Pengaruh obat ternyata mampu membuatku tertidur sejenak, nyeri di kepala sudah berkurang drastis.
Saat membuka mata, Zanna sedang berbaring di sebelahku, main game. Kebiasaan kalau salah satu dari kami ada yang jatuh sakit, pasti yang sehat menemani dan merawat. Saling menjaga, karena Mami tak pernah lagi ada.
"Anya, maaf ya. Aku memang sengaja memblokir nomor telepon Arkana. Ya gak mungkin di saat aku lagi ehem sama Bram, dia nelepon kayak biasa. Dih, males."
Zanna memandangi aku dengan tatapan yang sedikit mengkhawatirkan. "Arkana gak pernah segetol itu nelponin aku, Sissy."
Astaga, ia malah mellow. Duh, cinta bertepuk sebelah tangan mengenaskan juga ternyata.
Mata Zanna langsung berkaca-kaca lagi. Sebagai kakak yang baik, hatiku serasa diiris-iris melihatnya.
"Maaf, Nya. Gak maksud nyakitin kamu, sih. Itu tadi niatnya cuma mo jelasin doang. Kamu jangan pasif, dong. Deketin, kek, grepe-grepe kek. Apalah gitu, insiatif."
"Gak mungkin, Sissy. Aku dekat Arkana aja, udah salah tingkah duluan. Mana mungkin tiba-tiba nyosor. Gila kali lo!" sungut Zanna.
Eh, iya juga ya. Cuma kalo Zanna nyamar jadi aku, memang harus akting total, kan? Bagaimana cara mengajarinya, ya? Aduh, mana badan masih belum fit.
"Oiya, kamu jangan manggil Ar lagi kalo nanti pas berduaan. Panggil Kan. Ingat?"
"Eh, iya, ya. Aku gak kepikiran sampe situ."
"Emang pernah mikir? Apa-apa juga aku yang ambil keputusan." Aku mendengkus.
"Apa gunanya aku punya kembaran pintar, cakep, otaknya encer?" Zanna menaikturunkan alis matanya.
"Terserah kamu aja. Eh, Mas Bewok belom nelepon lagi? Aku kangen. Pengen rebahan di dadanya," godaku.
"Ganjen banget, Sis. Eh, tadi 'kan dia bilang kalian berhubungan secara halal. Maksudnya gimana?"
Aduh, kenapa juga si Zanna malah nanya masalah itu.
"Harus banget dijelasin sekarang? Aku masih demam loh ini." Aku berakting.
"Kagak. Kamu udah mulai sehat, Sissy. Jangan mengalihkan pembicaraan! Aku tau pasti, kamu tidak akan pernah sudi terikat hubungan jangka panjang dengan laki-laki mana pun. Pasti ada aja salahnya. Gampang banget bilang putus. Ish."
Apa yang dikatakan oleh Zanna itu memang sepenuhnya benar. Jangankan tidur bareng, dicium aja aku masih pilih-pilih. Aku memang punya banyak mantan pacar, tetapi tidak juga mengobral cinta. Hanya penjajakan saja dan sering mudah sekali bosan lalu pergi begitu saja.
Kenapa sejak melihat Bram, otakku justru korslet? Seperti kumparan magnet yang berdaya tarik tinggi. Aku takluk pada permainanku sendiri.
"Aku pun gak tau, Nya. Sejak pertama dia nyium aku di Bali itu, kayak sepenuhnya takluk gitu. Kemarin aja, pas dia ngajak ke apartemen, otakku udah kotor aja bawaannya. Lah, dia malah ngajakin nikah."
Zanna melongo dengan sempurna. "Hah? Lo apa tadi? Diajakin nikah? Gimana bisa?"
"Iya. Tau dong, kami terbawa suasana. Dia langsung berhenti dan ngajak nikah. Tadinya aku jual mahal, pengen pulang. Eh, dia malah bilang serius pengen nikah."
"Hah? Trus?"
"Aku gak mungkin mundur. Gengsi. Jadi sekalian kutantang dia untuk nyiapin tuan Kadi dan dua saksi. Eh, dia mau. Mana mungkin aku ngaku kalah."
Zanna terbahak-bahak. "Dodol emang kalian berdua. Gara-gara gak kuat nahan, langsung ngajak akad nikah saat itu juga. Eh, tapi bagus juga, halal kan jadinya."
"Aku jadi terpaksa minta Papi datang dan jadi wali nikah. Cuma memang aku minta dirahasiakan."
"Pantesan, Mas Bewok bingung pas dituduh menodai." Zanna terbahak-bahak lagi.
"Udah gak penasaran lagi, kan? Aku bobok, ya?"
"Sis, gimana rasanya? Sakit gak?"
