Share

Feel Insecure

Setelah makan siang, aku kembali ke kamar, sengaja menyiapkan kejutan dan berdandan lagi. Saat sedang mematut diri di depan cermin, ponselku berdering. 

Aku tidak tahu harus bahagia atau bersedih karena tender itu. Bram memang memenangkannya, tapi itu artinya kami harus terpisah selama tiga bulan. Aku baru diberitahukan tentang hal ini. 

Tidak mungkin aku meninggalkan perusahaan dalam jangka waktu selama itu. Mami pasti akan mengamuk.

Setengah jam kemudian, Bram kembali, tetapi langsung sibuk melakukan telekonfrensi dengan stafnya. Sementara aku memilih bersembunyi di balik selimut. Sia-sia rasanya menyiapkan kejutan dengan memakai lingerie berwarna merah darah dan high heels senada.

Apalagi dalam waktu sebulan ke depan, mana mungkin aku menghilang. Arkana pasti curiga. Aku tidak mau Zanna terkena imbasnya. Kembaranku itu harus menikah dengan pria yang sangat dicintainya. Takkan kubiarkan lelaki itu lolos.

Bagaimana caranya membahas ini dengan Bram? Proyeknya bernilai milyaran, tidak mungkin dilepas begitu saja. Aku bingung. 

🌹🌹

Sesuatu terasa di antara bagian paha, aku terkejut mendapati Bram sudah berada di sana. Ternyata aku ketiduran. Selimut tersingkap sudah.

"Aku suka kejutannya." Bram masih menggodaku dari bawah sana.

Aku tak sanggup menahan rasa yang mulai memenuhi kepala.

"Hon," desahku.

Bram mulai naik, menjelajahi tiap jengkal tubuhku dan mulai menuntut hak. 

"Hon, kita perlu bicara," ucapku di antara erangan.

"Nanti aja, Babe." 

Entahlah, lelaki ini tahu di mana letak titik kelemahanku. Aku tak berdaya dan terbius oleh pesonanya. Aku tidak bisa fokus, dia menguasai penuh. Tubuhnya merosot di sebelahku setelah kami menggapai puncak. 

"Terima kasih kejutannya, Babe. Kapan kamu beli pakaian ini? Aku suka." Bram mengecup bahuku.

"Aku akan memakainya setiap kali ingin memadu kasih bersamamu. Maaf, kemarin membelinya tanpa seizin kamu." 

"Kalau kamu memberi tahu, bukan kejutan namanya. I love you more than before, Babe." 

"Hon, aku tidak bisa mengikuti kamu selama tiga bulan ke depan," sungutku.

Bram menarikku dalam pelukannya. "Kenapa?" 

"Aku tidak mungkin mangkir dari kantor selama itu. Lagian, pernikahan Zanna diadakan bulan depan, tidak mungkin aku tiba-tiba menghilang. Nanti Arkana dan keluarganya curiga, Hon." 

"Hm, kamu bisa datang tiap weekend, Babe. Aku mana mungkin tahan untuk tidak berbagi peluh denganmu. Tubuh ini milikku seutuhnya!" Bram menjelajahi ceruk leherku dan meninggalkan bekas di sana. 

Posesif. Ada desir aneh yang tiba-tiba hadir. Biasanya kalau lelaki mulai posesif, aku akan segera angkat kaki. Kali ini, tentu saja aku tidak bisa pergi semudah itu.

Aku harus bagaimana? Membiarkan Bram pergi sendirian ke lokasi proyek selama tiga bulan bukan pilihan tepat. Apalagi kalau sekretaris itu ikut bersamanya. Mereka hanya berdua, ada setan sebagai pihak ketiga. 

Aku yang berpengalaman mematahkan hati lelaki saja takluk dalam pesonanya, apalagi sekretaris yang lugu itu. Aduh, pikiranku kacau. 

Dengkuran halus terdengar, lelakiku justru sudah terlelap kelelahan. 

Aku belum dikenal sebagai istrinya. Kami menikah hanya secara agama. Posisiku kurang menguntungkan. Dia bisa membuangku kapan saja. Ah, seorang Zeline Zakeysha mendadak insecure begini. 

Perlahan, aku melepaskan pelukan Bram, turun dari tempat tidur, memunguti lingerie yang terserak di lantai, lalu menuju kamar mandi. 

Aku mematut diri di depan cermin, bekas merah yang ditinggalkan Bram di leher, dada dan paha bagian dalam tercetak jelas. 

Aku tahu dia begitu mendambakan tubuh ini. Bayangan di depan cermin juga memamerkan lekuk tubuh yang menggoda berbalut lingerie.

Namun, apa hal ini akan tetap berlaku jika ada jarak yang membentang? Bisakah ia menjaga hati? Masa perkenalan kami tergolong singkat. Apa dia lelaki setia? 

Semua tingkah absurdku di masa lalu berkelebat. Sekarang rasanya seperti menjilat ludah sendiri. 

Aku bersimpuh dan menangis. Menyadari telah jatuh dalam perangkap yang kubuat sendiri. Rasa takut kehilangan, membuatku merasa sangat rapuh.

"Babe," panggil Bram.

Dia ikut berjongkok di depanku. "Hei, kenapa menangis? Aku menyakiti kamu tadi?" 

Air mataku mengalir semakin deras. Lihatlah, betapa panik dia saat tak mendapatiku ada di sisinya. Akankah hal ini bertahan jika jarak membentang? 

