kami adalah sepasang kekasih. 

Setelah kembali, komunikasi hanya sebatas chit chat melalui ponsel saja. Aku bahkan masih sempat digoda beberapa lelaki lain yang kebetulan ketemu di club. 

Siapa sangka, satu bulan kemudian aku justru jadi istrinya. Pelan, aku mengecup lembut bibirnya yang seksi itu lalu mengucapkan kata cinta.

Aku berbalik memunggunginya. Tidak kuat menahan rasa. Lebih baik aku mulai menghitung domba, agar bisa segera tidur. Aku tidak ingin terlihat kusam saat mendampinginya meeting besok. 

🌹🌹🌹

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status