Share

Hot Husband

Aku terbangun karena merasa geli. Saat membuka mata, Bram sedang menggesekkan jambangnya ke pipiku.

"Morning, Sleeping Beauty. Boboknya nyenyak amat. Mandi yuk, kita harus ke bandara segera."

Aku menggeliat. "Gendong." 

"Boleh, tapi resiko ditanggung sendiri, ya? Aku sudah mandi. Gak masalah kalau harus keramas bareng kamu lagi," goda Bram.

Wajahku terasa panas, membayangkan tubuhnya berada di bawah pancuran air yang sama.

Astaga, sepagi ini otakku bahkan sudah tercemar. Aku menggigit bibir bagian bawah, ciri khas kalau sedang gelisah.

"Hei, jangan seperti itu! Kamu terlihat sangat menggoda. Aku jadi ingin membatalkan meeting dan berbagi peluh bersamamu." 

Gegas, aku turun dan berlari menuju kamar mandi. Sebelum menutup pintu, aku masih bisa mendengar Bram tertawa terbahak-bahak.

Konyol memang, aku yang biasanya menaklukkan hati lelaki, justru terbalik. Rasanya sudah takluk sepenuhnya dalam pelukan Bram. 

Tak butuh waktu lama untuk bersiap. Hari ini aku sengaja memakai setelan formal. Rok pensil warna abu-abu panjang setengah betis dengan belahan yang cukup memudahkan langkah, dipadu dengan kemeja lengan panjang model ruffle. Tak lupa high heels pemberian Bram. Sapuan make up membuat penampilanku terlihat sangat segar. 

"Sudah selesai, Babe? Ah, kenapa aku selalu jatuh cinta setiap kali memandangmu?" 

Aku mendekat, melingkarkan kedua tangan di pinggang dan berbisik manja di telinganya, "Kenapa aku merasa kamu suka sekali menggombal perempuan?" 

"Ah, Nyonya. Tahukah Anda rasanya sulit sekali mengusir detakan arus bawah ini? Berhentilah menggoda seperti ini." 

Bram mendekat dan ingin mengecup, tetapi aku justru melepaskan pelukan dan berjalan menjauh. Aku terbahak. Satu sama, Honey. 

Aku menarik koper menuju pintu keluar, Bram ikut menyusul. Perjalanan pertama bersama kekasih yang sudah berganti status menjadi suami. 

🌹🌹

Marina Bay Sand, meeting tender dan cinta. Sebenarnya aku ingin menemani Bram meeting, dengan menunggunya di luar ruangan. Namun, ia bersikeras melarang, memintaku menunggu di kamar atau sekalian berkeliling di sekitar hotel.

Aku lebih memilih untuk mandi busa di bathtub kamar saja. Kuteteskan aromaterapi, memilih musik dari ponsel dan mulai masuk dalam air. Rasanya rileks sekali. Mungkin besok bisa mencoba fasilitas spa dari hotel. 

Aku hampir tertidur saat mendengar nada dering dari ponsel. Aku bergerak dan melihat nama yang tertulis di layar. Kutekan tombol pengeras suara.

"Holla, Twin. Gimana? Sudah selesai fitting gaun?" 

"Kamu memang ajaib, Aline. Mana mungkin aku mengenakan gaun terbuka begitu, yang benar aja!" rutuk Zanna. 

Aku terbahak. Lupa memberitahu tentang gaun itu. Memang aku memilih gaun halter neck bertali spaghetti dan punggung yang terekspos sempurna. Benar-benar bukan selera Zanna Kiranya. 

"Aku lupa selera kita berbeda. Udah, pake aja! Aku jamin si Arkana bawaannya pasti pengen nerkam kamu." 

"Aku gak pede, Aline. Apa masih sempat untuk merombak gaun itu?" 

"Lah, kenapa nanya aku? Emangnya aku tukang jahitnya? Udah pake itu aja. Seksi," desahku sengaja. 

"Sableng! Masuk angin iya, aku pake gaun berpunggung bolong gitu." 

Aku semakin terbahak. "Twin, body kamu sama menggodanya sepertiku. Jangan takut! Pake itu aja udah, gak perlu diganti dengan yang lain. Ini kesempatan kamu untuk tampil all out di depan Arkana." 

"Oh iya, satu lagi. Sepatunya, Aline. Sembilan senti. Gila lu ye. Lima senti aja aku kepayahan," rutuknya frustasi.

"Dih, jangan lebay, deh. Kalau sepatu, beli aja yang setinggi itu. Belajar jalan dan melenggok pake sepatunya. Gampang, kan?"  

"Ngomong doang ya enak. Dasar dodol lu. Stress aku, tau! Aduh, gimana dong?" Zanna panik.

Dasar manja, semua hal dibuat cemas. Heran. Selalu saja tidak berani mengambil keputusan sendiri. 

"My twin, kamu udah dewasa. Belajar memecahkan masalahmu sendiri. Jangan cengeng!" 

"Kamu ngomong mah enak. Aku yang menjalani, Aline. Aku!" Suara Zanna melengking.

Aku menghembuskan napas berat. "Oke, aku salah. Maaf, ya. Saat itu aku sedang benar-benar kesal pada Mami. Makanya semua yang dipilih itu ya styleku. Ayo dong, kamu jangan nyerah. Jangan buat pengorbanan ini sia-sia. Katanya cinta mati sama Arkana, buktiin dong!"

"Trus aku harus gimana, Aline? Aku gak mungkin pake baju seseksi itu. Aku malu dilihatin orang," keluh Zanna. 

"Please deh, biarin aja orang mengagumi kecantikan kamu. Tubuh seksi begitu sayang kalo gak dipamerin pas hari H." Aku masih terus mengompori Zanna.