"Aku takut kehilanganmu, Hon," bisikku lirih.

"Hei, aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, Babe." 

Bram menggendongku kembali ke tempat tidur. "Kita ke sini untuk bulan madu kecil, bukan untuk bertengkar. Mandi, dandan secantik mungkin. Kita jelajahi kota ini dan belanja sepuas hati kamu." 

Air mata masih belum berhenti mengalir. Bram menghapus dan mengecup lembut kedua mataku. 

"Babe, aku menikahi kamu memang seperti tergesa-gesa. Rasa cinta yang besar membuatku melakukannya. Hatiku sudah terjerat di hari pertama kita bertemu. Jangan pernah meragukan kekasih halalmu ini!" tegas Bram. 

Ucapannya mampu menenangkan hatiku. Setidaknya untuk malam ini, aku mungkin bisa tidur nyenyak. Aku akan mencari jalan keluar untuk menjaganya dari segala kemungkinan buruk. 

"Nah, gitu 'kan cantik. Senyum kamu itu mood boosternya aku. Come on, let's go to shop!" Bram mengecup lembut keningku.

🌹🌹

Marina Bay Sands terlihat sangat memukau pada malam hari. Kami makan malam di luar hotel, menyusuri jalan di mana letak toko barang branded berjajar. Lelaki ini memang menepati janjinya. Aku bebas membeli apa saja. 

Aku tahu ini hanya sementara. Tetap saja aku tak bisa mengenyahkan rasa cemas yang muncul ketika mengingat tender itu. 

"Hon." 

"Ya, Babe. Capek? Mau digendong?" 

"Kamu perginya setelah Zanna menikah, bisa?" 

"Jangan bahas itu sekarang, boleh? Aku tidak mau merusak suasana." 

Aku diam. Walau nada bicaranya lembut, tetap saja tidak nyaman di telingaku. Seperti rasa tidak enak karena ditolak. Hal yang tidak pernah aku alami selama ini. 

Bram meraih tanganku. "Babe, mukanya jangan ditekuk gitu. Nanti kita bicarakan semua sepulang dari Singapura, ya. Kita cari jalan terbaik, demi senyum di bibir kamu." 

"Kamu tau, Hon, ini pertama kalinya aku jatuh cinta sampai rela menikah. Baru sama kamu, aku bersedia menikah, di saat hubungan kita seumur jagung. Kamu ngerti 'kan, gimana besarnya rasa takut yang aku punya?"

"Babe, ini bukan masalah yang perlu kita besar-besarkan. Aku ini suami kamu. Lelaki yang mengambil alih tanggung jawab dari Papi untuk membuatmu bahagia terus." 

Rasa ini entah bagaimana cara mengartikannya. Campur aduk semua. 

"Aku gak mau kamu tergoda sama mantan!" 

Bram terbahak. Spontan aku melepaskan genggaman tangannya dan bersedekap. 

"Puas banget ya, ketawanya!" omelku berang.

"Seandainya kita cuma berdua, kamu pasti sudah aku lumat habis-habisan. Come on, Baby, mana bisa dibandingkan kamu dengan dia? Kalau memang aku seperti tudingan gak berdasar yang kamu lontarkan barusan, kenapa nikahnya bukan sama dia aja?" 

Aku tak tahu harus mendebat apa. Semoga saja ini cuma rasa takut yang tak beralasan. Ah, Anya, kenapa aku jadi pesimis seperti kamu, sih. 

"Sudah ya, Babe. Stop bahas masalah ini. Aku mau kamu rileks dan nikmati tiga hari kebersamaan kita dengan romantis. Deal?" 

Aku mengangguk, tidak ingin merusak suasana lebih jauh. 

"Kita jalan lagi?" 

Aku menyambut uluran tangannya.

"Kamu perempuan tercantik yang aku pilih jadi istri. Jangan cemaskan hal yang belum tentu terjadi! Oke?" Bram menepuk lembut punggung tanganku.

Seandainya dia tahu, kehilangan adalah salah satu ketakutan terbesar dalam hidupku. Saat Papi dan Mami nyaris berpisah, Zanna kritis, aku merasa sangat sendirian. 

Aku tidak mau memilih. Ada yang menjadi pemenang. Ada yang harus merelakan dirinya menelan pil pahit berupa kegagalan. Tentu saja aku tidak mau menjadi pecundang. Tidak mungkin seorang Zaline Zakeysha kalah. Selama ini, aku yang mencampakkan lelaki, bukan sebaliknya.

"Aku harap kamu mengingat semua percakapan kita hari ini, Hon. Kita bahkan belum membahas tentang masa depan. Kamu berjanji untuk memberiku pesta pernikahan terindah. Remember?" 

Bram menyugar rambutnya. "Babe, what's wrong with you? Kenapa hari ini kamu penuh kecemasan?"

Dia benar. Sejak mengetahui harus membentang jarak dengan suami, aneka pemikiran buruk seolah berlomba untuk memengaruhi isi kepalaku. 

Biasanya aku tidak pernah berpikir panjang jika berhubungan dengan lelaki. Beberapa di antaranya bahkan hubungan tanpa status, kapan aku butuh tinggal telepon. Tidak ada kata kalah dalam kamus hidupku. 

Ayolah, Aline. Jangan cengeng begini! Angkat kepala dan buat dia takluk di kakimu! 

🌹🌹🌹

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status