Tiga hari bukan waktu yang lama jika dihabiskan bersama orang yang paling kamu cintai di dunia ini. Berkeliling Sentosa Island, Orchard Road, mengunjungi tempat wisata, berbelanja dan berbagi peluh dengannya di malam hari juga keesokan paginya, membuatku jatuh sakit.
Bram bilang akan membatalkan semua agenda penting demi merawatku. Hanya saja rasanya aku enggan menjadi beban, sehingga lebih memilih untuk pulang ke rumah, bukan ikut ke apartemen Bram. Aku rindu suasana kamar yang beraroma stroberi, juga Zanna.
"Aline, kamu kenapa?" Zanna menyerbu masuk saat aku menyeret koper ke kamar.
"Demam."
Zanna sibuk menelepon dokter keluarga untuk segera datang ke rumah.
"Kamu di apain sama si Don Juan sampe demam begini? Sakit banget ya, pas belah durennya?"
Astaga, ini anak. Kakaknya lagi demam, malah bahas belah duren. Otak durjanaku mulai bereaksi membayangkan Bram.
Zanna terlihat sangat cemas. Ia mengambil sapu tangan dan mencelupkan ke air hangat, untuk mengompresku.
"Jangan sakit, Sissy. Aku takut."
See? Zanna ini gampang sekali mewek, plin plan, manja, tidak bisa mengambil keputusan sekecil apa pun. Kalau lagi manis, dia panggil aku Sissy.
"Aku tidak apa-apa, Nya. Cuma kelelahan."
"Mana nomor telepon lelaki itu? Aku mau marahi dia. Setelah menikmati tubuh kamu tiga hari, trus gak mau merawat. Aku gak akan tinggal diam kalau sampai dia lari dari tanggung jawab!" Zanna bersedekap.
Aku tak ingin membalas omelannya. Toh, bukan sepenuhnya salah Bram. Aku juga tak sanggup menahan rasa saat hanya berdua dengannya. Terlalu sayang untuk dilewatkan. Astaga, otakku mulai keracunan lagi.
"Tuh, mukanya merah. Lo mikir jorok, ya? Astaga, Zeline. Lo udah buat dosa, tau! Malah blushing gitu. Dodol!"
Kumat, 'kan, si Zanna? Ah, biarkan saja. Mungkin sedang PMS.
Ponselku berdering. Gerak cepat Zanna merebutnya.
"Hah, kebetulan sekali. Lelaki yang sudah merusakmu menelepon. Biar aku yang memarahinya dan minta dia untuk datang bertanggung jawab!"
"Nya, kamu salah paham!" Aku mencoba untuk bangkit tapi kepala langsung berdentam.
Aku mengaduh dan kembali meringkuk dalam selimut.
"Sissy, maaf. Oke, aku pencet loudspeaker aja, ya." Suara Zanna melunak.
Terserahlah. Nyeri di kepala membuatku enggan berdebat.
"Babe, are you oke?"
Duh, mendengar suaranya saja aku merasa melayang. Terbayang embusan napasnya yang menderu saat meneriakkan namaku. Astaga, otakku.
"Halo, Mr. Don Juan," sapa Zanna tak ramah.
"Eh, maaf, saya sedang berbicara dengan siapa?"
"Aku Zanna, kembaran Aline. Kamu lelaki macam apa, sih? Kenapa menyakiti kakakku? Setelah kamu menodai, dia pulang begitu saja ke rumah dalam kondisi sakit. Laki-laki macam apa kamu? Ayo, tanggung jawab!"
Aku ingin bersuara, tapi rasanya lemas sekali. Apalagi nyeri di kepala masih terasa sangat menyiksa.
"Ma--maaf, kamu ini bicara apa, ya? Menodai? Tanggung jawab? Maksudnya apa?"
"Anda jangan pura-pura tidak tau! Kalian pergi selama tiga hari ke Singapura. Kamu sudah berbuat tidak senonoh pada kakak saya, kan? Sampai dia demam karena kelelahan. Ngaku kamu!" bentak Zanna.
Satu sisi, aku kagum pada keberaniannya. Tidak pernah Zanna nekat seperti ini. Biasanya justru berlindung di belakangku.
"Sabar, Zanna. Kamu pasti salah paham. Saya tidak menodai Zeline. Kami melakukannya secara halal."
Alis mata Zanna terangkat. Ia memandang bingung ke arahku.
"Halal bagaimana? Kalian belum menikah. Kamu jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan, ya!"
"Aduh, saya bingung. Zeline itu istri saya, Zanna. Jadi wajar 'kan, saya meminta hak sebagai suaminya?"
