Aku bosan berbaring di ranjang. Pelan-pelan aku mencoba turun. Tertatih-tatih berjalan ketika aku mencoba keluar dari kamar.
Villa yang disewa oleh Bram ini lumayan luas. Ada empat kamar sebenarnya, tetapi yang terpakai hanya tiga. Baga adalah utusan dari pemilik untuk menjaga sekaligus membersihkan villa. Namun Baga tidak menetap karena rumahnya hanya berjarak sekitar dua ratus meter dari villa ini.
"Bli," panggilku ramah.
"Loh, Mbak. Kok malah jalan-jalan? Nanti kakinya malah gak sembuh." Baga meletakkan gunting rumput.
"Saya bosan di kamar terus, Bli. Memang, ini rasanya capek banget. Padahal baru jalan dari kamar ke depan doang." Aku tertawa.
"Karena kakinya Mbak masih nyeri itu. Kalau dipaksa, malah bahaya, Mbak." Baga tampak cemas.
"Saya nunggu di sini aja, Bli. Pemandangan dan wangi bunganya jauh lebih baik daripada
Satu minggu penuh cinta sudah dilewati. Entah kenapa rasanya waktu berlalu begitu cepat. Aku masih punya waktu beberapa hari lagi sebelum kembali ke Jakarta."Hon, kaki aku udah sembuh. Kamu gak pengen ngajak aku ke mana, gitu?" Aku merapatkan tubuh pada Bram yang sedang fokus pada ponsel."Boleh. Mau ke mana? Pantai? Belanja?" Bram langsung meletakkan ponsel.Satu hal yang aku suka dari lelaki ini. Setiap bersamaku, jika bukan urusan penting, tidak akan ada ponsel yang jadi pihak ketiga. Apalagi ketika akhir pekan, Bram benar-benar tidak menyentuh ponsel."Aku hanya ingin menikmati kebersamaan kita, Beib. Akhir pekan itu waktunya istirahat. Quality time dengan pacar, keluarga, atau malah diri sendiri."Itu jawaban ketika aku menanyakan kenapa dia meletakkan ponsel begitu saja di atas nakas. Berbeda denganku yang seperti kecanduan gadget. Makanya sejak melarikan diri
Bram memilih privat villa yang berada tak jauh dari Pantai Berawa, sekitar satu setengah kilometer saja. Aku sengaja meminta kamar untuk bulan madu.Layaknya fasilitas villa, ada peralatan masak yang pastinya tidak akan terpakai karena bakat minusku di dapur. Ada layanan televisi kabel. Hal yang paling aku sukai adalah letak kamar mandi yang memiliki pintu kaca, jika dibuka akan langsung menuju ke bathtub juga kolam renang privat.Aku bisa berendam di bathtub sementara Bram berenang. Aku sudah berniat untuk berganti pakaian renang, Bram malah langsung mengempaskan badan ke ranjang.“Kenapa? Capek?” Aku duduk di tepi ranjang.“Ngantuk. Boleh tidur sebentar?” Bram membentangkan tangannya.“Ini mau tidur atau mau peluk?”“Dua-duanya. Kamu ‘kan guling cantik kesayangan aku. Sini,” panggil Bram.Aku pura-pura jengkel dengan menjulurkan lidah. “Jangan modus, ya!”
Dua hari yang aku lalui bersama Bram benar-benar berlumur madu. Tidak ada perdebatan karena masalah apa pun. Kami menghabiskan malam romantis di pinggir pantai. Mampir ke kelab, lalu melanjutkan malam panas di ranjang.Ketika kami kembali ke villa, tidak ada Laurence dan Nadhira. Aku ingin bertanya pada Baga, tetapi urung karena tidak ingin mengubah mood Bram. Lelaki tersayangku sepertinya akan berubah menjadi monster ketika membahas tentang mantan.Pagi ini, aku dan Bram sarapan berdua saja. Setelah selesai menandaskan isi dalam cangkir kopinya, Bram mengecup keningku untuk berpamitan. Aku langsung mengekori langkahnya untuk mengantar sampai depan pintu mobil.Momen syahdu ini mulai memantik sisi lembutku. Aku menyiapkan pakaian, memakaikan dasi, membawakan tas lalu memberi kecupan sebagai pengantar suami pergi bekerja.Selepas kepergian Bram, aku kembali ke meja makan untuk membereskan semua peralatan yang dipakai. Sedang asyik mencuci piring, Baga data
“Ikut aku pulang, please.” Aku menyusup dalam pelukan Bram. Bram mendekapku erat. “Aku pasti pulang, Babe. Tapi belum sekarang, ya. Kamu tau ‘kan kondisi saat ini gimana.” Aku tahu dia enggan menyebutkan nama Nadhira. “Apa gak bisa dihandle sementara sama Lau aja?” “Lau juga lagi banyak kerjaan, Babe. Please, mengerti kondisi kita.” Bram mengelus punggungku yang berkeringat setelah beraktivitas menuntaskan hasrat. Aku mendengkus. Siang atau sore nanti aku pasti akan mengalami hari yang buruk di kantor. Tega sekali dia membiarkan aku sendiri menghadapi semua kekacauan ini. Bram tiba-tiba bergerak keluar dari selimut untuk menggendongku. “Kita mandi, yuk. Sebelum kamu ke Jakarta harusnya bisa kita manfaatkan satu kali lagi, di kamar mandi.” Aku meronta. “Gak. Aku gak mau. Kamu egois banget, sih. Gak peduli sama aku. Kamu gak ngerti gimana tertekannya aku tentang hari ini.” Tatapan Bram mengunciku. “Aku gak tinggal diam, Baby. Aku
