Share

Menjadi Nyonya Bram

Aku menghubungi Papi, memintanya datang ke apartemen tanpa sepengetahuan Mami. Jika hanya ijab kabul, aku yakin Papi akan menyetujuinya. 

"Aline, ini gila. Kamu meminta Papi untuk menikahkan kalian saat ini juga. Sementara tanggal pernikahan kamu sudah ditetapkan. Lelucon apa ini?" 

"Papi, Anya mencintai Arkana sejak awal kami kuliah. Apa mungkin Aline tega melihat Anya kehilangan satu-satunya cinta, Papi?" 

Aku mengandalkan kemampuan merayu yang biasanya ampuh. Lelaki tersayang di hadapan ini, tidak pernah menolak apa pun yang aku inginkan. Mungkin itu sebabnya kenapa aku sering berbuat sesuka hati, karena ada Papi yang selalu membela. 

Papi menghela napas panjang. "Kamu ini, selalu bisa membuat Papi mengikuti keinginan sekonyol apa pun itu. Mana lelaki itu? Suruh menghadap Papi!" 

"Ayo kita langsung naik ke atas, Pi. Mereka sudah menunggu Papi." 

Aku menggenggam erat tangan Papi. Berceloteh riang seperti saat masa remaja, membahas prestasi yang kuukir dengan gemilang. Menjadi kebanggaan Papi. 

"Kamu?" Papi terlihat terkejut saat melihat Bram.

"Pak Hasan? Anda papinya Zeline?" Bram langsung mendekat dan menyalami tangan Papi.

"Papi kenal Bram?" tanyaku heran.

"Tentu saja. Papi merestui hubungan kalian. Mana tuan kadinya?" 

Aku menghembuskan napas lega. Berarti Bram punya reputasi yang baik di mata Papi. 

Detak jantungku menggila saat proses ijab kabul dilakukan. Peluh yang menetes di dahi Bram, membuatku tak kuasa menahan gejolak di dalam dada. Dia terlihat sangat menggairahkan. 

Aku memeluk erat Papi setelah proses ijab kabul selesai. Mengucapkan terima kasih dan memintanya untuk menjaga rahasia. 

"Anya harus bahagia sama sepertiku, Papi. Berjanjilah untuk tidak memberitahu Mami!" Aku mengaitkan jari kelingking ke arah Papi.

Papi tertawa dan menyambut jari kelingkingku. "Anak gadis kebanggaan Papi ternyata sudah dewasa dan sekarang menjadi istri seorang pebisnis handal." 

Aku memeluk erat Papi. "Besok, tiga hari aku menemani Bram ke Singapura. Papi mau dibawain oleh-oleh apa?" 

Papi melepaskan pelukanku."Besok bukannya ada fitting baju pengantin, Nak? Berulang kali mamimu mengingatkan Papi." 

"Papi harus membantu Aline. Ingatkan Anya untuk datang dan berpura-pura menjadi Aline. Jangan banyak bicara agar penyamaran tak kentara." 

"Ya sudah. Papi pulang, ya. Takut Mami curiga kalau Papi terlambat untuk makan malam." Papi mengecup keningku. 

Aku memanggil Bram dan mereka berbincang sebentar. Papi menepuk pundak Bram yang dibalas dengan anggukan takzim. Dua lelaki keren lintas generasi, kesayanganku.

Semua orang sudah kembali. Hanya tinggal aku dan Bram berdua di apartemen. Bahkan sekretarisnya pun sudah lebih dahulu berpamitan setelah prosesi ijab kabul selesai. Mungkin gadis itu tidak kuat menahan sesak di dada karena lelaki pujaan hati telah resmi menjadi milik perempuan lain. 

"Hon," panggilku.

"Ya, Babe." 

"Kamu pernah pacaran sama sekretaris tadi?"

Bram tersedak minuman dingin. Ah, lelaki. Ada rasa cemburu yang mulai menguasai hati. 

"Jujur, Babe, aku pernah berpacaran dengannya. Tiga bulan. Putus karena mengenal kamu." 

"Oke. Dengan perempuan mana lagi sebelum dia?" 

"Dua perempuan sebelumnya masing-masing tiga bulan. Entah, Babe, rasanya sulit melewati waktu penjajakan lebih dari tiga bulan." 

Alarm pertanda bahaya berdenging di telingaku. Bagaimana jika dia mencampakkan aku tepat setelah bulan ketiga berakhir? Sebenarnya kami berdua sama saja. Aku juga tidak pernah punya hubungan lebih dari tiga bulan. Bahkan pernah hanya satu minggu saja.

"Lalu kenapa denganku kamu meminta pernikahan, Hon? Apa kamu akan pergi setelah tiga bulan berakhir?" Aku bersedekap.

Bram mendekat. "Karena kamu orang yang tepat, Babe. Tidak pernah terlintas keinginan untuk menikah, selain denganmu. Juga karena Bunda sudah memberikan restu." 

Aku masih memberengut. Bram meraih pinggangku. 

"Aku cinta kamu, Babe. Kamu istriku, the one and only." Bram mulai menjelajahi ceruk leherku. 

Aku takluk pada pesona lelaki yang sudah resmi bergelar suami. Membalas pagutan dan mendesahkan namanya. Membiarkan diri larut dalam suasana penuh kobaran api asmara. Melebur menjadi satu.