"Tauk. Nanti aja buktiin sendiri pas sama Arkana."
"Apa mungkin? Apa kita gak akan ketauan? Gimana kalo dia justru benci sama aku, Sis?"
"Dih, jangan panggil Sis! Berasa sosis aku jadinya," omelku.
Ingin memanjangkan omelan, tapi melihat wajah murung Zanna, aku tak sanggup melakukannya.
"Anya, please. Aku sudah menikah dengan Bram. Kamu juga harus bahagia. Tentang Arkana jangan risau, nanti kita cari gimana caranya kalian bisa menikah. Oke?"
"Aku takut, Sissy. Gimana kalo misi kita gagal? Aku akan sendirian di sini. Kamu tau kan, cuma Arkana satu-satunya lelaki yang aku cintai."
Kepalaku mendadak berat lagi. Sejujurnya, itu yang aku rasakan pada Bram. Takut kehilangan. Aku bergeser dan memeluknya.
"Tidurlah, Sissy. Aku baik-baik aja." Zanna menepuk lembut pipiku.
Aku tahu Zanna hanya berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau membebaniku dengan rasa cemas yang ada. Aku tahu pasti bagaimana rasanya.
Kemarin, aku merasakan hal yang sama, saat menyadari telah jatuh cinta pada Bram, takut kehilangan. Terlebih statusku juga belum diketahui oleh pihak keluarga. Apa benar bundanya merestui? Bagaimana jika tidak, apa aku akan dibuang dan harus mengalami patah hati kronis?
Ponselku berdering. Zanna tersentak dan bangun untuk mengambilkan ponsel itu untukku.
"Mas Bewok panjang umur," ejek Zanna.
"Tekan tombol loudspeaker aja, Nya," pintaku.
"Babe, gimana kabar kamu? Maaf, aku baru pulang kerja. Kami sibuk membahas tentang proyek itu. Sudah minum obat?"
Aku memejamkan mata, meresapi nada cemas dari ucapannya.
"Babe, please say something. Seharian ini aku mencemaskan kondisi kamu. Zanna benar, suami macam apa aku ini. Istri sakit malah pulang ke rumah. Harusnya aku yang merawat kamu, Babe," sesal Bram.
Ada sesuatu yang membuncah di dada, menyeruak haru. Zanna mencolek lenganku, mengisyaratkan untuk menjawab pertanyaan Bram.
"Ya, Hon. Masih sakit, tapi demamku sudah turun. Jangan cemas, ada Zanna yang merawatku di sini."
"Syukurlah. Hanya saja memang tidak pantas kita terpisah seperti ini. Kamu tau, Babe, aku tidak akan sanggup jika kita berjauhan. Proyek itu ... dibatalkan aja sepertinya."
"Eh, jangan Hon, kamu bisa kena denda banyak kalo wanprestasi. Aku gak apa-apa. Pergilah, aku bisa nyusul tiap weekend, kan? Lagian cuma satu bulan ini. Setelah Zanna menikah, aku bisa membahas ini ke Mami. Kita juga harus menggelar pesta setelah mereka, kan?"
"Iya. Aku janji, Babe, hanya satu bulan kita berjauhan. Setelah satu bulan, aku akan kembali seutuhnya untuk kita. Aku akan mendelegasikan pekerjaan pada orang yang tepat nanti, untuk mengambil alih pengawasan dua bulan berikutnya. Oke?"
"Iya, Hon. Aku percaya kamu sepenuhnya. Sekarang istirahatlah."
"Aku kangen, Babe. Malam ini aku bobok sendirian lagi," desah Bram.
"Kalau aku sembuh, besok malam kamu udah ada teman bobok lagi. Sudah makan, Hon?"
"Sudah. Tadi Nadhira beliin aku nasi goreng."
Alarm pertanda bahaya spontan bergema di kepalaku. "Sekretarismu itu? Hon, aku kok gak suka ya, sama dia. Biar gimana dia mantan kamu loh. Dia juga masih ada rasa sama kamu."
"Itu kan masalah dia, Babe. Aku 'kan gak. Aku cintanya cuma sama kamu. Dia cukup berdedikasi tinggi sama perusahaan, Babe. Tidak etis kalau aku pecat dia hanya karena kamu cemburu." Bram menghembuskan napas gusar.
Aku diam. Satu sisi membenarkan ucapannya. Namun, di sisi lain firasatku berkata kalau gadis itu harus diwaspadai gerak geriknya. Ah, mungkin karena aku mulai terikat pada rasa cinta, sehingga logika dan hati mulai bertentangan seperti ini. Kacau.