Aku ingin tertawa menyaksikan kedua orang terkasih ini berdebat. Namun, kondisi tak memungkinkan untuk itu.
Zanna masih terlihat bingung. Aku sengaja memejamkan mata saat ia mengisyaratkan minta penjelasan.
"Sekarang, Nona Zanna yang baik hati, boleh bicara pada Zaline, istri saya?"
"Gak. Kamu berbohong. Sejak kapan Aline jadi istrimu? Sudah, ya. Aku lagi nunggu dokter datang. Bye." Zanna memutuskan sambungan telepon.
"Lo berhutang penjelasan, Line. Jangan pura-pura tidur!"
Untungnya dokter datang dan mengetuk pintu kamar. Safe by the bell.
Dokter mengatakan kondisiku hanya kelelahan akibat kegiatan yang dilakukan secara berlebihan. Setelah meresepkan obat dan vitamin, Zanna mengantarnya turun.
Pintu kamarku diketuk. Bi Ani datang membawakan makanan. Sudah beberapa hari ini aku rindu masakannya. Sejak Mami sibuk mengejar karir, tak pernah lagi ada menu kesukaan terhidang di meja.
Bi Ani yang menggantikan dan membuatnya hampir sama seperti masakan Mami.
"Non Aline, ini sup ayam kesukaannya sudah Bibi buat spesial."
Aku tersenyum lalu mengucapkan terima kasih dengan suara pelan.
Bi Ani mendekat. "Calon manten gak bole sakit, Non. Sejak kemarin, Den Arkana selalu mampir tiap pulang kerja. Cemas nanyain Non. Untung ada Neng Anya yang sabar nemenin."
Bagus. Kebersamaan mereka harusnya lebih sering terjadi.
"Bibi tinggal ya, Non. Neng Anya lagi beli obat sebentar," ucap Bi Ani.
Badanku panas, kepala sakit. Rasanya aku memilih untuk tidur saja.
🌹🌹
Aku mengerang dan berusaha membuka mata saat merasa seseorang sedang mencium kening. Bram datang. Namun, teriakan Zanna dan suara benda yang jatuh membuatku sadar sepenuhnya.
"Ar--Arkana, kamu--"
"Al, maaf. Aku hanya rindu. Tiga hari kamu tak ada kabar. Tadi aku menelepon ke rumah dan Bibi bilang kamu sakit. Aku langsung ke sini." Arkana memandangku dengan penuh cinta.
Jengah sekali rasanya karena ada Zanna terpaku di depan pintu kamar. Ia pasti terluka karena mendapati perlakuan calon suaminya padaku.
"Aku gak apa-apa, Kan. Kamu gak seharusnya masuk ke kamarku seperti ini," ketusku
"Kenapa? Kamu ini tunanganku. Aku berhak atas kamu, kan?"
Sedari dulu, aku paling tidak suka lelaki tipe seperti ini. Aku bahkan lupa kami sudah bertunangan dan dengan sintingnya setuju menikah dengan Bram.
"Kamu melepas cincin tunangan kita?"
Astaga, aku lupa di mana terakhir meletakkan cincin mahal itu.
Zanna tiba-tiba mendekat dan membuka laci nakas. "Ini cincinnya. Tadi saat Aline mau cuci muka, cincinnya licin. Dia letakin di wastafel. Abis itu dia pingsan, Ar," bela Zanna.
Ah, Anya. Kamu pasang badan demi menutupi kelakuanku. Padahal selama ini kamu tidak pernah berbohong.
Satu hal, Zanna harus mengubah panggilannya ke Arkana. Aku biasa memanggilnya 'Kan'. Hal sekecil ini harus segera dibahas agar tidak berdampak pada rencana pernikahan.
"Benar seperti itu, Al?" Suara Arkana melembut.
Aku mengangguk. "Aku belum makan dan minum obat. Kamu lebih baik pulang aja."
"Oh, gak apa-apa. Biar aku yang suapin kamu." Arkana sigap meraih mangkuk berisi sup.
"Nya, kamu aja yang suapin aku. Kamu balik aja ya, Kan. Aku gak nyaman ada laki-laki dalam kamar ini."
Arkana meletakkan kembali mangkuknya, tersenyum lembut, meraih tanganku dan menepuknya pelan. "Cepat sembuh ya, Al."
Seumur-umur memang baru kali ini Arkana memperlakukan aku begini. Aku risih, bukan bangga. Apalagi ada Zanna, yang hatinya harus aku jaga.
Zanna hendak meraih mangkuk, aku justru memintanya untuk mengejar Arkana.
"Gak, Aline. Aku gak mau. Biarin aja dia. Aku mau kamu cepat sembuh. Sini, aku suapin." Zanna menyendokkan sup dan menyodorkannya kepadaku.