Dia memperlakukanku dengan lembut. Walau tetap saja ada rasa perih yang kentara karena segel itu belum berhasil ditembus seutuhnya.

"Sakitkah, Babe?" 

Aku meringis. Bram mengecup lembut dan mulai mencumbu lagi. Perlahan aku mengikuti gerakannya. Semakin cepat dan terbakar gairah, sampai akhirnya aku meneriakkan namanya di puncak asmara.

Aku malu dan menyelusup dalam dada bidangnya. Dia meraih daguku dan menatap sendu. 

"Terima kasih karena menjadikanku lelaki yang paling bahagia malam ini, Babe. Aku semakin jatuh cinta pada kamu." 

Kami berpelukan. Peluh yang membasahi tubuh, membuatnya terlihat sangat seksi. Aku mendesah dan memejamkan mata. Betapa selama ini aku menjaga diri agar tak terlibat hubungan cinta satu malam. Hanya karena ingin mempersembahkan selaput yang sangat berharga itu pada lelaki yang tepat.

Aku memang hobi berpetualang dari satu lelaki ke lelaki lain, tetapi tidak berarti tubuh ini bisa dijamah dengan bebas. My body is my rule, itu prinsip yang tak bisa ditawar.

Jika lelaki yang berstatus pacar mulai bergerak liar dan mencoba menggerayangi, aku pasti minta putus. Makanya aku membatasi jumlah alkohol yang diminum saat penat melanda. Aku tidak mau mengambil resiko mabuk dan terbangun dengan entah lelaki mana keesokan paginya. 

Anehnya, hal itu tidak berlaku untuk Bram. Aku malah hampir menyerahkan diri secara sukarela padanya. Justru dia yang meminta pernikahan sebelum kami melampaui batas. 

"Hon," panggilku.

Bram menggumam. "Lapar?" 

"Iya. Aku tidak bisa masak dan melakukan pekerjaan rumah tangga," keluhku.

"Aku membutuhkan istri, Babe. Kita bisa mencari asisten rumah tangga untuk membantu kamu. Jangan cemas, kamu hanya butuh merawat diri dan melahirkan bayi sebagai pewaris tahta kerajaan bisnis kita. Oke, Nyonya?" 

Aku mengangguk dan memejamkan mata. Rasanya seperti menjadi ratu di sisinya. Aku tidak akan melepaskan lelaki ini demi apa pun juga. 

Bram meraih ponsel dan memesan makanan dari aplikasi online. "Oke, Babe. Sudah aku pesan. Kita hanya perlu menunggu setengah jam." 

Aku menyingkap selimut, hendak turun untuk membersihkan diri. Kurang gesit karena Bram menarikku kembali dan mulai menuntut. 

"Kita punya waktu sebelum makanan datang. Aku tidak akan membuang kesempatan untuk memiliki kamu seutuhnya." 

Aku memejamkan mata dan mulai mendesah. 

🌹🌹

"Kenapa makannya sampai belepotan sih, Babe? Lapar berat?" ejek Bram sambil mengelap ujung bibirku.

"Lapar, Hon. Aku kehabisan banyak energi tadi. Dua babak kamu berdayakan aku. Huh," omelku.

Bram tergelak. "Aku malah berencana setelah ini ada yang ketiga dan keempat, Babe. Kamu luar biasa, sih." 

Aku meletakkan sendok dan garpu. "Ampun, Hon. Beri aku kesempatan untuk bernapas." 

"Just kidding, Babe. O iya, kamu kan gak bawa pakaian, kita pergi belanja aja, gimana? Setidaknya kamu butuh beberapa potong pakaian untuk besok. Sisanya kita bisa beli di Singapura."

Aku mengangguk dan melanjutkan makan. Tenaga seperti terkuras habis. Aku masih merasa lapar. Biasanya aku menjaga dan membatasi jumlah kalori yang masuk. Kali ini aku sanggup menghabiskan makanan yang dipesan oleh Bram tanpa sisa. 

Aku meminjam kemeja Bram, membiarkan dua kancing terbuka, mengikat simpul ujung kemeja dan memadupadankan dengan rok mini yang dibelikan Bram kemarin. 

"Kenapa aku tidak bisa menahan gejolak rasa setiap kali melihat kamu berpenampilan seperti sekretaris yang seksi?" 

Aku bersedekap. "Kenapa? Aku mengingatkan kamu pada sekretaris, si mantan pacar itu?"

Bram menepuk jidatnya. "Astaga, kenapa malah ke situ larinya, Babe? Aku memang pacaran sama dia, tapi hanya sekedar status. Mungkin lebih ke ungkapan terima kasih karena  selama delapan tahun ini, dia udah banyak bantu. Aku bahkan gak pernah pergi berdua apalagi menyentuhnya, Babe." 

Aku masih memasang tampang tak percaya.

Bram mendekap, menggesekkan jambangnya ke pipiku. "Jangan seperti ini, Babe. Kamu terlihat menggemaskan. Aku takut kita batal pergi karena terjadi babak tambahan." 

Aku menggigit bibirnya karena kesal. Bram mengaduh dan melepaskan pelukan. "Baru hari pertama kamu sudah KDRT, Babe. Aku butuh napas buatan. Ayo, tanggung jawab!" 

Aku mendengkus dan meninggalkan dia. Sengaja melenggang keluar kamar. Bram tertawa dan mengejarku. 

🌹🌹🌹

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status