Aku mematikan sambungan telepon. Saat hendak meletakkan ponsel, kulihat Zanna sudah tertidur pulas. Ia punya kebiasaan, kalau kepalanya menyentuh bantal, tak butuh waktu lama untuk segera pindah ke alam mimpi. Tak peduli seberisik apa pun suasana di dekatnya, ia malah bisa mendengkur. Tipe kebo.
Ponsel berdering lagi, Bram video call. Aku memencet tombol terima dan sekejap kemudian, wajahnya memenuhi layar. Amarahku luruh. Dia terlihat kusut dan sayu.
"Ah, Honey, belum satu hari kita berjauhan, kamu sudah seperti tak terurus," keluhku.
Dia memintaku untuk mengerti tentang situasi kantor, keberadaan sekretaris itu untuk membantu dalam hal pekerjaan.
Entahlah, aku bingung. Ini hanya cemburu atau justru peringatan bahaya. Namun, melihat tatapan matanya, aku luluh.
Iya, aku tau. Tidak pernah selama ini aku kenal kata 'mengalah', biasanya selalu ingin menang dan dituruti.
Aku ... terjebak permainan ini dan tak ada jalan kembali.
🌹🌹🌹
"Mau ke mana, Line?""Pulang ke apartemen suami," jawabku."Yakin? Kamu masih pucat loh, Sissy. Aku anterin, ya. Sekalian aku kenalan sama Mas Bewok.""Boleh juga. Oiya, bantu aku bongkar koper bentar. Aku harus memilah pakaian yang mau dibawa ke sana.""Okey, Sissy."Zanna bersimpuh dan membantuku membongkar. Ah iya, lingerie hadiah untuknya sekalian saja aku berikan hari ini."Ini ada kado. Em ... bukanya nanti, pas udah resmi jadi istrinya Arkana. Deal?""Kok aku curiga sama isi kado ini?"Sekuat tenaga aku menahan senyum. Kami kembar, tentu ada ikatan batin yang tak bisa dijelaskan."Jangan buruk sangka. Tak baik. Hadiah ini bisa buat Arkana luluh sama kamu. Dijamin!" Gaya bicaraku sudah mirip sales panci sepertinya."Terima kasih,
Gontai, aku menyeret langkah kembali naik ke tempat tidur."Ada apa, Sissy? Kenapa wajahmu muram dari tadi? Apa yang terasa sakit?" tanya Zanna cemas."Apa kamu tidak bertemu dengan perempuan bertubuh mungil tadi? Papasan di lift?""Ada. Aku sempat melihat sepintas di koridor, sebelum dia belok ke lift. Kenapa?""Itu sekretaris pribadinya Bram. Saat aku mengetuk pintu tadi, perempuan itu yang membukakan.""Mungkin ada hal penting yang harus dibicarakan, Sissy. Jangan mikir jelek dulu! Dari pengamatanku sepintas tadi, keliatan banget kalau Bram itu cinta mati sama kamu."Aku menghembuskan napas kesal. Zanna ini memang tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain. Semua ia anggap baik dan lurus sepertinya."My twin, mereka pernah pacaran. Putus karena Bram mengenalku."Mulut Zanna membulat semp
"Feel better, Babe?"Aku menoleh ke arah Bram yang baru bangun. Sementara aku sudah selesai mandi air hangat dan sedang berdandan."Iya, mandi, gih. Terus kita cari sarapan. Abis itu langsung ke rumah Bunda," ajakku.Bram turun dari ranjang, mematuhi permintaanku. Dalam kondisi tubuh fit total, aku pasti akan menyusulnya. Hanya saja sekarang ini, aku lebih memilih untuk memulihkan kondisi tubuh.Aku memilihkan pakaian untuknya. Polo shirt dan celana jeans."Kamu cantik sekali, Babe. Aku yakin Bunda pasti akan jatuh hati saat melihatmu secara langsung." Bram mencium keningku.Aku menghidu aroma musk dan sandalwood dari tubuhnya, belum bercampur aroma tembakau."Jangan lupa bawa obat, Babe. Jadi kamu bisa meminumnya setelah sarapan dan makan siang nanti." Bram mengingatkan aku sebelum melangkah keluar kamar.
Acara makan malam bersama dengan keluarga Orlando dimulai setelah kepala keluarga sampai di rumah."Ayah, ini Aline, istrinya Bram." Bunda membuka percakapan.Aku mengangguk sopan kepada ayahnya Bram, yang dibalas beliau dengan anggukan kecil.Setelah makan malam, Bunda mengajak kami untuk mengobrol di ruang keluarga."Kenapa kalian menikah tanpa memberi tahu Ayah?"Bulu kudukku meremang. Suara Ayah terdengar kurang bersahabat.Aku menunduk, tidak mungkin menceritakan kelakuan kami yang hampir melampaui batas."Bunda meminta Bram untuk segera menikah, Yah. Aline adalah perempuan yang tepat, jadi tidak perlu nunggu lama. Nanti diambil orang," jawab Bram santai."Ayah jangan gitu. Nanti Aline takut. Bram udah minta izin Bunda, kok." Bunda menepuk lembut punggung tangan Ayah.