"Aku seksi? Ish, aku gak sepede dan segila kamu. Mungkin itu ya, penyebabnya Arkana jatuh cinta sama kamu? Karena kamu penuh warna." Zanna terdengar putus asa

"Apa sih, Anya! Arkana itu laki-laki lurus, gak cocok sama gadis kayak aku. Kamu jodoh terbaik dia. Udah deh, ah. Kamu ganggu aja, aku lagi berendam di bathtub nih." 

"Kamu jadi ke Singapura sama Bram? Jangan melanggar batas loh, ya! Jaga tuh selaput baik-baik!" 

"Oh, Sweety. I'm not virgin anymore," desahku sengaja.

"Gila kali lo ya! Kenapa melanggar prinsip, sih? Oke aku akui dia memang hot dan seksi, tapi masa segampang itu lo tidur sama dia, Line? For God sake!" Anya mulai mengomel.

Aku terbahak, rasanya ingin terus menggodanya. "Kamu tau, dia luar biasa di ranjang. Aku bahkan sampai lupa bernapas." 

"Lupa bernapas? Kok lo masih hidup sekarang?" umpat Anya.

Tawaku semakin kencang. Aku bisa membayangkan bagaimana gusarnya wajah Zanna.

"Aline, aku gak nyangka ya, elo senekat ini. Cinta sih boleh, tapi menyerahkan selaput yang berharga, gak segampang ini juga kan. Gimana kalo lo hamil, dodol?"

Kebiasaannya kalau sedang marah pasti menyebutku dengan lo.

"Please, deh. Kita ini perempuan dewasa. It just a little fun. Kalo hamil justru bagus, kamu punya ponakan yang super duper cakep dan hot." Aku ngakak lagi. 

"Aline, ini sama sekali gak lucu! Gimana kalo Papi tau, lo gak takut beliau kena serangan jantung? Lalu Mami, kalian pasti bertengkar hebat lagi dan lagi. Ah, kenapa lo gak nolak sih? Jangan-jangan lo yang mancing dia duluan,ya? Ngaku!" 

"Iya. Abisnya aku gak tahan liat barang bagus nganggur. Aku seret aja dia langsung ke ranjang!" 

Astaga perutku sampai kram dan air mata berlinang karena terus menerus tertawa. Zanna yang lugu mudah sekali digoda. Benar-benar gadis polos yang lurus. Cocok untuk Arkana. 

"Zeline Zakeysha, lo memang gila! Kenapa kepalaku jadi mumet sekali sesiang ini? Masalah gaun dan sepatu belum terpecahkan, lo malah santai ngomong kalo udah gak perawan." 

"Babe," panggil Bram.

"Honey, aku di bathtub. Sini masuk, mandi bareng aku." Sengaja aku mengeraskan suara agar Zanna mendengarnya. 

"Ah, aku tak mau mendengar suara mesum kalian. Bye!" Zanna memutuskan sambungan telepon.

Aku masih belum bisa berhenti tertawa. 

"Kenapa tertawa, Babe? Kamu tadi bicara sama siapa?" 

"Zanna. Gimana hasil meetingnya? Sukses?" 

"Keputusannya setelah makan siang. Kamu belum makan, kan?" 

"Belum. Tunggu sebentar, ya. Aku membersihkan busa ini dulu." 

Bram tersenyum penuh arti. "Aku bantu, ya?" 

Gegas dia melepas semua dan ikut masuk ke dalam bathtub. Dia memagut dan menuntut, seperti sudah lama lapar dan dahaga. Aku larut dalam gelombang gairah yang meminta untuk dituntaskan. 

Dia menggendongku keluar dari bathtub, lalu kami berdiri di bawah guyuran shower. Aku memejamkan mata dan mulai bergerak mengikuti irama napas dan tubuhnya.

🌹🌹

Aku membantunya mengeringkan rambut. Bram masih harus lanjut meeting, tidak mungkin ia kembali dalam kondisi rambut basah. Menatap sedekat ini, pahatan wajahnya yang tampan, letupan gairah seolah kembali membara.

"Babe," panggil Bram.

Aku tergagap, ketahuan memandang dan berhenti lama di bibirnya yang menggoda itu.

"Ya, Hon."

"Kenapa melihat bibirku seperti itu? Masih pengen?" goda Bram.

Astaga, wajahku terasa memanas. Ke mana perginya semua kemampuanku menaklukkan hati lelaki? Kenapa justru aku yang seperti perawan yang haus cinta? Ah, aku bahkan sudah tidak perawan lagi. 

"Tuh, wajahnya blushing. Secinta itu ya, sama suamimu ini?" 

Aku kena karma sepertinya. Sedari tadi menggoda Zanna, sekarang justru aku yang digoda Bram.

Pikiranku pun semakin tercemar. Sekalian saja aku naik di pangkuan Bram dan mulai memagutnya. 

Tangan Bram mulai melingkar di pinggang, menarikku semakin erat. Aku akui, he is a good kisser. Aku mabuk kepayang berawal dari sebuah ciuman di Bali kala itu. 

"Babe, meetingnya dimulai sebentar lagi," ucap Bram serak setelah deep kiss yang terjadi.

Aku menyusup malu di dada bidangnya yang sudah terbuka. Kecepatan tangan yang tak kusadari telah terjadi. 

"Oke. Kita turun untuk makan siang. Setelah meeting selesai, kita lanjutkan babak berikutnya, ya?" Bram mengacak rambutku penuh kasih sayang.

Aku memeluk lagi dan membisikkan kata cinta di telinganya. 

🌹🌹🌹

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status