Aku membuka mulut dan mulai makan. "Maaf, ya. Aku membuatmu berbohong tadi."
"Gak apa-apa. Aku tau kamu sama sekali gak suka sama Arkana. Justru merelakan dia untukku. Aku yang harusnya berterima kasih," bisik Zanna.
"Maaf karena kamu melihat Arkana mencium keningku tadi."
"Yah, kuakui hati ini sedikit terluka. Cuma kondisinya memang Arkana mencintai kamu sedalam itu, Sissy."
Zanna dengan sabar menyuapi sampai supnya habis. Lalu menyodorkan obat dan air hangat.
"Istirahatlah, Sissy. Aku jagain kamu di sini."
Tuhan, aku ingin Zanna mendapatkan perhatian dan cinta berlimpah dari Arkana.
🌹🌹
Pengaruh obat ternyata mampu membuatku tertidur sejenak, nyeri di kepala sudah berkurang drastis.Saat membuka mata, Zanna sedang berbaring di sebelahku, main game. Kebiasaan kalau salah satu dari kami ada yang jatuh sakit, pasti yang sehat menemani dan merawat. Saling menjaga, karena Mami tak pernah lagi ada."Anya, maaf ya. Aku memang sengaja memblokir nomor telepon Arkana. Ya gak mungkin di saat aku lagi ehem sama Bram, dia nelepon kayak biasa. Dih, males."Zanna memandangi aku dengan tatapan yang sedikit mengkhawatirkan. "Arkana gak pernah segetol itu nelponin aku, Sissy."Astaga, ia malah mellow. Duh, cinta bertepuk sebelah tangan mengenaskan juga ternyata.Mata Zanna langsung berkaca-kaca lagi. Sebagai kakak yang baik, hatiku serasa diiris-iris melihatnya."Maaf, Nya. Gak maksud nyakitin kamu, sih. Itu tadi niatnya cuma mo jelasin doan
"Mau ke mana, Line?""Pulang ke apartemen suami," jawabku."Yakin? Kamu masih pucat loh, Sissy. Aku anterin, ya. Sekalian aku kenalan sama Mas Bewok.""Boleh juga. Oiya, bantu aku bongkar koper bentar. Aku harus memilah pakaian yang mau dibawa ke sana.""Okey, Sissy."Zanna bersimpuh dan membantuku membongkar. Ah iya, lingerie hadiah untuknya sekalian saja aku berikan hari ini."Ini ada kado. Em ... bukanya nanti, pas udah resmi jadi istrinya Arkana. Deal?""Kok aku curiga sama isi kado ini?"Sekuat tenaga aku menahan senyum. Kami kembar, tentu ada ikatan batin yang tak bisa dijelaskan."Jangan buruk sangka. Tak baik. Hadiah ini bisa buat Arkana luluh sama kamu. Dijamin!" Gaya bicaraku sudah mirip sales panci sepertinya."Terima kasih,
Gontai, aku menyeret langkah kembali naik ke tempat tidur."Ada apa, Sissy? Kenapa wajahmu muram dari tadi? Apa yang terasa sakit?" tanya Zanna cemas."Apa kamu tidak bertemu dengan perempuan bertubuh mungil tadi? Papasan di lift?""Ada. Aku sempat melihat sepintas di koridor, sebelum dia belok ke lift. Kenapa?""Itu sekretaris pribadinya Bram. Saat aku mengetuk pintu tadi, perempuan itu yang membukakan.""Mungkin ada hal penting yang harus dibicarakan, Sissy. Jangan mikir jelek dulu! Dari pengamatanku sepintas tadi, keliatan banget kalau Bram itu cinta mati sama kamu."Aku menghembuskan napas kesal. Zanna ini memang tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain. Semua ia anggap baik dan lurus sepertinya."My twin, mereka pernah pacaran. Putus karena Bram mengenalku."Mulut Zanna membulat semp
"Feel better, Babe?"Aku menoleh ke arah Bram yang baru bangun. Sementara aku sudah selesai mandi air hangat dan sedang berdandan."Iya, mandi, gih. Terus kita cari sarapan. Abis itu langsung ke rumah Bunda," ajakku.Bram turun dari ranjang, mematuhi permintaanku. Dalam kondisi tubuh fit total, aku pasti akan menyusulnya. Hanya saja sekarang ini, aku lebih memilih untuk memulihkan kondisi tubuh.Aku memilihkan pakaian untuknya. Polo shirt dan celana jeans."Kamu cantik sekali, Babe. Aku yakin Bunda pasti akan jatuh hati saat melihatmu secara langsung." Bram mencium keningku.Aku menghidu aroma musk dan sandalwood dari tubuhnya, belum bercampur aroma tembakau."Jangan lupa bawa obat, Babe. Jadi kamu bisa meminumnya setelah sarapan dan makan siang nanti." Bram mengingatkan aku sebelum melangkah keluar kamar.