"Hai, Vira. Kangen banget sama kamu," sapaku ketika kaki sudah berada di kantor."Ibu Aline. Maaf, saya mengganggu dengan segala chat dan telepon.""Gak apa-apa, Vira. Toh, gak terbalas juga semua. Jadi, gimana perkembangan kantor? Banyak dokumen penting di meja saya?""Hanya beberapa dokumen pengajuan pengadaan barang yang baru deal tiga hari belakangan, Bu. Sisanya sudah ditangani oleh Ibu Lia.""Great. Saya tinggal, ya." Aku berjalan beberapa langkah, mendadak teringat sesuatu. "Vir, Mami mana?""Saya di sini."Astaga, ternyata sosok perempuan yang coba aku hindari sudah sampai terlebih dahulu di kantor.Aku tersenyum kikuk. "Mami. Maaf, Aline pergi gak pamitan."Mami melangkah ke arahku, tatapannya tajam dan jauh dari kata ramah. Ibarat harimau yang sedang mengunci target buruannya."Vira, jangan biarkan siapa pun mengganggu kami!" titah Mami yang dibalas segera oleh Vi
"Itu lelucon yang sama sekali gak lucu." Aku bersedekap."Kamu 'kan tau, aku jarang melucu. Aku hanya merayu wanita spesial. Kamu." Senyum terlukis sempurna di wajah tanpa cela itu."Udah? Gak ada hal penting lain, kan? Aku balik kerja, ya. Bye."Jeremy mencekal lenganku. "Aku udah nahan rindu sekian lama, kamu malah seketus ini. Gak adil banget.""Lepas!" Aku menyentak lengannya. "Apa aku harus melapor pada Bunda tentang tingkahmu yang melampaui batas?""Lakukan saja. Aku gak peduli. Selagi kalian belum menggelar resepsi pernikahan, aku masih punya peluang untuk merebut kamu kembali.""Oh, really? So sorry, aku gak tertarik! For your information, aku lagi hamil. Kamu gak malu mengejar mantan yang sudah lama move on, bahkan sedang bahagia karena berbadan dua?"Wajah Jeremy berubah. "Kamu ... hamil? Anak Bram?""Oh my God, kamu pikir aku perempuan seperti apa? Aku ini kakak ipar kamu. Te
Moodku berubah menjadi jelek. Tidak mungkin membahas tentang pernikahan dengan kondisi wajah ditekuk parah.Setelah meninggalkan Jeremy sendirian, aku melangkah menuju ruang makan. Tampak Bunda sedang menemani Ayah makan, sambil sesekali bertukar cerita."Bunda, Ayah, Aline pamit, ya. Takut kemalaman di jalan.""Gak jadi nginap?" tanya Bunda."Besok aja Aline mampir lagi. Gak apa-apa ya, Bunda?"Bunda tersenyum. "Iya. Bunda anterin kamu sampe depan, ya?""Eh, gak usah, Bunda. Aline bisa, kok. Pamit ya, Ayah."Ayah mengangguk. Aku sebenarnya ingin bercerita tentang Jeremy, tetapi takut menyinggung perasaan mereka."Kamu mau ke mana?" Jeremy mencegatku di depan ruang tamu."Mau pulang. Aku capek. Malas berdebat sama lelaki egois kayak kamu.""Aku anterin, ya? Aku takut kamu kenapa-kenapa."Aku mendengkus. "Jangan berlagak peduli! Apa kamu lupa, siapa yang sering
Seusai meeting, Mami memintaku untuk pulang bersamanya ke rumah. Aku tak berani menolak. Apalagi Mami langsung mengultimatum aku untuk menyelesaikan masalah bersama Zanna dan Arkana. Rasanya seperti digiring paksa menuju tiang gantungan.Aku menyelinap masuk ke kamar mandi untuk mengetik pesan berisi permintaan maaf kepada Bunda karena batal berkunjung. Untungnya Bunda juga sedang ada urusan di luar bersama Ayah.Aku menyetir persis di belakang mobil Mami. Tidak ada gaya menyetir ugal-ugalan, tetapi jika ingin melihat nyonya cantik itu murka, silakan saja. Namun, aku tak punya cukup nyali.Semakin dekat dengan rumah, degup jantung seolah-olah tak terkendali. Apalagi ketika memasuki areal parkir, sudah ada mobil Arkana di sana.Habislah aku kali ini. Tidak ada kesempatan untuk mundur dan lagi aku menghadapi ini ... sendirian. Ada rasa perih yang tanpa sungkan menganga begitu saja.Berulang kali aku menarik hembus napas setela