Seumur-umur baru kali ini aku ikut belanja bulanan. Biasanya itu tugas Zanna. Jadi tak perlu heran kalau aku gak tau tentang harga bahan pokok atau juga perlengkapan dapur."Hon, aku gak paham kita mau beli apa," keluhku."Tenang, aku sudah biasa belanja. Bunda melatihku dengan baik." Bram terbahak.Aku ikut tertawa saat Bram dengan bangga memamerkan catatan belanja yang tersimpan rapi di dokumen ponselnya."Kamu tunggu di sini. Aku ambil troli sebentar," pinta Bram.Aku mengangguk patuh. Setelah mendorong troli, aku mengikuti langkahnya. Ada bahagia yang menyusup dalam dada. Hal kecil seperti ini pun mampu membuatku tersenyum semringah."Ada yang pengen kamu beli untuk keperluan sendiri, Babe?" tanya Bram.Sepertinya sudah separuh dari catatan itu yang berhasil dia masukkan dalam troli dan aku hanya mengekori saja."Eh, iya. Aku ke sana sebentar ya, Hon."Aku mengelilingi supermarket. Mencoba mencari apa
"Kamu berangkat kerja aku anterin?"Ah iya, mobilku masih di rumah Mami. Kemarin aku diantar pakai mobil Zanna."Boleh, Hon. Tapi nanti gak sampai gedung kantor ya. Mencegah gosip." Aku mengecup pipinya.Bram menghela napas. "Demi kamu ini, ya. Aku rela mengikuti semua permainan. Bayarannya harus setimpal.""Gak mau rugi banget ya, kamu Hon!" Aku mendengkus.Gerak cepat Bram meraih pinggangku mendekat dalam pelukannya. "Aku ini pengusaha, Babe. Harus jeli membaca peluang sekecil apa pun.""Stop, Hon, nanti sia-sia aku dandan dari tadi," tolakku.Bram mencekal lenganku, ada kilatan cemburu di wajahnya. "Jangan dandan untuk laki-laki lain. Aku gak suka!"Dia bertingkah aneh lagi. Aku melepaskan diri, mundur beberapa langkah. Susah payah aku berusaha menghirup udara untuk menetralisir rasa yang menyesaki dada. Ah, trauma itu mas
"Al, adakah hal tambahan yang ingin kamu ajukan?" Arkana memandangiku dengan sorot mata memuja.Aku jengah. Hal ini yang selalu aku hindari. Sorot matanya membuatku merasa bersalah pada Zanna."Aku rindu, Al. Sebagai tunangan, boleh aku bertanya ke mana saja kamu belakangan ini, Sayang?"Matilah aku. Nasibku malam nanti ditentukan oleh makan siang ini."Maaf, aku hanya sedang jenuh. Ada brand ambassador yang wanprestasi dan Mami marah. Kamu tau 'kan, aku harus menyelesaikan pekerjaan sebelum pernikahan. Agar bisa bulan madu dengan tenang."Bersama Bram, sambungku dalam hati.Arkana meraih dan menggenggam tanganku. "Kamu mau bulan madu ke mana, Sayang? Kita belum membahasnya, kan?"Sembari tersenyum manis, aku melepaskan tangannya dan menepuk pelan. "Lombok. Satu minggu. Boleh?"Arkana mengangguk cepat. "Anything for my
"Hon, udahan dong, merokoknya. Nanti kita keburu telat ke kantor.""Lebih baik baca apa isi pesan dari tunangan kamu tersayang itu!"Aku terkesiap. Pesan? Arkana?Sepagi ini, moodnya sudah buruk hanya karena pesan dari Arkana?Gegas aku masuk dan mencari keberadaan ponsel. Benar, ada tiga pesan masuk yang sudah terbaca. Saat aku membaca ulang, bulu kuduk meremang. Kenapa mendadak Arkana jadi begini? Kesambet apa dia?Pantas saja Bram berang. Dalam pesan yang telah terbaca itu, Arkana mengirim gambar tiket bulan madu, gambar kamar yang sudah dibooking, juga tiga pasang lingerie seksi. Juga kalimat yang menjurus ke dirty talk. God.Aku mondar-mandir dalam kamar. Bagaimana cara membujuk Bram dan meyakinkannya kalau ini semua bukan gaya Arkana?Keringat dingin mengucur. Sesuatu dari masa lalu mulai membayangi pikiran. Aku menggeleng. Mencoba mera