Acara makan malam bersama dengan keluarga Orlando dimulai setelah kepala keluarga sampai di rumah."Ayah, ini Aline, istrinya Bram." Bunda membuka percakapan.Aku mengangguk sopan kepada ayahnya Bram, yang dibalas beliau dengan anggukan kecil.Setelah makan malam, Bunda mengajak kami untuk mengobrol di ruang keluarga."Kenapa kalian menikah tanpa memberi tahu Ayah?"Bulu kudukku meremang. Suara Ayah terdengar kurang bersahabat.Aku menunduk, tidak mungkin menceritakan kelakuan kami yang hampir melampaui batas."Bunda meminta Bram untuk segera menikah, Yah. Aline adalah perempuan yang tepat, jadi tidak perlu nunggu lama. Nanti diambil orang," jawab Bram santai."Ayah jangan gitu. Nanti Aline takut. Bram udah minta izin Bunda, kok." Bunda menepuk lembut punggung tangan Ayah.
Seumur-umur baru kali ini aku ikut belanja bulanan. Biasanya itu tugas Zanna. Jadi tak perlu heran kalau aku gak tau tentang harga bahan pokok atau juga perlengkapan dapur."Hon, aku gak paham kita mau beli apa," keluhku."Tenang, aku sudah biasa belanja. Bunda melatihku dengan baik." Bram terbahak.Aku ikut tertawa saat Bram dengan bangga memamerkan catatan belanja yang tersimpan rapi di dokumen ponselnya."Kamu tunggu di sini. Aku ambil troli sebentar," pinta Bram.Aku mengangguk patuh. Setelah mendorong troli, aku mengikuti langkahnya. Ada bahagia yang menyusup dalam dada. Hal kecil seperti ini pun mampu membuatku tersenyum semringah."Ada yang pengen kamu beli untuk keperluan sendiri, Babe?" tanya Bram.Sepertinya sudah separuh dari catatan itu yang berhasil dia masukkan dalam troli dan aku hanya mengekori saja."Eh, iya. Aku ke sana sebentar ya, Hon."Aku mengelilingi supermarket. Mencoba mencari apa
"Kamu berangkat kerja aku anterin?"Ah iya, mobilku masih di rumah Mami. Kemarin aku diantar pakai mobil Zanna."Boleh, Hon. Tapi nanti gak sampai gedung kantor ya. Mencegah gosip." Aku mengecup pipinya.Bram menghela napas. "Demi kamu ini, ya. Aku rela mengikuti semua permainan. Bayarannya harus setimpal.""Gak mau rugi banget ya, kamu Hon!" Aku mendengkus.Gerak cepat Bram meraih pinggangku mendekat dalam pelukannya. "Aku ini pengusaha, Babe. Harus jeli membaca peluang sekecil apa pun.""Stop, Hon, nanti sia-sia aku dandan dari tadi," tolakku.Bram mencekal lenganku, ada kilatan cemburu di wajahnya. "Jangan dandan untuk laki-laki lain. Aku gak suka!"Dia bertingkah aneh lagi. Aku melepaskan diri, mundur beberapa langkah. Susah payah aku berusaha menghirup udara untuk menetralisir rasa yang menyesaki dada. Ah, trauma itu mas
"Al, adakah hal tambahan yang ingin kamu ajukan?" Arkana memandangiku dengan sorot mata memuja.Aku jengah. Hal ini yang selalu aku hindari. Sorot matanya membuatku merasa bersalah pada Zanna."Aku rindu, Al. Sebagai tunangan, boleh aku bertanya ke mana saja kamu belakangan ini, Sayang?"Matilah aku. Nasibku malam nanti ditentukan oleh makan siang ini."Maaf, aku hanya sedang jenuh. Ada brand ambassador yang wanprestasi dan Mami marah. Kamu tau 'kan, aku harus menyelesaikan pekerjaan sebelum pernikahan. Agar bisa bulan madu dengan tenang."Bersama Bram, sambungku dalam hati.Arkana meraih dan menggenggam tanganku. "Kamu mau bulan madu ke mana, Sayang? Kita belum membahasnya, kan?"Sembari tersenyum manis, aku melepaskan tangannya dan menepuk pelan. "Lombok. Satu minggu. Boleh?"Arkana mengangguk cepat. "Anything for my